Share

Bab 6. Sayang?

Sejak kecil, aku memang terbiasa diremehkan. Aku juga sudah biasa dipandang sebelah mata oleh mereka yang seharusnya menjadi pelindungku, karena Mamah akan lebih memperhatikan Mbak Resa dengan alasan Mbak Resa lebih segalanya dari aku.

Mbak Resa lebih cantik, lebih pintar dan lebih disukai banyak orang.

Maka sudah nggak aneh, jika sekarang Mbak Resa mungkin berpikir aku tak pantas untuk Mas Alfa, terlepas dari dosa Mbak Resa sendiri yang menyakiti lelaki itu.

Sakit tapi enggak berdarah.

Nyesek banget gak, sih? Ketika seharusnya keluarga adalah tempat ternyaman bagiku untuk bersandar, fakta yang ada sungguh menyakitkan.

Namun, untungnya, di antara semua kesakitan yang ada, almarhum Ayah memberikanku bahunya untuk sekedar melepas lelah sehingga meski dunia seolah tak menginginkan, aku bisa tumbuh menjadi wanita yang lebih kuat.

"Eheum!" Aku berdehem untuk menetralkan sesak yang terus menyeruak.

Entah ke berapa kali, tangan ini mengusap air mata yang sedari tadi tak henti mengalir ke pipi sambil mengiris bawang merah.

Pagi ini, kami kembali ke apartemen. Kebetulan Mas Alfa ambil cuti, aku berniat memasakkan Mas Alfa nasi goreng menu kesukaannya, seperti kata Mbak Resa.

Sejujurnya, aku sengaja mengiris bawang agak banyak biar banyak yang menyangka aku menangis karena bawang, bukan karena hatiku yang sakit. Padahal, bisa dibilang aku menangis karena keduanya.

Ya, bawang juga ya ... hidupku juga yang seperti anak pungut di keluarga Raharja.

Di tengah kesibukanku berjibaku dengan kabinet dapur, tiba-tiba pintu kamar utama terbuka.

"Zela!" panggil Mas Alfa. Pasti dia baru selesai menerima konsultasi online via daring.

Heran. Waktu cuti saja ia masih sibuk dengan pekerjaannya.

"Iya, Mas?" tanyaku sambil menoleh ke arah Mas Alfa.

Degh! Aku mengerjapkan mata beberapa kali, memastikan kalau aku sedang tidak berhalusinasi.

Astaghfirullah! Nikmat mana lagi yang aku dustakan? Baru saja mengeluh tentang takdir, aku diberikan hadiah pemandangan seindah ini.

Sekarang aku tahu, apa pesona lelaki ini. Pertama dia memiliki bola mata yang indah dan terang. Kedua, model rambut berponinya yang terkadang terlihat acak-acakan saat sedang bekerja membuatnya sangat menarik dan ketiga ... rahangnya yang lancip juga kokoh membuat para kaum hawa klepek-klepek.

Ini sebenarnya siapa, sih? Yang lagi berdiri di depan pintu kamar.

Mas Alfa, kan? Suamiku? Seriously?

"Zel, kamu liat stetoskop saya, gak?"

Aku diam, masih terpesona.

"Zel!" Mas Alfa mengulang panggilannya lagi dan aku baru sadar kalau telah menatapnya terlalu lama.

"Eh, anu, di mana, ya?" Bergegas aku memalingkan muka, salah tingkah sampai tanpa sadar aku sedang mengiris bawang.

"Aww!" pekikku sakit. Ketika menyadari kalau tanganku-lah yang teriris bukan bawang.

Kok, bisa sih?

"Ya Allah, Zel! Tanganmu berdarah!" Mas Alfa yang berdiri di depan pintu kamar langsung bergegas mendekat.

Dengan secepat kilat, dia menarik tanganku dan mengemut jari yang berdarah tanpa rasa jijik.

Aku yang kaget atas perlakuannya, hanya bisa mematung karena sibuk menormalkan irama jantung yang sudah berlompatan bagaikan disetrum listrik berkekuatan tinggi.

"MM-Mas, aku gak apa-apa kok, ini hanya keiris sedikit," jawabku sambil menarik tangan kemudian menyembunyikannya di belakang punggung.

Dag-dig-dug.

Ya Allah! Tolonglah hambamu ini yang tak bisa mengendalikan hati.

Mas Alfa tak berkomentar apa-apa, lelaki itu bergegas mengambil kotak P3K di atas bufet. Lalu, kembali ke depanku dengan wajah cemas.

"Gak apa-apa, gimana? Sini, Mas, lihat! Kalau kamu masih capek, istirahat saja dulu, gak usah masak begini, kita bisa beli kok. Untuk apa ada rumah makan, kalau semua orang diwajibkan masak?" omel Mas Alfa yang sibuk memberiku obat antiseptik.

Aku tersenyum mendapati Mas Alfa yang begitu perhatian, ternyata lelaki ini bisa bawel juga. Tak bisa kuhindari, sekarang bukan hanya dadaku yang bergetar tapi tubuhku juga karena Mas Alfa menangani tanganku dengan gerakan yang lembut.

Ah, bodohnya aku! Kenapa aku jatuh dalam pesona seorang Alfa sebegitunya?

Kejadian ini mengingatkanku akan cerita Nabi Yusuf as. Di mana saat Sang Nabi lewat di depan para wanita Mesir, mereka pun sangat terpesona hingga tanpa sadar mengiris jarinya.

Untungnya, Mas Alfa suamiku bukan suami orang. Jadi jika pun aku teriris aku tidak

berdosa karena tak menjaga mata.

"Alhamdullilah, sudah. Sekarang, udah gak usah masak dulu, soalnya hari ini kan, ulang tahun Ayah. Kamu gak lupa, kan?"

"Ulang tahun?"

Aku mencoba mencerna info yang baru saja kudengar tapi tak lama mataku pun membulat sempurna.

"Astaghfirullah! Benar! Ya Allah, Mas! Aku lupa, gimana dong? Aku belum beli kado, gimana ya, Mas?" ujarku panik seraya merutuki diri kenapa lupa akan hal sepenting ini.

Padahal semalam Ibu mertuaku sudah mewanti-wanti via chat, tapi karena aku terlalu lelah dan sedih jadi otakku lambat mengingat.

Parah nih, bisa-bisa aku dipecat jadi menantu.

Aduh, jangan dong!

"Mas, gimana dong? Apa kita harus ke supermarket atau mall gitu? Sebelum ketemu Ibu, kata Mas gimana? Ayah suka apa, Mas? Biar aku masakin, gimana?" cerocosku heboh.

"Gimana, ya?"

Alih-alih menenangkanku yang cemas, Mas Alfa malah bertindak sebaliknya. Dia malah bertanya balik sembari menatapku lekat dan lama, membuatku risi sendiri.

"Loh, kok, Mas malah liatin aku? Aku salah, ya?"

"Enggak." Mas Alfa menggelengkan kepalanya sambil mengulum senyum.

"Lalu?"

"Kamu cantik kalau lagi panik," ujarnya lirih sembari membuang muka ke arah lain untuk menyamarkan senyum. Sementara, aku menggigit bibir dengan kuat, mencoba menahan diri untuk tak tersenyum.

Kok, berasa kayak ada manis-manisnya, ya?

(***)

Mbak Resa ada di acara syukuran Pak Bayu. Itu sudah aku perkirakan tapi yang tidak aku kira adalah caranya yang mencari perhatian mertuaku yang terlampau norak.

Bagaimana tidak, saat kami sedang menunggu hidangan makan malam tiba-tiba dia nyeletuk kalau dia sesungguhnya sangat menyukai keluarga Prawira.

Dia tak hentinya memuji betapa sempurnanya ibu dan bapak mertuaku. Tak lupa dia juga membahas tentang penyesalannya yang tak bisa menjadi bagian keluarga ini karena kekhilafannya.

Apakah Bu Imel dan Pak Bayu merespon baik? Jawabannya ... ya. Mereka memang merespon dengan baik, karena setahuku keluarga ini memang sangat menjaga perasaan orang lain apalagi nasi sudah menjadi bubur.

Selain itu, Mbak Resa datang ke sini bukan dengan tangan kosong. Ada banyak bingkisan yang dia hadiahkan untuk merayakan hari kelahiran Pak Bayu, katanya dia dapat rezeki lebih jadi mau berbagi padahal aku tahu dia dapat uang itu dari Mamah yang baru menang arisan siang tadi.

Heum ... Mamah dan Mbak Resa sama saja.

Sejujurnya, semula aku berpikir dia melakukan itu karena ingin memperbaiki hubungan dengan keluarga Mas Alfa karena kesalahannya, tapi semakin ke sini dia semakin mendominasi dengan bersikap berlebihan seolah dialah yang menantu rumah ini bukan aku.

Jujur. Aku yang sedang sibuk membantu menghidangkan makanan pun akhirnya merasa terganggu, sekali pun suamiku sama sekali tak tertarik dengan obrolan Mbak Resa, tapi tetap saja gondok. Apalagi ketika Yoga yang duduk di dekat Mbak Resa malah terlihat tak perduli pada kelakuan istrinya, padahal dia seharusnya bisa mengingatkan.

Agh, Yoga memang selalu begitu. Dia akan bertindak cuek jika dia tidak suka.

"Zela, dari tadi sore ya, di sini? Ikut masak, juga?" tanya Mbak Resa ketika aku baru saja meletakkan sop di meja makan.

Aku mengangguk enggan, sambil duduk di kursi yang ada di sebelah Mas Alfa.

"Iya, Mbak. Tadi bantu Bibi dan Ibu di sini biar gak telat," jawabku senormal mungkin. Walau gunung lava di hati hampir saja meletus.

"Oh, iya, wah bagus dong. Ternyata kamu sudah ada kemajuan sekarang ya, Zel?"

"Kemajuan?" Aku mengernyitkan dahi tak mengerti arah pembicaraan Mbak Resa.

"Iya, kemajuan. Dulu kan, kamu jarang masak. Malas gitu kalau disuruh. Makanya kalau gak Mamah ya aku. Iya, kan?"

Ya Allah!

Rasanya hatiku mencelos disindir begitu sama Mbak Resa di depan mertua. Bukan apa-apa, aku memang jarang masak karena mereka biasa menyuruh aku mencuci baju dan mengerjakan pekerjaan rumah. Semua kan, sudah dibagi sesuai porsinya.

Tadinya aku mau membela diri tapi melihat kode dari Mamah agar aku menahan diri, membuatku hanya bisa tersenyum seraya menundukkan kepala tanpa berkata apa pun.

"Semoga selama kamu di keluarga Prawira, kamu jadi makin rajin, ya?" nasehat Mbak Resa lagi yang langsung aku jawab dengan senyuman miris.

"Insya Allah, Mbak."

Biarlah! Orang hamil harap dimaklum.

Sabar.

Tak ingin berdebat, aku pun kembali melanjutkan makan agar tidak merusak suasana karena ini adalah acara bapak mertuaku. Namun, ternyata tak berselang lama Mbak Resa kembali menyerangku.

"Oh, iya, Zel, gimana setelah jadi istri? Apa kamu masih bangun kesiangan? Kasian kan, Mas Alfa kalau kamu kesiangan karena dia praktek pagi."

Allahu Akbar! Seketika itu juga aktivitas makanku berhenti begitu juga yang lainnya, seolah waktu mendadak membeku dan semua orang berpandangan.

Siapa pun tahu, rasanya tak elok dia membahas hal itu di sini.

Apa sih maksudnya? Itu urusan pribadiku? Apa belum cukup dia mempermalukanku?

Ini tidak bisa dibiarkan lagi. Kali ini, aku harus membela diri agar tidak dianggap menantu yang tak layak.

"Loh, kok, diam? Apa pertanyaan Mbak salah, ya?" tanya Mbak Resa lagi. Dia tersenyum sinis, merasa berhasil menjatuhkanku di hadapan semua orang.

"Mbak, maaf, Mbak memang gak salah tapi it--"

"Itu urusan kami. Selain itu, bagi saya Zela sudah melakukan tugasnya sebagai seorang istri dengan baik. Kami tidak perlu laporan padamu, bukan? Apa yang sudah kami lakukan?" potong Mas Alfa cepat membuat semua orang tercengang. Terlebih Mbak Resa, wanita itu memucat karena si pendiam sudah mengeluarkan taringnya.

"Bu-bukan begitu Fa, saya hanya khawatir kamu ...."

"Stop! Silahkan urus suamimu saja! Jangan urus kami! Karena kami bahagia, tanpa kalian. Iya, kan, Sayang?"

Deg. Sayang?

Sontak aku menolehkan kepala ke arah Mas Alfa dengan pandangan kaget, sementara lelaki dingin itu hanya menyeringai kepadaku.

"Kenapa, Sayang? Apa ada yang salah?" tanyanya semakin menggoda dan itu sukses membuat hatiku kebat-kebit enggak karuan.

Duh ... jantungku! Apa kamu baik-baik saja?

TBC

==

Komen (38)
goodnovel comment avatar
Tina Hutapea
bagus ceritanya
goodnovel comment avatar
Tina Hutapea
bagus ceritanya
goodnovel comment avatar
Rika Rika
sedihnya harus top...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status