Betapa cepat Celina sampai di puncak kebahagiaannya. Tentu hal itu bukan karena sesuatu yang masuk ke dalam tubuhnya itu saja, namun juga Adit yang sengaja kembali mengaktifkan tangan ajaibnya, di mana sentuhan di bagian tubuh manapun pada diri Celina akan membuatnya semakin menggila.Kurang dari lima menit ia bergerak di atas tubuh Adit, sungai kenikmatan itu mengalir deras. Energinya terkuras habis-habisan dan ia sudah tak sanggup lagi untuk bergerak."Gila... ini enak banget, Ren..." ucap Celina yang ambruk di tubuh Adit, belum melepaskan penyatuannya. Napasnya terengah-engah, suaranya tercekat karena desahan sisa gairah."Baru sebentar... aku bisa main lama loh sama Adit..." kata Renata, nada suaranya penuh percaya diri."Gantian kamu... aku butuh rebahan... nggak kuat... ouch..." tubuh Celina bergetar sedemikian rupa saat ia melepaskan diri dari Adit. Ia pun rebah begitu saja di samping Adit, memejamkan mata, menghirup udara sebanyak-banyaknya dan tak memedulikan apapun lagi. Jej
Adit semakin bersemangat untuk menyenangkan kedua wanita itu. Kedua tangannya kini tak hanya mengusap dan memijat tipis-tipis di bagian punggung, namun juga sudah turun ke bawah, menelusup melewati celah celana dalam yang sudah basah itu.Celina dan Renata terus menjerit menyuarakan kebahagiaan yang dahsyat itu. Adit merasakan jari-jarinya terjepit kehangatan yang licin itu. Ombak kebahagiaan menerobos keluar, mengucur deras bersamaan dengan geliat tubuh kedua wanita itu yang tak terkendali seperti cacing yang ditetesi air jeruk.Mungkin sudah 10 menitan Adit melancarkan aksinya yang membuat Renata dan Celina menggila. Kini ia menyudahinya. Ia tak mau kedua wanita itu malah ketiduran dan dia tak mendapatkan apa-apa.Adit merebahkan tubuhnya di antara mereka berdua yang masih tengkurap dengan nafas memburu menikmati sisa kebahagiaan yang berangsur menipis itu, mengumpulkan tenaga yang baru saja terkuras.Celina lebih awal bangkit dari posisinya. Ia duduk dengan wajah memerah dan dengan
Celina bangkit dari sofa, berjalan anggun menuju pemutar piringan hitam di sudut ruangan. Ia memilih sebuah cakram vinil, lalu meletakkannya dengan hati-hati. Tak lama, alunan musik jazz lembut mengisi ruangan. Atmosfer yang sudah hangat kini terasa makin intim.Renata kemudian bergeser duduk mendekat ke Adit, menyingkirkan bantal di antara mereka. “Kamu akan main sama kita berdua. Nggak keberatan kan?” bisiknya.Adit menelan ludah. Jantungnya berdebar kencang, namun ada desiran gairah yang tak dapat ia pungkiri. "Terserah Kakak berdua saja," jawabnya, mencoba menjaga suaranya tetap tenang.Namun di satu sisi, sesungguhnya Adit merasa lega. Jika hal itu terjadi, maka ia bisa lepas dari Renata. Dalam artian, selama ini, yang mereka lakukan memang tak melibatkan perasaan.Adit sempat khawatir, dengan sikap Renata terakhir mereka bertemu, ada sesuatu yang mengisyaratkan bahwa hubungan mereka lebih dari sekadar nafsu.Tapi kini, Renata malah menawarkan sebuah permainan mendebarkan. Demi a
Sepanjang perjalanan, Adit hanya bisa memejamkan mata. Sesekali tubuhnya menegang saat Renata mempermainkan dirinya sedemikian rupa.“Huff… pegel juga. Nggak keluar-keluar. Nanti kita lanjutkan lagi…” kata Renata sambil membetulkan celana Adit, menyimpan kembali boneka tongkat yang menggemaskan itu.Nafas Adit terengah. Ia membuka mata dengan perasaan sangat malu serta kacau. Belum pernah ia mengalami situasi itu. Pikirannya terus berperang; ia tahu bahwa apa yang terjadi itu sungguh tidak benar. Namun nyatanya ia tak menolak dan tak memungkiri bahwa ia mendapatkan kenyamanan dan kenikmatan.Kini mereka sudah sampai di retoran. Adit berjalan canggung mengikuti dua wanita itu. Pikirannya masih kacau karena apa yang terjadi di dalam mobil, dan tidak tuntas pula. Bahkan rasanya masih tegang, berdenyut serta sesak di celana, membuat ia merasa tak nyaman untuk berjalan kaki. Namun malu untuk membetulkan posisinya dengan benar.Adit, Renata, dan Celina melangkah masuk ke dalam Restoran Maho
Adit belum sempat beli motor. Ia tahu, membeli motor tidak secepat membeli makanan. Jadi, ia pun datang ke klinik dengan menggunakan ojol lagi. Panas siang hari kota itu membuat keringat mengucur di dahinya saat ia turun dari motor ojek di depan gedung klinik yang berlantai tiga itu.Saat Adit masuk ke lobby, udara dingin pendingin ruangan langsung menyegarkan kulitnya yang gerah. Lantai marmer putih mengkilap memantulkan cahaya lampu LED yang terang benderang. Ia mencari sosok Tia di balik meja resepsionis yang biasanya didudukinya, namun kursi itu kosong. Adit bertanya kepada salah satu rekan kerja Tia yang sedang mengurus berkas di dekat printer."Tia di mana?""Udah resign Mas Adit…" kata Yeni sambil menghentikan kegiatannya, menoleh dengan ekspresi canggung. Suaranya pelan, hampir berbisik. "Kemarin dia sudah nggak kerja lagi…" imbuhnya sambil menatap Adit dengan tatapan kecewa, seolah-olah ia tahu persis apa yang terjadi antara mereka."Resign? Kenapa?" tanya Adit heran. Alisnya
Sinar matahari pagi menembus celah-celah tirai di kamar. Adit terbangun dengan kepala masih berdenyut dari kelelahan malam sebelumnya. Jam dinding menunjukkan pukul delapan pagi. Tubuhnya masih terasa kaku di kasur yang terasa nyaman itu. Tak semewah kamarnya di rumah Pak Darmawan, namun jauh lebih bagus daripada kamarnya di rumahnya sendiri.Getaran ponsel di meja nakas membuatnya terpaksa membuka mata sepenuhnya. Layar menampilkan nama "Renata" dengan foto wajah cantik yang sudah terlalu familiar. Seketika kantuk lenyap dari matanya. Ada campuran perasaan antara senang dan cemas setiap kali melihat nama itu muncul."Iya kak..." suaranya masih serak."Kamu dijadiin kepala keamanan ya sama suamiku?" Nada suara Renata terdengar santai, tapi Adit menangkap ada sesuatu di baliknya."Iya kak. Pak Darmawan beli tempat hiburan baru. Kok kak Ren tahu?" Adit duduk di tepi kasur, mengusap wajahnya."Tadi pagi aku bertemu dengannya. Dia yang cerita. Kamu berarti sibuk di malam hari kan?"Ada je