Mataku terus mengedar mencari keberadaan Pak Muhsin, namun jangankan sosoknya, bayangannya pun tak lagi nampak.Aku berdecak karena kesal mereka tak setia kawan meninggalkanku sendirian di tempat seram seperti ini. Di saat hari menjelang Maghrib pula. Ah, aku jadi merasa dejavu.Baru akan melangkah keluar dari pemakaman, aku terkesiap kala ada sebuah tangan dingin mencengkeram kakiku.Tubuhku membeku seketika, membayangkan sudah pasti bukan manusia yang melakukan hal itu."Astaghfirullah ... Astaghfirullah ...!" Aku terus beristighfar dan berdoa dengan kaki yang kuhentak-hentakkan agar cengkraman dari demit itu terlepas.Aku terus melakukan hal seperti itu dengan mata terpejam, tak sanggup lagi rasanya untuk membuka mata dan melihat penampakan apa yang ada di bawah kakiku.Tak berapa lama kemudian, usahaku berhasil. Cengkraman di pergelangan kaki tadi tak lagi kurasakan. Cepat-cepat aku membuka mata, namun ...."Aaaaaa .
Beberapa saat kemudian, pandanganku kembali normal. Tak lagi kudapati sosok mengerikan Kak Airin, malah kini aku dibuat terheran-heran kala melihat keadaan sekeliling rumah. Interior dalam rumah benar-benar berbeda dengan beberapa saat lalu. Kenapa tiba-tiba bisa begini?Atensiku pada ruangan pecah saat mendengar suara perdebatan Ibu dan Ayah dari kamar mereka. Gegas aku berlari untuk melihat apa yang terjadi.Sampai di depan kamar, ternyata pintu kamar tak tertutup rapat hingga aku dapat melihat jelas ke dalam. Di mana Ibu tengah menangis sembari marah-marah pada Ayah."Bu ...." Aku memanggil Ibu karena tak tega melihat ia yang menangis pilu.Namun anehnya lagi, Ibu dan Ayah seolah tak mendengar panggilanku dan tak menyadari keberadaanku."Ini semua gara-gara Ayah! Kalau saja Ayah tak mengajak Sutar ikut serta, mungkin keadaan kita sekarang masih tenang-tenang saja!" Sentak Ibu di antara isak tangisnya."Maaf, Bu. Ayah memang sa
"Ternyata kau datang juga," desis sosok tua yang waktu itu memperkenalkan diri sebagai Mbah Sedan.Ayah masih terus duduk bersimpuh di hadapannya dengan kepala tertunduk seolah begitu takut untuk menatap matanya."Iya, Mbah.""Apa kau yakin tak akan menyesal dengan keputusanmu ini?"Ayah diam tak menyahut pertanyaan Mbah Sedan. Aku tahu, kini batinnya tengah berperang hebat, antara menyelamatkan diri dan keluarga atau merelakan darah dagingnya."Kalau kau tak yakin, lebih baik kau bawa kembali putrimu itu.""Tidak, Mbah. Saya yakin, seyakin-yakinnya!" Sahut Ayah cepat."Baiklah kalau begitu. Tapi ngomong-ngomong, kau membawa siapa bersamamu?"Jantungku mencelos saat tatapan Mbah Sedan beralih padaku sembari tersenyum miring. Secepat kilat aku berbalik badan hendak melarikan diri. Tak kusangka Mbah Sedan bisa melihat sukmaku yang kini sedang berkelana. Tapi wajar saja, ia kan makhluk halus juga.
Seolah sengaja mengelak dariku, Ayah cepat-cepat keluar dari kamar, untuk melihat keadaan di luar. Terlihat sebelum ia benar-benar keluar ia menata ekspresi wajahnya sesedih mungkin. Ibu pun kembali menangis tergugu di depan jasad Kak Airin. Benar-benar patut diacungi jempol akting kedua orang tuaku itu.Aku yang merasa benar-benar kecewa memilih masuk ke kamarku, hendak menjernihkan pikiran. Kira-kira bagaimana aku akan bersikap pada kedua orang tuaku setelah ini? Rasa sedih karena meninggalnya Kak Airin lebih terkalahkan oleh rasa kecewa pada Ayah dan Ibu.Beberapa saat aku di kamar, terdengar riuh beberapa orang masuk ke dalam rumah. Mungkin Ayah sudah memberitahukan perihal Kak Airin. Yang masih jadi pertanyaanku kini, kalau memang Kak Airin sudah mereka tumbalkan kenapa sekarang ia masih ada bersama kami? Atau itu hanya jasadnya saja? Ah, entahlah ....Teka-teki di keluargaku masih benar-benar terlihat rumit dan belum sepenuhnya te
Mendengar teriakan histeris dari orang-orang yang ada di belakang, secepat kilat aku berlari ke sana. Namun ternyata area belakang dan depan pintu dapur sudah dipenuhi oleh para pelayat yang lain hingga untuk melihat keadaan di belakang aku pun tak bisa."Itu beneran Karin masih hidup? Tapi kenapa raut wajahnya begitu?" Para pelayat perempuan yang ada di depanku terdengar saling berbisik."Iya. Seperti bukan Karin, Mbak.""Ehem!" Aku berdehem sengaja memberi kode kepada kedua orang itu bahwa ada aku di belakangnya. Mereka lantas terdiam saat menoleh dan melihatku."Eh, Satria ... Mau lewat ya? Silahkan lewat sini." Seperti merasa tak enak, mereka langsung memberi jalan hingga aku bisa lewat dan keluar dari pintu dapur.Hampir saja aku terjungkal ke belakang saat mataku bersirobok dengan Kak Airin yang kini tengah terduduk di tanah dengan dililit kain jarik. Wajahnya begitu pucat dengan mata melotot tajam menatapi setiap orang. Y
Aku yang tadinya begitu bersemangat ingin ikut mengantarkan kakak satu-satunya ke peristirahatan terakhir langsung kecewa. Ingin membantah tapi takut malah menjadi keributan di tengah malam.Dengan berlagak cuek, aku pun terpaksa menuruti saja semua titah Ayah, lalu memilih masuk kembali ke dalam rumah.Dari ambang pintu terlihat rombongan pengantar jenazah berjalan menjauh, namun kembali kecurigaanku muncul saat tak ada satu pun dari mereka yang melafalkan kalimat tahlil seperti pada umumnya. Apa Ayah juga yang melarangnya?Malas memikirkan hal-hal yang makin membuat kepala penat, aku langsung mengunci pintu hendak mengistirahatkan tubuh. Namun saat langkahku sampai ke ruang keluarga, aku terkejut saat melihat pintu belakang ternyata masih terbuka lebar. Para pelayat yang sudah dibayar Ayah ternyata lupa menutupnya kembali.Bulu kudukku sontak meremang saat melihat kegelapan di belakang sana. Dengan sedikit ragu aku mendekati pintu bela
POV Aswin (Ayah Satria)Tepat pukul setengah dua belas malam, jenazah Airin telah selesai dimakamkan. Kini berganti Hanin yang memainkan perannya.Ia duduk bersimpuh di sisi makam putri kami itu sembari terus menangis pilu. Para lelaki itu menatapnya dengan iba, namun penuh kegalauan."Pak Aswin, jenazahnya sudah selesai dimakamkan. Lalu sekarang kita harus bagaimana lagi? Di antara kami tak ada yang pandai memimpin do'a," ujar salah satu dari mereka."Tak apa, Pak. Yang penting kita do'akan saja Airin di dalam hati kita masing-masing," sahutku dengan bijak.Mereka hanya manggut-manggut saja, namun masih penuh kegalauan di raut wajah mereka."Kalian kalau mau pulang duluan tak apa kok.""Tapi, Bapak--.""Tak apa. Ini kan sudah malam. Saya juga akan segera pulang jika Hanin sudah tenang," lanjutku lagi.Dengan sedikit sungkan mereka pun segera berpamitan padaku. Aku tahu itulah yang jadi kegalauan di hat
Masih POV AswinAku berbalik badan untuk melihat wanita yang paling kubenci itu. Senyum sinis tersungging saat melihat wanita berpenampilan lusuh itu kini berdiri di hadapanku dengan membawa sebuah piring berisi bubur."Tumben makan bubur nasi, biasanya makan bubur singkong. Dapat beras dari mana kalian? Atau jangan-jangan kalian mencuri di warungku ya?"Wanita dengan wajah datar itu sama sekali tak menggubris perkataanku. Ia terus berjalan melewatiku menuju ranjang."Sampai mati pun kami tak sudi makan makanan dari hasil perbuatanmu yang haram itu," sahutnya sembari meletakkan piring tadi di atas meja kecil usang yang ada di sisi ranjang.Harga diriku terluka mendengar hinaan wanita ini. Dasar munafik! Tak ingatkah dia dulu juga pernah merasakan uang dari hasil pesugihan juga?Sreett!Dengan geram aku menarik rambut panjangnya yang terlihat berantakan itu. Namun aku malah dibuat terkejut saat tiba-tiba tangannya dengan cepat menarik dan memelintir tanganku dengan keras."Aaaargh! Lep