Suara deru motor trail menggema di jalanan yang masih sepi pagi itu. Bayu dan Adit melaju dengan jarak sekitar sepuluh meter, Bayu di depan sebagai pemimpin. Club Royal terletak di kawasan bisnis kota, sebuah bangunan berlantai tiga dengan fasad hitam-merah yang mencolok. Di siang hari seperti ini, tempat yang biasanya gemerlap dengan lampu neon itu tampak seperti gedung kosong biasa.Mereka memarkir motor di samping gedung, di area khusus karyawan. Beberapa mobil pick-up dan motor sudah terparkir di sana; kendaraan para pekerja yang mengurus operasional siang hari klub."Ingat Dit, kita di sini bukan tamu," kata Bayu sambil melepas helmnya dan merapikan rambutnya. "Kita wakil Bu Renata. Jadi sikap harus tegas, tapi jangan over. Biarkan aku yang bicara dulu."Adit mengangguk sambil mengikuti langkah Bayu menuju pintu samping gedung. Ada tulisan "Staff Entrance" di atas pintu besi yang cat hijaunya sudah mengelupas.Bayu mengetuk pintu dengan pola tertentu; tiga ketukan cepat, jeda, du
Keesokan harinya, matahari baru saja menampakkan sinarnya di ufuk timur ketika Bayu sudah memarkir motornya di halaman rumah Renata. Pria berusia 35 tahun itu memang terkenal disiplin dan selalu datang lebih awal dari jadwal. Ia berjalan santai menuju ruang depan, menyalakan AC, lalu duduk di sofa sambil mengeluarkan ponselnya.Pelayan rumah, Mbak Sari, segera menyajikan secangkir kopi hitam panas. Sudah menjadi rutinitas pagi yang tak pernah terlewat. Bayu menyesap kopinya perlahan sambil membuka aplikasi berita, sesekali mengecek pesan WhatsApp dari rekan-rekannya yang lain.Di lantai atas, Adit terbangun dengan mata bengkak dan kepala yang terasa berat. Semalaman ia tidak bisa tidur nyenyak, pikirannya terus memutar ulang kejadian malam sebelumnya dengan Renata. Setiap kali ia memejamkan mata, wajah wanita itu muncul; terkadang dengan tatapan sedih, terkadang dengan senyum lembut yang tak pernah ia lihat sebelumnya.Adit melirik jam di ponselnya. Pukul tujuh pagi. Ia mendengar suar
Keheningan menyelimuti kamar. Hanya terdengar suara AC yang berdengung pelan dan detak jantung mereka yang saling bersahutan. Tirai tipis bergoyang lembut, digerakkan angin dari sela jendela yang tak sepenuhnya tertutup rapat. Cahaya lampu tidur membentuk semburat kekuningan di dinding, menciptakan nuansa nyamanRenata mengangkat tangannya perlahan, jari-jarinya menyentuh pipi Adit yang masih menutup mata. Sentuhan itu sangat ringan, seperti embusan udara. Ia menelusuri kontur wajah Adit dengan penuh kehati-hatian, seolah takut lelaki itu akan hilang jika disentuh terlalu keras.“Buka matamu, Dit,” bisiknya lembut, hampir seperti doa yang dihembuskan pada malam yang rapuh.Adit membuka mata, menatap langsung ke mata Renata yang berjarak hanya beberapa senti dari wajahnya. Sorot mata itu tidak hanya memantulkan cahaya kamar, tapi juga kerapuhan; keputusasaan yang nyaris putus harapan, namun juga kerinduan yang begitu dalam, yang seolah tertahan bertahun-tahun dan baru kini menemukan ce
Adit menduga, Renata pasti meminta dipijit seperti biasanya. Namun rupanya tidak. Wanita itu membanting tubuhnya ke kasur yang empuk, lalu terlentang sambil menghela napas panjang. Matanya menatap langit-langit kamar sejenak, sebelum kemudian beralih kepada Adit yang masih berdiri tak jauh dari ranjang dengan postur tubuh kaku."Sini, nyantai dan mengobrol di sini!" ajak Renata sambil menepuk sisi kasur di sebelahnya.Adit berjalan pelan, langkahnya ragu-ragu. Ia duduk di tepi ranjang, tubuhnya masih tegap dan waspada."Ya ampun, kamu kaku amat sih!" sindir Renata sambil terkekeh melihat postur Adit yang seperti tentara sedang berbaris. "Rileks dong, aku tidak akan menggigitmu.""Em..." Adit merasa canggung. Keringat mulai mengumpul di telapak tangannya."Rebahan sini. Dengerin aku cerita tentang masa laluku..." kata Renata dengan nada yang tiba-tiba berubah lembut, hampir seperti bisikan.Adit menghela napas dalam-dalam. Ia tak punya pilihan. Dengan gerakan yang masih kaku, ia berbar
Adit memarkirkan mobil di halaman rumah Renata, membiarkan mesin mati perlahan sebelum menarik napas panjang. Hari ini terasa terlalu panjang. Terlalu banyak hal yang terjadi dan terlalu banyak yang harus disimpan dalam diam.Renata turun lebih dulu, melangkah masuk ke dalam rumah dengan santai, seolah insiden barusan hanyalah percikan kecil di antara kepingan hidupnya. Adit menatap punggung wanita itu sejenak, lalu menyusul masuk. Ia langsung menuju kamarnya sendiri.Begitu pintu tertutup, Adit melemparkan jaketnya ke tempat tidur dan menatap dirinya di cermin. Matanya sudah kembali normal. Tapi rasa panas masih tersisa di telapak tangannya; jejak kekuatan yang tadi ia lepaskan begitu saja. Ia tahu itu tak bijak. Tapi ia tak punya pilihan.Ia berjalan ke kamar mandi, berniat menyiram seluruh tubuhnya dengan air dingin untuk menghapus bau malam itu. Namun sebelum ia sempat membuka keran, ponselnya bergetar keras di atas meja.Nama Larasati terpampang di layar. Ia mengernyit. Sejak ter
"Kita harus pergi dari sini," Adit berbisik, tangannya kini memegang lengan Renata dengan protektif. "Sekarang."Namun terlambat. Enam sosok pria bergerak cepat dari berbagai arah, mengepung mereka. Dalam keremangan taman, Adit bisa melihat potongan rambut mereka yang cepak dan postur tubuh tegap yang hanya dimiliki oleh orang-orang dengan latar belakang militer."Kalian berdua, ikut kami!” kata salah satu dari mereka.Renata tak menunjukkan rasa takut sedikit pun. Ia berdiri tegak, dagunya terangkat angkuh. "Apa maumu?""Harga yang harus dibayar sangat mahal karena kalian berani melukai anggota kami!”“Siapa yang kalian maksud?” tanya Renata.“Yang di tempat karaoke!”“Oh, jadi kalian temannya!” sahut Renata. “Ini tempat umum. Ada CCTV. Memangnya kalian mau apa? Memaksa kami!”Adit memposisikan dirinya di depan Renata. "Sebaiknya kalian pergi sekarang. Kami tidak mencari masalah. Di tempat karaoke itu, teman kalian yang datang mencari masalah!"Gelak tawa kasar memenuhi udara malam.