Share

06. Keputusan Mama

     “Apa kata dokter tadi?” tanya Marrey tampak bingung dengan wajah Tristan yang terlihat bimbang setelah menelepon dokter itu.

       Tristan duduk di hadapan Marrey, melipat kedua tangannya dengan rapi.  “Dokter Oriche mengatakan bahwa Irina bisa sembuh dengan terapi.”

        “Kalau begitu langsung kita ambil saja,” ujar Marrey cepat.

   

       “Mama setuju dengan terapi yang akan dilakukan oleh mereka? Kalau Mama setuju besok setelah pulang kerja aku akan menemui Dokter Oriche untuk membicarakan ini,” kata Tristan kemudian.

        “Kalau tujuannya baik, pastinya Mama setuju,” balas Marrey.

       “Baiklah, Ma. Aku akan menengok Irina dulu di kamar, siapa tahu dia sudah bangun,” gumam Tristan berdiri sembari membawa beberapa potong roti isi untuk Irina karena dia yakin jika membawa nasi dan lauk pauk lagu, Irina akan menolak mentah-mentah.

       Marrey mengangguk mengiyakan sementara itu ia sendiri akan sibuk dengan kegiatan merajutnya di ruang tengah dengan beberapa gulung benang wol lembut asli bulu domba. Tristan tersenyum tipis kepada Marrey kemudian melangkahkan kakinya menaiki puluhan anak tangga yang dilapisi keramik anti slip berwarna abu-abu.

      Ia menaiki tangga dengan perlahan, menikmati setiap langkahnya. Kemudian setelah ia sampai di anak tangga paling terakhir ia sempat menggesekkan alas sepatunya ke sebuah keset yang ada di ujung sana agar tidak meninggalkan cap kotor di lantai lantas ia masuk ke dalam kamarnya sendiri. Irina masih tertidur karena efek samping kloroform, Tristan merasa iba melihat wajah pucat Irina saat itu.

       “Maafkan aku, aku terlalu berlebihan kepadamu ....”

       Tanpa sadar, tangan kanan Tristan terulur hingga menyentuh puncak kepala Irina, membuat Irina tersentak kaget begitu pun juga dengan Tristan yang ikut terkejut. Irina melirik Tristan dengan pandangan sayu dan sendu namun tak bisa mengatakan perasaan apa yang dirasakannya saat ini. Wajah kuyu itu selalu membuat Tristan menjadi sangat merasa bersalah.

      “Irina ....”

      “Tristan ....”

       Ada perasaan bahagia yang menjalari hati Tristan saat mendengar Irina memanggil namanya walaupun tanpa adanya tambahan spesial di awalannya tetap saja Tristan merasa senang. Dengan penuh semangat Tristan menghampiri Irina kemudian meletakkan paper oil yang ia bawa di atas nakas sebelum membantu Irina mendapatkan posisi duduk yang sempurna.

       “Kamu ingin memakan sesuatu?” tanya Tristan dengan seulas senyum.

       “Aku ingin pulang,” ucap Irina dengan mata berkaca-kaca.

       Tristan kembali bengong setelah mendengar ucapan Irina, Tristan terlihat sangat kebingungan setiap kali Irina mengatakan bahwa ia ingin pulang. Padahal mereka berdua sudah di rumah, apakah Irina lupa bahwa mereka berdua sudah berada di rumah saat itu? Ataukah Irina memang benar-benar tambah parah?

        “Tristan ....”

        “Tenang dulu, kamu aman bersamaku. Kamu makan dulu biar bertenaga untuk pulang,” bujuk Tristan kemudian.

        “Tapi, aku ingin pulang,” gumam Irina semakin lirih.

        “Iya, habis ini aku antar pulang. Makan dulu ya,” kata Tristan lagi, semakin berusaha untuk membujuk Irina agar memakan roti isi itu.

***

       “Jadi, kamu berniat untuk membawa Irina pergi ke psikolog esok hari? Dan kamu mengambil cuti untuk esok?” rentetan pertanyaan keluar dari mulut Yudha tanpa henti seolah sedang menginterogasi.

      Tristan mengangguk pelan tanpa menoleh, melihat sejawatnya yang tampak sedikit heran dengan tingkahnya. Hari ini Tristan terlihat lebih kalem dari pada hari sebelumnya yang terlihat sangat kekanakan. Memakai setelah jas yang sangat rapi dan licin dengan tatanan rambut yang disisir rapi mengkilap ke belakang, wajah tirusnya pun semakin tampan ketika dibingkai dengan kacamata minus bergagang tipis berwarna perak.

       “Apa ada yang salah dengan penampilanku?” tanya Tristan kemudian ketika menyadari bahwa Yudha menatapnya dari atas sampai kaki tanpa henti.

        “Enggak, kamu hanya terlihat lebih dewasa saja dengan penampilan seperti ini,” kelakar Yudha menggaruk tengkuknya.

        “Aku ‘kan memang sudah tua,” kekeh Tristan.

        “Tapi, beberapa hari yang lalu kamu sama sekali enggak kelihatan sudah tua,” gumam Yudha, “Sudahlah, aku pamit pergi dulu ke ruangannya Johnny untuk mengantar beberapa box map file ini.”

       Tristan melirik kotak kardus yang masih disegel dengan isolasi secara rapi, Ia menautkan kedua alisnya dengan wajah penuh tanya.

       “Apa itu?”

       “Map file untuk persiapan rapat dan lain-lain, semuanya sudah dipersiapkan,” kata Yudha.

        “Oh begitu... ya sudah, cepat antarkan itu. Aku juga harus ke ruang fotokop—“

        Baru saja Tristan ingin menyelesaikan perkataannya, seorang satpam masuk dengan terengah-engah karena sudah berlari cukup jauh. Satpam tersebut masih tampak tersengal-sengal ketika ingin mengutarakan maksud kedatangannya. Yudha yang kasihan akhirnya menyodorkan botol air mineral miliknya yang masih bersegel.

      “Minum dulu, Pak. Ada apa sih kok sampai terburu-buru begitu?” tanya Yudha kemudian.

      Satpam parubaya itu tampak sangat begitu lelah hingga air mineral yang tadinya sangat penuh nyaris tandas hingga ujung botol. Setelah puas meminum air mineral itu, ia menarik napas panjang mengatur sirkulasi udara yang ia hirup.

      “Ada apa, Pak? Kok buru-buru begitu?” tanya Tristan lagi.

      “Saya ke sini untuk memanggil Den Tristan, di lobi ada perempuan yang mencari Den Tristan sampai mengamuk,” ucap Satpam tersebut.

       “Siapa, Pak?” tanya Tristan penasaran.

        “Enggak tau Den Tristan, kurang kenal juga. Lebih baik Den Tristan ke sana dulu untuk melihatnya,” gumam Satpam itu.

       “Apa mungkin Irina, Tris?” tanya Yudha kemudian dengan tatapan penuh keheranan.

        “Tapi, enggak mungkin banget kalau Mama membiarkan Irina keluar sendiri, kan dia masih dalam proses penyembuhan,” ujar Tristan. “Lebih baik, aku menemuinya dulu. Ayo, pak.”

       Tanpa menunggu lama Satpam berseragam hitam putih itu membimbing Tristan menuju lobi yang ada di lantai dasar.  Perusahaan itu adalah perusahaan yang bergerak di bidang property,  perusahaan yang dibangun dan dikembangkan oleh Triandri Douwes Hadiwira kakek buyut Tristan. Namun, walaupun Tristan adalah orang yang sedarah dengan Triandri tetap saja ia hanya diberikan pekerjaan dengan gaji pas-pasan karena hanya menjadi asisten Doy yang menjadi kepala seksi humas.

      Hal itu disebabkan oleh kesalahpahaman antara ayahnya yang bernama Randi dan Tristan sendiri, semua orang juga tak akan menyangka dengan keputusan Randi yang terkesan begitu kejam kepada anak kandungnya sendiri. Walaupun sebenarnya Randi mengetahui bahwa bukan Tristan lah yang merusak hidup Irina secara langsung namun, Tristan tetap diberikan pekerjaan itu.

       “Dari tadi perempuan itu berteriak-teriak sendiri karena mencari Den Tristan,” ucap Satpam itu lagi dengan suara bergetar.

       “Astagfirullah, sebenarnya siapa perempuan itu, Pak? Bagaimana ciri-cirinya?” tanya Tristan lagi saat mereka baru saja memasuki lift.

       Satpam tersebut segera menekan tombol menuju lantai dasar, lantas kembali melirik Tristan, “ Dia cantik Den, rambutnya panjang bergelombang agak kecokelatan, pakaiannya juga bagus-bagus seperti dari keluarga gedhongan.

       Tristan kembali memutar bola matanya sembari mencoba mengingat siapa perempuan yang dimaksud oleh Satpam kepercayaan Randi itu. Hampir tiga belas menit lamanya mereka di dalam lift sebelum akhirnya pintu baja itu terbuka tepat di dengan sebuah meja resepsionis.

       “Itu Pak, perempuannya,” kata Satpam itu sembari menunjuk ke beberapa satpam lainnya yang sedang menghadang seseorang.

        Tristan dan satpam tersebut perlahan berjalan menghampiri perempuan tersebut, dengan was-was Tristan menduga-duga siapa sebenarnya perempuan yang mencarinya di jam kerja seperti ini, apa lagi sampai membuat satpam ikut kewalahan. 

       “Kamu?”

   

      

     


Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status