Share

10. Perkara Elusif

       “Irina ... bangun sayang ... sudah hampir Ashar.”

        Irina mengerjapkan mata beberapa kali saat mendengar suara dan sebuah usapan pelan di puncak kepalanya, ia sedikit terkejut karena menyadari bahwa dirinya sekarang sudah berada di kamar dengan selimut menutupi tubuhnya hingga pinggang.

       “Kamu ketiduran saat psikoterapinya selesai, kata dokter Laurent hal itu wajar-wajar saja jikalau pasien yang menjalani hipnoterapi tertidur.” Tristan berkata seolah menyadari kelinglungan Irina saat itu.

       Irina menghela napas saat mendengar perkataan Tristan namun, masih enggan untuk bangun dari tempat tidur karena merasa sangat pusing. Irina kembali berbaring, memunggungi Tristan yang masih berusaha membangunkannya.

       “Astaghfirullah, jangan malas begitu dong, Rin. Ini sudah hampir Ashar, kamu mandi dulu nanti tidur lagi,” kata Tristan.

        “Tadi juga sudah mandi, menghabiskan air saja,” celetuk Irina.

        “Bukan menghabiskan air, Irina. Tapi, enggak baik kalau ibu hamil mandi lewat jam lima sore,” gerundel Tristan kemudian sembari merapikan kamar mereka yang hampir seperti kapal pecah.

       “Mitos,” tampik Irina tak memedulikan perkataan Tristan.

       “Wallahualam, kamu ini juga masih sakit jadi, jangan menganggap remeh nasihat dari suami,” gumam Tristan kemudian.

      “Kenapa kamu jadi sok berkuasa sih? Aku enggak minta kamu buat menikahiku, kok,” tandas Irina.

      “Astaghfirullah, lebih baik sekarang kamu mandi ... terus kita Shalat Ashar bareng.” Tristan menghela napas panjang, lantas menyodorkan sebuah handuk mandi.

       “Aku ‘kan hamil, buat apa sholat,” balas Irina.

       “Astaghfirullahaladzim, justru meninggalkan sholat lima waktu adalah pantangan terbesar untuk muslimah yang sedang hamil. Lagi pula ukuran perut kamu masih belum terlalu besar, kamu enggak akan kesusahan melakukan saat melakukan ruku’ dan sujud,” ujar Tristan kemudian sedikit menggelengkan kepala atas perkataan istrinya.

      “Jangan sok suci di hadapanku, aku enggak mempan dinasihati seperti itu,” ketus Irina.

       Karena merasa sangat jenuh dengan Irina, Tristan menghiraukannya dan pergi untuk mengambil sapu di ujung ruangan tersebut tanpa memalingkan wajahnya kepada Irina. Entah mengapa, setelah dikatai seperti itu Tristan merasa harga dirinya sebagai suami seperti runtuh seketika. Namun, perkataan Irina memang benar adanya, Tristan adalah orang munafik yang hanya mencari pertolongan Allah ketika masa sulit saja.

       “Benar, ‘kan?” tanya Irina.

       “Mandi saja sana, kamu kelihatan begitu kelelahan setelah menjalani hipnoterapi,” kata Tristan acuh, “Kamu mau makan apa? Nanti aku buatkan, Mama sedang mampir ke rumah Kak Marissa mungkin ba’da Isya pulang.”

       “Kamu masih tetap sama saja, selalu mengalihkan topik pembicaraan,” gerutu Irina.

        “Astaghfirullahaladzim, bukannya aku mengalihkan topik pembicaraan. Aku Cuma enggak mau kita bertengkar karena hal sepele, Irina,” tutur Tristan dengan sedikit memelas.

        “Kamu ....”

        “Kenapa, Irina?”

        “Setelah anak ini lahir, aku minta pisah. Enggak peduli mau kamu setuju atau enggak aku bakal minta pisah,” kata Irina cepat.

       “Jangan bermain-main dengan kata ‘cerai’ Irina, asal kamu tahu perceraian itu sesuatu yang halal namun, paling dibenci oleh Allah SWT,” tegas Tristan, “Kamu jangan berbicara seperti itu.”

        “Lagi pula apa yang harus dipertahankan? Kamu saja tak ingin mencintaiku untuk apa aku bertahan?” tanya Irina, “Aku cukup lelah dengan semua ini.”

        ***

        “Makan yang banyak, kamu perlu gizi yang baik untuk anak kita,” kata Tristan sembari mengambil beberapa potong ayam saus mentega dan beberapa potong brokoli ke piring Irina.

       Malam ini Irina tampak lebih lahap dari hari sebelumnya, karena menjalani hipnoterapi. Ia sudah mulai lebih baik dari hari sebelumnya, walaupun tidak seketika hasil terapinya, Irina tetap mengalami perubahan perilaku. Tristan tersenyum lega begitu melihat masakan di hadapannya tinggal sedikit karena disantap oleh Irina.

       “Kalau mau menambah sayurnya bilang saja biar aku masakan lagi,” ujar Tristan.

       “Enggak perlu, aku sudah kenyang, kok.” Irina menyudahi kunyahannya dan menumpuk piring miliknya di atas piring yang lain.

       “Aku enggak apa-apa memasakkan kamu lagi, malah aku senang banget.”

      Percakapan mereka terpotong ketika tiba-tiba saja seorang perempuan masuk tanpa mengucapkan salah dan langsung mengecup pipi kanan dan kiri Tristan. Tristan sangat terkejut akan hal itu tapi lidahnya kelu untuk berkata-kata, di tambah lagi Irina yang tiba-tiba menjatuhkan sendok ke atas piring dengan kesal dan pergi meninggalkan mereka berdua.

       “Perempuan menyebalkan itu sungguh membuatku muak, bagaimana kalau kita makan sup wonton bersama?” dengan seulas senyum semringah perempuan yang kini berada di sisi kanan Tristan sembari mengangkat rantang plastik di tangan kanannya.

       “Maaf Yerianna, sungguh tak sopan apabila seseorang masuk ke dalam rumah seseorang tanpa mengucapkan salam terlebih dahulu,” ucap Tristan, “Aku sudah sangat kenyang, ada baiknya sekarang kamu pulang karena aku enggak ingin Irina kembali marah kepadaku.”

         “Apa kamu bilang?” tuntut Yerianna, “Kamu mengusirku, Tris?”

        “Maaf beribu maaf, Yerianna ... aku sudah mengatakannya kemarin, aku benar-benar tak ingin membuat rumah tanggaku menjadi semakin kacau, kita sudah berhenti berhubungan.”

         “Kamu membuangku hanya karena Irina? Kamu sedang mabuk atau kenapa hah? Kamu pikir ini lucu?” sergah Yerianna, “Buka matamu, aku membuat sup wonton ini untuk permintaan maafku karena kemarin aku menamparmu tapi, kamu malah mengusirku?”

         “Aku menghargai usaha kamu untuk memberiku sup wonton itu sebagai permintaan maaf tapi, aku enggak suka kamu main menyelonong saja masuk ke rumah ini tanpa mengucap salam, ditambah lagi kamu melakukan hal yang tidak senonoh kepadaku,” kata Tristan.

        “Tristan Hadiwira! Tolong jangan bercanda di hadapanku, aku tahu kamu hanya berpura-pura saja, ‘kan? Kamu hanya ingin ....”

       “Yerianna aku mohon sama kamu tolong jauhi aku. Enggak, bukan menjauhiku tapi, menjaga jarak kepadaku. Kita masih bisa berteman namun, enggak untuk kembali berpacaran,” potong Tristan semakin membuat Yerianna merasa muak.

        Yerianna meletakkan rantang plastik itu dengan keras di atas meja, menatap mata Tristan dengan tajam dengan mata berkaca-kaca.

       “Sudah cukup, Yerianna,” lirih Tristan, “Aku enggak ingin menyakiti siapa pun, jadi tolong hargai keputusanku.”

       “Kamu kenapa melakukan ini kepadaku, Tristan? Kenapa?” tanya Yerianna, “Aku selalu berharap bahwa ini hanyalah mimpi namun, nyatanya ini semua kenyataan.”

        “Maaf, aku minta maaf sama kamu. Aku memang orang jahat, dan aku enggak mau kamu tambah merasa tersakiti seperti ini Yerianna, aku enggak mau kamu menangis lagi,” ungkap Tristan.

        “Kamu tahu bahwa anak yang dikandung Irina itu bukan anakmu tapi, kenapa kamu rela menikahinya? Apakah kamu pikir aku enggak bisa memberimu anak? Aku bisa memberimu sebelas anak kalau kamu mau,” celoteh Yerianna dengan suara meninggi, jelas sekali gurat-gurat kekesalan itu semakin memuncak.

       “Astaghfirullahaladzim, Yerianna. Aku enggak pernah berpikir seperti itu, aku hanya ingin bertanggung jawab atas kesalahanku kepada Irina,” gumam Tristan.

        “Sama saja, ‘kan? Kamu hanya ingin—“

         “Istighfar! Aku sudah sangat lelah mendengar perkataan kamu yang terlalu egois! Aku melakukan ini karena aku merasa bersalah sudah mengerjai Irina, dan satu hal yang kamu harus tahu, aku sudah lelah bertengkar karena hal ini. Kita sudah tidak ada hubungan apa-apa dan harusnya kamu paham itu,” gerutu Tristan dengan kasar.

      

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status