Share

Bab 7 : Panggilan Dari Revan

Abyan bergegas menuju kamar tamu untuk melihat bayinya. Nayla mengikutinya dari belakang. Sesi foto keluarga pun terpaksa dihentikan. Papa Angga dan Mama Mayang menggiring para tamunya untuk mencicipi jamuan makan siang yang telah disediakan di meja prasmanan.

“Airin!” seru Abyan yang terlebih dahulu sampai ke kamar tamu. Di sana ada Mbok Sum yang tengah menjaga Airin selama akad nikah berlangsung.

“Airin kenapa, Mbok?” tanya Abyan mendekati mereka.

“Non Airin baru bangun tidur, Tuan. Mungkin dia kehausan,” sahut Mbok Sum yang sedang menggendong Airin dan berusaha menenangkannya.

“Mbok, berikan Airin padaku!” seru Nayla yang sudah memasuki kamarnya. Mbok Sum pun segera memberikan bayi itu.

“Cup cup cup ... Sayang, jangan nangis lagi ya! Mama ada di sini,” desis Nayla berusaha menenangkan Airin. Dikecupnya pipi tembam bayi itu dengan penuh kasih sayang. Tak lama kemudian, tangisan Airin pun mereda.

Benar-benar ajaib! Abyan terpaku memperhatikan mereka. Dalam hati ia merasa heran sekaligus takjub. Kenapa tangisan Airin selalu reda setiap kali Nayla menyentuhnya? Padahal Nayla bukanlah ibu kandungnya. Seolah gadis itu memiliki kekuatan magis yang mampu membuat Airin merasa tenang dan nyaman saat berada di dekatnya.

“Mbok, kamu pergilah makan bersama yang lainnya! Terima kasih karena sudah menjaga Airin,” ucap Nayla kepada wanita setengah baya itu.

“Baik, Non ... eh, Nyonya.”

Mbok Sum hampir saja lupa kalau mulai sekarang Nayla telah menjadi majikan barunya. Wanita yang selalu memakai kebaya tradisional yang dipadukan dengan kain jarik khas Jawa Tengah dan jilbab instan itu pun melenggang keluar.

Sebenarnya Nayla merasa risi saat Mbok Sum memanggilnya ‘nyonya’. Namun kenyataannya, sekarang ia telah menjadi nyonya di istana megah itu. Nyonya Raffasya. Ia juga sudah resmi menjadi ibu sambung bagi Airin.

Drrrttt ... drrrttt ....

Tiba-tiba saja ada bunyi getaran dari ponsel Nayla yang tergeletak di atas meja riasnya. Sontak Nayla menoleh ke arah sumber suara. Begitu juga dengan Abyan. Layar dari benda pipih hitam itu tampak menyala-nyala. Menandakan kalau ada seseorang yang sedang menelepon.

Deg! Jantung Nayla tiba-tiba berdesir kencang. Matanya membulat sempurna. Bibirnya pun sedikit ternganga. Ia benar-benar takut kalau seseorang yang meneleponnya itu adalah Revan.

“Angkat saja, Nay! Biar aku yang gendong Airin,” seru Abyan. Pria itu pun mendekat dan hendak mengambil Airin dari tangan Nayla. Namun, Nayla langsung mencegahnya.

“Enggak usah, Mas. Mas Abyan pergilah makan bersama yang lain. Biar aku yang jagain Airin di sini,” ucap Nayla dengan menunduk. Ia sama sekali tidak berani menatap wajah pria yang sekarang berstatus sebagai suaminya itu.

“Oh. Baiklah.” Abyan pun menurut. Ia memutar badan dan melangkahkan kakinya menuju pintu. Namun, sebelum keluar, sekilas ia melirik ke arah ponsel Nayla yang masih bergetar dan menyala-nyala. Sepertinya ada seseorang yang ingin sekali berbicara dengan gadis itu.

Setelah Abyan pergi, Nayla segera menyambar ponselnya dan melihat ke layar. Ternyata memang benar, Revanlah yang sedang berusaha meneleponnya. Nayla tidak menyangka kalau laki-laki itu berani menghubunginya. Karena selama ini ia melarang keras Revan untuk meneleponnya duluan. Ia takut hubungan mereka akan terendus oleh kedua orang tuanya.

Nayla bergegas menutup pintu kamarnya rapat-rapat dan menguncinya dari dalam. Mumpung semua orang sedang menikmati jamuan makan siang, ia harus memanfaatkan kesempatan itu untuk menjawab panggilan Revan.

Nayla menjatuhkan tubuhnya duduk di bibir ranjang. Ia meletakkan Airin di atas pangkuannya, lantas menjawab panggilan itu.

“Halo, Sayang.” Suara bariton Revan menyapa gendang telinga Nayla sebaik saja panggilan tersambung.

Kelopak mata Nayla mulai berkabut. Betapa ia sangat merindukan pemilik dari suara itu. Sudah lebih dari dua tahun mereka menjalani hubungan jarak jauh karena Revan harus menempuh S2-nya di Harvard University untuk meraih gelar masternya di bidang arsitektur. Sekarang pria berusia dua puluh lima tahun itu sudah berhasil menempati posisi sebagai junior desainer di perusahaan arsitektur terkemuka, Development Design Group (DDG), Amerika Serikat. Sebuah perusahaan yang menjadi impian semua arsitek dunia untuk bekerja di sana.

“Sayang, kenapa kamu diam saja?” tanya Revan karena Nayla tidak menyahut. “Aku kangen banget sama kamu. Aku ingin mendengar suaramu. Kenapa kamu enggak pernah meneleponku?”

“I-iya, Van. Aku ... aku juga kangen sama kamu,” sahut Nayla terbata. Ada bulir bening yang tiba-tiba lolos dan jatuh ke pipinya.

“Kamu kenapa? Suaramu terdengar seperti sedang menangis?” tanya Revan dengan dahi berkerut. Entah mengapa perasaannya jadi tidak enak.

“Revan, aku ... aku ....” Lidah Nayla tiba-tiba kelu. Suaranya tersekat di kerongkongan. Dia tidak memiliki keberanian untuk mengatakan yang sebenarnya kalau dia sudah menikah dengan pria lain. Dia takut Revan akan kecewa dan terluka.

“Sebenarnya ada apa? Katakan, Nay!” desak Revan. Ia semakin penasaran. Firasatnya mengatakan telah terjadi sesuatu yang buruk pada kekasihnya itu.

“Maaf, Van. Aku ....” Butiran kristal bening kembali jatuh membasahi kedua pipi Nayla. Ia benar-benar tidak sanggup untuk melanjutkan kalimatnya.

“Oeeekkk ... oeeekkk ....”

Tiba-tiba Airin menangis dengan kencang. Nayla pun buru-buru memutus sambungan telepon dan melempar benda pipih hitam itu ke ranjang. Kemudian ia berdiri menggendong Airin dan berusaha menenangkannya.

Tak lama kemudian, ponsel itu pun kembali bergetar dan menyala-nyala. Menandakan kalau Revan berusaha meneleponnya kembali. Nayla semakin panik. Bersamaan dengan itu, tiba-tiba terdengar suara ketukan yang cukup keras dari balik pintu kamarnya.

Nayla tersentak kaget. Sontak gadis itu menoleh ke arah sumber suara. Ia menyeka air matanya dengan jemari dan segera menyembunyikan ponsel itu di bawah bantal.

“Nayla, kamu sedang apa di dalam?”

Ternyata Bu Saida yang berada di balik pintu. Nayla pun bergegas membukanya.

“Ada apa, Bu?” tanya Nayla sebaik saja pintu terkuak.

Wanita paruh baya itu merasa heran saat melihat kelopak mata putrinya yang sembab.

“Kamu kenapa, Nay? Apa kamu ingat sama embakmu?”

“Em ... iya, Bu. Nayla ingat Mbak Aleya. Nayla ingin sekali mengunjungi makamnya.”

“Nanti sore kita sama-sama ke sana. Ibu juga ingin menziarahi makam Aleya sebelum pulang ke Jogja. Sekarang kamu pergilah makan! Biar Ibu yang gendong Airin.” Bu Saida pun mengambil cucunya dari tangan Nayla dengan hati-hati.

“Nanti saja Nayla makannya, Bu. Nayla mau ganti baju dulu. Apa Ibu bisa panggilkan mbak penata riasnya?”

“Baiklah. Biar Ibu panggilkan.” Bu Saida pun kembali ke ruang tamu sambil menggendong Airin.

Begitu ibunya pergi, Nayla bergegas mengambil ponselnya kembali. Pasti saat ini Revan masih berusaha keras untuk menghubunginya. Nayla sangat merasa bersalah karena membuat laki-laki itu penasaran dan menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status