"Jika sabar adalah jalan terbaik. Itulah yang akan ditempuh. Demi mendapatkan haknya.
***
Amanda benar-benar menjadi istri yang baik, melayani semua keperluan sang suami. Bangun pagi, beres-beres rumah dan juga memasak untuk imamnya itu.
Angga terbangun ketika indera penciumannya menangkap aroma harum masakan. Masih dengan sedikit rasa kantuk pria itu melangkah menuju dapur, lalu menatap bingung Amanda yang sudah memasak sarapan sepagi ini.
"Mau ke mana? Masak pagi-pagi," tanya Angga pada Amanda yang sibuk dengan spatula dan penggorengan.
"Aku hari ini masuk kerja, jadi harus masak dulu buat kamu," jawab Amanda tanpa menoleh.
"Sepagi ini?" Bingungnya, pasalnya sekarang masih pukul enam pagi sedangkan jam kerja kantoran jam delapan.
"I--iya, aku harus berangkat pagi-pagi. Kerjaanku pasti banyak di kantor." Amanda mematikan kompor. Ia harus segera bersiap, perjalanannya lumayan jauh. Apalagi harus naik kendaraan umum yang selalu saja berhenti di tiap halte dan menyita waktu. Amanda akan merahasiakan statusnya yang baru, karena ia juga tahu Angga menginginkan hal yang sama.
"Aku berangkat dulu," ucapnya sambil meminta tangan Angga untuk dikecup. Namun, Amanda kembali tersayat, ketika dengan kasar pria itu menepis tangannya yang masih menggantung.
"Nggak perlu." Angga menatap Amanda sinis membuat wanita menunduk menahan takut.
"Tapi, Ga. Aku harus melakukan itu. Kamu suami aku dan seharusnya ...."
"Kamu, tuli! Aku bilang, nggak perlu, Amanda. Buang impian kamu soal rumah tangga harmonis. Kita nggak akan ... pernah ... seperti itu." Lagi-lagi Angga menegaskan di mana posisi Amanda sebenarnya. Istri yang tak dianggap.
Amanda mengatupkan mulut dengan rapat. Angga benar-benar jijik padanya. Hanya mencium tangan pun, ia tak diizinkan. Amanda keluar dari rumah tanpa mengecup tangan sang suami membuatnya merasa berdosa.
Sesampainya di kantor. Amanda dihujani banyak pertanyaan oleh teman satu ruangannya, ia hanya menjawab sedang mengurus bunda yang kini telah meninggal. Teman-teman yang mendengar pun mengucapkan bela sungkawa kepadanya setelah mengetahui bahwa Rania telah tiada. Amanda termasuk pribadi yang sedikit tertutup. Bahkan, selama dia bekerja di kantor yang mengetahui tempat tinggalnya hanya beberapa orang.
***
"Belum pulang juga? Sekalian sama aku saja pulangnya," kata Lina---teman satu ruangan Amanda yang mengetahui rumahnya.
"Nggak perlu, Lin. Aku sudah pesan taksi tadi." Amanda menolak, ia belum siap mendapat banyak pertanyaan dari Lina karena ia pulang ke arah yang lain.
"Yakin nggak perlu, kebetulan kita satu arah, loh?" Lina mencoba membujuk. Namun, Amanda terus menolak.
Sesampainya di rumah, Amanda langsung merebahkan tubuhnya yang begitu lelah ke atas sofa, lalu mendongakkan kepala dan memejamkan mata. Mengembuskan napas berulangkali supaya lelah cepat menghilang. Ini baru sehari Amanda seperti ini, Bagaimana kalau seterusnya? Apakah ia akan sanggup?
"Kalau lelah langsung tidur di kamar jangan di sini! Aku nggak mau, ya, gendong kamu."
Amanda membuka mata. Menegakkan tubuh dan menatap Angga yang berdiri di sampingnya yang sudah berpakaian santai. "Kamu sudah pulang?"
"Kalau lelah langsung istirahat di kamar." Angga mengulangi perintahnya dan bukan menjawab pertanyaan Amanda.
Amanda menurut dan segera masuk ke dalam kamar, melanjutkan istirahatnya dengan total. Namun, ia terbangun tengah malam karena merasa lapar. Ia terlalu lelah sampai melewatkan makan malamnya, dan kini terpaksa bangun hanya untuk makan. Amanda berjalan pelan keluar dari kamar, takut Angga akan terbangun bila tidak hati-hati.
"Auh!" Amanda meringis, memegangi pergelangan kaki yang terkilir. Ia berusaha untuk bangun sendiri, Perutnya benar-benar melilit minta diisi, bukannya berdiri Amanda malah terjatuh lagi dan tak sengaja menyenggol Guci hiasan di dekat tangga. "Astaga!" ucapnya terkejut lalu menutup mulut, takut Angga akan bangun dan kembali marah kepadanya.
Benar saja, tak lama setelah itu Angga datang dengan wajah marah karena terganggu jam tidurnya. "Astaga, kamu apa-apaan, sih, ribut tengah malam. lihat itu! Sudah jam berapa sekarang," lontar Angga sambil menunjuk jam dinding di atas tangga.
"Ma--maaf, aku nggak sengaja nyenggol itu." Amanda menatap Guci besar yang sudah pecah di ujung tangga dengan tatapan takut.
"Mau ke mana?"
"Makan, perut aku lapar." Amanda berusaha bangun dan melanjutkan langkah, tetapi ia tidak bisa. Pergelangan kakinya begitu nyeri.
"Kaki kenapa?"
"Keseleo," cicitnya.
Angga menghela napas pelan, "Makanya kalau jalan hati-hati."
"Maaf," ucap Amanda, lalu kembali masuk ke dalam kamar sembari menahan rasa sakit di pergelangan kaki. Hatinya kembali terluka, karena Angga tidak membantu dan malah meninggalkannya begitu saja. "Ya Allah, sakit banget," keluhnya setelah sampai di kamar. Amanda meluruskan kaki dan mulai memijat bagian mana yang sakit. Bahkan, Angga belum kembali juga ke kamar untuk memastikan apakah Amanda baik-baik saja atau tidak. "Kamu benar-benar nggak peduli sama aku, tega kamu, Ga," keluhnya lagi, Angga pergi meninggalkannya dalam keadaan kesakitan. Angga memang keterlaluan, tak peduli dengan keadaan Amanda bagaimana.
***
"Jangan tidur, makan dulu!" seru Angga dingin yang sudah berdiri di samping Amanda.
Amanda membuka mata, terkejut melihat Angga dengan sebuah piring dan gelas di tangan. Apakah Angga mengambilkan makanan untuknya? Ataukah dia sudah menerimanya. Angga mulai peduli dan itu membuat Amanda bahagia.
"Bisa makan sendiri, 'kan?" tanyanya ketika Amanda hanya diam dan terus menatapnya dengan senyuman. Amanda mengangguk, mengambil alih piring dan gelas di tangan Angga. Ia terkesiap ketika merasakan pijatan pelan di kakinya. "Kamu ngapain?" Kagetnya ketika melihat Angga memijat kakinya dengan telaten.
"Punya mata? Bisa lihat. Aku lagi apa?" kata Angga ketus membuat Amanda terdiam dan melanjutkan makannya dalam diam. "Lain kali kalau jalan hati-hati dan pelan-pelan. Suka banget, ya, nyusahin aku," ujarnya kesal usai memijat kaki Amanda. Angga bisa saja mengabaikannya, tetapi ia sudah berjanji akan menjaga Amanda dan pria itu memenuhinya.
"Maaf, Ga. Aku---"
"Cepat makan! Kamu benar-benar ganggu jam tidurku. Kamu memang penganggu Amanda, parasit!" tuduh Angga sengit dengan tatapan membenci.
Amanda tergugu, menunduk, bersiap menumpahkan air mata. Sebenci itukah Angga padanya, sampai menganggap ia sebagai parasit.
"Nggak perlu sok sedih ... aku tahu, kamu pura-pura." Amanda menggeleng sebagai respon. Dia mulai terisak, karena ucapan Angga yang kini amat menyakitkan.
"Aku baru sadar ... jangan-jangan Nessa pergi karena hasutan kamu, ya. Aku yakin kamu iri sama Nessa, dan melakukan ini," tuding Angga tidak peduli dengan hati Amanda yang terus tersakiti karena ulahnya.
Amanda menengadah, menatap sendu Angga yang menatapnya penuh benci. "Aku nggak melakukan apa pun, aku bahkan nggak tahu kenapa Nessa pergi."
"Pembohong! Aku tahu kamu nggak suka sama hubungan kita, makanya kamu melakukan itu."
"Aku nggak melakukan apa pun, Angga. Demi Tuhan," kata Amanda parau dengan isak tangis.
"Dasar wanita licik, kamu penganggu Amanda, aku muak sama kamu." Angga kian murka setelah melihat air mata Amanda.
"Aku bukan penganggu, aku istri kamu." Amanda menjawab dengan derai air mata. Tak menyangka bila Angga akan memakinya seperti ini. Angga membisu. Enggan menjawab perkataan Amanda, Memilih meninggalkan wanita itu yang menangis karenanya. Ia tak peduli dan ia benci pada Amanda.
***
Angga merebahkan tubuhnya di atas sofa ruang tengah. Ia begitu merindukan Nessa. "Kamu di mana, Ness? Kenapa kamu pergi, aku rindu sama kamu." Memeluk potretnya bersama Nessa waktu mereka masih bersama. "Kenapa kamu harus pergi di saat-saat terakhir. Kalau kamu nggak mau nikah sama aku, harusnya kamu tolak lamaranku. Bukannya, memintaku menikah dengan Amanda. Aku nggak suka sama dia, Nessa. Aku nggak mau dia, aku maunya kamu." Angga menatap potret Nessa yang tersenyum bersama dirinya. Mengusap wajah itu pelan dengan penuh kerinduan.
"Asal kamu tahu, Ness, sampai kapan pun. Aku nggak akan terima dia, nggak akan pernah. Kamu ingat itu, Bernessa Arundati!"
Amanda mendengar semuanya, ucapan yang keluar dari bibir Angga. Apa kurangnya dia? Sampai Angga tidak mau menerimanya. Bahkan, Amanda sudah menjadi istri yang baik untuk Angga meskipun terus dilukai dengan makian kasar. Ia menulikan telinga seolah tak pernah mendengar ucapan tajam sang suami, mereka bahkan menikah sudah tiga bulan dan selama itu pula, Angga masih menolaknya. Amanda mengambil alih potret Nessa di pelukan Angga, meletakkannya ke tempat semula.
"Aku pikir kamu mulai suka sama aku, ternyata dugaanku salah. Kamu bahkan masih sangat mencintai Nessa ...," menatap lekat wajah Angga yang sudah tertidur. "Meskipun sekarang kamu nggak cinta sama aku, tapi aku yakin suatu hari nanti kamu pasti akan mencintai aku. Aku akan slalu mencintai kamu sampai kapan pun," ucap Amanda pelan lalu mengecup sekilas kening Angga penuh cinta.
Rasanya begitu menyakitkan ketika kita berjuang seorang diri, mempertahankan cinta yang hanya di miliki satu orang. Sesakit apa pun itu Amanda menahannya, ia akan bersabar hingga nanti Anggalah yang akan memberikan cintanya hanya untuk dia. Kesabaran tak pernah menghianati hasil, bukan, Jadi untuk saat ini sabar adalah jalan terbaik.
ADA ADEGAN 21++ HARAP BIJAK DALAM MEMBACA YA, BAGI YANG TIDAK SUKA HARAP DI SKIP!!Fara menghela napasnya dengan pelan saat µelihat Yuda yang sedang µelaµun di teras belakang dengan sebatang rokok yang terselip antara jari telunjuk dan tengahnya. Yuda µerasa kesal dan dongkol karena hasratnya yang harus tak terselesaikan gara-gara baby Bina yang tiba-tiba saja µenangis. Seharusnya sejak awal dia µeµinta jasa baby sitter saja tetapi Fara sendiri yang µenolak itu seµua dengan alasan dia ingin µerawat sendiri dan µenjadi ibu yang selalu ada untuk anaknya. Naµun, kini µalah dirinya yang sangat dirugikan karena sikap Fara tersebut.Eµbusan napas terus Yuda keluarkan dan berharap rasa kesal sekaligus hasratnya bisa ikut menghilang, tetapi nyatanya tidak semudah itu."Aahh, sial banget sih!!" umpat Yuda sambil kembali menyalakan batang rokok kelima yang sudah dia hisap malam itu.Fara hanya geleng-geleng kepala saat melihat Yuda yang begitu frustrasi seperti itu. Ini adalah kali pertamanya Y
Angga mengembuskan napasnya dengan kasar. Dia memang sudah tahu semua kebenarannya tetapi saat ini ia tidak mengungkapkan kebenaran itu. Namun, reaksi Shadam malah terkejut seperti itu."Oom nggak bilang kalau Papa Jung itu bukan papa kamu, tapi oom nanya ... kalau misalkan itu terjadi bagaimana?" tanya Angga sambil menahan diri supaya tidak sampai mengatakan kebenaran itu saat ini juga.Shadam terdiam sambil memikirkan apa yang telah oom baik di sampingnya itu katakan. "Berarti Shadam punya dua papa dong, ya?"Angga mengngguk sebagai isyarat akan jawabannya. "Ya, kalau seandainya itu memang benar, apa yang akan Shadam lakukan? mencari tahu soal papa kandung Shadam itu atau nggak peduli?" Pancing Angga karena dia sangat ingin tahu apa jawaban yang akan bocah SD itu utarakan."eumm ... Shadam nggak tahu."Angga mengembuskan napasnya dengan berat dan kembali berdiri, lalu membawa Shadam ke dalam gendongannya. "Shadam tahu ... alasan terbesar oom hanya diam ya karena dia sama sekali
"Jadi ... kapan Oom baik mau kembali ke Indonesia? kenapa nggak tinggal lebih lama aja, Oom," usul shadam yang saat ini sedang berjalan bersisian dengan Angga.Keduanya akhirnya jalan-jalan bersama meski sebenarnya Amanda sangat menolak dengan keras kedekatan anak dan ayah itu. Amanda juga sangat tidak setuju dengan kedekatan keduanya, tetapi dia juga tidak mungkin memberikan larangan yang sangat keras dan nantinya akan membuat Daejung semakin curiga saja dengan sikapnya yang kian berubah. "Beberapa bulan lagi, Sayang. Kerjaan oom di sana juga banyak jadi harus segera kembali. Shadam juga tahu benar kan kalau pekerjaan oom itu tidak sedikit." Angga menghentikan langkahnya, lalu berjongkok untuk mensejajarkan tubuhnya dengan bocah lucu tersebut. "Berarti Oom juga sama sibuknya ya kayak Papa. Malahan Papa sering nggak pulang dari rumah sakit." Shadam menatap ke atas karena sedang mengingat bahwa Daejung yang memang kerap sering menginap di rumah sakit sehingga sering mengabaikan Shad
"Bisa jadi kan kalau Angga tahu semuanya dari kak Altan, bisa aja juga kalau dia sengaja kirim Angga ke sini supaya bisa deketin kamu lagi atau malah lebih buruknya ... ambil Shadam dari kamu.""Enggak, Ra. Seffina udah ceritain semuanya ke aku kalau Angga tahu kehamilan itu dari surat diagnosis yang aku tinggalin. Aku memang ceroboh karena masih nyimpan hasil tespack dan surat itu. Seffina juga cerita kalau Angga tahu itu semua dari barang-barangku yang masih Angga simpan," jelas Amanda. Hatinya sedikit bergetar saat mengingat kenyataan bahwa Angga masih menyimpan sisa-sisa barangnya."Jadi ... apa Angga juga udah tahu kalau Shadam anaknya?""Entahlah ... aku juga udah berusaha supaya mereka nggak terlalu dekat, tapi Shadam ... dia yang nggak bisa aku kendalikan. Sementara Daejung, dia juga mendukung kedekatan Shadam dengan Angga." Amanda menghela napasnya dsngan frustrasi. Dia benar-benar belum siap bila harus berpisah dengan Shadam. "Apa Daejung tahu soal masa lalu kalian?" tanya
"Aku minta maaf sama kamu, Nda. Andai aja waktu itu aku ikhlas . Mungkin, kamu nggak akan sendirian menghadapi ini semua. Aku benar-benar minta maaf sama kamu, Amanda," sesal Fara akan kesalahannya di masa lalu. Amanda melepaskan dekapan Fara dan menatap wajah sahabatnya itu yang kini menjadi sendu dan bersalah. Amanda tidak mengerti apa yang Fara ucapkan barusaja. "Maksud kamu apa, Ra?" Amanda menatap Fara engan ekspresi yang benar-benar merasa kebingungan. Dia benar-benar tak mengerti dengan kata ikhlas yang Fara maksudkan tadi. Fara menghela napasnya dengan sangat berat. Kini dia harus mengingat kembali kejadian tujuh tahun silam saat pertengkaran paling hebat dalam pernikahannya. "Waktu itu ... beberapa hari setelah aku keguguran ...." "Apa?! kamu pernah keguguran sebelum ini. AStaga, Fara. Apa Yuda nggak jagai kamu dengan baik sampai keguguran kayak gitu," potong Amanda karena merasa sangat terkejut mendengar kabar kalau Fara pernah keguguran. Fara mengang
Amanda hanya diam dan berusaha untuk mengingat dokter tampan yang saat ini berbicara dengannya. Dia merasa kalau sebelum hari ini mereka telah bertemu sebelumnya. "Kenapa menatapku seperti itu?" Dokter tampan yang sedang memeriksa cairan infus milik Amanda langsung menoleh saat dia merasakan kalau wanita hamil itu sedang mentapnya cukup lekat. "Ah, Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" Amanda masih mencoba mengingat di mana dia bertemu dengan dokter itu, tetapi rasa pening di kepalanya malah menghalangi. "Saya merasa kalau pernah bertemu dengan Dokter sebelum ini tapi lupa kita bertemu di mana." Dokter tampan itu diam, tetapi mengembuskan napasnya dengan berat beberapa kali. Pertemuan pertamanya dengan Amanda sangat jauh dari kata mengesankan jadi wajar kalau saat ini wanita itu melupakan pertemuan mereka. "Kamu harus banyak-banyak istirahat, tidak perlu memikirkan hal yang memang tidak harus dipikirkan," jelas dokter tampan itu dan kemudian berlalu dari ruangan Amand
Pertemuan hari itu adalah awal kebahagiaan Amanda yang kembali, dia bisa bercanda dan bergurau lagi dengan Fara seperti dulu. "Mami mau ke mana? keluar sama papa ya?" tanya bocah itu saat memasuki kamar ibunya dan melihat Amandasedang bersiap. "Shadam mau ikut mami nggak, mau mami kenalin sama sahabatnya mami." Amanda yang sedang merias menoleh dan menatap Shadam dengan senyuman. Shadam berpikir sebentar sebelum akhirnya mengangguk dengan senyuman lebar. "Temannya Mami laki-laki atau perempuan?" "Perempuan, Sayang. Jadi Shadam mau ikut apa enggak?" tanya Amanda lagi sambil meraih tas tangan yang dia letakkan di atas ranjang. "Mau, Mi. Shadam mau ganti baju dulu ya." Amanda mengangguk dan memilih menunggu Shadam di ruang tamu sambil berbalas pesan dengan Fara yang sudah menunggunya di tempat sementara wanita itu. Perjalanan yang penuh dengan suka cita, senyuman lebar tak pernah berhenti menghiasi bibir Amanda, ya, dia memang sangat bahagia karena akhirn
Amanda berulangkali mengembuskan napasnya dengan kasar, rasa sesak di dalam dadanya sudah begitu menumpuk. Menangis pun percuma dan dia juga merasa begitu lelah karena sudah sering menangisi pria seperti Angga.*** "Yang." Amanda hanya menjawab dengan deheman sementara tangannya masih sibuk merajut syal untuk Angga yang khusus dia buatkan untuk orang terkasihnya tersebut. Amanda bahkan abai dengan Angga yang menempel padanya bak perangko yang menempel di sebuah amplop. "Sayaaaaaang noleh dong bentar aja," pinta Angga yang kini sudah memeluk tubuh Amanda dari belakang. "Apasih, Mas? aku tuh lagi sibuk, jangan mulai deh manjanya," gerutu Amanda dan masih belum juga mau menoleh. Bukannya menjauh, Angga malah semakin mengeratkan dekapannya dan kini bukan hanya memeluk tetapi juga menggoda istrinya tersebut supaya berhenti berkutat dengan jarum dan juga benang wol. "Maaaass, udah aku bilang jangan usil malah makin menjadi. Aku udah bilang jangan usil, aku itu la
"Aku minta maaf, aku juga nggak bermaksud melakukan itu." Angga menunduk, meski sebenarnya dia ingin berkata lain. Namun, untuk saat ini mengalah adalah yang terbaik. Dia akan mencoba mencari tahu semuanya tentang Shadam dan juga hubungan Amanda dengan Daejung. Setelah berkata demikian, Angga memutuskan untuk pulang dan mulai mencari semua informasi tentang Shadam Syazwan dan hubungan Amanda yang mulai ada kemajuan dengan Daejung padahal dia ingat dengan benar kalau saat mereka bertemu di mall hari itu sang dokter mengatakan kalau hubungan mereka masih mengambang. Namun, kini mereka telah resmi menjadi sepasang kekasih dalam waktu singkat. *** Amanda semakin gusar saat Shadam begitu dekat dengan Angga, dia sudah berencana dan akan meminta Shadam supaya tidak teralu dekat dengan Angga. Awalnya dia berpikir kalau Shadam pasti akan menurutinya seperti biasa, tetapi kini bocah berumur tujuh tahun itu malah menolak permintaan sang ibu dengan sangat tegas membuat Amanda benar-be