Share

Bab 5. Kakak Tidak Tahu Malu

Ternyata menjadi asisten dokter itu tidak selalu menyenangkan, apalagi kalau dokternya adalah suami sendiri.

Bukan karena pekerjaannya yang melelahkan, tapi karena sebagian pasien-pasiennya itu bisa dibilang ... agh, entah. Tampaknya bukan kapasitasku untuk menjustifikasi orang lain, lagi pula pasien aneh seperti Bu Farah syukurnya hanya beberapa. Aku berharap besok tidak ada lagi.

Yakin? Enggak juga sih. Dengan keramahan dan kesupelan seorang Alfa, aku ragu kalau pasien wanita enggak betah.

Harus diakui Mas Alfa ini tipe lelaki yang bisa membuat wanita bisa jatuh cinta hanya dalam pandangan pertama.

"Zel, sudah tidak ada pasien lagi, ya?" tanya Mas Alfa ketika pasien terakhir keluar.

Lelaki itu menghembuskan napas lega lalu melepaskan snellinya. Kasian sekali, pasti dia sangat kelelahan.

Kalau aku jadi dia, aku pasti minta pindah praktek saja. Soalnya, pertanyaan para pasien-nya itu loh, bikin naik darah.

"Iya, Dok, sudah sepertinya. Soalnya filenya udah gak ada," jawabku sambil melihat berkas.

Tak mau mengulur waktu pulang. Aku pun langsung sibuk merapikan ruangan.

"Zela!"

"Iya, Dok?" sahutku tanpa melihatnya.

"Panggil saya, 'Mas'. Saya 'suami'-mu ketika gak ada pasien."

Deg. Aktivitas tanganku langsung berhenti ketika Mas Alfa menekankah kata 'suami', sontak aku menolehkan kepala ke arah lelaki yang kini sedang berdiri menyandarkan badan ke meja sambil melipat tangan di depan dada.

Dia memiringkan bibirnya sambil memandangku lekat dan itu membuat lonjakan dalam dadaku semakin intens.

Oh Tuhan! Jantungku bisa enggak sih biasa aja?

"Heum, iya, maaf, Mas," jawabku gugup. Anehnya, saat ini mataku tak bisa mengalihkan fokus dari tatapan Mas Alfa.

Bola matanya yang berwarna coklat gelap, kurasakan sudah membius semakin dalam.

Canggung. Kami pun diam, saling bertatapan lalu sama-sama berdehem, entah kenapa.

Apakah dia gugup juga sepertiku?

"Kamu capek, ya?" tanyanya mengalihkan bahasan.

"Ehm ... lumayan, tapi aku senang kok," ujarku, melempar senyum.

"Maaf ya ngerepotin, sebenernya gak enak minta bantuan kamu, tapi mau gimana lagi. Jadi ... terima kasih, ya?" ucapnya terdengar tulus.

Aku tak langsung menjawab, karena sibuk menetralkan debar di dada.

"Zela? Makasih, ya?" ulang Mas Alfa tampak bingung karena aku masih diam.

"Oh, iya, gak apa-apa Mas, santai ...."

Deert. Deerrt.

Bersamaan dengan selesainya obrolan 'awkward' kami, ponsel di saku ini tiba-tiba bergetar. Bergegas aku melihat siapa yang menelepon.

"Mamah?" Mataku menyipit melihat nama yang tertera di sana. Tumben Mamah menghubungiku semalam ini, padahal sudah jam 10.00 malam.

"Halo, Assalammu'alaikum. Mah?" sapaku pada Mamah. Berharap dia akan bertanya tentang kabarku, di mana ini adalah hari pertama anaknya bekerja juga menjadi istri.

"W*'alaikumsalam. Zela, Alfa ada?" Suara Mamah terdengar bergetar, seolah sedang diburu sesuatu.

"Ada, Mah. Kenapa?"

Entah kenapa firasatku buruk, mengenai telepon Mamah kali ini.

"Zel, Kakakmu sesak napas. Mamah butuh kalian. Bisa ke sini sekarang?"

Aku tersentak. Mbak Resa sesak napas?

"Zela!" sentak Mamah. Selalu seperti ini, Mamah akan langsung berubah sangar jika berkenaan dengan kesehatan Mbak Resa.

"Iya, Mah, ada. Kami akan ke sana sekarang," jawabku cepat seraya reflek menutup telepon.

"Mas!" panggilku pada lelaki berkemeja slim fit itu.

"Iya, Zel?"

"Mbak Resa sakit."

(***)

Bolehkah aku cemburu pada Kakakku sendiri? Belum sembuh luka di dalam hati, karena dikhianati olehnya kini aku pun harus menyaksikan pemandangan yang memerihkan mata.

Tak dapat kupungkiri, perasaan kepada Yoga belum sepenuhnya hilang. Melihatnya dia duduk di samping Mbak Resa dengan wajah cemas, melunturkan keyakinan kalau Yoga masih menyayangiku.

Lalu, untuk apa dia mendatangiku tadi pagi?

Perih.

Aku mengatupkan kelopak mataku yang sudah basah. Rasa iri di dalam hati pada Mbak Resa, setengah mati aku tekan karena harus kuakui sejak dulu, dia sudah mendapatkan semua perhatian dari orang-orang di sekelilingku. Tapi, aku? Tidak!

Bahkan, Mas Alfa pun kini tampak khusu memperhatikan pasiennya. Aku jadi penasaran, apakah hatinya baik-baik saja?

"Itu karena dia lagi sakit, Zela! Kamu harus sadar! Dia lagi hamil! Wajar Alfa melakukan tugasnya ... sabar!" gumamku bermonolog.

Setelah menenangkan diri sendiri, aku pun menghembuskan napas untuk membuat dadaku lebih nyaman.

Aku tak tahu pasti, entah berapa lama aku hanya bisa mematung di ambang pintu kamar Mbak Resa sambil menatap ke dalam, rasanya kaki ini begitu berat untuk mendekat.

"Zela!" Panggilan Mbak Resa membuat semua orang sontak melihat ke arahku. Termasuk Mas Alfa, dia menatapku sekilas sebelum kembali khusu pada resep yang sedang dia tulis.

"Zela! Ayo, masuk sini!" tegur Mamah.

Aku langsung menggelengkan kepala.

"Ma-maaf, Mah, aku di luar saja. Takut ganggu, tadi aku hanya khawatir sekarang aku ...."

"Sudah! Masuk saja Zel, gak apa-apa, Mbak sekalian ingin ngobrol sama kamu. Mbak kangen," ujar Mbak Resa sedikit memelas, membuatku tak bisa menolak.

"Baiklah."

(***)

"Kamu apa kabar? Katanya kamu sekarang jadi asisten pribadi Mas Alfa, ya?" tanya Mbak Resa dengan wajah yang memucat.

Dia memandangku dengan mata penuh kesedihan, sementara tak ada yang bisa kulakukan selain duduk di pinggir ranjang dengan kepala tertunduk.

Tak ada yang tahu, kalau aku setengah mati menahan diri untuk tak mengumpat pada Mbak Resa yang ternyata tak sakit apa-apa ini. Dia hanya stress, psikosomatisnya kambuh dan dia hanya ingin diperiksa Mas Alfa.

"Benar, ya, Zel?" ulang Mbak Resa sembari memiringkan kepalanya untuk bisa melihat wajahku, tapi aku membuang muka.

"Iya, Mbak. Sekarang aku kerja di poli Mas Alfa," jawabku enggan.

"Baguslah ... Mbak ikut senang, Mas Alfa memang lelaki yang baik. Dia tidak akan melukaimu karena dia lelaki yang penyayang.

Ah, jika waktu bisa diputar pun Mbak gak akan meninggalkannya, karena Mbak masih sayang sama Alfa, tapi tampaknya Alfa sudah benci sama Mbak. Mbak memang salah, tak seharusnya khilaf," ujar Mbak Resa seraya mencuri pandang ke arah suamiku yang sedang mengobrol dengan Yoga di luar kamar sana.

Menyaksikan kelakuan Mbak Resa yang tampak tak merasa bersalah, aku pun menggigit bibir dengan kuat. Rasanya dadaku panas mendengar dia memuji Mas Alfa. Bukan apa-apa, tapi dia tak punya hak untuk itu dan juga dia tak punya hak untuk sekedar menyimpan rasa pada Mas Alfa.

Oh Tuhan! Tolong keluarkan aku dari situasi yang mencekik ini.

"Zel, maafkan Mbak ya, maaf telah mengkhianatimu juga Alfa. Tapi, tolong jaga Alfa, Mbak khawatir dia tidak bahagia sama kamu."

Jleb. Seketika saja seolah ada tusukan pedang yang menembus jantung saat kudengar pertanyaan itu dari Mbak Resa.

Rasanya, baru kali ini aku merasa ucapan Mbak Resa sangat-sangat keterlaluan. Bagaimana mungkin dia bisa meragukan pernikahan orang lain? Sementara pernikahan sendiri di ujung tanduk?

"Maksudnya Mbak, apa?" Sontak aku menolehkan kepala dan memandang Mbak Resa tajam. Aku hanya ingin dia tahu, perkataannya melukaiku.

Mbak Resa menyeka air mata yang menggenang di sudut matanya.

"Mbak gak ada maksud apa-apa. Mbak hanya ingin bilang, seandainya kamu tak menginginkan Alfa jangan biarkan dia tersakiti. Jadi, Mbak mau ngasih kamu tips, bagaimana menjaga Alfa. Dia itu sangat senang dimasaki nasi goreng, dia memang agak pendiam, tapi sebenarnya perhatian terus dia juga tampan jika tersenyum...."

"Astaghfirullah! Mbak cukup! Hentikan!"

Lolos. Ya, bentakanku akhirnya lolos juga.

Kali ini aku merasa Mbak Resa sudah melewati batasnya. Bagaimana dia memuji dan memberi saran seperti itu padaku? Apa dia sadar Yoga-lah yang harus dia perdulikan? Bukannya Mas Alfa.

Aku paham dia lebih lama mengenal Mas Alfa, tapi itu bukan kapasitasnya lagi untuk sok tahu. Karena, dalam kasus ini dia bahkan sudah lebih menyakiti kami atas pengkhianatannya.

Mbak Resa tampaknya marah, setelah aku bentak. Dia pun melayangkan pandangan tajam ke arahku.

"Kok, kamu bentak Mbak? Mbak, hanya ingin kalian bahagia. Mbak gak mau kamu salah dalam melayani Alfa!" sentak Mbak Resa seakan dia yang paling benar. Padahal dialah yang paling menyakiti Mas Alfa.

Tanpa sadar air mataku tiba-tiba saja lolos ke permukaan. Ini yang kutakutkan atas pernikahan ini, Mbak Resa akan tetap merongrong kami sekali pun dia sudah menjadi mantan kekasih suamiku.

Sakit. Bukan karena cemburu, tapi ini harga diri.

"Mbak! Maaf, dengar ya, sekali pun aku menikah dengan Mas Alfa hanya karena terpaksa, bagi aku dia tetap imam yang harus kuhormati. Mbak jangan khawatirkan bagaimana dengan Mas Alfa. Karena itu urusan aku! Ingat, suami Mbak adalah Yoga, sementara Mas Alfa ...." Aku mengambil napas sejenak,"dia suamiku, bagaimana cara aku melayaninya. Itu urusanku!"

Seusai menegaskan apa yang kurasakan, aku pun langsung bergegas pergi dari kamar Mbak Resa dengan membawa luka.

(***)

Menangis. Itulah caraku untuk menetralkan sesak di dada.

Aku selalu bertanya, apakah benar aku anak dari keluarga ini? Kenapa Mamah dan Mbak Resa seperti tak menyukaiku? Kenapa Mbak Resa selalu ingin mendominasi hidupku?

Bisakah, aku memiliki lagi seseorang yang memahamiku seperti Ayah?

Agh, Ayah! Seandainya dia masih ada.

"Belum tidur?" tanya Mas Alfa. Saat dia baru masuk ke dalam kamar.

Sepertinya dia baru beres mandi. Malam ini kami memutuskan menginap di paviliun yang letaknya tidak jauh dari rumah Mamah karena sudah kemalaman untuk kembali ke apartemen.

Aku menggeleng pelan, sambil menyeka air mata yang perlahan turun ke pipi.

"Kamu nangis lagi, ya? Kenapa?" tanyanya sambil duduk di pinggir ranjang menghampiriku yang sejak tadi duduk di atas ranjang dengan wajah sembab.

"Gak apa-apa, mungkin kelilipan debu," elakku.

"Heum ... debu? Masa? Karena ucapan Resa, ya?" Pertanyaan Mas Alfa sukses membuatku mengangkat kepala untuk menatapnya.

"Loh, Mas, tahu?" tanyaku kaget.

Seulas senyum terukir di wajahnya, lalu dia menghadapkan badannya lurus ke arahku.

"Tahu," jawabnya singkat dengan wajah datar.

"Semuanya tahu? Tentang obrolan aku sama Mbak Resa?"

"Iya, saya dengar semuanya, karena saat itu saya masih di depan kamar."

Aku mendengkus kesal melihat ekspresinya. Dia memang begitu dingin, harusnya kalau tahu dia menghiburku. Ini mah biasa saja.

"Kalau tahu, terus gimana? Mas, seneng ya, masih disukai mantan? Sampai aku dikasih tips pula, gimana cara melayani Mas. Ish! Emang sih, aku ini masih bocah, tapi aku ini istri Mas yang sah," cerocosku tanpa rem karena masih merasa kesal.

Lihat saja! Yang dibelanya saja enggak peka.

Mas Alfa hanya tersenyum tipis melihat tingkahku yang mencak-mencak enggak jelas. Tanpa kuduga dia tiba-tiba meletakkan telapak tangannya di puncak kepala dan mengusap rambutku berulang kali.

"Zel! Maaf, saya memang gak tahu harus bersikap gimana menanggapi perhatian Resa sama saya. Tapi, yang pasti sekarang saya tahu, siapa wanita yang akan saya jaga hatinya dan itu bukan Resa," ucap Mas Alfa seraya menatap lekat, membuat pipiku sontak menghangat.

Oh Tuhan! Mendengar ucapannya Mas Alfa barusan, kok, rasanya seperti aku jadi Iron Man, ya?

TBC.

===

Komen (7)
goodnovel comment avatar
Hasminah Abd Gani
tenanggg......sangat alfa
goodnovel comment avatar
mkho32457
karakter perempuan nya lemah, hanya bisa pasrah pada ibu nya dan ibu mertua nya yang mengancam nya. Dia merelakan cinta nya .... aiihhhh .... kenapa pasrah, klo bukan km yang hrs bertanggung jawab dg kesalahan kakak mu??? Terlalu lemahhhhh
goodnovel comment avatar
Intan Fadiyah Rahayu
mas alfa sweet iihhh
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status