Share

Tukar Jiwa: Dendam Nyonya di Tubuh Kepala Pelayan
Tukar Jiwa: Dendam Nyonya di Tubuh Kepala Pelayan
Author: Mikhayla Yolanda

Bab 1 Tak Tulus

Shanaz pikir, rumah tangganya dengan suaminya akan berjalan baik-baik saja. Bahkan terakhir kali dia melihat punggung suaminya ketika pergi, dia merasa jika suaminya akan pulang kembali seperti biasanya. Membawakannya oleh-oleh atau hanya sekadar kecupan hangat di pipi.

Namun … usai satu minggu suaminya pergi dinas ke luar kota. Ia kembali—tapi tidak sendiri. Dia bersama dengan orang lain. Dan membawa berita yang menghantam jantungnya saat itu juga.

“Dia siapa?” tanya Shanaz. Bibirnya melengkungkan senyuman, hanya saja ketika dia melihat perempuan muda yang ada di sebelah suaminya itu. Senyum itu perlahan memudar dan perlahan berubah menjadi senyum penuh dengan kekhawatiran.

“Oh—dia—” Suaminya yang bernama Fernando hendak menjawab tapi ragu. Seakan lidahnya itu kelu.

Akan tetapi, ketika pandangan Shanaz turun mendapati tangan Fernando mengenggam tangan perempuan muda itu dengan erat. Shanaz tahu jika ada yang tidak beres dengan mereka. Jika ada suatu hal yang terjadi di antara mereka berdua.

“Lita, namanya Lita.” Fernando akhirnya menjawab.

“Lita?” Shanaz baru tahu jika Fernando memiliki teman perempuan yang bernama Lita. “Dia siapa kamu?” Tolong katakan jika dia adalah sepupumu atau siapapun itu asal jangan seseorang yang dapat menghancurkan rumah tangga kita.

“Lita adalah istri siriku, aku menikahi Lita satu tahun yang lalu. Dan malam ini, mulai hari ini, aku ingin dia tinggal bersama dengan kita karena dia sedang hamil anakku.”

Tanah yang dipijak Shanaz seakan runtuh. Dia menatap Fernando yang tidak menampakkan wajah bersalahnya padanya.

“Hamil katamu? Menikah siri?”

Fernando mengangguk.

“Lima tahun kita menikah, dan kita belum dikaruniai seorang anak. Kamu pun sudah tidak muda lagi, tiga puluh tahun. Aku ragu kamu bisa hamil lagi, Naz. Jadi—”

Omong kosong. Umur 30 belum terlalu tua. Itu pasti hanya alasan.

“Jadi kamu menikahi dia, perempuan muda ini agar kamu bisa mendapatkan keturunan?”

Fernando mengangguk. Shanaz tak tahan berada di sana lebih lama, jadi dia memilih untuk masuk ke kamarnya dan menangis di sana.

Alih-alih berusaha menenangkan Shanaz, Fernando malah menyuruh pembantu untuk menyiapkan kamar untuk Lita. Suara itu terdengar dari kamarnya, ketika Fernando meminta pembantu untuk menyiapkan apa saja yang dibutuhkan oleh Lita.

Dan Shanaz merasa, jika posisinya sudah tergeser oleh Lita karena dia tidak mampu memiliki anak.

Benarkah itu? Bukan karena Shanaz yang kini sudah tidak muda dan tidak menarik lagi?

Shanaz menatap pantulan dirinya di cermin yang ada di depannya. Dia sudah tidak muda seperti dulu. Dia memiliki keriput di sekitar mata dan flek hitam karena dia suka berkebun di taman.

Bahkan kulitnya yang cantik, kini seakan kendur karena dimakan waktu.

Shanaz baru sadar jika penampilannya sudah tidak secantik dulu. Padahal teman-temannya sudah menyuruhnya untuk melakukan perawatan. Namun dirinya tidak pernah mau karena dia percaya jika Fernando akan mencintainya dengan tulus.

Dan sekarang, Shanaz dapat melihat semuanya. Jika tidak ada lelaki yang tulus mencintainya jika fisiknya sudah tidak seelok dulu. Yang begitu dipuja-puja oleh banyak kaum Adam.

Suara pintu terdengar diketuk, dalam hati Shanaz berharap jika yang muncul adalah Fernando.

Jika Fernando meminta maaf, maka dia akan memaafkannya. Dia akan menerima kehadiran Lita dan anaknya nanti. Toh anak Lita ada darah Fernando yang mengalir.

Akan tetapi … begitu pintu dibuka, bayangan yang lain muncul di depan Shanaz. Bukan Fernando.

“Lorenzo,” panggil Shanaz lirih. Matanya yang mengambang basah diketahui cepat oleh Lorenzo, kakak ipar Shanaz yang saat ini masih melajang.

Usianya dua tahun lebih tua dari Shanaz. Dia berusia 32 tahun. Dan satu tahun lebih tua dari Fernando.

“Fernando—menikah lagi?” tanya Lorenzo.

Shanaz sontak mendongak menatap wajah lelaki itu yang tampak khawatir pada Shanaz.

Shanaz mengangguk. Tapi dari mana Lorenzo tahu?

“Fernando datang ke rumah utama, dan mengatakan kalau dia sudah menikah dengan Lita. Ayah dan ibu setuju dengan pernikahan mereka karena tahu Lita hamil anak Fernando. Makanya aku langsung datang ke sini untuk melihat keadaanmu.”

Kenapa? Kenapa Lorenzo harus khawatir dengan keadaan Shanaz?

Tanpa mengatakan apapun, Shanaz melewati tubuh Lorenzo begitu saja. Dia berlari ke rumah utama di mana Fernando ada di sana.

Lita baru saja keluar dari kamarnya, ia tersenyum pada Shanaz. Bukan tersenyum ramah. Melainkan senyum yang menunjukkan jika dia akan menang sebentar lagi.

Dengan langkah yang tidak stabil. Shanaz berlari menuju rumah mertuanya yang jaraknya tiga menit dari rumahnya. Dan ketika dia masuk, tatapan ayah dan ibu mertuanya seakan berkata, untuk apa kamu ada di sini. Aku sudah tidak memerlukanmu lagi.

“Tunggu dulu.” Shanaz berkata dengan napas yang tidak teratur.

“Aku sudah mengatakan pada ayah dan ibu, dan kami akan melangsungkan pernikahan agar nantinya anakku bisa resmi menjadi anggota di keluarga ini.”

Mata Shanaz melebar sempurna.

“Aku tidak akan menceraikanmu, jadi kamu tenang saja.”

“Tenang saja katamu! Setelah kamu membawa seorang wanita ke dalam rumah kita, kamu mengatakan tenang saja kepadaku!” teriak Shanaz tidak terima dimadu oleh Fernando.

“Memangnya kamu maunya bagaimana? Bercerai?”

Tanpa ada kata maaf, Fernando merasa jika hal yang dia lakukan saat ini adalah benar. Setidaknya Fernando harus meminta maaf pada Shanaz, berbuat baik pada Shanaz. Tidak menusuknya seperti ini. Apakah permintaan Shanaz berlebihan?

“Tidak,” jawab Shanaz yang suaranya nyaris tidak terdengar.

“Lalu bagaimana? Lita—aku akan tetap menikahinya karena dia akan melahirkan anakku.”

Shanaz terdiam, menekuri kedua kakinya. Satu titik menetes. Shanaz menyekanya dengan pangkal tangannya.

“Sebaiknya kalian memang harus bercerai.” Ibu mertua yang selama ini seperti menerima keadaan Shanaz yang tak kunjung memiliki anak tiba-tiba berkata seperti itu. Shanaz merasa dirinya seakan dikhianati olehnya.

“Lagi pula, kamu tidak bisa hamil, Shanaz,” sambungnya.

Apa Shanaz hanya seekor sapi? Jika tidak bisa melahirkan seorang anak maka dengan mudah akan membuangnya begitu saja? Ah, tidak. Bahkan sapi tidak akan dibuang, mereka akan dijual dagingnya. Sementara Shanaz, dia dibuang oleh mertuanya sendiri.

“Aku beri kamu waktu berpikir Shanaz, kalau kamu masih ingin menjadi istriku. Tapi Lita—akan tetap jadi istriku. Tapi kalau kamu ingin bercerai, aku akan menyiapkan semuanya. Kamu tinggal menandatangani saja surat perceraian kita.”

Dan dengan mudahnya, Fernando berkata seperti itu pada Shanaz.

“Baiklah kalau begitu,” ujar Shanaz. Dia membalikkan tubuhnya, meninggalkan pertanyaan pada Fernando dan mertuanya. Baik apa? Baik, dia mau bercerai? Atau masih ingin menjadi istri Fernando?

Sebelum Fernando bertanya pada Shanaz, wanita itu sudah dulu menghilang dari balik pintu.

**

Shanaz pergi, dia tidak pulang ke rumah setelah dari rumah mertuanya. Dia pergi menggunakan mobilnya menuju rumah orangtuanya. Dia ingin mengadu, tak peduli jika nantinya dia disebut anak manja. Dia hanya ingin ke sana.

Menginjak gasnya begitu dalam, Shanaz melihat speedometer dalam mobilnya sudah mencapai batas. Orang-orang yang disalip oleh Shanaz berpikir jika wanita itu ingin bunuh diri.

Ketika mobil melewati sebuah jembatan. Shanaz teringat dengan mitos yang beredar. Jika jembatan itu mengabulkan permintaan orang yang sedang patah hati.

Waktu itu Shanaz mencemoohnya dan tidak memercayai hal itu. Namun saat ini, akal sehatnya sudah tidak berfungsi. Dia meneriakkan permintaannya begitu keras berulang-ulang seolah ingin apa yang dia minta dikabulkan.

“Aku ingin kembali menjadi muda! Aku ingin menjadi wanita yang cantik! Dan membalas dendamku pada Fernando! Apa kamu mendengarku?! Aku ingin balas dendam!” Shanaz berteriak, memukul kemudinya sampai tidak sadar jika ada truk yang melaju dengan kecepatan yang tinggi.

Mata Shanaz terbeliak, dia membanting stir begitu menyadari truk itu menyongsongnya.

Mobil yang Shanaz kendarai menabrak pembatas jembatan. Mobil itu terjun dengan bebas. Shanaz yang menyadari jika dirinya akan mati tersenyum sinis.

“Pada akhirnya, aku hanya menerima kematianku seperti ini sebelum bisa membuat Fernando menderita.”

Shanaz memejamkan matanya. Dia mengira jika semuanya sudah berakhir.

**

Shanaz terbangun dari tidurnya, merasakan dadanya sesak seperti dihimpit sesuatu.

Napasnya terengah-engah dengan keringat dingin yang mengucur di kepala dan punggungnya.

“Hanya mimpi,” desah Shanaz, tak tahu apakah dia harus lega atau khawatir. Yang ia ingat terakhir kali, dia terjatuh dari jembatan bersama dengan mobilnya.

Tapi Shanaz merasakan keanehan di sekitarnya. Ketika melihat ruang kamar itu bukanlah miliknya.

“Tapi aku ada di mana?” gumam Shanaz. “Ini bukan rumah sakit.”

Pintu dibuka dari luar, seorang wanita paruh baya membawakan bubur untuknya.

“Syukurlah kalau kamu sudah bangun, kamu tidur sejak kemarin, ibu pikir kamu mati.”

Ibu? Tapi dia bukan ibuku? Shanaz hanya bisa berkata dalam hati.

“Bu, namaku siapa?” tanya Shanaz ragu.

“Astaga, ternyata sakit bisa membuatmu lupa ingatan ya?! Kamu , Nabila anak ibu satu-satunya!”

Shanaz melompat dari kasurnya, mengejutkan wanita paruh baya itu.

Melihat di cermin, Shanaz menyadari jika wajahnya berubah. Wajah itu bukan wajahnya. Wajah itu adalah wajah milik orang lain.

“Umurku berapa Bu?” tanya Shanaz dengan panik.

Ibunya hanya menghela napasnya. “Dua puluh dua, kenapa?”

Mata Shanaz melebar. Ia yakin jika dirinya Shanaz, tapi kenapa—menjadi Nabila?

Shanaz mengecek ponsel yang tergeletak di atas meja. Dia tidak tahu berapa password ponsel itu, tapi untung saja bisa menggunakan wajahnya.

Ia mencari berita mengenai kecelakaan dirinya. Shanaz terduduk di atas lantai, wajahnya memucat. Ia membaca berita tentang dirinya.

[ BREAKING NEWS: ISTRI SEORANG PENGUSAHA KAYA TERJATUH DI DI SUNGAI  DAN TUBUHNYA BELUM DITEMUKAN ]

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status