Share

Bab 4. Pasien Ajaib

Yoga berkata itu bukan anaknya. Lalu, anak siapa? Anak Mas Alfa? Atau anak tetangga sebelah?

Gila! Dia pikir kehamilan seseorang bisa dibuat mainan kayak begitu, ya?

Mbak Resa itu Kakakku, sekali pun aku tidak tahu apa yang dibuatnya di luar sana, tapi bukankah terlalu picik jika berpikir dia seorang perempuan yang ... ah, sudahlah!

Merasa patah hati saja aku sudah cukup sulit. Sekarang, masih disuruh mikir siapa yang menghamili Kakakku? Melihat prosesnya saja enggak, ini masih disuruh menerka siapa bapaknya?

Yoga, berengsek!

Kuakui, aku memang sedang patah hati karena cinta matiku dikhianati, tapi aku enggak bodoh sehingga bisa-bisanya dengan mudah percaya akan perkataan dia yang meragukan.

Sial! Benar-benar sial! Kenapa sih, aku harus berurusan dengan Yoga?

Aku memutar sendok dengan malas di atas piring. Setelah dari rumah sakit, Mas Alfa tidak langsung membawaku ke rumah Mamah, katanya ini lebih baik untuk kesehatan jantung karena bagaimana pun kami butuh waktu menerima semua. Apalagi kabar mengatakan, di rumah Mamah lagi ada Yoga dan Mbak Resa. Bisa semaput jika aku bertemu mereka.

"Zela, ayo dimakan sayurnya. Kok, malah bengong?" teguran Bu Imel membuat aku sadar kalau sejak tadi, pikiranku sibuk sendiri.

Padahal kami sedang makan siang di rumah keluarga Mas Alfa.

Hanya ada aku, Mas Alfa, Bu Imel dan Pak Bayu di meja makan. Sepertinya, makan siang ini sengaja dibuat untuk kami.

"Oh, iya siap Tan, eh, Bu."

Kebiasaan memanggil Tante membuatku kikuk di depan mertua, maklum kan, dulu dia bukan calon mertuaku.

Merasa gugup. Kulirik lelaki di sebelahku yang tampaknya sama-sama tak minat makan.

Kenapa, dia?

Perasaan sejak tadi, semenjak aku duduk berdampingan dengan Mas Alfa, lelaki itu tetap tak bersuara.

Apa dia mendengar obrolanku dan Yoga?

Waduh! Gawat kalau begitu. Pasti sangat menyakitkan jika tahu wanita yang selama ini disayanginya ternyata sudah selingkuh dan entah dengan berapa orang. Belum jelas.

"Ayo, Sayang ... cobain deh, makanan ibu yang enak ini ... jangan liatin Alfa terus, bisa gugup dia nanti," ulang ibunya Mas Alfa lagi, karena melihatku malah sibuk mengamati anaknya.

Ditegur kedua kalinya, tentu saja aku langsung merasa enggak enak.

"Eh, iya, Bu, hehehe ...," cengirku salah tingkah.

Aku langsung menyendokkan sayur ke piring untuk menghormati masakan Ibu. Lalu, mulai melahap makanan dengan semangat.

Benar kata orang, patah hati memang butuh tenaga, jadi aku harus makan yang banyak biar lupa sama info absurd Yoga.

"Jadi, gimana semalam?"

Uhuk!

Aku dan Mas Alfa langsung kompak terbatuk, sepertinya kami sama-sama tersedak.

Benar-benar pertanyaan yang tak terduga. Kalau bisa diskip saja-lah, pertanyaan begini.

"Lancar, Bu," jawab Mas Alfa mewakili.

Sekilas kulihat raut wajah Mas Alfa berubah bingung, tapi kemudian dia memandangku seperti memberi kode kalau kami harus berpura-pura.

Iya, berpura-pura kalau aku sudah tidak perawan.

"Saya yakin mereka sudah melakukannya dengan baik. Iya, kan, Fa?" Tiba-tiba Pak Bayu menyela. Dia mengedipkan mata pada Mas Alfa yang masih mencoba memasang wajah baik-baik saja.

"Benar begitu? Wah, alhamdullilah. Ibu, gak perlu khawatir lagi sama kamu ... Fa."

"Loh, kenapa khawatir, Bu?"

Tak bisa kucegah mulutku nyelonong sendiri tanpa rem. Penasaran, maksud mertuaku berbicara begitu.

"Iya, kan, Alfa itu orangnya kaku. Dulu saja, kalau gak dipaksa mana mau dia dijodohkan. Iya, kan?" sindir ibunya membuat Mas Alfa hanya melengos tak perduli.

"Sudah ah, jangan dibahas Bu. Alfa tuh lagi bingung dia asistennya mengundurkan diri," ujar Pak Bayu membela anaknya.

"Mengundurkan diri?" Kompak aku dan Bu Imel bersuara, merasa kaget ternyata alasan Mas Alfa diam adalah masalah pekerjaan.

Untunglah, bukan karena omongan Yoga.

"Benar begitu, Fa? Si Inces mengundurkan diri?" tanya Bu Imel kaget.

Aku yang tidak mengerti masalahnya memilih untuk diam. Namun, aku tahu kalau mereka membahas klinik tempat Mas Alfa buka praktek selain di rumah sakit.

Mas Alfa menarik napasnya dalam. Lalu, meminum air putihnya pelan.

"Iya, Bu, sekarang Alfa lagi bingung nyari penggantinya, padahal pasien sudah banyak. Gak mungkin jika Alfa ngerekap riwayat pasien dan manggil sendirian, belum lagi kalau ada tindakan yang perlu dilakukan perawat," jawab Mas Alfa dengan nada bingung.

"Heum ...." Bu Imel bergumam, sambil memandangku.

Aku yang merasa dipandang, langsung mengerjapkan mata.

Kenapa, Bu Imel memandangku? Apa salahku?

"Ibu ada ide, Fa, gimana kalau Zela, aja? Bukannya Zela juga baru lulus kuliah keperawatan?"

Mati aku.

Aku sontak melotot. Hell no!

Jadi asisten Mas Alfa? Ogah! Jika aku jadi asisten, kami akan sering bertemu dan itu enggak bagus bagi hatiku.

Cukup jadi istri pengganti, tidak lebih.

"Lah, iya, ya, kenapa gak Zela aja? Kan, kalau jadi asisten pribadi gini gak masalah, karena klinik ini bukan di rumah sakit. Gimana, Zel? Bagus kan, kamu juga jadi ada kegiatan? Paling enggak bantu selama Alfa belum menemukan pengganti Inces, ini darurat loh ...," ujar Pak Bayu-ayah mertua yang juga seorang dokter seolah mendukungku untuk menjadi asisten Mas Alfa.

Aku terdiam sejenak. Melihat ketiga orang yang sedang melihatku dengan tatapan berharap, membuatku merasa tak enak.

Apalagi, saat Mas Alfa menatapku dengan tatapan yang membuat jantung ini berdetak kencang, beuh! Aku makin enggak enak.

"Gimana, Zel? Kamu mau bantu saya?" tanya pria itu dengan nada butuh pertolongan.

"Ehm ... gimana, ya? Ehm ...."

Aku memutar bola mata dengan ragu. Sebenarnya, aku pun butuh pekerjaan, karena setelah insiden Yoga. Aku bahkan tidak ada energi untuk mencari pekerjaan atau melamar ke rumah sakit.

"Mudah kok, sebenarnya gak perlu repot. Karena di tempat praktek sendiri, kamu hanya perlu menulis dan memanggil pasien. Kalau pun ada tindakan, sepertinya masih standar kayak anamnesa, cek kondisi vital dan ...."

"Oke. Baiklah. Insya allah Zela mau," jawabku memotong ucapan Mas Alfa.

"Alhamdullilah ...," seru Bu Imel dan Pak Bayu berbarengan.

Sementara, Mas Alfa hanya tersenyum simpul seraya mengucapkan terima kasih tanpa tahu aku pun masih ragu.

Bisakah aku bersikap profesional jika di dekatnya?

(***)

Enggak di rumah sakit, enggak di klinik yayasan, pasien suamiku tetap saja banyak. Aku bahkan merasa kelelahan sekarang, melihat begitu banyaknya orang yang terus datang dan pergi.

Hari pertama saja udah ngos-ngosan. Apalagi dikerjakan setiap hari?

Sebenarnya di klinik Afiyat ini, bukan hanya menyediakan satu layanan karena ini merupakan klinik yang didirikan oleh beberapa dokter untuk membuka praktek secara bersama-sama. Anehnya, meski di sini ada layanan pemeriksaan umum, gigi dan yang lainnya.

Kalau aku boleh menganalisis. Seharian ini hanya penyakit dalam dan obgyn saja yang pasien wanitanya banyak. Jika obgyn banyak pasien wanita, aku enggak aneh tapi kalau penyakit dalam banyak wanita itu baru meragukan. Apalagi kalau dilihat sekilas kebanyakan pasien, cuman sakit biasa. Seperti sariawan misalnya, padahal itu bisa ke dokter umum.

Apa sebesar itu aura seorang Alfa?

Sampai-sampai asisten pribadinya saja mengundurkan diri karena alasan Mas Alfa sudah menikah dan pasien yang datang terkadang ajaib. Seperti ibu jambul yang sedang diperiksa Mas Alfa sekarang.

Dari tadi, kalau ditanya keluhan dia selalu menjawab tidak to the point, bikin yang melihatnya esmosi untung sebagai dokter Mas Alfa memang sangat ramah.

Eh, ramah atau tebar pesona? Entah.

"Baik Bu, jadi apa ada keluhan lagi? Tadi, soal penyakit hipertensi saran saya ibu kurangin saja makanan yang mengandung penyedap rasa tinggi, berkalori tinggi dan hindari kopi," jelas Mas Alfa kembali ke protap yang harus ia jalankan.

Soalnya si ibu repot banget, dalam catatan perawat sebelumnya juga bilang kalau Bu Farah atau ibu jambul itu hampir setiap minggu ke sini, alasan sakitnya macam-macam padahal cuman ingin melihat dokter idamannya.

Kalau aku jadi Mas Alfa, udah aku blokir kali pasien kayak begini, tapi dasar Mas Alfa terlewat ramah dan profesional, serese apa pun pasiennya lelaki tampan itu masih sabar saja menghadapi.

"Masih ada Dok, saya kayaknya juga insomnia, Dok."

"Loh, kenapa, Bu? Kalau Bu Farah ingin terhindar dari darah tinggi, harus tidur Bu. Terus perbanyak olahraga dan makan makanan yang sehat."

"Ih, Dokter, gimana saya mau tidur, orang saya kebayang wajah Dokter terus. Eh, maksudnya stres."

Bruk!

Tanpa sengaja aku menjatuhkan file yang kupegang ke lantai, setelah mendengar ucapan si Ibu.

Oh Tuhan ... ujian apa lagi ini? Ada ya, seorang pasien menggoda dokter di depan istrinya seperti ini? Eh, tapi emang dia tahu aku istrinya?

Ah, sadar Zela!

"Kenapa, Zel? Kamu gak apa-apa?" tanya Mas Alfa seraya melihatku.

Aku yang masih kaget, langsung saja mengambil file dengan gugup.

"Enggak apa-apa, Dok. Ini gak sengaja jatuh," jawabku sambil berdiri lagi.

Mas Alfa kembali mengalihkan perhatiannya ke si Ibu centil.

"Stres? Jadi, ibu insomnia karena stres demikian, ya?"

"Iya, Dok, saya stres. Saya denger Dokter baru nikah, ya?" Bu Farah berbisik agak genit, tapi matanya yang terlihat kecewa tidak bisa ia sembunyikan.

Mas Alfa dan aku sontak berpandangan. Ternyata inilah pehyebab si ibu merasa pusing dan hipertensinya kambuh.

Enggak heran sih, menurut Mang Oding-OB, fans Mas Alfa itu memang beragam dan berbagai umur biasanya mereka ada yang janda dan single. Jadi, enggak aneh kalau wanita janda berumur 37 tahun di depanku ini tampak sangat penasaran atas kehidupan pribadi dokter idamannya.

"Nikah? Ehm, kenapa Ibu bertanya demikian?" tanya Mas Alfa seraya menahan senyumnya. Mungkin dia merasa, ini pertanyaan konyol.

"Ya, saya penasaran. Tolong Dok, biar saya tenang! Saya bela-belain loh, Dok ke sini, biar tahu jawabannya. Ayo, jawab Dok, biar saya gak insomnia lagi," bujuk si Ibu lagi dengan suara yang dibuat sedih.

Mas Alfa tidak langsung menjawab, dia melirik aku yang juga memasang wajah bingung.

"Tapi Bu, maaf, kalau masalah itu tidak ada hubungan dengan per--"

"Iya, Dok, saya tahu. Tapi, saya ingin kejelasan. Biar saya tenang. Oh iya, ini ada Suster. Sus, Suster kan baru di sini ya, kata Suster sebelumnya Dokter Alfa sudah menikah, ya? Bener gak itu, Sus?" potong si Ibu mulai memprovokasiku yang sejak tadi memang memilih diam.

Namun, belum sempat aku menjawab, Mas Alfa sudah lebih dulu menyela.

"Benar Bu, saya sudah menikah dan wanita yang Ibu panggil Suster itu adalah istri saya. Azela namanya," kata Mas Alfa seraya mendekatiku yang kaget karena diakui di depan pasien.

Mendengar kenyataan pahit, si Ibu pun terlihat syok.

"Apaaa? Dia? Enggak salah?"

Tunjuk si Ibu langsung ke arah hidung, sementara aku hanya bisa membelalakkan mata kaget dipelototi si Ibu.

'Kenapa emangnya? Kalau berani sini maju! Kalau Ibu maju aku yang mundur.' Batinku sebal.

TBC

***

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Helmy Abdullah
la nyuruh orang maju sendiri nya mau mundur jadi apa mau goyang rege hahaha
goodnovel comment avatar
Intan Fadiyah Rahayu
lucuuu iih kamu zel
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status