Share

Part 4 - Direktur Utama yang Baru

"Ia masih sama. Sabar dan tabah. Sampai dia benar-benar menerimanya."

***

Amanda terus diam. Ia bingung dengan pikirannya sendiri, meskipun teman satu ruangannya sedang adu pendapat ia tidak merasa tersusik. Hanya satu yang dia pikirkan, Direktur Utama baru yang pagi tadi datang ke kantor dan akan menjadi atasannya.

'Tunggu! Bukannya tadi Pak Heri bilang, pindahan dari kantor pusat, berarti kantor ini cabangnya. Astaga! Kenapa aku baru tahu coba, dan sekarang hampir setiap saat aku harus bertemu sama dia,' keluh Amanda dalam hati sambil memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam supaya rasa sesak segera menguap.

"Kamu sakit, Nda?" tanya Ifa khawatir, karena Amanda terus saja diam.

"Iya, kok diam terus sih dari tadi. Kenapa?" tanya Lina juga sama khawatirnya.

"Pasti lagi mikirin Pak Dirut kita yang baru itu, ya," tuduh Adisty disertai tatapan jahil.

"Pak Dirut?" ulang Amanda bingung mendengar ucapan Adisty.

"Direktur Utama, Amanda. Kita memutuskan memberikan panggilan khusus untuk atasan kita yang baru itu, supaya mudah manggilnya," jelas Adisty panjang lebar supaya Amanda segera paham.

"Jadi ... lagi mikirin Pak Dirut, ya," tuduh Ifa lagi membuat Amanda terbelalak.

"Apa'an sih, kalian. Sudah sana lanjut kerjanya! Jangan ngobrol terus." Amanda mengalihkan perbincangan, supaya teman satu ruangannya berhenti menginterogasi. Ia sudah pusing karena kehadiran Dirut baru itu dan tak mau semakin pusing karena teman satu ruangannya.

***

"Ngapain kamu di situ?" tanya Amanda saat melihat Yuda yang terus menatapnya dari bibir pintu dengan senyuman. Pria itu selalu muncul bila jam makan siang sudah tiba.

"Mau makan siang bareng nggak?" ajak Yuda seperti biasa dan masih di tempatnya semula membuat ketiga teman Amanda menyoraki wanita itu.

"Biasanya juga langsung tarik, tumben tanya dulu," sindir Lina mengundang kekehan dari Ifa.

"Amanda pasti langsung terima. Mana mungkin ditolak, asal kamu bayarin, Yud," imbuh Adisty membuat Lina dan Ifa terkikik.

Amanda terdiam sejenak. Ia bingung harus menjawab apa? Menerima, tetapi ia takut ada yang akan marah bila mengetahuinya. Namun, setelah dipikirkan lagi untuk apa ada yang marah. Bukannya, ia dianggap tak ada. Jadi pastinya tidak akan terjadi masalah.

"Ada Direktur baru, ya ? Muda dan tampan," kata Yuda membuka percakapan. Memecah kesunyian yang menyergap keduanya---mereka telah berada di kantin kantor---sambil menyantap menu makan siang masing-masing.

"Aku sudah tahu, tadi ke ruanganku juga," jawab Amanda tanpa sadar dan mengingat pertemuannya dengan Direktur Utama yang baru.

"Hebat, ya, masih muda sudah jadi Direktur Utama." Yuda memuji sang atasan karena itu memang benar adanya.

"Berarti dia memang pintar makanya sudah jadi Direktur Utama meskipun usianya masih muda," jelas Amanda dengan senyuman tipis.

Yuda mengernyit bingung melihat senyuman Amanda. Mulai menebak bila sang sahabat tertarik kepada Direktur baru itu karena ekspresi Amanda yang bahagia setelah membahas hal demikian.

Amanda terbelalak, mendongak dan menatap Yuda dengan bingung. "Apa'an, sih, kamu, ngaco deh. Ketemu saja baru tadi, masa iya langsung suka." Amanda mencoba mengelak dan menyembunyikan rasa bahagianya.

"Ya, mungkin saja. Bukannya ada tuh pepatah. Cinta pada pandangan pertama, mungkin saja kamu---"

"Sudah makan! Jangan bicara terus. Aku harus kembali ke ruangan," sanggah Amanda supaya Yuda diam.

***

Amanda menghempaskan tubuhnya ke sofa. Mengembuskan napasnya berulang kali, berdesakan di dalam metromini sambil berdiri membuat kakinya menjadi kram. Ia mengembuskan napasnya lagi setelah melihat jam dinding di ruangan itu. Beranjak dari duduknya dan harus menyiapkan makanan untuk Angga. Rasanya Amanda belum siap menerima banyak pertanyaan dari Angga. Mulai sekarang dan seterusnya dia akan sering bertemu dengan pria itu dan yang pasti, sering mendengar pujian para karyawan lain untuk suaminya.

"Dia sembunyikan statusnya jadi aku akan melakukan hal yang sama," gerutunya sambil melangkah menuju dapur untuk memasak makan malam. Sekali pun Angga membencinya, tetapi pria itu tetap mau memakan masakan buatannya. Sebenarnya Angga muak. Namun, dia tak ada pilihan lain.

Usai makan bersama dengan keheningan. Angga dan Amanda memutuskan bersantai di ruang tengah, masih dengan jarak aman dan jauh.

"Mulai besok, ke kantor sama aku," ucap Angga tiba-tiba membuat Amanda terkejut. Ia bingung harus apa? Bahagia atau tidak. 

"Nggak perlu, Ga. Aku bisa, kok, ke kantor sendiri," tolak Amanda setelah ia sadar bahwa Angga tak mungkin sudi satu mobil dengannya.

"Menghabiskan gaji hanya untuk pulang-pergi. Berdiri terus dan berdesakan di dalam metromini. Itu yang kamu mau?" cecar Angga membuat Amanda membisu, Angga tahu semuanya. Apa itu artinya selama ini ....

"Jangan geer dulu, aku tahu semuanya dari mama. Bahkan, aku melakukan ini juga demi mama. Beliau tahu kalau selama ini kamu naik angkutan umum, dia marah ke aku dan nuduh nggak tepati janji." Angga menatap Amanda dengan tajam dan tatapan marah membuat wanita itu merasa sangat bersalah.

"Maaf. Gara-gara aku, kamu dimarahi mama." Amanda menunduk. Takut akan tatapan membenci dari Angga.

"Bagus kalau kamu sadar, seharusnya, kamu sadar lebih awal, Amanda." Amanda mendongak. Terpaksa menatap netra Angga yang masih memandangnya dengan tajam. 

"Maksud kamu apa?"

"Harusnya kamu sadar. Terima pernikahan ini adalah keputusan yang buruk. Kamu bukannya bahagia, tetapi tersiksa." Angga seolah tahu bila selama ini wanita itu selalu menderita.

"Aku bahagia jadi istri kamu," bantah Amanda karena tuduhannya keliru. Meskipun Angga kasar secara ucapan, ia bahagia menjadi bagian dari hidup pria itu.

Angga tersenyum lebar, mendekati Amanda yang sedari tadi duduk sedikit jauh darinya. "Aku tegaskan sekali lagi! Jangan bermimpi terlalu tinggi, Amanda. Kalau jatuh pasti sakit ...," bisik Angga dengan ucapan yang tetap tajam dan menusuk. "Kita memang suami-istri, tapi di rumah dan di pikiran kamu, bagiku kamu tetap orang lain. Ingat itu dan camkan baik-baik!"

Amanda kembali menunduk. "Sedikit saja, hargai perasaan aku sebagai istri. Apa kamu nggak bisa?" ucapnya sendu. Mengutarakan isi hati yang terpendam beberapa bulan terakhir.

"Harga, kamu mau aku hargai berapa?" tanya Angga tanpa perasaan. "Butuh uang berapa kamu, sebutkan! Kuberikan sekarang juga lalu segera pergi dari hidupku, bagaimana?" lanjutnya sambil menegakkan tubuh. Berdiri di samping Amanda yang masih menunduk.

Amanda menggeleng tak percaya. "Maksud kamu apa?" tanyanya. Berharap apa yang dia pikirkan keliru.

Angga tergelak. Menertawakan pertanyaan konyol Amanda. "Jangan pura-pura. Aku tahu, kamu mengerti apa maksudku." Angga melangkah menjauhi Amanda dan kembali duduk di tempatnya. Di atas sofa, tepat di depan Amanda duduk. "Cukup sebutkan, berapa nominal yang kamu inginkan. Aku berikan sekarang juga dan segera akhiri pernikahan konyol ini," ucapnya tanpa perasaan.

Amanda terdiam dengan hati teriris pilu. Ia menerima pernikahan ini karena cinta. Namun, Angga menganggap ia matrealistis. Amanda mencintainya, itulah sebabnya ia menerima permintaan Dewi. Amanda menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. Ia sudah berjanji ketika Angga mengikrarkan Ijab Qabul, ia akan terus disisi. Sekali pun pria itu menolak kehadirannya. 

"Aku nggak butuh uang kamu."

Angga berdecih lalu tertawa. Ia tak percaya bahwa Amanda tulus menerima pernikahan terpaksa ini. Mereka tak saling menyukai, tetapi Amanda, Wanita itu malah ingin mempertahankan. 

"Kenapa? Malu mau sebutkan nominalnya." Angga terus mendesak supaya Amanda menyebutkan nominal berapa yang diinginkan. Namun, wanita itu bersikukuh bahwa ia tak butuh. Angga masih tak percaya bahwa Amanda menolak uang darinya. Ia percaya, Amanda menerima pernikahan ini karena uang. Ia juga yakin, bila ia memberikan uang yang banyak. Amanda akan hengkang dari hidupnya. Ia bisa leluasa mencari keberadaan Nessa yang menghilang tiba-tiba. Cintanya masih untuk Nessa. Mungkin, hanya untuk wanita itu

***

Amanda menjalankan rutinitasnya seperti biasa. Bangun pagi, bersih-bersih dan memasak. Hari ini, untuk pertama kalinya mereka berangkat bersama ke kantor. Andai Dewi tak melihat Amanda di dalam angkutan umum. Mungkin, ini tak akan terjadi. Ia tahu Angga begitu muak atau malah, jijik padanya.

"Angga," panggil Amanda. Mereka sedang sarapan berdua dalam keheningan. Angga mengangkat wajah. Memasang ekspresi bertanya tanpa berkata. Amanda menelan salivanya kasar, mulut serasa terkunci untuk berucap. Namun, harus tetap diutarakan. Ia meminta supaya berangkat seorang diri saja, karena tak ingin merepotkan pria itu, ia tahu bahwa suaminya enggan satu tempat dengannya. Bukannya jawaban mengenakan, justru ucapan kasar yang Amanda dapat.

"Sudah kubilang, sebaiknya menurut padaku. Senang sekali membuat masalah!" seru Angga yang mulai kembali emosi mendengar ucapan Amanda.

"Aku tahu, kamu terpaksa. Makanya aku---"

"Cepat, makan! Kita berangkat." Angga beranjak dari kursinya. Melangkah awal menuju pintu. Menunggu Amanda di dalam mobil.

Amanda mengembuskan napas berat. Dadanya sesak dan perih. Entah kapan Angga akan bersikap manis. Ia ingin merasakan rasa disayang oleh suami, lelaki yang ia cintai. Namun, ia kembali sadar. Angga tak akan pernah melakukan itu. Hatinya telah tertutup, terkunci, hanya menyimpan nama Nessa bukan namanya.

"Aku mohon, Tuhan! Berilah seribu kesabaran. Supaya aku mampu menerima ini semua," mohon Amanda, lalu mendongak seraya berdoa kepada Yang Maha Esa.

***

Sejak hari itu keduanya selalu berangkat bersama ke kantor. Namun, Angga selalu menurunkan Amanda sedikit jauh dari area kantor. Ia hanya tak ingin ada yang melihat kebersamaan mereka, Angga ingin menyembunyikan statusnya.

"Sebaiknya mulai besok aku berangkat sendiri. Janji nggak akan naik angkutan umum," kata Amanda sebelum keluar dari mobil Angga. Mencoba bernegosiasi dengan pria itu.

"Nggak perlu. Gajimu nggak akan cukup untuk bayar taksi selama satu bulan." Angga menolaknya mentah-mentah dengan tatapan lurus ke depan.

"Aku punya tabungan, Aku bisa pergunakan itu." Amanda bersikukuh dengan keinginannya. Ia tahu Angga tak ingin di dekatnya terus. Ia juga takut, ada orang lain yang melihatnya keluar dari mobil lelaki itu.

"Sekalipun kamu ada tabungan. Aku menolak," sanggah Angga tetap pada keputusannya.

"Kenapa?"

"Cukup, Amanda! Berhenti mengajak berdebat. Tinggal turuti ucapanku. Apa susahnya, sih?" Angga geram, Amanda selalu berhasil memancing emosi. Mengacaukan mood dan segalanya. Amanda menunduk dalam.

Angga berdecak lalu membatin, 'Wanita ini benar-benar lemah, dibentak sedikit langsung menangis tidak seperti Nessa. Tegar dan berani.'

Rasa rindu kembali membelenggu, bingung harus mencari keberadaan sang kekasih yang entah di mana. Ditambah statusnya yang kini jadi suami Amanda, semakin menjadi jarak bagi pria itu.

"Cepat keluar! Kamu harus sampai lebih dulu di kantor." Angga mengusir Amanda tanpa perasaan. Hatinya berubah jadi batu, karena sakit hati. Amanda menurut tanpa berkata. Air mata sudah mengalir membasahi pipi. Ia terluka, hatinya sakit dan sesak. Namun, harus bertahan demi janji kepada seseorang. Amanda menengadah ketika Angga dengan kasar melempar tas jinjingnya. Ia lupa membawanya keluar, hingga pria itu melemparkannya tanpa perasaan.

"Cepat, jalan! Jangan sampai ada yang tahu kalau kamu berangkat denganku."

Amanda melangkah. Mengusap mata yang telah basah oleh air mata. Ia harus kuat, tegar dan sabar. Angga semakin menunjukkan sikap tak sukanya itu. Ia masih menolak dan tak akan mungkin menerimanya.

'Aku cinta sama kamu. Sekuat apa pun kamu mengusir. Aku akan tetap tinggal. Pernikahan kita sah dan suci. Nggak akan pernah aku nodai dengan kata ... cerai. Sekali pun aku harus terus menangis, karena penolakan,' gumam Amanda sambil terus melangkah menuju kantor. Sedangkan Angga masih di tempat. Menunggu Amanda memasuki gerbang masuk kantornya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status