"Manager kalian baik banget."
"Baik, gimana?" Putri tampak penasaran, menatap Aulia yang berada di department keuangan. "Baik, kemarin nyapa dan ngikutin dari belakang." "Ngikutin gimana?" Putri semakin bingung dengan kalimat Aulia. "Kemarin aku diminta Cik Fifi buat ke bank, dia bilang sama Pak Aan agar nggak jauh-jauh dari aku. Pak Iwan dulu mana ada begitu?" "Aku baru tahu kalau begitu baik, itu mah standard aja apalagi berkaitan sama pekerjaan." Vania menggelengkan kepalanya mendengar kalimat Aulia "Aku duluan." Berdiri meninggalkan meja tempatnya makan bersama dengan Putri dan Aulia, suatu hal yang jarang terjadi dan biasanya hanya satu kali dalam seminggu, berada dalam satu pekerjaan yang sama tidak membuat mereka bisa makan bersama. Vania memegang pesan dari Iwan jika jangan terlalu dekat dengan rekan kerja, hubungan harus profesional karena tidak semua mereka itu baik, kalaupun baik jangan terlalu membuka hal yang berhubungan dengan pekerjaan dan pribadi. "Putri mana?" Vania menghentikan lankah saat melihat Zafran duduk di tempatnya. "Masih kantin, pak." Vania menjawab sambil melangkah ke tempatnya. "Sebelum pulang kita rapat sebentar," ucap Zafran yang diangguki Vania tanpa menatapnya "Kamu ada masalah?" Vania menatap Zafran dan mengerutkan keningnya "Masih masalah manager PPIC?" "Nggak, pak." Vania tidak akan menceritakan hal yang baru saja terjadi pada Zafran, managernya. Pagi tadi saat datang Fifi memanggilnya untuk membahas tentang rekrutan yang dicarinya, dimana Fifi merasa jika apa yang dilakukan membuang banyak uang dan dirinya terlalu mengikuti keinginan Andreas. Fifi ingin mencari karyawan yang bisa langsung paham dengan pekerjaannya dan tidak masalah jika gajinya hanya satu digit, intinya pada pengeluaran yang dilakukan Vania dalam proses rekrutmen. "Kamu perlu bantuan untuk cari manager PPIC?" suara Zafran membuyarkan lamunan Vania. "Nggak, pak." "Bukannya Cik Fifi sudah setuju sama kandidat itu? Ya...walaupun saya masih merasa kurang ok, pilihan kamu sama Pak Andreas memang sudah bagus tapi yang memutuskan Cik Fifi." Vania menganggukkan kepalanya mendengar kalimat Zafran "Kamu takut dia nggak akan bisa disini dan menjadi manager?" "Mungkin," jawab Vania sambil mengangkat bahunya. Kandidat yang dipilih Fifi sebenarnya sudah ditolak Andreas dan Vania setuju dimana kandidat tersebut kurang bisa fokus pada pekerjaan dan pengalamannya yang menjadi kutu loncat, tampaknya Fifi tidak peduli dan sayangnya lagi-lagi terjadi perdebatan. Perdebatan yang hanya Vania sebagai saksinya tanpa Zafran, managernya ini tidak dipanggil saat pembicaraan tentang kandidat yang bertemu dengan Fifi kemarin. Zafran sendiri setuju dengan kandidat terakhir, kandidat yang sudah dipilih Andreas dan Vania. "Van, diminta Pak Andreas ke ruangannya." Reno menutup telepon dengan menatap Vania. "Ada apa?" Zafran menatap Reno yang hanya mengangkat bahu "Saya nggak ikut dipanggil?" "Nggak, pak." Reno menjawab sambil mengangkat bahunya. Zafran menatap Vania yang membawa berkas lamaran dan catatan kecil "Bahas tentang kandidat?" "Mungkin iya atau nggak. Saya nggak tahu, pak. Saya tinggal dulu, pak." Vania berjalan meninggalkan ruangannya menuju ruangan Andreas. Melangkah malas menuju ruangan Andreas, harapannya adalah tidak bertemu dengan Andreas. Informasi yang didapat adalah Andreas sedang di rumah Fandy, mereka melakukan meeting disana dan pastinya bersama dengan Fifi. Mengetuk pintu menunggu suara dari dalam memintanya masuk, membuka pintu mendapati Andreas sedang menata mejanya dengan meletakkan laptop, masuk kedalam dan menutup pintu. "Kunci pintu dan duduk di sofa." Vania melakukan apa yang dikatakan Andreas karena percuma membantah "Saya dengar dari Bu Fifi memilih kandidat yang sebelumnya itu? Kamu sudah hubungi?" "Belum, pak." Vania menjawab singkat. Andreas melangkah kearah Vania dengan membawa kotak makanan "Wajah kamu kenapa? Ada masalah? Saya sudah bicara dengan Pak Fandy tentang manager PPIC, bicara depan Bu Fifi juga. Pak Fandy lebih setuju dengan keputusan saya, kamu bisa hubungi dia untuk segera masuk. Makan, saya ambil dari tempat Pak Fandy tadi." Vania menerima kotak makan dan meletakkannya di meja "Cik Fifi setuju?" "Kamu mau tanya sama beliau dulu?" Vania menganggukkan kepalanya "Saya hubungi beliau." Andreas mengeluarkan ponselnya seketika Vania memegang tangannya untuk menghentikan apa yang akan dilakukan. "Saya bicara sendiri, pak." Vania mengatakan dengan nada tegasnya. "Kenapa sama kamu? Datang bulan?" Andreas menatap Vania yang menyandarkan tubuhnya di sofa, tapi tidak dijawab sama sekali "Kamu disini saja dulu, sampai suasana hati membaik." Vania menatap Andreas yang juga menatapnya "Pak, setelah ini semua sama Pak Zafran ya. Saya sudah punya manager loh, masa harus sama saya mulu." "Kamu itu harusnya bangga, atasan kamu percaya sama kamu bukan lainnya." Vania mengerucutkan bibirnya "Bangga? Lebih banyak kena marah dibandingkan bangga." "Kamu kena marah lagi sama Bu Fifi?" Vania terdiam ketika Andreas mengajukan pertanyaan yang memang benar adanya "Anggap saja sebagai motivasi, bukan beban." Membuka kotak makan, melihat isinya yaitu dessert. Makanan manis kesukaannya, hal yang bisa meningkatkan atau mengembalikan mood Vania. Andreas selalu tahu cara membuat Vania kembali semangat, tidak tahu bagaimana tapi pria yang juga atasannya ini lebih perhatian dengannya dibandingkan ke pegawai lainnya. "Bapak nggak mau?" Vania menatap Andreas yang menggelengkan kepalanya "Gimana bapak meyakinkan Pak Fandy? Cik Fifi aja sulitnya minta ampun." Andreas mengambil tissue dan membersihkan sudut bibir Vania, tindakan yang membuat Vania terdiam dan membeku, sayangnya sang pelaku tampak biasa saja seakan tidak terjadi apapun. "Pak Fandy itu lebih mikir kemajuan pabrik, beda sama Bu Fifi yang lebih memikir untung." Vania berdeham sebentar untuk menghilangkan kegugupannya "Kalau penilaian bapak salah gimana?" "Kamu nggak yakin sama penilaian kamu juga berarti?" Andreas mengangkat alis mendengar pertanyaan Vania "Tes yang sudah dilakukan memang masih suka salah, tapi kita juga sudah wawancara secara langsung jadi tahu kandidat tersebut layak atau nggak." "Subjektif." Vania membuka suaranya. "Subjektif jika tidak ada pembanding, kalau memang subjektif otomatis kandidat pertama yang akan dinilai bagus karena dia yang utama dan kita nggak peduli dengan kandidat berikutnya. Apa yang kamu takutkan?" Andreas menatap Vania lembut. "Entahlah, saya seketika berpikir jika penilaian bisa saja salah. Apabila penilaian Cik Fifi benar yang ada bisa-bisa merasa bersalah, lebih tepatnya akan menjadi tempat sasaran salah." Vania mencoba mengatakan apa yang ada dalam pikiran pada Andreas. "Kita nggak akan tahu kalau belum melihat secara langsung. Bisa jadi malah pilihan kita yang memang bagus dibandingkan Bu Fifi. Hilangkan pikiran nggak penting kamu itu, coba berpikir positif. Kamu sering sekali bilang ke saya jangan negatif, tapi kamunya yang berpikir negatif." Vania terdiam mendengar kalimat Andreas "Sudah tenang? Kalau sudah kembali ke ruangan, takutnya Zafran cari kamu." "Ngapain?" Andreas mengangkat bahunya. Beranjak dari tempatnya dengan menuju ruangan, membuka pintu dengan tidak sabar membuat semua mata mengarah padanya, tapi Vania hanya tertuju pada Zafran yang kembali fokus pada laptop. Kakinya melangkah kearah Zafran dengan tanda tanya, berdiri disamping tanpa mengeluarkan suara. "Ada yang mau dibicarakan, pak?" "Apaan? Nggak ada.""Kalian tahu letak kesalahannya? Bagaimana bisa outsourcing belum membayar gaji karyawan pabrik?" "Mereka belum menerima uang dari kita, Cik. Saya sudah bicara sama Aulia, dia bilang Cik Fifi belum tanda tangan." Titik menjawab pertanyaan Fifi dengan santai."Harusnya kalian berdua bisa handle. Selama ini kita nggak pernah telat bayar mereka." Fifi menatap penuh emosi kearah Titik."Pihak outsourcing sudah kasih bukti rekening koran, Cik. Mereka juga berkali-kali hubungi Aulia dan jawabannya minta dibayar dulu sesuai perjanjian, tapi sudah tiga bulan ini pembayaran terkesan lamban." Vania membuka suaranya."Kita nggak pernah telat bayarnya!" Fifi mengatakan dengan suara keras "Kamu ada di pihak kita atau mereka?" "Saya berada di pihak yang benar, Cik." Vania menjawab santai."Jangan mentang-mentang Andreas membela kamu jadinya besar kepala. Kamu bisa saya pecat kalau memang nggak becus kerja." "Siap, Cik. Apa Cik Fifi
"Bagaimana bisa lupa? Bukannya harus sudah siap waktu meeting? Kalau begini apa yang saya sampaikan?" Vania menundukkan kepalanya, tugasnya benar-benar lupa dikerjakan. Zafran sudah mengatakan berkali-kali, bukan hanya Vania saja tapi Putri juga melakukan hal yang sama jadi wajar jika Zafran marah pada mereka. Helaan napas terdengar berkali-kali, Vania mencoba menatap laptopnya dan mulai mengerjakan apa yang bisa dikerjakan, setidaknya Zafran tidak membawa tangan kosong tanpa materi didalamnya."Saya nggak tahu harus bicara apa." Zafran menggelengkan kepalanya "Kerjakan apa yang bisa dikerjakan, walaupun saya sudah mempunyai bahan sedikit. Bu Titik, permasalahan gaji anak-anak aman?" "Sejauh ini aman, pak." Zafran menganggukkan kepalanya "Kalau bisa jangan sampai salah dalam menghitung, mereka akan marah dan tidak terima." Pembicaraan yang terjadi di ruangan sama sekali tidak Vania dengarkan, fokusnya adalah mengerjakan bahan meeting
"Kamu nggak peka jadi cewek." "Memang apaan?" Vania menatap sang sahabat, Syifa."Manager dan bos kamu itu suka sama kamu." Vania bergidik pelan "Mereka duda, gimana suka sama anak kecil?" "Memang kenapa?" Syifa mengerutkan keningnya "Bagus duda karena pengalaman, siapa yang lebih cakep?" "Semua cakep." Vania menunduk lemas setelah apa yang dikatakan Syifa "Kamu jangan suka ngarang, Cip."Liburan dihabiskan Vania bersama dengan sahabatnya Syifa, mereka sudah bersahabat dari jaman putih abu-abu dan ajaibnya mereka kuliah di kampus sama tapi berbeda fakultas. Kisah percintaan mereka berdua pastinya berbeda, Syifa sudah memiliki kekasih dan berencana menikah kemungkinan tiga bulan lagi. Vania sendiri kisah asmaranya berakhir saat menjelang wisuda, dimana sang mantan mendapatkan pekerjaan ditempat jauh dan mereka tidak sanggup melakukan hubungan jarak jauh."Kenapa memang sama duda? Abi masalah?" "Abi? Kenapa malah bawa abi? Abi sama umi nggak tahu, aku juga nggak bayangin mereka tah
"Motornya tinggal aja, bareng saya saja."Vania menatap ragu pada sepeda motornya "Terus motor saya gimana?" "Saya hubungi bengkel, sebentar." Zafran menghubungi seseorang dengan Vania yang menatap sedih pada sepeda motornya "Beres, nanti kesini. Kamu pulang sama saya saja." Menatap sepeda motornya dengan helaan napas panjang, tidak ada pilihan selain mengikuti Zafran ditambah keadaan sekitar yang sudah sepi. Keadaan kantor memang sudah sepi berbeda dengan ruangan produksi dimana masih terdapat aktivitas didalam sana, mengikuti Zafran yang sudah melangkah ke arah parkiran mobil."Bapak mau ngapain ke pos satpam?" Vania menatap bingung ketika Zafran membuka pintu saat mobil berhenti.Mengikuti arah dimana Zafran berada, tampak berbicara serius yang semakin membuat Vania bertanya-tanya, tidak lama kemudian kembali menuju mobil dan Vania hanya diam menatap kearah pria yang menjadi atasannya itu."Kasih tahu satpam kalau nanti ada orang bengkel kesini benerin motor kamu." Zafran menjawa
"Manager kalian baik banget." "Baik, gimana?" Putri tampak penasaran, menatap Aulia yang berada di department keuangan."Baik, kemarin nyapa dan ngikutin dari belakang.""Ngikutin gimana?" Putri semakin bingung dengan kalimat Aulia."Kemarin aku diminta Cik Fifi buat ke bank, dia bilang sama Pak Aan agar nggak jauh-jauh dari aku. Pak Iwan dulu mana ada begitu?" "Aku baru tahu kalau begitu baik, itu mah standard aja apalagi berkaitan sama pekerjaan." Vania menggelengkan kepalanya mendengar kalimat Aulia "Aku duluan." Berdiri meninggalkan meja tempatnya makan bersama dengan Putri dan Aulia, suatu hal yang jarang terjadi dan biasanya hanya satu kali dalam seminggu, berada dalam satu pekerjaan yang sama tidak membuat mereka bisa makan bersama. Vania memegang pesan dari Iwan jika jangan terlalu dekat dengan rekan kerja, hubungan harus profesional karena tidak semua mereka itu baik, kalaupun baik jangan terlalu membuka hal yang berhubungan dengan pekerjaan dan pribadi."Putri mana?" Vani
"Pak Zafran, ini ruangan HR. Selamat datang."Vania bertugas memperkenalkan manager baru pada semua departemen, nantinya Putri yang akan memberikan training pada sang manager. Setelah serah terima Zafran pada Putri, Vania kembali pada pekerjaannya yaitu mencari kandidat untuk manager departemen lain."Vania, Putri dan Pak Zafran dipanggil Pak Andreas." Titik memberikan informasi setelah menutup telepon.Vania dan Putri saling menatap satu sama lain, membawa buku kecil setiap bertemu dengan Andreas, biasanya pertemuan dengan Andreas bersamaan dengan keberadaan Fandy dan Fifi."Pak Andreas sendiri atau ada lainnya?" bisik Putri yang dijawab Vania dengan mengangkat bahunya.Memasuki ruangan Andreas dan tampaknya hanya beliau sendirian, mereka duduk di sofa setelah Andreas menyuruhnya dan tidak lama bergabung bersama. Membicarakan tentang kondisi pabrik saat ini dan juga karyawan mereka yang terkadang membuat pusing, pembicaraan terhenti saat pemilik pabrik masuk ke ruangan Andreas dan ik