Share

Bab. 6

Author: Bunga Peony
last update Last Updated: 2024-11-01 17:02:33

Plak!

Leya mengayunkan tangannya dengan keras ke arah pipi Abram. Hatinya sakit tak terkira, dua kali dia harus menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana suaminya bermain gila bersama sahabatnya itu. Dadanya bergemuruh.

"Aku bisa jelaskan tentang ini semua, Sayang!"

"Jangan panggil aku dengan sebutan itu! Aku muak mendengarnya!" sergah Leya cepat. Dia mundur satu langkah saat Abram mendekatinya.

"Aku tahu kamu marah padaku, Dek. Tapi tolong dengarkan dulu penjelasanku! Semua ini tak seperti yang kamu pikirkan, Leya. Aku dijebak," balas Abram.

Leya tersenyum kecut. Bisa-bisa lelaki itu berdalih dengan kalimat yang tak masuk akal.

"Di jebak? Jelas-jelas kamu menikmatinya. Bagaimana Mas rasanya selingkuh dariku, enak? Apa membuat barangmu yang kecil loyo itu jadi lbih hidup?" sarkas Leya seraya melirik jijik pada apa yang ada di balik celana Abram.

Abram mengepalkan kedua tangannya tak terima dengan apa yang dikatakan istrinya. Begitu tajam menginjak-injak harga dirinya sebagai seorang lelaki. Tapi bibirnya terkatup rapat tak membantah. Posisinya yang berada diujung tanduk membuatnya harus menundukkan kepala saat ini.

"Apa yang aku katakan itu benar, Dek. Aku tak pernah berniat mengkhianatimu, tapi wanita itu terus saja menggodaku. Dia memaksaku hingga terjadilah apa yang terjadi saat ini! Aku berani bersumpah!" Abram mengangkat dua jarinya ke atas membentuk huru V.

Leya tertawa getir mendengar ucapannya. Bahkan untuk menyelamatkan dirinya sendiri, Abram sanggup melemparkan kesalahannya pada Arsya seorang. Berlagak seperti korban yang baru saja dip3rk0s4 dengan kejam.

"Kamu pikir aku akan percaya dengan apa yang kamu katakan? Apa kamu kira aku ini wanita bodoh yang bisa kamu tipu hingga akhir! Dasar b4jing4n sialan!" hardik Leya murka. Matanya mulai terasa panas.

Leya kembali memukul Abram. Tapi kali ini lebih membabi buta. Dia luapkan segala amarah dan kebencian yang telah tertanam sejak dirinya mendapati perselingkuhan lelaki itu di malan aniversery pernikahan mereka. Hatinya hancur lebur tak tersisa.

Dari luar terdengar beberapa kali jeritan kesakitan Arsya menjadi musik pengiring perdebatan mereka berdua.

"Stop Dek! Stop! Mas tahu kalau Mas sudah membuat hatimu terluka. Tolong ampuni Mas kali ini saja, Mas sedang khilaf!" rintih Abram sambil menggulung, menahan rasa sakit atas pukulan Leya yang murka.

Di balik kesakitan Abram mencoba mengambil simpati istrinya kembali dengan kata-kata manis yang dia lontarkan.

"Tolong beri Mas kesempatan kedua dan Mas janji akan membuatmu bahagia. Mas mencintaimu, Dek. Hanya kamu saja!"

Laya menarik dirinya. Merapikan rambutnya yang sedikit berantakan sembari mengontrol napasnya yang ngos-ngosan. Andai membunuh tak membuat dirinya harus menghabiskan hidup di balik jeruji besi. Tentu dia sudah memukul kepala Abram dengan benda keras dan tumpul hingga menghembuskan napas terakhirnya.

"Mana ada kebahagian dari seorang pembohong sepertimu. Bahkan kamu tega mengkhiantiku di malam aniversery pernikahan kita, Mas. Di kamar dan di atas ranjang kita!" Air mata kembali mengalir di pipinya. Hatinya termas kuat.

Mau sekuat apa pun Leya berusaha untuk menahan air matanya, tetap saja rasa sakit itu mengalahkan segalanya.

Abram tersentak. Dia menatap Leya dalam.

"Jadi itu sebabnya pulang kamu langsung mengganti ranjang kita dengan yang baru."

"Tentu saja, apa kamu pikir aku tidak jijik harus tidur dia atas tempat yang kalian pakai untuk berzina."

Abram mengusap kasar wajahnya.

"Iya, aku ngaku salah. Tapi tak bisakah kamu memberikanku kesempatan kedua. Aku mohon kali ini saja dan aku janji akan berubah!"

"Apa kurangnya aku, Mas. Aku sudah berikan semuanya untukmu. Aku juga berusaha untuk menjadi istri yang baik dengan membagi waktu antara rumah dan pekerjaanku. Aku juga gak pernah nuntut nafkah yang berlebihan darimu bahkan aku yang mensupport usahamu dengan materi yang aku miliki. Lalu kurang apalagi aku hingga kamu menduakan aku dengan sahabatku sendiri!" sungut Leya. Dia masih belum puas sebelum menyampaikan segala uneg-unegnya.

Abram kembali mengusap wajahnya kasar. Dia memilih duduk di pinggir ranjang tanpa berani menatap Leya.

"Justru karena kamu terlalu sempurna makanya aku selingkuh. Aku merasa menjadi suami yang tak dibutuhkan olehmu. Semuanya bisa kamu lakukan sendiri bahkan kamu juga yang memodalkan usahaku kan. Iya, aku akui kamu hebat. Tapi kamu lupa Leya, aku ini laki-laki. Aku butuh wanita yang mau bermanja-manja denganku. Selalu berkata manis mrnggoda dan juga bisa memuaskan segala fantasiku di ranjang."

"Dan selamat, sekarang kamu sudah menemukan orangnya. Orang yang kamu inginkan itu, Mas." Leya menghapus air mstanya kasar. Dia tak msu mengemis ataupun meraung pada suami yang telah memstahkan hatinya.

"Sebagai orang yang taak diinginkan lagi aku cukup sadar diri. Aku akan pergi memberikan peluang bagi wanita pilihanmu itu untuk menggantikan posisiku."

"Apa maksud ucapanmu itu, Dek. Kamu mau kita berpisah?" tanya Abram seakan tak percaya. Dulu Leya terlihat begitu mencintainya. Itu sebabnya Leya selalu menuruti keinginannya dan memberikan semua uang yang dimilikinya untuk modal. Namun nyatanya habis begitu saja untuk foya-foya.

"Apa ucapanku kurang jelas, Mas? Baiklah akan aku perjelas lagi. Talak aku sekarang juga karena aku sudah tak sudi menjadi istrimu!" ucap Leya begitu mantap.

Abram kembali terdiam sejenak. Dia menelan salivanya dengan susah payah.

Menceraikan Leya sama saja memulai hidupnya dari awal seperti pohon yang patah penyangganya.

"Tidak! Aku tidak mau kita bercerai. Aku mohon maafkan aku Dek. Maafkan aku!"

Abram langsung bersimpuh di bawah kaki Leya. Dia memeluk betis istrinya erat, seperti anak kecil yang tengah merajuk pada ibunya.

Abram kesampingkan harga dirinya untuk saat ini. Toh ... hargaa dirinya memang sudah hancur sejak dirinya tertangkap basah.

"Lepaskan aku, Mas! Aku sudah bilang kalau aku tak sudi di sentuh manusia kotor sepertimu. Lepaskan aku!" Leya menendang-nendangkan kakinya agar bisa terlepas dari dekapan Abram yang kuat. Tetapi lelaki itu seakan tuli.

"Tidak, aku tak akan melepaskan kamu sebelum kamu mau memafkanku, Dek!" jawab Abram ssmakin membuat Leya geram.

"Lepaskan aku sekarang juga selagi aku masih bicara baik-baik dengan, Mas. Lepaskan aku sekarang juga!"

"Tidak mau. Pokoknya aku gak akan melepaskan ini sebelum kamu berjanji padaku tak akan menuntut cerai dariku," balas Abram tetap kekeuh.

Leya mengeram kesal. Tak ada cara lain untuk lepas darinya, Leya bersusah payah melepaskan salah satu heelnya dan langsung ke sana.

"Rasakan ini, Mas!"

"Arkkkk!" jeritan Abram terdengar menggema bersama jeritan dari luar sana yang langsung membuat Leya kembali mendorong Abram untuk keluar kamar setelah dekapan lelaki itu terlepas.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tukar Ranjang   Bab. 82

    Sartika menarik napas pelan. Ia meletakkan cangkir tehnya ke atas meja, lalu menatap putrinya dalam-dalam.“Kadang, apa yang terlihat di luar bisa sangat berbeda dengan kenyataan di dalam, Nak. Dunia bisnis itu keras. Banyak yang terlihat mengagumkan, tapi rapuh di dalam. Bisa jadi dia mengambil risiko yang terlalu besar atau terlalu cepat berekspansi tanpa fondasi yang cukup kuat.”Nadira mengangguk pelan, menyimak setiap kata. Tapi pikirannya tetap berputar pada satu hal ketidakwajaran dari kejatuhan perusahaan tersebut, secepat itu, tanpa tanda-tanda sebelumnya.“Apa kamu sudah cek semua laporan keuangannya? Laporan audit terakhir?” tanya Sartika lebih serius.“Sudah dan di sanalah masalahnya. Laporan keuangan terlihat rapi, terlalu rapi bahkan. Nyaris sempurna. Tapi saat aku minta detail transaksi, ada beberapa dokumen yang belum bisa mereka tunjukkan. Katanya sedang direkap ulang,” jelas Nadira, menekankan nada curiga di akhir kalimatnya.

  • Tukar Ranjang   Bab. 81

    Mentari pagi yang terbit membawa cahayanya yang terasa hangat masuk ke dalam kamar melalui celah-celah jendela. Nadira berdiri di balkon menatap ke arah jalan raya, banyak anak-anak yang berlalu-lalang dengan seragam yang melekat di badan. Ada yang jalan santai sambil membaca buku, ada juga yang terlihat berbincang dengan teman jalannya dan ada juga yang tengah berlari seakan sedang dikejar sesuatu. Dering ponsel memanggil dirinya. Nadira mendengus kasar kemudian berbalik memasuki kamar. Ia meraih ponsel yang tergeletak di atas ranjang. Ia melihat ke layar, melihat nomor siapa yang tengah menelponnya. Senyum di bibirnya seketika terkembang. Satu nomor yang telah ia nantikan sejak kemarin. "Devan," serunya bahagia setelah mengangkat telpon tersebut. Suara tawa terdengar begitu nyaring dari balik telepon. "Nadira, akhirnya kamu angkat juga. Kupikir kamu masih marah," ujar suara di seberang sana, hangat dan sedikit menggoda.

  • Tukar Ranjang   Bab. 80

    Silvia pulang ke rumah dengan hati yang bahagia. Namun senyum di bibirnya seketika sudut saat mendapati sosok lelaki berjaket coklat yang masih duduk di atas motor yang terparkir di teras rumahnya. "Ngapain kamu ke sini?" Kesal Silvia. Sudah tiga bulan ini lelaki yang seharusnya tak lagi muncul dalam hidupnya, kini tiba-tiba hadir seperti parasit yang menghisap darahnya secara perlahan. "Gak perlu galak-galak begitu pada ayah anakmu ini," ujar lelaki itu santai sembari turun dari motornya. Ia mengikuti Silvia dari belakang untuk masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu, lelaki itu langsung merampas tas yang Silvia pegang. Tentu saja Silvia tak tinggal diam. Tubuh kecilnya tak menjadi halangan untuk ia melawan. Namun sayang, nyali dan kenyataan tak lah sesuai. Silvia kalah setelah lelaki itu memberi sedikit sentakan hingga tas yang diperebutkan dapat di ambil. Silvia terdiam. Matanya menatap tajam ke arah lelaki itu yang kini membuka tasnya tanpa rasa bersalah sedikit pun. "Kembalikan

  • Tukar Ranjang   Bab. 79

    Nadira menjatuhkan tubuhnya di atas sofa sembari memainkan gawai di tangannya. Sartika mendekat dan ikut duduk. Ia menatap lembut wanita di hadapannya, rasa sayang yang ia miliki tumbuh begitu saja pada sosok yang telah ia anggap putrinya. "Bagaimana hasil ketemu klien hari ini?" tanya wanita yang sudah memasuki usia enam puluh empat tahun itu. Nadira mengalihkan pandangan matanya, ia pun tersenyum sebelum menjawab pertanyaan Sartika. "Hmm, gimana ya, Ma. Klien kali ini tampak menyedihkan," ucap Nadira iba."Menyedihkan bagaimana?""Dia bercerita kalau wajahku mirip dengan almarhum istrinya. Siapa tadi namanya ya?" Nadira mencoba mengingat nama yang tak terekam di dalam memori kepalanya. Rasa nyeri tiba-tiba kembali muncul dan kian menusuk hingga membuatnya meringis. "Ada apa, Nak?" tanya Sartika khawatir melihat Nadira yang menekan kedua sisi kepalanya. Ia berpindah duduk di samping putrinya dan mencoba membantu meredakan ra

  • Tukar Ranjang   Bab. 78

    Wanita itu kini duduk dengan tenang, meski mata Nirwan belum berhenti memandangi tiap garis wajahnya. Ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan oleh logika, namun begitu lekat dengan rasa. Bukan hanya mirip, wajah wanita itu seperti cerminan dari seseorang yang tak seharusnya masih ada."Perkenalkan saya Nadira Nawles. Saya yang akan menggantikan Nyonya Nawles untuk membahas perihal investasi saham dengan anda," ucap wanita itu memperkenalkan dulu. Tangannya terulur yang langsung di sambut Nirwan dengan perasaan yang berkecamuk hebat. Ada rasa senang dan juga kecewa di dalam hatinya setelah mendengar nama yang disebut wanita berhidung mancung tersebut.Nirwan mengangguk tipis, mencoba meredakan badai di dalam dirinya. Sementara matanysterus mengawasi gerak wanita di hadapannya yang tampak tak mengenalinya.Frederick memanggil seorang pelayan untuk memesan minuman untuk Nadira. "Saya mau secangkir cappuccino dengan whipping cream sama wa

  • Tukar Ranjang   Bab. 77

    Selesai bekerja Nirwan tak langsung pulang ke rumah. Ia memilih duduk santai di jantung kota, di mana terdapat sebuah taman bermain yang cukup luas.Nirwan duduk di sebuah bangku panjang, di belakangnya terdapat deretan penjual makanan yang berbaris menjajakan makanannya. Matanya tertuju pada sebuah keluarga kecil di mana terdapat seorang anak perempuan yang berusia tak beda jauh dari Bintang. Anak perempuan itu terlihat manja dengan sang Ayah, bercanda sambil mengunyah gorengan yang mereka beli. "Andai Leya ada di sini, mungkin anak kamu sudah sebesar itu," gumam Nirwan sedih. Angin malam berembus pelan, membawa aroma gorengan dan tawa anak-anak yang masih bermain ayunan meski malam mulai merambat. Nirwan memejamkan mata sejenak, membiarkan kenangan tentang Leya mengendap di benaknya seperti kabut yang tak kunjung reda. Tanpa ia sadari sudut matanya pun mengeluarkan butiran kristal bening yang membuat pipinya basah. Spontan ia segera mengusapnya sebelum ada orang sekitar menyadar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status