Share

11. Rumitnya Cinta

Irina masih berdiri menyerana di balkon kamarnya, Yerianna sudah pergi sedari tadi dari rumah itu namun, perasaannya masih sangat kacau. Irina bisa melihat kalau Yerianna pergi dari rumah itu sambil menangis walaupun perempuan itu pergi memunggunginya, entah apa yang dilakukan Tristan hingga perempuan cantik itu menangis. Irina benar-benar seperti orang jahat yang menari di atas penderitaan Yerianna.

      Tak seharusnya Irina berada di posisi ini sekarang, tak seharusnya pula Irina menyandang embel-embel Nyonya Tristan Hadiwira saat ini. Ini adalah sebuah kebetulan yang menyakitkan, sebuah kesialan yang berujung kehampaan. Irina tertegun ketika mendengar pertengkaran mereka tadi, hal itu sungguh membuatnya juga merasa bersalah karena Irina sudah menjadi orang ketiga dalam hubungan mereka berdua.

       “Kamu kok malah duduk di luar, sih? Udara malam enggak baik untuk ibu hamil,” kata Tristan yang tiba-tiba masuk membawa segelas susu.

       Irina terdiam, tak ingin menjawab pertanyaan Tristan saat itu. Irina lebih memilih untuk berdiri dan melangkah ke depan, memperhatikan beberapa lampu yang terlihat begitu terang di kejauhan, Irina menghela napas panjang saat Tristan sampai di sampingnya.

        “Kamu ini ditanyai malah diam saja, melihat apa, sih?” tanya Tristan penasaran, sembari mengikuti arah pandangan Irina kala itu.

         “Jadi, kenapa kamu bertengkar dengan Yerianna? Kalian masih bisa berpacaran, kok. Aku enggak mau jadi orang ketiga di hubungan kalian,” kata Irina kemudian.

         “Tak seharusnya kamu berbicara seperti itu karena kamu adalah istri sahku, justru Yerianna lah yang harus menjauhi rumah tangga kita,” tegas Tristan, “Aku enggak mau mendengar kamu berbicara seolah kamu itu orang yang merebutku dari Yerianna, semua ini sudah digariskan oleh Allah.”

        “Jangan munafik, Tris. Kamu masih cinta, ‘kan sama Yerianna? Jujur saja, jangan bohong karena mau bagaimana pun aku bisa mengetahui kebohonganmu,” cetus Irina.

       “Istighfar Irina, Istighfar. Jangan membahas hal ini terus menerus, kamu enggak perlu merasa bersalah kepada Yerianna, cukup!”

       “Bagaimana aku enggak merasa bersalah?” tanya Irina kemudian dengan tangan terlipat di depan dada.

       Tanpa menunggu lama Tristan menarik tangan Irina dan menyerahkan gelas berisi susu itu, kemudian beralih meninggalkan Irina yang masih terlihat sangat kesal karena Tristan tak menjawab pertanyaannya padahal ia ingin tahu bagaimana caranya agar Irina tak merasa bersalah terhadap Yerianna karena menyerobot tempat yang seharusnya ditempati oleh Yerianna—walaupun sebenarnya Irina sangat memimpikan tempat ini.

       Irina mengekori Tristan yang sudah bersiap untuk keluar kamar membawa beberapa map file dan laptop miliknya, Tristan terlihat begitu kesal kepada Irina saat itu namun, masih terlihat memendam kekesalannya itu hingga terkumpul semua.

       “Kenapa kamu suka sekali berlari dari masalah?” tanya Irina dengan nada yang begitu tinggi.

       Membuat Tristan menoleh dalam keterkejutannya, menatap Irina dengan tatapan tak percaya bahwa perempuan itu menjadi sangat kasar dalam seketika. “Astaghfirullahaladzim ....”

       “Berhenti terlihat sok suci di depanku, Tristan. Kamu bukan orang yang religius, dan aku mengetahui hal itu cukup baik. Kamu menikahiku karena kamu merasa bersalah ‘kan kepadaku? Kenapa? Apa enggak ada alasan lain selain itu? Kalau enggak ada kenapa kamu masih bertahan? Apa kamu ingin menampakkan sifat aslimu nanti saat aku sudah mulai membuka hati lagi untuk kamu?” tanya Irina penuh penekanan meminta penjelasan dari Tristan.

      “Subhanallah, kenapa kamu punya pemikiran seperti itu, Irina? Kamu terlalu berburuk sangka kepada suamimu sendiri,” sungut Tristan.

        “Jawab saja kenapa kamu melakukannya,” keluh Irina memalingkan wajahnya dan meletakkan gelas yang ada di genggamannya dengan keras ke atas meja santai hingga beberapa tetes isinya terciprat ke luar.

        “Harusnya aku yang bertanya kepadamu, apa kamu enggak menyukaiku lagi? Karena hal ini? Karena kamu menganggap bahwa aku lah yang meminta orang-orang itu untuk memperkosamu di sana?”

        “Memang benar, ‘kan? Kamu yang memintaku untuk ke sana, kamu selalu berbohong dan membuatku semakin tak percaya akan cinta,” gerutu Irina.

       “Aku enggak pernah bermaksud seperti itu,” tandas Tristan.

        “Kamu memang enggak bermaksud seperti itu namun, kamu melakukannya.”

      ***

        Tepat jam sembilan malam Marrey diantarkan pulang oleh Mario ke rumah Tristan dan Irina, tanpa mampir terlebih dahulu. Malam itu juga sudah mulai turun rinai hujan berskala sedang, Marrey membawa beberapa masakan Marissa yang terlihat sangat lezat seperti opor ayam, pizza lipat, dan kue cubit.

       “Nak, ini Kakak kamu membawakan beberapa buah tangan untuk istri kamu, ke mana dia? Apa sudah tidur?” tanya Marrey saat Tristan menyambutnya di pintu utama.

        “Irina belum tidur, Ma. Kemungkinan sedang menonton televisi di kamar,” jawab Tristan kemudian.

        “Kenapa? Kalian bertengkar lagi?” tebak Marrey yang menelisik air muka Tristan yang sepersekian detik terlihat berubah-ubah.

         “Enggak ada apa-apa, kok. Cuma ada salah paham sedikit, Ma,” jawab Tristan kemudian mengulurkan tangannya untuk membantu Marrey membawakan barangnya masuk ke dalam.

       Marrey terlihat menghela napas panjang, kemudian mengekori Tristan masuk ke dalam rumah tanpa lupa menutut rapat pintu utama rumah itu. Marrey melihat beberapa jejak keributan di ruang makan, membuatnya semakin bertanya-tanya apa yang terjadi antara Tristan dan Irina hingga ruangan itu sangat berantakan.

       “Sebenarnya ... apa yang terjadi, Tristan? Apa kamu dan Irina bertengkar hebat? Lantas ini apa?” Marrey melirik rantang plastik yang masih bertengger di atas meja makan.

       Tristan menghela napas. “Itu sup yang dibawa oleh Yerianna, Ma. Tadi dia datang ke sini dan masuk tanpa mengucapkan salam terlebih dahulu, hal itu membuat Irina salah paham lagi kepadaku.”

       “Astaghfirullahaladzim ... kok bisa-bisanya Yerianna datang ke rumah ini tanpa mengucapkan salam? Memangnya kamu belum memberitahu dia kalau kamu sudah menikah dengan Irina?” tanya Marrey.

       “Mama pasti tahu kalau Yerianna enggak mau mendengarkan penjelasanku mengenai hal ini, ‘kan? Mama ... tahu sendiri kalau Yerianna pasti enggak akan rela juga melepaskan aku.”

       Marrey mendengus kesal mendengar perkataan Tristan tadi. “Pantas saja kalau Irina menjadi salah paham, Tris. Coba kamu bayangkan, Irina istri kamu dia juga lagi hamil. Perempuan hamil perasaannya bisa lebih sensitif bahkan hanya dengan hal-hal kecil.”

        “Tristan harus apa, Ma. Biar Irina enggak salah paham lagi sama Tristan, Tristan bingung banget ... Tristan minta maaf tapi, Irina tetap ngajak berdebat,” lirih Tristan.

       Marrey mengedarkan pandangannya dan mendapati laptop dan beberapa map file milik Tristan di meja ruang tengah, sebentar kemudian Marrey melipat tangannya di depan dada dengan wajah penuh kekesalan. “Kamu ini bagaimana, kalau kamu ingin menjadi suami yang pengertian ya jangan kabur-kaburan begini dong. Kembali sana ke kamar, jangan kabur-kaburan ... shalat witir  atau tahajjud sana.”

       Tristan terdiam saat mendengar perkataan Marrey saat itu, sebenarnya ia juga tak ingin kabur seperti ini dari pertanyaan Irina beberapa saat yang lalu. Namun, ia sendiri juga tak paham bagaimana cara menjawab pertanyaan Irina yang terkesan memojokkannya.

        Marrey menautkan alisnya seolah sedang bertanya-tanya mengapa Tristan kembali diam bukannya mengemasi isi map file miliknya dan kembali ke kamar.

       “Kok malah melamun di sini?” tanya Marrey.

       “Tristan enggak apa-apa, kok. Tristan kembali dulu ke kamar,” ucap Tristan kemudian segera beralih menghampiri laptop dan map file miliknya.

         

      

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status