LOGIN"Pak Zafran, ini ruangan HR. Selamat datang."
Vania bertugas memperkenalkan manager baru pada semua departemen, nantinya Putri yang akan memberikan training pada sang manager. Setelah serah terima Zafran pada Putri, Vania kembali pada pekerjaannya yaitu mencari kandidat untuk manager departemen lain. "Vania, Putri dan Pak Zafran dipanggil Pak Andreas." Titik memberikan informasi setelah menutup telepon. Vania dan Putri saling menatap satu sama lain, membawa buku kecil setiap bertemu dengan Andreas, biasanya pertemuan dengan Andreas bersamaan dengan keberadaan Fandy dan Fifi. "Pak Andreas sendiri atau ada lainnya?" bisik Putri yang dijawab Vania dengan mengangkat bahunya. Memasuki ruangan Andreas dan tampaknya hanya beliau sendirian, mereka duduk di sofa setelah Andreas menyuruhnya dan tidak lama bergabung bersama. Membicarakan tentang kondisi pabrik saat ini dan juga karyawan mereka yang terkadang membuat pusing, pembicaraan terhenti saat pemilik pabrik masuk ke ruangan Andreas dan ikut berbicara panjang lebar. Vania sangat tahu jika sudah seperti setengah waktunya akan habis terbuang hanya untuk membahas hal-hal yang sebenarnya tidak ada kaitan dengan pekerjaannya, pembicaraan terhenti ketika istirahat dan mereka bertiga memutuskan makan di kantin perusahaan. "Siapa yang handle masalah catering?" tanya Zahran menatap kearah kantin yang penuh dengan karyawan pabrik. "Bu Titik, pak." Zafran menganggukkan kepalanya. Mereka bertiga makan dalam keadaan diam, Vania jelas tidak tahu membahas hal apa dengan Zahran. Pertemuan mereka lebih banyak berhubungan dengan rekurtmen, lebih tepatnya interview. Putri yang mendominasi pembicaraan, Zafran sendiri type yang bisa masuk dalam pembicaraan manapun, tapi sayangnya Putri dan Titik setelah istirahat harus menuju ke kantor BPJS karena ada pertemuan. "Biasanya buka lowongan selain jobtreet itu, dimana?" Zafran duduk disamping Vania yang akan menyeleksi lamaran "Lagi seleksi pelamar? Mau dibantu?" "Utama disana, pak. Kadang kerjasama dengan dinas, masuk ke web mereka. Lebih banyak memang media sosial, nggak banyak yang mau kerja di pabrik. Kalau bapak bantuin nanti saya kerja apaan?" Zafran mengangkat kedua tangan tanda menyerah "Baiklah, saya menyelesaikan tugas dari Putri." Interaksi Vania dengan Zafran berbeda, pastinya berbeda dengan rekan kerja yang di ruangan. Zafran sendiri lebih banyak berbicara dengan lainnya dibandingkan Vania, tapi beberapa kali Vania tidak sengaja melihat Zafran dimana tatapan mereka sering kali bertemu, tatapan yang langsung diputus Zafran. "Vania juga jomblo, pak. Jangan didekatin tapi, pak." Reno memberikan tatapan kearah Vania yang tidak peduli. "Kenapa?" Zafran mengeluarkan suaranya dengan menatap mereka berdua bergantian. "Jangan dengarin Mas Reno, pak." Vania memberikan tatapan tajam kearah Reno yang menahan tawa. Vania tahu jika Zafran masih menatap mereka berdua, tapi berusaha untuk tidak peduli sama sekali dan fokus pada pekerjaan. Reno beranjak dari tempatnya membawa tas yang berisi perlengkapan, Vania menatap sekilas seakan paham atas apa yang dilakukan Reno. "Aku keluar dan nggak balik, Van. Pak Aan kayaknya juga datang pas kita pulang." Reno mendekati Vania yang hanya menganggukkan kepala. Berdua di ruangan yang sama dengan Zafran, tidak mengubah apapun dari Vania yang fokus pada pekerjaannya. Gambaran seoarang Zafran adalah tinggi, kulitnya coklat, bibirnya tidak tebal dan tipis, memiliki lesung pipi dan kacamata. Vania beberapa kali melihat apa yang dilakukan Zafran, memastikan managernya ini nyaman di hari pertama kerjanya. "Putri akan keluar kalau ada karyawan baru begini?" Zafran membuka suara dengan memberikan pertanyaan pada Vania. "Nggak, Pak. Kalaupun memang harus keluar seperti ini biasanya saya yang menggantikan, setelah memastikan tidak ada pekerjaan sama sekali." Vania menjawab setelah menghentikan pekerjaan "Pak Zafran ada yang mau ditanyakan?" Zafran tersenyum mendengar pertanyaan Vania serta eskpresinya yang penuh perhatian "Kamu termasuk cepat tanggap pada atasan, saya lihat dari tadi kamu menghela napas berkali-kali kenapa? Kamu bisa cerita sama saya karena bagaimanapun saya adalah atasan kamu." "Bapak nanti yang berhadapan langsung dengan Cik Fifi dan Pak Andreas ya? Interview pertama sebelum bertemu dengan mereka berdua. Saya pusing, Pak. Mereka berdua nggak pernah satu paham, Cik Fifi yang terlalu memikirkan tentang keuangan pabrik tapi kita membutuhkan karyawan yang bagus. Saya sama Pak Andreas sudah mendapatkan kandidat bagus, tapi ditolak karena permintaan gaji dan Cik Fifi nggak mau masih." Vania menghembuskan napas lega setelah menceritakan pada Zafran, menatap kearah pria itu yang juga menatap kearahnya. "Lega kayaknya?" Zafran tersenyum tipis "Boleh saya lihat hasil seleksi yang kamu lakukan?" Vania menganggukkan kepalanya, mengambil berkas kandidat yang dimaksud dan memberikan pada Zafran yang langsung membacanya. Vania menatap dengan tatapan cemas, bahkan sudah mempersiapkan kandidat cadangan yang diinginkan Andreas, setidaknya saat ini ada yang bisa diajak diskusi. Vania mendekati Zafran yang telah selesai membaca dengan memberikan pembanding, Zafran kembali membacanya yang semakin membuat Vania cemas. "Alasan Cik Fifi hanya faktor nominal gaji?" Vania menganggukkan kepalanya "Beliau sudah ketemu sama kandidatnya?" "Sudah saya jadwalkan tapi Cik Fifi kelupaan. Cik Fifi bilang mau interview kalau bukan satu jadi ada pembanding." "Nggak salah. Ini yang kamu kasih artinya sudah persetujuan Pak Andreas?" "Ya yang pertama tadi permintaan Pak Andreas, sedangkan penilaian saya yang kedua. Kalau mereka dijadikan kandidat bertemu Cik Fifi gimana? Pak Andreas minta dicarikan yang baru." "Kamu buat aja schedule buat tiga orang ini sama Cik Fifi, pastikan beliau nggak lupa. Sambil kamu begitu, cari kandidat lainnya. Sebelum bertemu mereka, buat jadwal bertemu sama saya. Tiga ini kamu buat jadwal bertemu saya dan Cik Fifi sekalian. Saya ikut jadwal Cik Fifi." Vania tersenyum lebar mendengar keputusan Zafran "Harusnya bapak masuk sebelum Pak Iwan keluar. Kenapa baru sekarang." "Penting saya masuk, Van." Zafran mengedipkan matanya. Ruangan tidak menjadi hening seperti sebelumnya, kedua orang yang berada di ruangan berbicara tentang banyak hal terutama tentang kondisi pabrik. Vania menceritakan apa yang selama ini didapatnya, walaupun bekerja dalam perusahaan keluarga setidaknya pabrik ini ada keinginan maju dan mengikuti perubahan. Pembicaraan tentang pabrik berlanjut ke hal pribadi, tentang kehidupan pribadi mereka berdua. Ruangan tanpa rekan kerja lainnya membuat kedua orang ini bebas membicarakan apapun, termasuk hal pribadi yang berhubungan dengan percintaan. Vania tidak mengangkat jika Zafran gagal menikah, kekasihnya memilih meninggalkan dirinya setelah lamaran seminggu. "Jomblo berarti?" Vania menggoda Zafran yang langsung mencibir "Mending bapak jangan bilang jomblo nanti jadi bulan-bulanan mereka." "Kamu aja yang digodain mereka." Zafran menggoda Vania yang mengerucutkan bibirnya "Nggak usah insecure, jodoh itu akan datang di saat yang tepat." "Kalimat itu juga buat bapak," ucap Vania sambil menahan senyum "Sekarang jalani aja dulu yang ada, walaupun niat resign selalu saja ada." "Resign? Nggak sayang?" tanya Zafran yang dijawab Vania dengan mengangkat bahu "Selama masih kuat mending nggak usah resign." "Kalau lingkungan kerja nggak nyaman? Masa nggak resign?" Vania menatap Zafran dalam. "Kamu boleh keluar dengan syarat mendapatkan pekerjaan jauh lebih baik dari ini, bukan karena rekan kerja." "Curang!""Pak Gun masuk di restoran baru? Asistennya Chef Edwin?" "Katanya sih begitu." Vania memilih jawaban aman.Berita tentang restoran lama yang akan buka kembali gagal sudah di dengar satu kantor, mereka semua bertanya-tanya tentang alasan sebenarnya. Ketidakhadiran Fifi di perusahaan semakin membuat orang berpikir yang tidak-tidak, Vania dan Zafran tidak mengeluarkan sama sekali. Semua orang tahu dimana Fifi yang sangat ambisius membuka kembali restoran lama agar bisa kembali berjaya seperti dulu, dan pastinya menyaingi restoran baru."Restoran lama nggak jadi?" tanya Titik dengan nada penasaran."Belum tahu, bu." Vania menjawab kembali."Kandidatnya gimana?" Titik masih penasaran dengan banyak hal."Kandidat sudah ketemu sama Pak Edwin dan Pak Bayu, mereka yang lolos langsung masuk kesana," jawab Adel yang diangguki Vania."Cik Fifi kemana sih? Aneh banget tiba-tiba nggak datang lagi." Titik menatap Vania dalam seakan in
"Kenapa nggak kasih tahu tentang Cik Fifi?"Andreas menatap sambil mengangkat alis mendengar kalimat pertanyaan Vania "Siapa yang kasih tahu?" "Kemarin-kemarin mas ngurusin Cik Fifi?" tanya Vania tanpa menjawab pertanyaan Andreas.Andreas menghela napas panjang "Nggak, ada kerjaan disini. Ngurus masalah Bu Fifi hanya sehari itu. Kamu tahu darimana? Gun?" Vania menganggukkan kepalanya "Jangan kesebar, bisa marah Pak Fandy." "Anak-anak curiga sudah," ucap Vania mengingat pembicaraan di ruangan."Biarin. Jangan sampai dibuka, bagaimanapun bisa dikatakan aib." "Cuman periksa saja, kan?" tanya Vania penasaran."Pak Fandy nggak kasih tahu lagi selanjutnya, beliau sibuk mengurus masalah Bu Fifi. Aku menggantikan beberapa tugasnya yang nggak bisa dijalani karena masalah ini. Masalah Gun sendiri aku juga nggak tahu gimana, Pak Fandy belum membicarakan hal ini sama sekali." "Separah itu?" Andreas mengangkat bahunya "K
"Pak Gun yang memutuskan kandidat." "Cik Fifi memang kemana? Udah lama beliau nggak datang." "Baru dua hari nggak kesini, lamaan yang waktu kasus Aulia." Zafran memutar bola matanya malas mendengar kalimat Vania."Tetap aja lama, mas. Jadi ini kandidat Pak Gun yang seleksi? Aku hubungi beliau gitu?" Zafran menganggukkan kepalanya "Serius, nggak ada informasi Cik Fifi kemana?" "Mungkin nggak boleh kesini sama Pak Fandy." Zafran mengangkat bahunya "Udah buruan hubungi Pak Gun, kalau bisa lusa ketemu sama dia."Rasa penasaran atas ketidakhadiran Fifi membuat banyak pemikiran yang tidak-tidak, ditambah pembicaraan mereka bertiga terakhir di rumah orang tua Vania. Mereka bahkan belum melakukan apa yang direncanakan, apa sudah melakukan tapi tidak ada yang memberitahu dirinya.Mengambil ponselnya untuk menghubungi Gun, menanyakan waktu luang agar bisa melakukan seleksi pada karyawan yang akan masuk di restoran. Pintu terbuka sebelum
"Gajinya kebesaran, nggak cocok sama anggaran yang sudah dibuat." "Maaf, bukannya kisaran gaji ini sudah sesuai dengan arahan Pak Fandy? Kita menggunakan..." Zafran menutup mulutnya seketika."Restoran ini nantinya yang megang saya atau Pak Fandy?" potong Fifi membuat semua terdiam "Perhitungan saya nggak segini. Kalian ini apa-apa dengarin Pak Fandy. Saya yang pegang restoran ini bukan dia. Jadi apa kata saya." "Maaf, bu. Instruksi Pak Fandy adalah menyamakan dengan restoran yang dibuat olehnya." Zafran masih mengatakan dengan nada sopannya."Kamu nggak kesal Vania sama Andreas?" "Maaf? Maksudnya apa ya, bu?" Zafran mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan yang diluar pembahasan."Saya tahu kalau kamu menyukai Vania, bahkan kalian sudah melakukannya. Memang kamu nggak masalah mereka bersama?" Fifi menompang dagunya dengan tangan menatap dalam Zafran."Kami nggak berjodoh, bu." Zafran menjawab dengan bijak dan tenan
"Bu Fifi belum datang, tumben?""Ada urusan mungkin. Del, kandidatnya udah datang?" Vania menatap Adel yang menganggukkan kepalanya "Kita interview bareng aja, berapa kandidatnya?""Sepuluh, mbak." "Bagi dua aja. Kamu di tempat biasa, aku di tempatnya Pak Andreas. Besok masih ada lagi?" "Masih, mungkin lebih banyak. Memang nggak papa pakai ruangan Pak Andreas? Pak Andreas ada di ruangan atau nggak?" "Nggak papa, Del. Khusus dia aja." Putri membuka suara yang ditanggapi Vania hanya dengan gelengan kepala "Aku penasaran kenapa Cik Fifi belum datang, nggak mungkin karena kemarin." Semua hanya tahu jika Fifi memarahi Vania yang berkaitan dengan rekrutmen karyawan restoran yang dipegangnya, tidak ada yang tahu kalimat yang keluar dari bibir wanita itu yang menyakitkan Vania. Terjawab sudah alasan dibalik sikap Fifi pada dirinya, tidak tahu siapa yang salah tapi memang perasaan tidak akan pernah bisa disalahkan. Fifi yang memang su
"Kamu benar nggak mau kasih tahu sama suami sendiri apa yang dikatakan Bu Fifi?" "Nggak ada yang penting, mas. Masalah kandidat aja." Vania menjawab sambil meletakkan peralatan makan di tempatnya "Nggak usah dianggap serius." "Gimana nggak dianggap serius kalau ekspresi kalian waktu kita berdua masuk itu...Fifi penuh emosi dan kamu terkejut dan ingin nangis." Andreas tetap dengan keteguhannya ingin tahu yang terjadi. "Mas Zafran juga sudah tanya, jawabanku juga sama." Hal satu ini jelas tidak. Vania menceritakan semuanya pada Zafran, alasan menceritakan pada Zafran lebih pada mencurahkan apa yang sedang dirasakannya. Hasil dari cerita ini, mereka memutuskan untuk tidak mengatakan kepada siapapun terutama Andreas. Pria yang sudah menjadi suaminya ini akan emosi jika mendengar kata-kata Fifi, mengatakan dirinya murahan dan memberikan tubuhnya pada kedua pria. "Pak Fandy memperingatkan Bu Fifi agar tidak mela







