LOGIN~ KETANGKAP BASAH ~
Jika ada yang mengatakan uang bukanlah segalanya, maka semua itu salah. Justru uanglah yang menyelesaikan masalah Leya saat ini. Dia membayar seorang pelayan untuk melakukan apa yang di perintahkan secara diam-diam. Leya juga menelpon Asna, meminta bantuan wanita itu untuk membawa suami Arsya datang bagaimanapun caranya. Cukup lama Asna tiba membuat hati Leya was-was. Dia takut pasangan bejad itu sudah lebih dulu pergi. Hampir lima jam Leya menunggu seperti orang bodoh menatap dari balik jendela tanpa bergeming. Dia menyewa kamar yang berada tepat sebelah kiri kamar yang ditempati Bram dan Arsya. Tampaknya keduanya masih asik menikmati surga dunia hingga matahari menghilang di balik langit pun tak kunjung mereka keluar. "Sampai kapan aku menunggu seperti ini?" Pintu terketuk mengagetkan Leya, membuatnya terjaga dari lamunan sedihnya. Leya bergegas membuka pintu dan langsung dia lihat Asna dan juga lelaki tinggi berahang tegas. Asna langsung masuk ke dalam yang diikuti Nirwan. Mata lelaki tinggi itu mengitari setiap sudut kamar kecil dengan ukuran empat kali sepuluh itu. Sebuah kamar yang di lengkapi ruang tamu sebelum masuk ke kamar khusus untuk tempat tidur. "Apa mereka masih di sana?" tanya Asna penuh semangat sembari melirik ke sebelah melalui jendela yang kemudian diikuti oleh lelaki sebelahnya. Leya hanya mengangguk pelan. Kesedihan meliputi hatinya yang lebam. Sekuat tenaga di tahannya agar tak kembali ke luar di wajahnya yang sembab. Pandangan matanya dan Nirwan bertemu untuk sesaat sebelum akhirnya Leya mengalihkan pandangan. "Lalu menunggu apalagi? Kenapa tidak langsung saja grebek jika apa yang kalian katakan itu benar?" ucap Nirwan dingin. Raut wajah lelaki itu sulit di tebak. Leya tak begitu mengenal suami dari sahabatnya itu, mereka juga jarang bertemu dan jika bertemu pun lelaki itu lebih banyak diam daripada berbicara. "Ayo!" Leya langsung melangkah keluar. Dia juga tak ingin berlama-lama, semakin cepat tertangkap basah semakin baik. Tuhan sedang berpihak kepadanya agar dirinya bisa membuka kedok busuk suaminya itu. Pelayan yang diam-diam menjadi suruhan Leya pun datang setelah mendapatkan panggilan telpon darinya. Dengan kunci yang pelayan itu serahkan, mereka semua bisa masuk dengan mudah ke kamar tersebut. Pintu terbuka dan langsung menguar bau pengharum ruangan bercampur dengan air pendingin ruangan. Suara D3s4h4n terdengar dengan jelas. Kamar ini di lengkapi peredam suara untuk menetralisir suara agar apa yang terjadi di dalam tak terdengar hingga keluar. Namun saat sudah berada di dalam suara-suara aneh itupun terdengar jelas. Jantung Nirwan berpacu dengan cepat saat gendang telinganya mendengar suara istrinya yang begitu dia hapal di luar kepalanya. Kedua tangannya pun terkepal dengan erat. Nirwan dan Leya bergegas masuk disertai Asna dengan handycam di tangan sebagai barang bukti penting nantinya. Jangan di tanya bagaimana raut wajah Nirwan saat itu, begitu tegang seperti panglima perang yang hendak menebas kepala lawan. Kini mereka berada di ambang pintu kamar. Telinga ketiganya semakin terasa panas saat d3s4h4n kedua insan yang sedang berc1nt4 itu semakin memanas. Entah sudah berapa ronde yang telah mereka lakukan. Hati Leya semakin sesak saat bayangan pada malam itu kembali muncul di kepalanya. Tangan Nirwan meraih handle pintu dan membantingnya kuat hingga sepasang insan yang sedang meluapkan n4f5u dan belum mencapai klimaks itu pun tersentak kaget dan serempak menoleh ke arah pintu. Mereka berdua terkejut bukan main. Sontak Abram turun dari atas tubuh Arsya dan beralih duduk di samping selingkuhannya itu dengan menggunakan selimut untuk menutupi tubuh mereka yang saat ini tak mengenakan sehelai benang pun. "Mas Nirwan?" Mata Arsya terbelalak. Lelaki hitam manis itu mendekat dengan napas yang memburu. Di tariknya rambut Arsya kuat hingga wanita itu terjatuh dari atas ranjang. Abram kebingungan mencari bajunya di lantai dan ingin memakainya cepat. Leya pun membantu untuk menemukan pakaiannya, karena Leya yang dapat lebih dulu tentu saja pakaian itu Leya lempar ke luar jendela dengan rasa puas. "Dasar istri l4kn4t! Apa yang kurang dariku, semua yang kamu inginkan selalu aku turuti tapi apa balasanmu padaku? Kau merendahkan harga diriku!" sungut Nirwan murka tanpa dapat dikendalikan. Arsya kelabakan saat suaminya itu menyeret dirinya kearah keluar dalam keadaan bu91l. "Mas, lepaskan aku Mas. Ampun! Aku minta maaf, aku khilaf," ringis Arsya menahan rasa sakit dan juga malu. "Ampun! Setelah semua yang terjadi kamu baru meminta ampun padaku. Nirwan tak memperdulikan rintih kesakitan wanita yang dulu pernah dicintainya itu. Dia sudah gelap mata, hanya ada kekecewaan yang luar biasa dia rasakan di hatinya. Nirwan terus menarik rambut Arsya walau wanita itu terus meronta-ronta memohon pengampunan atas kekhilafannya kali begini. Karena teriakan ampun Arsya yang terlalu kuat hingga mendatangkan banyak orang ke tempat itu. Kemudian Nirwan melemparkan tubuh istrinya dengan kasar ke depan pintu hingga Arsya jatuh terduduk dengan rambut yang aut-autan. Mulai banyak orang yang berdatangan ketika mendengar keributan yang terjadi. Mata mereka melebar tak percaya dengan apa yang Nirwan lakukan. Arsya yang malu langsung menutupi bagian kew4n1t44nnya serta dada dengan kedua tangannya. Tubuh putih mulusnya terekspos sempurna. Arsya menangis histeris dan berharap dirinya menghilang dari tempat tersebut saat itu juga. "Ada apa ini?" "Gak tahu, sepertinya pasangan selingkuh. Ketahuan sama suaminya." "Yang benar?" "Memalukan. Apa kata kedua orang tuanya nanti. Pasti gak ada muka untuk menatap wajah orang banyak karena malu." "Sayang kalau dilewatkan. Pasti viral ini." Bisik-bisik para penonton membicarakan tontonan gratis yang tengah mereka saksikan saat itu juga. Bahkan ada beberapa orang mengeluarkan ponsel dan mengabadikan kejadian itu dengan benda pintar mereka. Arsya semakin panik. Di berdiri dan kembali berlari ke dalam dengan hati yang bergemuruh. Perasaan malu dan hina yang Arsya rasakan saat ini. Dia tak pernah menyangka jika apa yang dilakukannya akan ketahuan dengan cara yang seperti ini. "Diam! Diam kalian semua!" teriak Arsya histeris meringkuk seperti bayi dalam kandungan di lantai sembari menutup kedua telinganya rapat-rapat.“Katakan dengan jelas siapa kamu?” tanya Nadira tegas. Mata cokelatnya menatap lurus pada wanita di hapannya. Mereka duduk bersama di sebuah kafe kecil yang berada di lantai bawah pusat perbelanjaan, di mana aroma kopi panggang menebar hangat di udara. Suasana kafe ramai, tapi bagi Nadira, dunia seperti menyempit hanya pada satu titik: sosok perempuan bernama Arsya. Kepalanya masih berdenyut sejak pagi, tapi wangi kopi membantu sedikit menenangkan pikirannya. Ia tak tahu mengapa dirinya mau menuruti ajakan wanita itu untuk bertemu — mungkin karena rasa penasaran atau mungkin karena bisikan samar dari masa lalu yang belum sempat ia pahami. “Kau benar-benar tak ingat diriku?” tanya Arsya perlahan. Suaranya serak tapi lembut, seperti seseorang yang berusaha menyembunyikan sesuatu di balik kesedihan pura-pura. Nadira menghela napas. “Aku tak ingat karena kita memang tidak pernah bertemu sebelumnya,” ucapnya tenang. “Dan aku t
Mobil hitam itu berhenti beberapa meter dari gerbang rumah Nadira. Mesin dimatikan dan kaca pintu di turunkan sepertiga. Wajah Nirwan tampak tegang. Kedua tangannya menggenggam erat setir, matanya tak lepas dari halaman rumah di seberang sana. Tak ada yang terlihat selain balkon dari lantai dua dan juga gerbang yang sedikit terbuka.Pintu gerbang yang terbuka sedikit kini perlahan terbuka seluruhnya oleh seorang satpam. Di susul munculnya mobil hitam dengan jenis dan seri yang berbeda dari miliknya. Alis Nirwan berkerut tajam. Matanya menatap tajam ke arah mobil yang kini perlahan keluar dari halaman rumah Nadira. Mobil itu berhenti sebentar di depan gerbang, memberi kesempatan bagi satpam untuk menutup pintu pagar kembali. Kaca yang terbuka lebar membuat Nirwan bisa melihat dengan jelas sosok lelaki di balik kemudi itu."Siapa pria itu?"Dari jarak itu, Nirwan bisa melihat jelas lelaki itu tersenyum. Senyum tenang yang entah kenapa membuat darahnya berdesir cepat
“Van.” Suara Nadira nyaris berbisik. “Ini … apa?” Mereka berdua seperti tengah memainkan drama romantis yang selalu muncul dalam sebuah sinetron romansa. Di mana sang wanita pura-pura terkejut dengan hadiah kejutan dari sang pria. Lalu bertanya seakan tak tahu benda apa yang tengah di pegang seperti anak kecil yang tak tahu apa-apa. Devan tersenyum tipis, tapi matanya jelas menampakkan gugup yang tak biasa. Dia berusaha sekuat tenaga untuk mengontrol laju jantung yang berdetak begitu kencang. Ia menghela napas pelan sebelum berkata. “Aku tadinya mau ngasih ini malam nanti, tapi rasanya ... gak ada waktu yang benar-benar tepat selain sekarang.” Devan mengambil cincin itu perlahan, memegangnya di antara ujung jari, siap memasangkan benda bulat kecil itu ke dalam jari manis wanita yang telah lama ia ingin miliki. “Nadira, aku tahu mungkin saat ini bukan momen paling tenang buatmu. Tapi aku juga tahu ... aku gak mau menunda-nunda lagi
Pagi itu udara terasa dingin, meski sinar matahari sudah mulai menembus tirai jendela ruang makan. Nadira duduk diam di kursinya, menatap piring-piring penuh hidangan yang kini terasa hambar di depan mata. Nasi hangat, telur dadar, sup ayam, perkedel kentang dan sambal—semuanya tersaji sempurna, tapi tak ada rasa lapar yang tersisa. Kepalanya masih penuh dengan bayangan semalam. Percakapan setengah jadi, emosi yang tertahan dan tanda tanya yang terus mengusik hatinya. Ia berharap setelah kembali ke rumah, semua misteri itu akan terjawab tuntas. Namun kenyataan malah berbalik. Sartika, ibunya, justru tak ada di rumah. “Bu Sartika mendadak berangkat ke Singapura, Nona,” kata pelayan malam itu. “Katanya ada urusan penting yang tidak bisa ditunda.” Nadira hanya bisa mengangguk kala itu, meski hatinya menolak percaya. Urusan apa yang begitu mendesak sampai ibunya pergi tanpa sepatah kata? Dan kini, pagi yang seharusnya tenan
Silvia memeluk lututnya di sudut sofa. Tubuhnya bergetar dan jantungan terasa melompat setiap kali ketukan keras di pintu itu terdengar. Jessy kembali datang ke rumahnya, sepertinya wanita itu tak berhenti mencari suaminya. Langkah-langkah Jessy di teras terdengar jelas, berat dan penuh tekad. Silvia menahan napas, berharap suara itu menjauh. Tapi tidak—ketukan itu kembali, lebih keras, lebih mendesak. Matanya mengintip dari satu jendela ke jendela yang lain, mencari celah diantara tirai itu agar bisa menembus ruangan gelap tersebut. Tak ada sedikit pun pencahayaan, semuanya gelap seperti langit yang mulai menghitam. “Silvia, aku tahu kau di dalam!” suara Jessy menembus dinding, tajam dan penuh luka. “Aku yakin suamiku terakhir bersamamu. Aku tak akan pergi sampai kau buka pintu! Atau aku laporkan saja dirimu ke polisi." Tubuh Silvia tambah bergetar hebat, bulir-bulir keringat semakin deras mengucur setelah mendengar kata "polisi" yang bergema
Nadira menatap layar ponsel sebentar. Nama yang muncul membuat alisnya sedikit terangkat kemudian mengulas senyuman tipis. Aura wajahnya bersinar terang seakan mendapatkan sesuatu yang telah lama ia tunggu-tunggu. Matanya kembali menatap Nirwan. Raut wajah lelaki itu justru berubah terbalik seratus delapan puluh derajat darinya. Datar dan susah untuk ditebak."Boleh saya permisi untuk mengangkat telpon ini sebentar?" pamit Nadira pelan sebelum ia beranjak menyingkir keluar cafe. Sebuah ruangan panjang yang ada di samping, memiliki sebuah kolam ikan kecil dengan pancuran air di atasnya. Di sanalah Nadira kini berada, mengangkat panggilan seseorang yang membuat hatinya berbunga-bunga hanya dengan melihat namanya saja. "Halo, Van. Ada apa?" sapanya hangat. Tangan Nadira perlahan menyentuh sekuntum bunga mawar merah dalam vas yang dirangkai dengan bunga lili putih dan baby bright. Tak hanya terlihat indah tetapi juga menyegarkan mata. Nirwan yang duduk di se







