Share

Part 05 – Tetap Bersabar

Amanda melirik sekilas ke arah gawai miliknya yang berdeting, dia hanya membaca notif yang tertera di layar tanpa ada niatan membuka. Ia mengalihkan pandangan menatap Angga yang duduk sedikit menjauh. Pria itu fokus pada layar laptop dipangkuan, mengerjakan tugas kantor yang belum usai. Ia terduduk gusar ketika gawainya terus berdenting karena lupa mengubah mode jadi sunyi. Yuda terus mengiriminya pesan, karena tak kunjung dibalas.

Angga mendengkus dengan tatapan masih lurus ke layar laptop. Namun, ia sudah tak sabar lagi, ketika gawai milik Amanda berulangkali berdenting, dan si empunya enggan memeriksa benda itu. Angga menutup laptopnya dengan kasar, meletakkannya ke atas meja. Meraih gawai dan melemparkan ke atas pangkuan yang punya. Amanda terkesiap dengan tindakan itu. Suaminya sedang sangat marah sekarang.

"Kenapa? Mau marah, iya? Gawaimu berisik, masih untung nggak aku lempar ke lantai," pungkas Angga setelah melihat Amanda hendak protes, wanita itu membisu. Membuka aplikasi berwarna hijau dan mulai membaca pesan dari Yuda.

[Malam, Amanda.]

[Sibuk, ya?]

[Aku mau bicara, boleh?]

[Maaf, ganggu!]

[Aku menunggu balasan, Amanda.]

Amanda mengembuskan napas pelan. Menggerakkan jarinya di atas layar gawai dan mulai mengetik balasan untuk Yuda.

[Ada apa, Yud?]

[Nggak pa-pa. Cuma mau tahu kabar kamu aja.]

[Oh.]

[Besok weekend, kamu sibuk, nggak?]

[Kenapa?]

Bertukar pesan pun terus berlangsung hingga larut malam. Hiburan yang Yuda berikan sedikit mampu menghilangkan kesedihannya. Ia beruntung memiliki sahabat seperti Yuda yang selalu ada setiap saat. Seperti malam-malam sebelumnya, mereka masih tidur terpisah. Amanda di kamar dan Angga di ruang tengah. Angga memasuki kamar untuk mengambil bantal dan selimut, tetapi urung ketika tangannya di cekal Amanda.

"Malam ini saja, kita tidur satu ranjang. Nggak pa-pa, 'kan, Ga?" Untuk pertama kalinya setelah Lima bulan menikah, Amanda meminta untuk tidur satu ranjang. Ia memberanikan diri dan menyiapkan mental, jikalau Angga menolaknya untuk kesekian kali.

Angga mendengkus kasar, menatap Amanda dengan tajam. "Jangan mimpi, kamu! Sampai kapan pun, aku nggak sudi tidur satu ranjang sama kamu. Jangan terlalu berharap lebih, Amanda. Ingat! Pernikahan ini terjadi karena apa?"

"Sekali saja, Ga. Terima aku jadi istri," pintanya menatap wajah Angga penuh harap.

"Buang harapanmu itu karena sampai kapan pun kita akan seperti ini. Ingat, Amanda!" tegas Angga dan segera meninggalkan Amanda seorang diri.

***

Pernikahan yang dirasa sempurna ternyata jauh dari kata itu. Sikap Angga masih sama, dingin dan kasar, meskipun tidak kasar secara fisik. Namun, ucapannya selalu menyakitkan hati. Demi memenuhi janji kepada almarhumah Rania, Amanda bertahan sampai sejauh ini. Selalu berdoa supaya memiliki kesabaran ekstra demi mendapatkan haknya sebagai istri. Amanda duduk santai di ruang tengah, menatap sekeliling dan mendapati potret Nessa masih di tempat semula. Angga begitu mencintai wanita itu. Bernessa Arundati, adik Amanda sendiri.

***

Amanda terduduk lemas di atas lantai. Beberapa menit lagi acara dimulai, tetapi yang ia temukan hanyalah sepucuk surat dan kebaya putih di atas ranjang. Bingung harus berbuat apa sehingga suara Rania membuatnya semakin ketakutan. Ia menyerahkan sepucuk surat itu tanpa berkata. Rania terbelalak, memegang dada karena terkejut, tak lama orang tua mempelai pria datang. Dewi begitu terkejut membaca isi surat itu. Calon menantunya pergi dan meminta Amanda yang menggantikan posisi itu.

***

Amanda mendesah pelan, bayangan lima bulan lalu mulai hadir. Awal mula pernikahan itu terjadi. "Aku memang mencintainya, Nessa. Namun, bukan ini yang kuinginkan. Kenapa kamu selalu beruntung, Ssa? Bahkan, Angga saja nggak sudi menghargai statusku apalagi memberikan sedikit cintanya. Kenapa kamu menyiksaku seperti ini, apa salahku padamu? Kenapa juga kamu harus pergi." Amanda menatap nanar potret Nessa yang tersenyum manis.

"Jangan berpura-pura lagi, aku tahu dia pergi karena kamu."

Amanda terkesiap, lalu menoleh ke belakang dan mendapati Angga yang berdiri di anak tangga paling atas. "Kamu ... dengar semuanya?" Amanda ketakutan bila Angga mendengar ungkapan hatinya. Ia tak sanggup kalau ....

"Ya, setidaknya aku mendengar kamu menyalahkan Nessa atas semua ini. Ini salahmu sendiri, kenapa menerima."

Amanda mendesah lega, karena Angga tak mendengar semuanya. Ia masih beruntung pun belum siap bila pria itu mengetahui perasaannya.

Angga berdecih ketika Amanda hanya terdiam dan menunduk. Ia sudah menduga wanita lemah itu tak lama lagi pasti akan menangis.

"Dasar cengeng! Kamu nggak lelah terus menangis seperti itu," ejek Angga membuat Amanda mendongak. Matanya berkaca-kaca bersiap menumpahkan sesuatu yang sudah terbendung.

"Angga yang kukenal nggak kasar seperti ini," lontar Amanda ketika mengingat sifat lembut pria itu---dulu sebelum menjadi suaminya.

"Aku berubah karena kamu. Andai saja kamu menolak, aku pasti sudah menemukan Nessa, membawa dan segera menikahinya." Masih di tempat, Angga menatap Amanda tajam, pandangan benci dan tak suka kepada istrinya itu. "Akan tetapi, semuanya gagal gara-gara kamu!" tuduhnya untuk kesekian kali.

Amanda menunduk lagi dan meminta Angga untuk mencari Nessa. Meskipun dengan hati ngilu ia berusaha berkata demikian, seolah tak apa bila Angga akan pergi dan pastinya akan meninggalkan ia bila telah menemukan Nessa.

Angga tertawa, bila saja ia mampu sudah dari dulu melakukannya. Sejak Amanda menjadi istrinya, Feri selalu mengawasi gerak-gerik pria itu dari jauh. Tak ingin Angga membuat kesalahan dengan meninggalkan Amanda dan mulai mencari Nessa.

"Jangan pernah sekali pun menyalahkan Nessa atas apa yang kamu alami. Itu semua salahmu sendiri. Ingat itu, Amanda!"

***

"Berjanji kepada bunda, sesulit apa pun ujiannya jangan sampai mengucapkan kata yang Allah benci," pinta wanita paruh baya yang terbaring tak berdaya dengan beberapa alat bantu terpasang di sekujur tubuh.

"Berjanjilah, Amanda!"

Amanda yang sedari tadi menunduk kini mendongak. Menatap sendu wajah Rania dengan alat bantu pernapasan terpasang di hidung.

"Bunda mohon! Tetap bertahan. Angga pasti akan menerimamu dalam hidupnya." Amanda hanya membisu dengan derai air mata. Meski tak bicara Rania sudah tahu kejadiannya akan seperti ini. Ia tahu benar siapa yang Angga inginkan menjadi pendamping hidupnya.

Amanda mendesah pelan, janji kepada sang ibunda membuatnya bertahan dengan sikap buruk Angga. Ia mencintai pria itu. Rela terluka supaya bisa mendapatkan hatinya nanti.

***

Mencintai dalam diam dan seorang diri bukan hal yang mudah. Namun, Amanda masih bertahan sampai saat ini. Baginya memiliki status istri Angga sudah cukup membuat bahagia meski belum diakui oleh pria itu. Ia tersenyum lebar menatap foto pernikahan mereka walau tanpa senyum ikhlas di bibir Angga. Amanda bahagia, setidaknya impian menikah dengan pria yang dicintai terwujud.

"Besok siap-siap. Kita ke rumah mama." Suara Angga di bibir pintu menyadarkan Amanda dari lamunan singkatnya ketika mengingat pernikahan mereka lima bulan lalu. Ia menoleh dan hanya mengangguk sebagai jawaban. Usai mengatakan itu, Angga kembali ke tempatnya---ruang tengah---untuk beristirahat.

***

"Mama tahu, Angga masih bersikap buruk sama kamu. Maafkan mama, Nak, mama sudah bingung harus menasehatinya seperti apa lagi. Hatinya telah tertutup untuk wanita lain." Dewi menyentuh punggung tangan Amanda di atas pangkuan. Menguatkan wanita itu supaya bersabar menghadapi sikap Angga. Amanda tersenyum, bersikap seolah ia baik-baik saja. Mengatakan bila selama mereka tinggal berdua Angga tak pernah menyakitinya secara fisik.

Dewi hanya menghela napas pelan, ia tahu anaknya tak akan melakukan kekerasan, tetapi cara Angga berucap sudah dipastikan bahwa Amanda tersakiti. "Tetap bersabar, ya, Nak. Mama yakin Angga akan segera berubah. Ia pasti akan sadar betapa berharganya kamu."

"Iya, Ma. Amanda pasti akan bersabar." Amanda mencoba tersenyum, meski jauh dalam hatinya semua itu tidak akan pernah terjadi

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status