Share

5. Wanita Asing

“Maaf, Dek. Saya tadi mendengar percakapan kalian,” sambung suara itu. Alula menatap orang itu tidak enak dengan mata berembun.

“Berapa tagihan rumah sakitnya? Biar saya bayar. Sekalian punya Bu Sulastri pasien di ruang Mekah 2,” sambung orang itu, berbicara kepada petugas administrasi.

“Ta-tapi.” Alula terbata-bata mengucapkannya.

“Sudah, nggak apa-apa.”

“Saya bisa menghubungi teman atau kerabat saya. Tidak perlu dibayarkan.”

“Kelamaan. Kamu diam dan tenang saja, biar saya urus.”

Alula bingung harus bersikap. Bahagia sebab ada yang menolong, atau sungkan karena tidak mengenal orang yang berniat menolong itu, atau justru malu karena terlihat sangat memprihatinkan?

Sekiranya tadi Alula akan menghubungi temannya dengan meminjam ponsel perawat untuk meminta tolong membayarkan tagihan rumah sakit via Me**nger karena perhiasannya tidak bisa dibuat untuk membayar. Namun, belum sempat dilakukan, sudah ada orang itu yang datang menawarkan pertolongan.

Alula menatap orang itu dan perhiasan di genggamannya. Orang itu dan petugas administrasi bercakap sebentar, lalu orang tersebut mengeluarkan kartu. Per sekian menit, pembayaran pun berhasil. Bukti pembayaran juga sudah diterima. Alula hanya menatap tanpa bisa berkata apa-apa. Kaca-kaca di matanya pecah, membentuk lelehan air mata yang berderai di pipi.

“Ayo balik ke kamarmu dulu, biar infusnya dilepas.” Orang itu menatap Alula sambil tersenyum.

Saat orang itu berdiri, Alula ambruk di kaki orang tersebut. Di ruang administrasi yang lumayan ramai, ia menangis tersedu-sedu sambil terus memeluk kaki orang yang dianggapnya malaikat penolong hari ini.

“Terima kasih, Bu. Terima kasih. Saya berhutang banyak sama Ibu.”

“Heh, apa-apaan ini? Ayo berdiri, Dek.” Wanita yang sama saat bercakap-cakap dengan Alula di depan kamar rawat inap tadi, menyuruh Alula berdiri.

Alula menggeleng. “Kita tidak saling kenal. Kenal pun hanya sebatas tadi, tapi kenapa Ibu mau membantu saya?”

“Bukankah sesama muslim harus saling membantu? Sudah, ayo berdiri. Malu dilihat orang banyak.” Orang itu membantu Alula berdiri dan menggandengnya menuju kamar rawat inap sebelumnya.

Sepanjang berjalan, Alula menangis. Air matanya jatuh begitu saja.

“Bu, saya berhutang banyak sama Ibu. Ibu orang yang sangat-sangat baik,” ujar Alula.

“Sudah, jangan nangis terus. Malu sama umur.”

“Kenapa Ibu mau menolong saya? Kenapa Ibu bersedia membantu saya padahal tagihan rumah sakitnya sangat banyak?” Pertanyaan itu diulang-ulang.

Wanita penolong itu berhenti, lalu menatap Alula lembut. “Apakah sebuah pertolongan membutuhkan alasan? Kalau butuh alasan, namanya pertanyaan.”

Orang itu lantas tertawa. Alula ikut tertawa meski air matanya tidak jua berhenti menetes.

“Bu, terima kasih. Terima kasih banyak.”

"Iya, sama-sama."

Keduanya lalu berjalan kembali ke ruang inap Alula sambil bercakap-cakap ringan.

“Sus, tolong infusnya segera dilepas, ya. Biar putri saya ini bisa segera pulang.” Orang itu berbicara dengan perawat ruang jaga.

“Baik, Bu. Nanti saya ke ruangannya.”

Putri? Sebuah panggilan yang membuat tangis Alula kian kencang. Tidak ada orang asing begitu baik yang dikenal Alula sebelumnya, selain wanita asing ini.

Wanita asing itu entah disebut terlalu baik atau kelewat bo*doh karena mau membiayai rumah sakit yang nominalnya bisa dibilang tidak sedikit kepada Alula, orang yang sebelumnya hanya dikenal secara sekilas.

Tiba di kamar, Alula didudukkan di ranjang. Orang itu memegang kedua lengan Alula. “Siapa namamu, Dek?”

“Saya Alula, Bu. Saya bersaksi Ibu ini orang yang sangat baik. Tolong terima perhiasan receh saya ini. Sa-saya juga minta kartu nama Ibu. Kalau saya sudah punya uang, saya akan mengganti uang Ibu.” Alula mengambil tangan dan meletakkan di telapak tangan wanita tersebut.

“Husst, kamu ini ngomong apa utang utang. Saya Nur, panggil Tante atau Ibu, silakan. Simpan saja perhiasanmu, anggap pertolongan saya tadi salam perkenalan saja. Berbicara sama kamu sekilas tadi, cukup membuat saya jatuh hati sama kamu. Kamu itu cantik, baik, mandiri, pekerja keras.” Nur mengembalikan perhiasan Alula.

“Enggak, Bu. Tolong diterima. Ibu baru kenal saya, tapi bisa mengeluarkan uang banyak untuk saya. Apa Ibu nggak takut kalau ternyata saya orang jahat?”

Nur malah tertawa. Ia duduk di samping Alula.

“Orang jahat atau bukan, kalau ada yang sedang butuh bantuan, kita wajib membantu. Bukankah begitu? Lagi pula, kamu tidak bertindak kurang ajar sama saya. Jadi, saya menganggap kamu bukan orang jahat."

“Di antara manusia egois yang ada di bumi, ternyata Allah masih menyisakan orang berhati suci seperti Ibu. Bu, boleh saya minta peluk?”

Nur mengangguk, lalu memeluk Alula. Tangis Alula kian pecah di bahu Nur.

“Saya tidak bisa berbuat banyak selain ucapan terima kasih untuk saat ini. Saya berdoa semoga Ibu selalu sehat dan rezekinya diganti oleh Allah dengan berkali lipat. Tapi saya janji akan mengganti uangnya jika saya punya uang nanti.”

Nur hanya mengusap punggung Alula sayang.

"Cukup pikirkan kesehatanmu dulu. Nggak usah mikir hal aneh lain."

Keintiman mereka berakhir saat perawat masuk.

“Permisi, Bu. Saya akan melepas infus.”

Nur mengurai pelukan, sedangkan Alula menghapus air mata yang berderai di pipi.

“Iya, Sus. Silakan,” ujar Nur.

“Bu, pokoknya Ibu harus nerima perhiasan saya. Anggap ini sebagai jaminan. Nanti sewaktu-waktu akan saya ambil kembali sambil melunasi utang saya. Karena kalung ini, barang berharga peninggalan ibu saya.” Alula kembali meletakkan perhiasannya di telapak tangan Nur.

“Alula, jangan kayak gini.”

“Kalau Ibu nolak, saya juga bakal menolak dilepas infusnya. Biar kayak gini terus sampai saya pulang. Atau saya lepas sendiri saja.” Alula hampir melepas jarum infus sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status