Lilis yang sedari tadi meringkuk ketakutan dengan tubuh gemetar.
Sambil menangis dia berkata lirih, “tolong.. berhenti..” Anton dan para Anak buahnya kembali bersiap menghantam Juned beramai-ramai. Namun sebuah teriakkan kencang memekik di telinga setiap orang. “Hentikaaan!! Anton kumohon jangan sakiti dia lagi. Aku akan melakukan apa yang kamu mau. Asal berhenti menyakiti Juned.” Lilis berteriak histeris sambil menangis. Juned terkejut mendengar perkataan itu. “Apa yang kamu bicarakan, Tante? Jangan bicara yang tidak-tidak.” Lilis yang sudah dipenuhi ketakutan justru memarahi Juned. “Diamlah Juned, Aku tak ingin melihatmu dihajar seperti itu.” Sementara Anton langsung mengangkat satu tangannya memberikan isyarat berhenti kepada anak buahnya. Anton mendekati Lilis yang meringkuk, “Kalau seperti ini kan tak perlu ada kekerasan, sayang.” Tangan Anton membelai wajah Lilis hingga ke leher jenjangnya. “Tante, Jangan mau menerima tawaran bajingan itu…” “Cukup Juned, cukup, jangan bicara lagi. Ini keinginanku sendiri.” Anton berdiri kemudian diikuti oleh para Anak buahnya. “Pertukaran akan dilakukan dalam beberapa hari ke depan. Jika kalian tak menepati kesepakatan, pasti tahu kan akibatnya, Ha ha ha.” Anton tertawa puas dan melenggang pergi meninggalkan klinik tersebut. Lilis bergegas menghampiri Juned, banyak sekali luka lecet di tubuh keponakannya itu. Setelah dipastikan Anton dan komplotannya sudah pergi jauh, tiba-tiba Vivi muncul dari balik semak-semak. “Juned, maafkan aku. Semuanya jadi seperti ini karena suamiku.” Kata Vivi yang langsung bersimpuh di depan Juned. “Tak perlu meminta maaf, aku akan menghajar Anton dan anak buahnya jika bertemu lagi.” Ucap Juned dengan tenang. Vivi tersipu dan merasa terharu mendengarnya. “Sudah, jangan berkata bodoh!. Kita hanya orang kecil, Mereka itu punya kuasa dan tak ada yang berani di desa ini.” Lilis marah kepada Juned yang sembrono. Juned hanya diam tak ingin berdebat lagi dengan tantenya. Meskipun tubuhnya banyak lecet namun dia tak merasakan apa-apa. Suasana kembali tenang, Lilis meminta ijin kepada Juned, “aku mau pergi sebentar, persediaan salepnya tinggal ini saja.” Sambil memberikan salep kepada Vivi. “sekalian mau beli persediaan yang lainnya” Lilis melenggang pergi meninggalkan Juned dan Vivi berdua di dalam klinik. Juned duduk di tepi ranjang , sementara Vivi berdiri di depannya. Mereka berdua dalam posisi yang sangat dekat. Vivi mengusap bekas-bekas pukulan Anton dan komplotannya, hingga gundukan nikmat miliknya yang menonjol begitu dekat dengan wajah Juned. Membuat bagian bawah Juned bereaksi. Vivi terkejut melihat barang milik Juned bereaksi. Dengan sengaja dia justru menempelkan dadanya ke wajah Juned. Mata Juned terperanjat saat semangka kembar Vivi menempel di wajahnya. Juned merasakan Jantung Vivi yang berdebar. Tiba-tiba nafas Vivi memburu kencang menuangkan hasrat yang selama ini terpendam. Istri Jawara itu terus menggesek-gesekkan dada montok nan padat di wajah Juned. “Bukannya kamu memiliki kelainan kejantanan, Jun?” Tanya Vivi tiba-tiba menghentikan aksinya dan menatap Juned. Juned menggelengkan kepala dengan muka memerah seperti tomat yang siap di panen. “Berarti kamu belum pernah melakukan begituan sama sekali?” Tanya Vivi dengan lirih. Juned kembali menggelengkan kepala dan berkata, “Engga ada wanita yang mau sama aku bahkan menghindar karena rumor itu.” “Kamu mau begituan?” Tiba-tiba tangan Vivi meraih batang Juned dan menyentuhnya dengan lembut, jari-jarinya yang lentik menarik di area sensitif milik Juned. Jantung Juned berdegup kencang serasa ingin copot, Tubuhnya menggelinjang merasakan sensasi yang luar biasa. Tangan kanan Vivi terus bergerilya di antara kedua kaki Juned yang tertutup celana berbahan kain, sementara tangan kirinya membelai tubuhnya sendiri. Seperti cacing kepanasan tubuhnya ikut menggeliat tak tentu arah. “Kalau kamu mau, lakukan sekarang denganku. Sudah lama aku tak disentuh Mas Anton, sshh.” Bibir merah yang ranum meracau tak karuan. Ini adalah pertama kali Juned merasa sama seperti laki-laki normal, Juned merasa gugup saat ini. Juned hendak membalas sentuhan Vivi ketika suara Lilis tiba-tiba terdengar. “Terima kasih ya, Vi. Sudah membantu merawat Juned.” Vivi langsung melepaskan sentuhannya dengan cepat, berharap Lilis tak melihat apa pun. “Engga apa-apa mbak, sudah tanggung jawabku. Ini semua akibat ulah suamiku.” Dia merasa bersalah dan langsung duduk di sebuah kursi. Wajahnya cantiknya memerah. “Vivi jangan terlalu dipikirkan, suamimu memang seperti itu. Kalau kita semakin melawan Dia akan semakin menjadi-jadi.” Lilis menjelaskan dengan sedikit penyesalan. Dia telah menerima tawaran untuk bertukar dengan Vivi, entah bagaimana perasaan Vivi tahu. “Mbak… soal pertukaran kita. Apa kamu benar-benar serius?” Tanya Vivi dengan wajah menunduk penuh kegelisahan. Lilis mendekati Vivi dan menepuk pundaknya, “Ucapan itu keluar begitu saja dari mulutku. Aku hanya ingin menyelamatkan Juned saja.” Mereka berdua berpelukan saling memberikan dukungan, Lilis sadar apa yang dikatakannya itu salah. Namun keadaanlah yang memaksa Suka ataupun tidak, tak ada daya dan upaya untuk menolaknya. Vivi kembali gelisah, dia berbohong bahwa ada urusan dan pergi tergesa-gesa. Juned memandang punggung Vivi yang pergi sambil tertegun.“HORE! HIDUP JUNED!”Sorak-sorai kemenangan warga desa masih bergema di udara ketika Nyonya Lim memandang dengan para warga desa dari kejauhan. Wanita itu mendekat dengan elegan, langkahnya tenang dan penuh wibawa bagai macan yang memasuki wilayah kekuasaannya. Semua mata tertuju padanya, termasuk Juned yang masih dikelilingi warga.Dia berjalan mendekati Anton yang masih berlutut di tanah, tubuhnya terguncang oleh isakan yang memilukan. Wajah Anton yang babak belur dan penuh debu tampak begitu memprihatinkan di bawah sinar matahari pagi.Nyonya Lim berdiri di depan Anton, memandangnya dengan pandangan dingin, tanpa sedikitpun belas kasihan. “Kau lihat, Anton?” ujarnya dengan suara yang jelas terdengar oleh semua orang. “Inilah akhir dari setiap keserakahan yang tidak mengenal batas.”Anton mengangkat kepalanya, matanya yang bengkak dipenuhi rasa takut dan keputusasaan. “Nyonya Lim... tolong... aku mohon...”“Diam,” potong Nyonya Lim tajam. “Kau sudah kehilangan hak untuk berbicara.”
Udara pagi yang semula dingin dan diselimuti kabut, kini berubah menjadi panas oleh amarah yang lama terpendam. Anton, berdiri terhuyung dengan wajah babak belur, matanya menyala-nyala seperti binatang yang terkepung. Di depannya, Juned berdiri tegak, tubuhnya penuh luka tapi sorot matanya tajam bagai pedang. Tapi yang membuat Anton benar-benar terpojok adalah barisan di belakang Juned. Warga desa yang selama ini ia anggap sebagai kawanan domba penurut, kini berdiri dengan batu, kayu, dan pacul di tangan. Wajah-wajah mereka yang biasa tunduk kini dipenuhi tekad membara.“Kalian pikir segelintir petani kotor bisa mengalahkan kami?!” teriak Rico, tangan kanan Anton, sambil mengacungkan golok pendek. Suaranya menggertak, tapi ada getar ketakutan di dalamnya. Ia dan lima anak buahnya yang tersisa mundur selangkah, membentuk formasi perlindungan di sekitar Anton yang nyaris tak berdaya.Pak Darmin, lelaki berotot yang selama ini dikenal pendiam, maju selangkah. Tangannya yang kekar mencen
“SUDAH CUKUP, JUNED!”Teriakan itu datang, tajam dan berwibawa, memotong ketegangan yang mencekik. Suara yang familiar bagi sebagian warga, terutama bagi Pak Samijo yang wajahnya langsung pucat pasi.Semua kepala menoleh. Sebuah mobil sedan sederhana berhenti di belakang kerumunan. Keluarlah seorang wanita dengan saree elegan, wajahnya tampak lelah namun penuh kewibawaan. Dia adalah Bu Ratna, mantan istri Pak Samijo dan pemimpin sebelumnya dari Cakra Buana.“Bu Ratna?” gumam beberapa warga tua, heran melihatnya kembali.Dia berjalan mendekat, langkahnya pasti, mengabaikan tatapan takjub dan heran. Matanya yang tajam menyapu kerumunan sebelum akhirnya tertuju pada Juned yang babak belur dan Anton yang masih dengan congkaknya.“Lihatlah mereka, Juned!” hardik Bu Ratna, suaranya bergetar bukan karena takut, tapi karena kemarahan dan kekecewaan yang mendalam. Dia menunjuk ke arah warga yang membeku. “Lihatlah baik-baik orang-orang yang kau bela ini!”Juned mencoba memusatkan pandangannya
“Ini bukan tentang menang atau kalah, Anton,” ujar Juned, suaranya lantang sehingga terdengar oleh warga yang berkerumun, termasuk Pak Samijo yang masih terpana. “Ini tentang membayar hutang. Hutangmu pada desa ini. Hutangmu pada setiap keluarga yang berasal dari desa ini.”Juned menunjuk ke bangunan klub malam yang terbengkalai di sebelah rumahnya. “Kau mengubah warisan kakekku menjadi tempat kekotoranmu. Kau meracuni tanah dan air kami dengan tambangmu. Kau menyiksa orang-orang yang tidak berdaya, seperti Lastri... dan tanteku, Lilis!”Anton tertawa getir, hampir histeris. “Bodoh! Kalian semua bodoh! Di dunia ini yang penting adalah uang dan kekuasaan! Dan aku memilikinya! Aku... aku...” Teriakannya teredam ketika dia menyadari bahwa uang dan kekuasaannya telah lenyap. Ekspresinya berubah menjadi putus asa.“Tidak, Anton,” sergah Juned, suaranya menggelegar penuh keyakinan. “Yang kau miliki sekarang hanya rasa malu. Lihatlah sekelilingmu.” Juned menunjuk ke arah warga yang mulai be
Perjalanan ini terasa seperti mimpi. Beberapa jam yang lalu, dia adalah seorang penyusup yang putus asa. Sekarang, dia duduk di samping seorang wanita yang dengan mudah meruntuhkan kerajaan seorang Anton, dan pulang dengan status yang sama sekali berbeda.Nyonya Lim tampak tenang, sesekali melihat dokumen di tabletnya, seolah perjalanan ini adalah urusan bisnis biasa.“Apakah kau siap?” tanya Nyonya Lim tiba-tiba, tanpa mengangkat pandangannya dari tablet.“Untuk apa?” jawab Juned.“Untuk menghadapi masa lalumu. Untuk menjadi orang yang berbeda di mata orang-orang yang mengenalmu sebagai anak desa yang biasa saja,” jelasnya. “Kekuatanmu akan mengubah segalanya. Termasuk caramu memandang desamu, dan cara mereka memandangmu.”Juned tidak langsung menjawab. Dia ingat ejekan, ingat rasa tidak berdaya, ingat bagaimana keluarganya berjuang melawan perusahaan Anton.“Aku selalu siap,” gumamnya akhirnya. “Hanya saja, dulu aku tidak punya kekuatan untuk melawan.”“Sekarang kau memilikinya,” sa
Limusin itu berhenti di depan menara pencakar langit yang megah, tempat kantor pusat Grup Anton Perkasa berdiri. Berbeda dengan penyusupan gelap-gelapan ke rumahnya, kali ini Juned masuk melalui pintu utama, disamping Nyonya Lim yang langkahnya penuh wibawa. Para satpam hanya memberi hormat dalam-dalam, tidak berani menanyakan identitas Juned.Mereka naik lift eksklusif menuju lantai paling atas. Koridor sepi dan mewah, berlapis karpet tebal. Tanpa mengetuk, Nyonya Lim mendorong pintu kayu berukir yang megah, menuju ruang kerja utama Anton.Ruangan itu luas dan mewah, dengan pemandangan kota yang memukau. Namun, ruangan itu kosong. Tidak ada Anton yang terpojok, tidak ada konfrontasi dramatis.Nyonya Lim berjalan langsung ke meja kerja megah Anton dan menghidupkan komputer. Dengan beberapa klik, dia memasukkan sebuah device USB. Layar komputer berpendar, dan berbagai jendela data terbuka dengan cepat.“Kekuasaan sejati,” ujar Nyonya Lim tanpa menoleh pada Juned, “tidak selalu membutuh