Share

1

Nama: Karenina Subagyo

TTL: Jakarta, 15 Desember 1993

Hobi: Memasak

Tinggi Badan: 161 cm

Berat Badan: 47 kg

Pekerjaan: Manajer Restaurant Nusantara

Kelebihan: Cerdas

Kekurangan: Pendek

Tipe ideal: Lelaki normal

Nina sudah selesai mengisi formulir untuk tahap pertama audisi acara pencarian jodoh "Find Your Love". Saking sibuknya Nina selama beberapa hari terakhir, Ia pun melupakan formulir yang telah dicetaknya setelah berhasil mendaftarkan diri secara online. Alhasil, Nina akhirnya dikejar deadline untuk menyelesaikan pengisian formulir karena terakhir pengumpulan adalah jam 12 malam ini. Itu pun karena Sasa yang terus mengingatkannya dari semalam.

Baru sampai tahap administrasi ternyata membuat Nina merasa lelah. Formulir 4 halaman ini memiliki pertanyaan yang sangat tidak penting dan tidak berguna bagi Nina. Ia lebih baik membaca ratusan lembar administrasi calon pegawai daripada harus mengisi formulir bodoh ini. Nina tidak punya kelebihan, tapi dia juga tidak tahu apa kelemahannya. Nina tidak punya tipe ideal, tapi dia tahu kalau dia mudah jatuh cinta.

Kalau saja tidak karena diburu oleh orang tuanya yang menginginkan cucu, mungkin Nina tidak akan peduli jika harus melajang seumur hidup, walaupun Nina akan kesepian sih, tapi dia belum siap untuk memiliki anak. Belum lagi ancaman orang tuanya yang tidak akan mewariskan restaurant keluarga ke tangannya. Restaurant yang sudah menjadi darah dagingnya yang dia kelola sepenuh hati. Karena orang tuanya takut, jika Nina tidak memiliki anak, maka restaurant pun akan terkubur bersama Nina di dalam tanah saat tua nanti.

"Tok! Tok! Tok!" Sebuah ketukan di pintu berhasil mengagetkannya. Nina buru-buru menyembunyikan formulir di dalam laci mejanya. Jangan sampai ada yang tau kalau Nina akan mengikuti audisi acara bodoh ini. Hari dimana dia menyetujui saran Sasa saja rasanya sudah cukup memalukan. Seakan Nina tidak selaku itu sampai harus mengikuti acara ini. Sejauh ini hanya Nina dan Sasa yang tahu dan akan menjadi rahasia mereka berdua saja. Jika seluruh pegawai tahu maka habislah dia akan dijadikan bahan ejekan terutama oleh makhluk yang kini tengah mengetuk pintu ruangan kerja Nina.

"M-masuk!"

"Pagi-pagi udah stress aja lo. Nih, daftar menu baru buat bulan depan. Lo pilihin deh yang mana baiknya. Soalnya gue pusing, ide anak-anak makin aneh aja." Andre sang koki eksekutif membawa papan daftar menu yang akan di launching bulan depan. Meskipun Andre adalah koki eksekutifnya, restaurant nusantara keluarga Nina mengutamakan musyawarah mufakat. Karena menurut prinsip orang tuanya, semakin banyak suara maka semakin valid sebuah keputusan.

"Maksudnya?"

"Mereka mau bikin terobosan baru. Kaya masakan nusantara di kolaborasi sama masakan western gitu lah. Maksud gue-- itukan melanggar prinsip kita yang sudah berpuluh tahun ya. Tapi di satu sisi, gue rasa itu juga ide yang bagus sih. Karena restaurant ini udah terlalu tua dan jadul. Pelanggan kita makin sepi. Kebanyakan yang makan juga pelanggan tetap udah dari jaman bokap nyokap lo yang alhamdulillahnya masih hidup. Ada kali yang udah meninggal saking lamanya rumah makan ini."

Restaurant Nusantara merupakan warisan turun temurun keluarga Nina yang mulai dibangun oleh kakeknya Yusuf Subagyo pada tahun 1980-an. Saking terkenalnya, restaurant ini telah memiliki cabang dimana-mana karena dianggap sebagai rumah makan dengan aksen tradisional yang khas dan tetap konsisten mempertahankan cita rasa yang sudah berpuluh tahun lamanya. Kantor utama sendiri merupakan tempat Nina bekerja saat ini yang khusus menyediakan menu-menu spesial yang tidak akan didapat di kantor cabang lainnya. Kesannya pun lebih mewah dan memang biasa digunakan oleh para orang penting saat dine in. Berbeda dengan restaurant makanan khas Indonesia lain yang pada akhirnya mengikuti perkembangan zaman terutama selera Gen Z, Restaurant Nusantara tetap bersikukuh mempertahankan mottonya. Namun, pada akhirnya selera masyarakat tetaplah yang utama. Cabang yang tadinya tersebar di seluruh Indonesia harus rela tutup satu persatu karena kalah saing dengan restaurant kekinian yang mulai muncul di kalangan Millenial dan Gen Z.

"Gue sih setuju aja asalkan konsep yang paling dominan ya tetap nusantara. Hari gini masih sok idealis, yang ada kita bangkrut, Ndre." Nina sebenarnya sudah menyarankan ide ini sejak lama. Tetapi ayahnya tetap bersikukuh untuk tidak mengubah apapun sampai akhir masa kepemilikannya. Salah satu hal yang juga membuat sang ayah meragu untuk segera memberikan tanggung jawab penuh kepada Nina atas kepemilikan restaurant ini adalah karena menurut sang ayah Nina terlalu terpapar dengan budaya barat sehingga ingin mulai merubah semua yang berhubungan dengan restaurant. Karena Nina lebih mementingkan profit, sedangkan sang ayah lebih mementingkan sejarah.

"Tapi mending lo tanya bokap lo deh soalnya kan dia yang punya."

"Nggak usahlah. Meskipun gue cuman manajer, cepat atau lambat restaurant ini bakalan jadi milik gue. Mau sampai kapan coba gue berdiri dibawah kakinya bokap. Kapan gue bisa ambil keputusan kalau gitu."

Andre kemudian mengangguk setuju, "Yah, setidaknya lo bilang lah sama Pak Subagyo. Hitung-hitung menghargainya sebagai pemilik. Pak Subagyo tetap harus tau sih kalau menurut gue tentang hal ini. Apalagi ini terobosan yang bakal merubah sedikiiitt daripada prinsip kita."

Nina kemudian mengangguk setuju, "Ada lagi?"

Andre tampak berpikir keras. Nina bisa melihat keraguan dari mata Andre. Ada sesuatu yang ingin disampaikannya tetapi masih tertahan di lidah.

"Itu aja deh. Yaudah gue balik kerja lagi." Baru saja Andre berbalik menuju pintu, tiba-tiba dia berbalik dengan mata melotot, "Oh iya, lo ikut acara Find Your Love ya?"

****

"Lo masih marah sama gue?" Tanya Sasa begitu mereka masuk ke dalam mobil. Sasa menghadap Nina sembari menyandarkan kepalanya di pintu mobil. Aneh, harusnya kan Nina yang marah karena Sasa sudah berani membocorkan rahasia penting diantara mereka. Kenapa malah Sasa yang berbalik hendak memarahinya ya.

"Lo tuh lemes banget jadi orang ya. Perlu banget apa ngumumin ke semua orang kalau gue mau ikut Find Your Love? Gue malu!" Nina memekik. Dia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

"Apaan sih malu-malu. Nggak usah sok jaim gitulah. Kita semua udah tahu irama kentut lo kali. Kita udah jadi rekan kerja dari jaman kapan lo masih aja malu. Tai lah."

"Masalahnya gue ngerasa kayak.....kesannya hopeless gitu sampai harus ikutan audisi acara beginian. Kayak nggak laku banget gitu."

"Heh, lo tuh bukannya nggak laku. Tapi lo tuh spesial. Banyak diluaran sana yang ngantre buat ikut acara ini. Makanya gue nyuruh lo tonton acaranya yang pertama. Biar lo tuh tahu orang macam apa yang jadi finalis acara ini. Bukan kaleng-kaleng, Nin."

"Ah nggak tahu lah. Kayaknya juga gue nggak bakalan lolos." Nina mulai mengeluarkan mobil dari parkiran. Saat ini mereka sedang menuju salah satu Mall untuk membeli perlengkapan bayi. Sebagai hadiah atas kelahiran istri Andre 3 hari yang lalu.

Sasa menyipit curiga, "Mana sini gue liat formulir lo isinya apaan."

"Ambil aja tuh." Sasa mengambil tas Nina yang tergeletak sembarangan di belakang. Sasa menggelengkan kepala dengan heran. Sebenarnya Sasa sendiri ketar ketir kalau seandainya Nina lolos menjadi finalis Find Your Love. Karena Nina Subagyo merupakan manusia terjorok yang pernah Sasa kenal. Dia tidak bisa memasak, tidak bisa bersih-bersih rumah, tidak bisa cuci piring, pokoknya sangat jauh dari kriteria mantu idaman. Kelebihannya hanya satu.

Dia cantik.

Tuhan! Semoga nggak ada mantan Miss Indonesia yang ikut acara ini! Kalau Nin kalah cantik dia sudah tidak punya apa apa lagi Tuhan! Batin Sasa

Semoga saja Nina bisa survive di asrama nanti. Jangan sampai temannya ini kena hujat netizen.

"Astaga, Ninaaaa! Jawaban lo malu-maluin banget. Tidak mencerminkan manusia berkualitas." Sasa melotot melihat isi formulir. Wajahnya tercengang melihat jawaban-jawaban absurd yang sudah pasti tidak akan mengantarnya menuju kelolosan. Nina pun segera mengambil Tip X dan menghapusi seluruh jawaban Nina.

"Heh! Mau ngapain lo?!"

"Udah lo percaya aja sama gue. Di jamin lo akan menjadi manusia yang paling berkualitas diantara finalis lainnya." Sasa mulai menulis dengan fokus seolah-olah formulir di tangannya adalah soal Ujian Nasional. Sesekali bibirnya tersungging licik dan bersorak seakan menemukan duit 1 miliar.

Sasa pun segera memasukkan formulir ke dalam tas Nina dan melipatnya dengan rapi, "Pokoknya lo nggak usah buka-buka lagi. Malam ini tinggal lo kirim aja ke adminnya. Gue jamin, jawaban gue bakalan bikin lo lolos tahap adminstrasi." Sasa meyakinkannya.

"Awas aja ya lo nulis yang aneh-aneh. Lo harus ingat, setelah gue lolos tahap 1 gue bakalan dipanggil untuk interview. Gue nggak mau kalau misalkan gue di ketawain satu ruangan."

"Percaya deh sama gue. Gue nggak akan menjerumuskan teman gue sendiri." Nina tersenyum bangga.

"Harusnya tuh lo yang ikut. Lo kelihatan suka banget sama acaranya."

"Iya kan? Sayang banget gue udah keburu kawin. Kenapa juga sih acaranya harus tayang sebulan setelah gue nikah. Gue tuh udah siap banget bersaing sama perempuan-perempuan itu untuk mendapatkan cinta sejati gue."

"Dih, gue bilangin Rama loh ya."

"Eh! Jangan dong, entar duit bulanan gue dipangkas. Gue nggak bisa nyalon lagi." Balas Sasa galau.

****

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Makan dulu, Nak." Ibundanya, Viviana Subagyo tengah menyiapkan makanan bersama dengan ART barunya, Aziza. Tentu saja, tidak ada makanan western ala Italia atau Perancis. Lidah ayah dan ibunya tidak semodern itu. Makanan yang tersedia di meja makan adalah makanan nusantara. Jika Nina dan adiknya sedang ini makan pasta, maka Ia diam-diam akan memesan Gofood dan memakannya di dalam kamar. Walaupun tidak ada larangan di rumahnya untuk makan-makanan barat, tapi Nina sangat paham dengan watak orang tuanya itu. Apalagi ayahnya yang pasti akan menyindirnya selama berhari-hari sampai Nina hapal dengan setiap kalimatnya.

Makanan kayak gitu nggak sehat. Nggak ada sayurnya.

Kayaknya ada yang mau mati muda. Makannya fast food terus.

Lebih enak rendang buatan ibu. Kaya akan rempah.

Makanan apa itu? Seperti makanan kucing.

Kira-kira begitulah sindiran ayahnya selama ini. Sehingga Nina memilih buta dan tuli.

"Mana Bapak?"

"Masih di ruang kerja tuh. Panggilin sana. Sekalian panggilkan adikmu ya. Gara-gara UTS dia belajar mulu. Kasihan lihatnya sering telat makan."

Nina pun menaiki tangga menuju ruangan kerja ayahnya dan menuju kamar Gilang adiknya. Namun, belum sempat diketuk, pintu ruang kerja ayahnya telah terbuka. Menampilkan sosok yang tampak lelah namun berusaha tersenyum, "Eh, udah pulang, Nak."

"Iya. Bapak makan dulu sana, aku mau ke Gilang."

"Gue udah disini."

"Eh! Monyong!" Nina terlonjak kaget hingga punggungnya membentur dinding. Ia terkejut melihat sosok jangkung adiknya tiba-tiba sudah berada di belakangnya.

Sejak kapan dia dibelakang gue? Kok nggak kedengeran langkah kakinya sih? Batinnya. Nina melirik pada telapak kaki adiknya. Alhamdulillah masih menapak tanah.

"Kenapa lo? Mau ngecek gue hantu atau manusia?" Tebakan adiknya tepat sasaran. Seperti biasa dengan wajah dingin dan datarnya yang kayak batu.

"Iya. Muka lo serem soalnya. Kayak mayat hidup. Udah berapa lama lo belajar? Kantung mata sampai hitam begitu." Nina menggelengkan kepalanya. Nina dan Gilang memang saudara kandung. Tapi kepribadiannya sangatlah bertolak belakang. Nina lebih mewarisi sifat ibunya yang ceria dan cerewet. Sedangkan Gilang mewarisi sifat sayng ayah yang kalem dan cenderung pendiam tetapi Gilang lebih dingin jika dibandingkan bapak. Jika Gilang rajin, maka Nina pemalas. Jika otak Gilang cerdas, maka Nina memiliki otak pas-pasan. Wow, ternyata Nina memiliki banyak sekali kekurangan. Seharusnya dia menulis itu di formulir tadi.

"Lo jangan terlalu keras belajarnya. Nyantai aja lah. Nilai lo udah bagus kok." Nina berujar. Kini mereka tengah menuju ruang makan keluarga bersama. Meskipun mereka sangat bertolak belakang, Nina dan Gilang sangat dekat sebagai saudara.

"Nggak bisa Mbak, semester kemarin IPK gue 3,91, harusnya bisa A itu. Gara-gara ada matkul yang dapat A-. Nggak puas gue." Keluh Gilang.

"Ya ampun, Lang. Kesuksesan itu tidak dinilai dari IPK. Tapi dari garis pantat. Lihat nih gue, lulus IPK 2,95 tapi berhasil tuh mengelola restaurant bapak."

"Ah, kalau nggak ada restaurant bapak lo mau kerja apa emang dengan IPK segitu? Makanya gue nggak mau bersaing sama lo buat nerusin restaurant bapak. Lo tuh--" Gilang meliriknya from head to toe, "Nggak selevel sama gue." Lanjutnya. Nina sontak memukul kepala adiknya dengan keras hingga adiknya mengaduh kesakitan. Alih-alih minta maaf, Nina malah segera kabur menuju ruang makan untuk berlindung dibalik punggung ibunya. Begini-begini, Nina juga takut kepada adiknya. Setelah beranjak dewasa, entah kenapa Gilang yang dulu hanya sebahu Nina saat SMP berubah menjadi sanggat tinggi. Bahkan tinggi Nina pun tidak mencapai bahunya. Belum lagi Gilang sangat rajin berolahraga sehingga tubuhnya terlihat atletis.

"Aduh, Nina! Suka deh iseng sama adiknya sendiri. Ayo cepat makan!" Seru ibunya.

Nina pun segera mengambil lauk pauk dengan brutal. Perutnya kosong sedari sore tadi membuat perutnya keroncongan. Belum lagi karena habis dari mall dengan Sasa di ratu belanja, Nina harus rela dibawa kesana kemari untuk melihat-lihat barang yang bahkan tidak Ia beli.

"Nina, besok ikut ibu arisan ya. Besok kan weekend sekalian ketemu sama Mas Lingga."

Aduh! Siapa pula itu Mas Lingga? Nina menggeleng pelan sebagai tanda penolakan. Lagipula, endingnya pasti akan selalu sama. Lelaki itu akan mundur setelah tahu kebiasaan hidup Nina yang katanya tidak wife material. Nina sih tidak peduli, Nina ingin dijadikan istri bukannya babu. Tetapi tentu saja hal itu membuat ibunya semakin gencar menjodohkannya. Sudah lelaki dengan berbagai jenis profesi dikenalkan kepada Nina. Namun, tidak ada satu pun yang berhasil.

"Lho kenapa toh? Daripada kamu di rumah main Hp, golar goler di kasur nggak jelas. Mending ikut ibu kegiatan yang bermanfaat."

"Ngapain sih, Bu? Nina males kalau ujung-ujungnya dijodohin." Mendadak Nina tidak nafsu makan. Padahal isi piringnya belum habis separo. Tapi kalau makanannya terbuang pun sayang.

"Suatu keajaiban si Lingga setuju untuk pertemuan kedua kalian. Jarang-jarang lho anak bapak akhirnya laku. Bapak kira kamu bakal jadi perawan tua."

"Kayak dia masih perawan aja." Celetukan asal Gilang berhasil membuat kedua orang tuanya melotot. Sang ibunda langsung beristigfar dan memukul kepala anak bungsunya itu.

"Gilang kalau ngomong suka sembarangan. Lagian siapa yang mau bobol Mbakmu yang belum laku ini."

Nina tersenyum masam. Nina kira ibunya akan berada di kubunya. Namun, mulutnya sama saja seperti ayah dan adiknya, sama-sama tidak berperasaan.

"Lagian ibu mau juga nimang cucu, Nin. Teman-teman ibu kalau arisan suka pada bawa cucu ihhh lucu dan gemes banget. Nggak kasihan sama ibu, Nin cuman bisa nguyel adonan kue."

"Ibu mah masa mau punya cucu cuman buat ajang pamer sih? Kaya mainan aja. Minta cucu sama Gilang gih!" Usul Nina.

"Eh, gue tuh laki-laki masih harus cari duit buat nafkah anak bini gue. Lo kan perempuan Mbak, nanti ujung-ujungnya juga di dapur."

"Udahlah, Nin ikuti aja kata ibu. Bener, setidaknya kamu ada kegiatan weekend ini. Soalnya kamu kalau di rumah juga nggak mau bantuin Bapak mangkas rumput belakang. Disuruh ngasih makan Joni juga nggak mau." Joni adalah Burung Beo peliharaaan kesayangan Bapak.

"Nina kan perempuan, Pak. Masa disuruh mangkas rumput. Memangnya Nina anak jantan." Kilahnya.

"Begini aja baru ngaku anak perempuan. Tapi disuruh cuci piring nggak mau." Dumel ibunya ikut-ikutan memojokkan Nina.

"Pokoknya besok ikut ibu aja ya, Nin." Sambung Bapaknya lagi tak ingin dibantah.

"Kata siapa aku besok nggak ada acara."

"Lho emang kamu mau kemana toh?"

"Hehe, audisi."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status