Share

Turn Back Time
Turn Back Time
Penulis: Unichias

01. Awal Masalah

Prolog

     "Irina, tolong makan sedikit saja. Calon anak  kita perlu makan, jangan menyiksa dia seperti ini." Entah sudah berapa kali Tristan meminta istrinya itu menyentuh makanan yang sudah mendingin di atas meja ruang tamu.

        Irina, wanita itu tampak lebih kurus dari sebelumnya. Wajahnya kuyu menahan pilu, matanya sendu menyimpan air mata yang tak sanggup lagi ia turunkan, sesekali matanya bergetar ingin menumpahkan emosi yang tak kunjung juga mereda.

        "Bagaimana kalau aku dulang?" tanya Tristan.

       Irina diam, pandangan matanya nanar menatap lurus ke depan. Tristan menghela napas pelan, lantas duduk di samping Irina. Tristan tahu bahwa perempuan yang sekarang sudah sah menjadi istrinya itu masih belum bisa menerima kenyataan dengan sepenuh hati tapi,  walaupun begitu Tristan harus tetap menepati janjinya sendiri. Ini kesalahannya  dan tak mungkin pula Tristan akan melukai Irina sekali lagi.

       "Irina, tolong dengarkan aku ... calon anak kita perlu makanan yang bergizi agar dia bisa tumbuh dengan sehat di dalam perutmu," ucap Tristan seraya mengambil tangan kurus Irina, berharap perempuan itu akan merespons perkataannya.

       "Pergi saja." Satu kalimat keluar dari bibir kering nan pucat milik Irina.

      "Irina, tolong jangan seperti ini. Jangan menyiksa dirimu sendiri," kata Tristan, "Aku tahu seharusnya ini semua enggak pernah terjadi tap—"

       "Lebih baik kamu pergi sekarang!" ketus Irina.

       Tristan mengangguk dan mencoba mengontrol emosinya yang sedari tadi tertahan dan hampir saja meledak, Tristan tetap menggenggam tangan Irina hingga perempuan itu mencoba melepaskannya dengan paksa lantas mengambil sebilah pisau roti yang ada dari atas nampan kayu yang ada di hadapan mereka.

       "Irina, apa yang ingin kamu lakukan?!" tanya Tristan agak terkejut.

       "Aku benci kamu! Aku benci bayi menyebalkan ini! Aku benci semuanya!" jerit Irina, tiba-tiba menjadi histeris seperti orang kesurupan.

        Irina belakangan ini memang sering menjadi histeris, mudah tersinggung, dan menangis. Irina menjadi seperti itu karena perbuatan Tristan, kalau saja Tristan tak membohongi Irina malam itu mungkin saja Irina masih baik-baik saja sekarang.

       Irina hendak menggoreskan mata pisau roti ke pergelangan tangannya namun, dengan sigap Tristan menahannya. "Apa yang ingin kamu lakukan? Jangan nekat, Irina!"

        "Lepaskan, Tristan! Aku mau mati! Lepaskan! Jangan menghalang-halangi aku lagi!"

       "Enggak, kembalikan pisau itu," gumam Tristan bersusah payah mengambil alih pisau roti dengan mata bergerigi itu—walaupun mungkin saja sia-sia.

        Setelah Tristan berhasil mengambil alih pisau roti tersebut Irina menangis histeris, terisak tak karuan seperti seorang bocah berusia empat tahun yang tak dibelikan permen cokelat oleh ibunya, Irina meraung sembari memukuli bahu Tristan yang berusaha menenangkannya.

       "Maaf, Irina ... aku benar-benar minta maaf." Hanya kalimat itulah yang keluar dari mulut Tristan ketika melihat Irina menangis sesenggukan.

       Sementara itu tangan kanannya sudah menggenggam botol spray kloroform pemberian dokter tempo hari, dengan cepat Tristan menyemprotkan cairan bius itu ke selembar tissue dapur dan membungkam Irina  sesegera mungkin. Tristan terpaksa melakukan hal itu karena ia tidak ingin Irina menjadi lebih histeris lagi, ia juga tak sanggup untuk menangani Irina seorang diri. Ia butuh orang lain untuk membantu merawat Irina.

***

        "Kamu yakin dia baik-baik saja?" tanya seorang laki-laki muda kepada Tristan yang sedang duduk dengan posisi kepala menunduk.

       "Seharusnya begitu, Doy. Tapi, aku juga enggak bisa seperti ini terus ... Irina bisa saja melakukan hal-hal yang lebih parah lagi dibandingkan itu, bisa saja ia bunuh diri dengan cara yang lain, aku benar-benar membutuhkan perawat untuk mengawasi Irina di rumah saat aku bekerja,”  jawab Tristan sedikit tak bersemangat.  

        "Kenapa kamu enggak menelepon sahabat Irina untuk membantumu? Bukankah dia punya dua  sejawat?” tanya Doy kemudian.

       Tristan menghela napas panjang. "Permasalahannya adalah, Irina enggak mau bertemu siapa pun. Ia akan menjadi sangat histeris kalau bertemu orang lain.”

        "Sebenarnya apa yang kamu lakukan sampai Irina menjadi depresi seperti itu?" celetuk salah satu rekan kerja Tristan yang sedari tadi menyimak pembicaraan mereka.

       Tristan menangkup wajahnya dengan kedua tangannya merasa amat bingung, sementara Yudha dan beberapa rekan kerjanya yang lain sudah mempunyai hipotesis argumentatif untuk kejadian yang menimpa Tristan sekarang.

       "Jangan bilang kalau kamu memang sengaja ingin menjebak Irina dengan beberapa orang itu?" tebak Yudha.

       "Yudha, kamu kok bisa-bisanya berkata seperti itu? Kamu ‘kan enggak tahu kejadian yang sebenarnya seperti apa jadi, jangan berspekulasi seperti itu," timpal Doy berusaha mencairkan suasana ruangan itu yang mendadak menjadi tegang.

       “Lagi pula siapa yang enggak mempunyai pemikiran seperti itu, Doy? Kita tahu sendiri kalau Tristan lah alasan Irina untuk selalu bertahan,” ucap Yudha. “Aku berkata seperti ini bukan karena tertarik kepada Irina tapi, karena aku juga mempunyai kakak dan adik perempuan.”

     Tristan mengusap kasar wajahnya mencoba mencari jawaban dalam kegelapan sanubari. Mencoba mencari setitik embun yang rela turun di padang pasir yang gersang. Namun, sekali lagi ia gagal untuk menemukannya, Ia tak bisa mencarinya sendirian karena ingin segersang apa pun sebuah padang pasir bila diarungi sendiri maka percuma saja. Jawaban itu tak diketemukan.

        "Ini semua berjalan di luar rencana awal, Yudh. Kamu tahu itu tapi, semuanya sudah kejadian,” jawab Tristan pasrah.

        Yudha menyeringai kecil. “Semuanya memang sudah terjadi, dan apa salahnya kamu menjelaskan secara rinci apa tujuan awal kamu ingin mengerjai Irina.”

       "Sudah kukatakan berulang kali kalau aku hanya ingin bercanda, enggak seperti yang kalian pikirkan sebelumnya. Aku sama sekali enggak merencanakan hal buruk untuk Irina," ujar Tristan penuh penekanan di setiap suku kata.

       Sebagai pihak penengah, Doy menepuk pundak Yudha pelan agar laki-laki itu diam sejenak. "Di sini kita hanya orang yang enggak mengerti masalah inti yang sekarang melilit kehidupan Tristan tapi, ada baiknya kita membicarakan ini sama-sama dengan berbagai kacamata. Kita enggak bisa menyelesaikan permasalahan ini hanya dengan satu kacamata."

        Yudha menggeleng pelan. "Astaghfirullah, Aku minta maaf, Tris. Aku  enggak bermaksud seperti itu, aku terbawa emosi."

     Tristan terdiam, menangkup wajahnya dengan kedua tapak tangan. Ia tak habis pikir segala sesuatu yang ia rencanakan malah berubah drastis. Tristan mencelakakan Irina secara kebetulan, dan itu adalah momok baginya saat ini.

      "Aku benar-benar minta maaf atas perkataanku tadi, Tris. Aku mengerti perasaan kamu saat ini, lebih baik sekarang kita ambil wudhu dan sholat dzuhur sebelum habis waktunya," ujar Yudha kemudian.

      "Benar. Sekarang sudah waktunya untuk sholat dzuhur, lebih baik kita ke ruang ibadah sekarang, kita adukan semua masalah kita kepada-Nya agar diberikan kemudahan," tambah Doy sembari melepaskan blazer yang dikenakannya.

       Tristan tertegun sejenak, menatap kedua sejawatnya itu dengan sangat canggung. “Tapi, aku jarang sholat, apa doa yang aku panjatkan akan dijabah?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status