Share

3

Author: nura0484
last update Last Updated: 2025-08-24 14:29:10

"Manager kalian baik banget."

"Baik, gimana?" Putri tampak penasaran, menatap Aulia yang berada di department keuangan.

"Baik, kemarin nyapa dan ngikutin dari belakang."

"Ngikutin gimana?" Putri semakin bingung dengan kalimat Aulia.

"Kemarin aku diminta Cik Fifi buat ke bank, dia bilang sama Pak Aan agar nggak jauh-jauh dari aku. Pak Iwan dulu mana ada begitu?"

"Aku baru tahu kalau begitu baik, itu mah standard aja apalagi berkaitan sama pekerjaan." Vania menggelengkan kepalanya mendengar kalimat Aulia "Aku duluan."

Berdiri meninggalkan meja tempatnya makan bersama dengan Putri dan Aulia, suatu hal yang jarang terjadi dan biasanya hanya satu kali dalam seminggu, berada dalam satu pekerjaan yang sama tidak membuat mereka bisa makan bersama. Vania memegang pesan dari Iwan jika jangan terlalu dekat dengan rekan kerja, hubungan harus profesional karena tidak semua mereka itu baik, kalaupun baik jangan terlalu membuka hal yang berhubungan dengan pekerjaan dan pribadi.

"Putri mana?" Vania menghentikan lankah saat melihat Zafran duduk di tempatnya.

"Masih kantin, pak." Vania menjawab sambil melangkah ke tempatnya.

"Sebelum pulang kita rapat sebentar," ucap Zafran yang diangguki Vania tanpa menatapnya "Kamu ada masalah?" Vania menatap Zafran dan mengerutkan keningnya "Masih masalah manager PPIC?"

"Nggak, pak."

Vania tidak akan menceritakan hal yang baru saja terjadi pada Zafran, managernya. Pagi tadi saat datang Fifi memanggilnya untuk membahas tentang rekrutan yang dicarinya, dimana Fifi merasa jika apa yang dilakukan membuang banyak uang dan dirinya terlalu mengikuti keinginan Andreas. Fifi ingin mencari karyawan yang bisa langsung paham dengan pekerjaannya dan tidak masalah jika gajinya hanya satu digit, intinya pada pengeluaran yang dilakukan Vania dalam proses rekrutmen.

"Kamu perlu bantuan untuk cari manager PPIC?" suara Zafran membuyarkan lamunan Vania.

"Nggak, pak."

"Bukannya Cik Fifi sudah setuju sama kandidat itu? Ya...walaupun saya masih merasa kurang ok, pilihan kamu sama Pak Andreas memang sudah bagus tapi yang memutuskan Cik Fifi." Vania menganggukkan kepalanya mendengar kalimat Zafran "Kamu takut dia nggak akan bisa disini dan menjadi manager?"

"Mungkin," jawab Vania sambil mengangkat bahunya.

Kandidat yang dipilih Fifi sebenarnya sudah ditolak Andreas dan Vania setuju dimana kandidat tersebut kurang bisa fokus pada pekerjaan dan pengalamannya yang menjadi kutu loncat, tampaknya Fifi tidak peduli dan sayangnya lagi-lagi terjadi perdebatan. Perdebatan yang hanya Vania sebagai saksinya tanpa Zafran, managernya ini tidak dipanggil saat pembicaraan tentang kandidat yang bertemu dengan Fifi kemarin. Zafran sendiri setuju dengan kandidat terakhir, kandidat yang sudah dipilih Andreas dan Vania.

"Van, diminta Pak Andreas ke ruangannya." Reno menutup telepon dengan menatap Vania.

"Ada apa?" Zafran menatap Reno yang hanya mengangkat bahu "Saya nggak ikut dipanggil?"

"Nggak, pak." Reno menjawab sambil mengangkat bahunya.

Zafran menatap Vania yang membawa berkas lamaran dan catatan kecil "Bahas tentang kandidat?"

"Mungkin iya atau nggak. Saya nggak tahu, pak. Saya tinggal dulu, pak." Vania berjalan meninggalkan ruangannya menuju ruangan Andreas.

Melangkah malas menuju ruangan Andreas, harapannya adalah tidak bertemu dengan Andreas. Informasi yang didapat adalah Andreas sedang di rumah Fandy, mereka melakukan meeting disana dan pastinya bersama dengan Fifi. Mengetuk pintu menunggu suara dari dalam memintanya masuk, membuka pintu mendapati Andreas sedang menata mejanya dengan meletakkan laptop, masuk kedalam dan menutup pintu.

"Kunci pintu dan duduk di sofa." Vania melakukan apa yang dikatakan Andreas karena percuma membantah "Saya dengar dari Bu Fifi memilih kandidat yang sebelumnya itu? Kamu sudah hubungi?"

"Belum, pak." Vania menjawab singkat.

Andreas melangkah kearah Vania dengan membawa kotak makanan "Wajah kamu kenapa? Ada masalah? Saya sudah bicara dengan Pak Fandy tentang manager PPIC, bicara depan Bu Fifi juga. Pak Fandy lebih setuju dengan keputusan saya, kamu bisa hubungi dia untuk segera masuk. Makan, saya ambil dari tempat Pak Fandy tadi."

Vania menerima kotak makan dan meletakkannya di meja "Cik Fifi setuju?"

"Kamu mau tanya sama beliau dulu?" Vania menganggukkan kepalanya "Saya hubungi beliau." Andreas mengeluarkan ponselnya seketika Vania memegang tangannya untuk menghentikan apa yang akan dilakukan.

"Saya bicara sendiri, pak." Vania mengatakan dengan nada tegasnya.

"Kenapa sama kamu? Datang bulan?" Andreas menatap Vania yang menyandarkan tubuhnya di sofa, tapi tidak dijawab sama sekali "Kamu disini saja dulu, sampai suasana hati membaik."

Vania menatap Andreas yang juga menatapnya "Pak, setelah ini semua sama Pak Zafran ya. Saya sudah punya manager loh, masa harus sama saya mulu."

"Kamu itu harusnya bangga, atasan kamu percaya sama kamu bukan lainnya."

Vania mengerucutkan bibirnya "Bangga? Lebih banyak kena marah dibandingkan bangga."

"Kamu kena marah lagi sama Bu Fifi?" Vania terdiam ketika Andreas mengajukan pertanyaan yang memang benar adanya "Anggap saja sebagai motivasi, bukan beban."

Membuka kotak makan, melihat isinya yaitu dessert. Makanan manis kesukaannya, hal yang bisa meningkatkan atau mengembalikan mood Vania. Andreas selalu tahu cara membuat Vania kembali semangat, tidak tahu bagaimana tapi pria yang juga atasannya ini lebih perhatian dengannya dibandingkan ke pegawai lainnya.

"Bapak nggak mau?" Vania menatap Andreas yang menggelengkan kepalanya "Gimana bapak meyakinkan Pak Fandy? Cik Fifi aja sulitnya minta ampun."

Andreas mengambil tissue dan membersihkan sudut bibir Vania, tindakan yang membuat Vania terdiam dan membeku, sayangnya sang pelaku tampak biasa saja seakan tidak terjadi apapun.

"Pak Fandy itu lebih mikir kemajuan pabrik, beda sama Bu Fifi yang lebih memikir untung."

Vania berdeham sebentar untuk menghilangkan kegugupannya "Kalau penilaian bapak salah gimana?"

"Kamu nggak yakin sama penilaian kamu juga berarti?" Andreas mengangkat alis mendengar pertanyaan Vania "Tes yang sudah dilakukan memang masih suka salah, tapi kita juga sudah wawancara secara langsung jadi tahu kandidat tersebut layak atau nggak."

"Subjektif." Vania membuka suaranya.

"Subjektif jika tidak ada pembanding, kalau memang subjektif otomatis kandidat pertama yang akan dinilai bagus karena dia yang utama dan kita nggak peduli dengan kandidat berikutnya. Apa yang kamu takutkan?" Andreas menatap Vania lembut.

"Entahlah, saya seketika berpikir jika penilaian bisa saja salah. Apabila penilaian Cik Fifi benar yang ada bisa-bisa merasa bersalah, lebih tepatnya akan menjadi tempat sasaran salah." Vania mencoba mengatakan apa yang ada dalam pikiran pada Andreas.

"Kita nggak akan tahu kalau belum melihat secara langsung. Bisa jadi malah pilihan kita yang memang bagus dibandingkan Bu Fifi. Hilangkan pikiran nggak penting kamu itu, coba berpikir positif. Kamu sering sekali bilang ke saya jangan negatif, tapi kamunya yang berpikir negatif." Vania terdiam mendengar kalimat Andreas "Sudah tenang? Kalau sudah kembali ke ruangan, takutnya Zafran cari kamu."

"Ngapain?" Andreas mengangkat bahunya.

Beranjak dari tempatnya dengan menuju ruangan, membuka pintu dengan tidak sabar membuat semua mata mengarah padanya, tapi Vania hanya tertuju pada Zafran yang kembali fokus pada laptop. Kakinya melangkah kearah Zafran dengan tanda tanya, berdiri disamping tanpa mengeluarkan suara.

"Ada yang mau dibicarakan, pak?"

"Apaan? Nggak ada."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Turn Out   54

    "Pak Gun masuk di restoran baru? Asistennya Chef Edwin?" "Katanya sih begitu." Vania memilih jawaban aman.Berita tentang restoran lama yang akan buka kembali gagal sudah di dengar satu kantor, mereka semua bertanya-tanya tentang alasan sebenarnya. Ketidakhadiran Fifi di perusahaan semakin membuat orang berpikir yang tidak-tidak, Vania dan Zafran tidak mengeluarkan sama sekali. Semua orang tahu dimana Fifi yang sangat ambisius membuka kembali restoran lama agar bisa kembali berjaya seperti dulu, dan pastinya menyaingi restoran baru."Restoran lama nggak jadi?" tanya Titik dengan nada penasaran."Belum tahu, bu." Vania menjawab kembali."Kandidatnya gimana?" Titik masih penasaran dengan banyak hal."Kandidat sudah ketemu sama Pak Edwin dan Pak Bayu, mereka yang lolos langsung masuk kesana," jawab Adel yang diangguki Vania."Cik Fifi kemana sih? Aneh banget tiba-tiba nggak datang lagi." Titik menatap Vania dalam seakan in

  • Turn Out   53

    "Kenapa nggak kasih tahu tentang Cik Fifi?"Andreas menatap sambil mengangkat alis mendengar kalimat pertanyaan Vania "Siapa yang kasih tahu?" "Kemarin-kemarin mas ngurusin Cik Fifi?" tanya Vania tanpa menjawab pertanyaan Andreas.Andreas menghela napas panjang "Nggak, ada kerjaan disini. Ngurus masalah Bu Fifi hanya sehari itu. Kamu tahu darimana? Gun?" Vania menganggukkan kepalanya "Jangan kesebar, bisa marah Pak Fandy." "Anak-anak curiga sudah," ucap Vania mengingat pembicaraan di ruangan."Biarin. Jangan sampai dibuka, bagaimanapun bisa dikatakan aib." "Cuman periksa saja, kan?" tanya Vania penasaran."Pak Fandy nggak kasih tahu lagi selanjutnya, beliau sibuk mengurus masalah Bu Fifi. Aku menggantikan beberapa tugasnya yang nggak bisa dijalani karena masalah ini. Masalah Gun sendiri aku juga nggak tahu gimana, Pak Fandy belum membicarakan hal ini sama sekali." "Separah itu?" Andreas mengangkat bahunya "K

  • Turn Out   52

    "Pak Gun yang memutuskan kandidat." "Cik Fifi memang kemana? Udah lama beliau nggak datang." "Baru dua hari nggak kesini, lamaan yang waktu kasus Aulia." Zafran memutar bola matanya malas mendengar kalimat Vania."Tetap aja lama, mas. Jadi ini kandidat Pak Gun yang seleksi? Aku hubungi beliau gitu?" Zafran menganggukkan kepalanya "Serius, nggak ada informasi Cik Fifi kemana?" "Mungkin nggak boleh kesini sama Pak Fandy." Zafran mengangkat bahunya "Udah buruan hubungi Pak Gun, kalau bisa lusa ketemu sama dia."Rasa penasaran atas ketidakhadiran Fifi membuat banyak pemikiran yang tidak-tidak, ditambah pembicaraan mereka bertiga terakhir di rumah orang tua Vania. Mereka bahkan belum melakukan apa yang direncanakan, apa sudah melakukan tapi tidak ada yang memberitahu dirinya.Mengambil ponselnya untuk menghubungi Gun, menanyakan waktu luang agar bisa melakukan seleksi pada karyawan yang akan masuk di restoran. Pintu terbuka sebelum

  • Turn Out   51

    "Gajinya kebesaran, nggak cocok sama anggaran yang sudah dibuat." "Maaf, bukannya kisaran gaji ini sudah sesuai dengan arahan Pak Fandy? Kita menggunakan..." Zafran menutup mulutnya seketika."Restoran ini nantinya yang megang saya atau Pak Fandy?" potong Fifi membuat semua terdiam "Perhitungan saya nggak segini. Kalian ini apa-apa dengarin Pak Fandy. Saya yang pegang restoran ini bukan dia. Jadi apa kata saya." "Maaf, bu. Instruksi Pak Fandy adalah menyamakan dengan restoran yang dibuat olehnya." Zafran masih mengatakan dengan nada sopannya."Kamu nggak kesal Vania sama Andreas?" "Maaf? Maksudnya apa ya, bu?" Zafran mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan yang diluar pembahasan."Saya tahu kalau kamu menyukai Vania, bahkan kalian sudah melakukannya. Memang kamu nggak masalah mereka bersama?" Fifi menompang dagunya dengan tangan menatap dalam Zafran."Kami nggak berjodoh, bu." Zafran menjawab dengan bijak dan tenan

  • Turn Out   50

    "Bu Fifi belum datang, tumben?""Ada urusan mungkin. Del, kandidatnya udah datang?" Vania menatap Adel yang menganggukkan kepalanya "Kita interview bareng aja, berapa kandidatnya?""Sepuluh, mbak." "Bagi dua aja. Kamu di tempat biasa, aku di tempatnya Pak Andreas. Besok masih ada lagi?" "Masih, mungkin lebih banyak. Memang nggak papa pakai ruangan Pak Andreas? Pak Andreas ada di ruangan atau nggak?" "Nggak papa, Del. Khusus dia aja." Putri membuka suara yang ditanggapi Vania hanya dengan gelengan kepala "Aku penasaran kenapa Cik Fifi belum datang, nggak mungkin karena kemarin." Semua hanya tahu jika Fifi memarahi Vania yang berkaitan dengan rekrutmen karyawan restoran yang dipegangnya, tidak ada yang tahu kalimat yang keluar dari bibir wanita itu yang menyakitkan Vania. Terjawab sudah alasan dibalik sikap Fifi pada dirinya, tidak tahu siapa yang salah tapi memang perasaan tidak akan pernah bisa disalahkan. Fifi yang memang su

  • Turn Out   49

    "Kamu benar nggak mau kasih tahu sama suami sendiri apa yang dikatakan Bu Fifi?" "Nggak ada yang penting, mas. Masalah kandidat aja." Vania menjawab sambil meletakkan peralatan makan di tempatnya "Nggak usah dianggap serius." "Gimana nggak dianggap serius kalau ekspresi kalian waktu kita berdua masuk itu...Fifi penuh emosi dan kamu terkejut dan ingin nangis." Andreas tetap dengan keteguhannya ingin tahu yang terjadi. "Mas Zafran juga sudah tanya, jawabanku juga sama." Hal satu ini jelas tidak. Vania menceritakan semuanya pada Zafran, alasan menceritakan pada Zafran lebih pada mencurahkan apa yang sedang dirasakannya. Hasil dari cerita ini, mereka memutuskan untuk tidak mengatakan kepada siapapun terutama Andreas. Pria yang sudah menjadi suaminya ini akan emosi jika mendengar kata-kata Fifi, mengatakan dirinya murahan dan memberikan tubuhnya pada kedua pria. "Pak Fandy memperingatkan Bu Fifi agar tidak mela

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status