Abyan bergegas menuju kamar tamu untuk melihat bayinya. Nayla mengikutinya dari belakang. Sesi foto keluarga pun terpaksa dihentikan. Papa Angga dan Mama Mayang menggiring para tamunya untuk mencicipi jamuan makan siang yang telah disediakan di meja prasmanan.
“Airin!” seru Abyan yang terlebih dahulu sampai ke kamar tamu. Di sana ada Mbok Sum yang tengah menjaga Airin selama akad nikah berlangsung.
“Airin kenapa, Mbok?” tanya Abyan mendekati mereka.
“Non Airin baru bangun tidur, Tuan. Mungkin dia kehausan,” sahut Mbok Sum yang sedang menggendong Airin dan berusaha menenangkannya.
“Mbok, berikan Airin padaku!” seru Nayla yang sudah memasuki kamarnya. Mbok Sum pun segera memberikan bayi itu.
“Cup cup cup ... Sayang, jangan nangis lagi ya! Mama ada di sini,” desis Nayla berusaha menenangkan Airin. Dikecupnya pipi tembam bayi itu dengan penuh kasih sayang. Tak lama kemudian, tangisan Airin pun mereda.
Benar-benar ajaib! Abyan terpaku memperhatikan mereka. Dalam hati ia merasa heran sekaligus takjub. Kenapa tangisan Airin selalu reda setiap kali Nayla menyentuhnya? Padahal Nayla bukanlah ibu kandungnya. Seolah gadis itu memiliki kekuatan magis yang mampu membuat Airin merasa tenang dan nyaman saat berada di dekatnya.
“Mbok, kamu pergilah makan bersama yang lainnya! Terima kasih karena sudah menjaga Airin,” ucap Nayla kepada wanita setengah baya itu.
“Baik, Non ... eh, Nyonya.”
Mbok Sum hampir saja lupa kalau mulai sekarang Nayla telah menjadi majikan barunya. Wanita yang selalu memakai kebaya tradisional yang dipadukan dengan kain jarik khas Jawa Tengah dan jilbab instan itu pun melenggang keluar.
Sebenarnya Nayla merasa risi saat Mbok Sum memanggilnya ‘nyonya’. Namun kenyataannya, sekarang ia telah menjadi nyonya di istana megah itu. Nyonya Raffasya. Ia juga sudah resmi menjadi ibu sambung bagi Airin.
Drrrttt ... drrrttt ....
Tiba-tiba saja ada bunyi getaran dari ponsel Nayla yang tergeletak di atas meja riasnya. Sontak Nayla menoleh ke arah sumber suara. Begitu juga dengan Abyan. Layar dari benda pipih hitam itu tampak menyala-nyala. Menandakan kalau ada seseorang yang sedang menelepon.
Deg! Jantung Nayla tiba-tiba berdesir kencang. Matanya membulat sempurna. Bibirnya pun sedikit ternganga. Ia benar-benar takut kalau seseorang yang meneleponnya itu adalah Revan.
“Angkat saja, Nay! Biar aku yang gendong Airin,” seru Abyan. Pria itu pun mendekat dan hendak mengambil Airin dari tangan Nayla. Namun, Nayla langsung mencegahnya.
“Enggak usah, Mas. Mas Abyan pergilah makan bersama yang lain. Biar aku yang jagain Airin di sini,” ucap Nayla dengan menunduk. Ia sama sekali tidak berani menatap wajah pria yang sekarang berstatus sebagai suaminya itu.
“Oh. Baiklah.” Abyan pun menurut. Ia memutar badan dan melangkahkan kakinya menuju pintu. Namun, sebelum keluar, sekilas ia melirik ke arah ponsel Nayla yang masih bergetar dan menyala-nyala. Sepertinya ada seseorang yang ingin sekali berbicara dengan gadis itu.
Setelah Abyan pergi, Nayla segera menyambar ponselnya dan melihat ke layar. Ternyata memang benar, Revanlah yang sedang berusaha meneleponnya. Nayla tidak menyangka kalau laki-laki itu berani menghubunginya. Karena selama ini ia melarang keras Revan untuk meneleponnya duluan. Ia takut hubungan mereka akan terendus oleh kedua orang tuanya.
Nayla bergegas menutup pintu kamarnya rapat-rapat dan menguncinya dari dalam. Mumpung semua orang sedang menikmati jamuan makan siang, ia harus memanfaatkan kesempatan itu untuk menjawab panggilan Revan.
Nayla menjatuhkan tubuhnya duduk di bibir ranjang. Ia meletakkan Airin di atas pangkuannya, lantas menjawab panggilan itu.
“Halo, Sayang.” Suara bariton Revan menyapa gendang telinga Nayla sebaik saja panggilan tersambung.
Kelopak mata Nayla mulai berkabut. Betapa ia sangat merindukan pemilik dari suara itu. Sudah lebih dari dua tahun mereka menjalani hubungan jarak jauh karena Revan harus menempuh S2-nya di Harvard University untuk meraih gelar masternya di bidang arsitektur. Sekarang pria berusia dua puluh lima tahun itu sudah berhasil menempati posisi sebagai junior desainer di perusahaan arsitektur terkemuka, Development Design Group (DDG), Amerika Serikat. Sebuah perusahaan yang menjadi impian semua arsitek dunia untuk bekerja di sana.
“Sayang, kenapa kamu diam saja?” tanya Revan karena Nayla tidak menyahut. “Aku kangen banget sama kamu. Aku ingin mendengar suaramu. Kenapa kamu enggak pernah meneleponku?”
“I-iya, Van. Aku ... aku juga kangen sama kamu,” sahut Nayla terbata. Ada bulir bening yang tiba-tiba lolos dan jatuh ke pipinya.
“Kamu kenapa? Suaramu terdengar seperti sedang menangis?” tanya Revan dengan dahi berkerut. Entah mengapa perasaannya jadi tidak enak.
“Revan, aku ... aku ....” Lidah Nayla tiba-tiba kelu. Suaranya tersekat di kerongkongan. Dia tidak memiliki keberanian untuk mengatakan yang sebenarnya kalau dia sudah menikah dengan pria lain. Dia takut Revan akan kecewa dan terluka.
“Sebenarnya ada apa? Katakan, Nay!” desak Revan. Ia semakin penasaran. Firasatnya mengatakan telah terjadi sesuatu yang buruk pada kekasihnya itu.
“Maaf, Van. Aku ....” Butiran kristal bening kembali jatuh membasahi kedua pipi Nayla. Ia benar-benar tidak sanggup untuk melanjutkan kalimatnya.
“Oeeekkk ... oeeekkk ....”
Tiba-tiba Airin menangis dengan kencang. Nayla pun buru-buru memutus sambungan telepon dan melempar benda pipih hitam itu ke ranjang. Kemudian ia berdiri menggendong Airin dan berusaha menenangkannya.
Tak lama kemudian, ponsel itu pun kembali bergetar dan menyala-nyala. Menandakan kalau Revan berusaha meneleponnya kembali. Nayla semakin panik. Bersamaan dengan itu, tiba-tiba terdengar suara ketukan yang cukup keras dari balik pintu kamarnya.
Nayla tersentak kaget. Sontak gadis itu menoleh ke arah sumber suara. Ia menyeka air matanya dengan jemari dan segera menyembunyikan ponsel itu di bawah bantal.
“Nayla, kamu sedang apa di dalam?”
Ternyata Bu Saida yang berada di balik pintu. Nayla pun bergegas membukanya.
“Ada apa, Bu?” tanya Nayla sebaik saja pintu terkuak.
Wanita paruh baya itu merasa heran saat melihat kelopak mata putrinya yang sembab.
“Kamu kenapa, Nay? Apa kamu ingat sama embakmu?”
“Em ... iya, Bu. Nayla ingat Mbak Aleya. Nayla ingin sekali mengunjungi makamnya.”
“Nanti sore kita sama-sama ke sana. Ibu juga ingin menziarahi makam Aleya sebelum pulang ke Jogja. Sekarang kamu pergilah makan! Biar Ibu yang gendong Airin.” Bu Saida pun mengambil cucunya dari tangan Nayla dengan hati-hati.
“Nanti saja Nayla makannya, Bu. Nayla mau ganti baju dulu. Apa Ibu bisa panggilkan mbak penata riasnya?”
“Baiklah. Biar Ibu panggilkan.” Bu Saida pun kembali ke ruang tamu sambil menggendong Airin.
Begitu ibunya pergi, Nayla bergegas mengambil ponselnya kembali. Pasti saat ini Revan masih berusaha keras untuk menghubunginya. Nayla sangat merasa bersalah karena membuat laki-laki itu penasaran dan menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi.
Benar saja, Revan masih berusaha keras untuk menghubunginya. Jantung Nayla semakin berdebar tidak karuan. Hatinya diliputi ketakutan yang kian mencekam. Apakah ia harus jujur dan membongkar semuanya? Apakah ia harus mengakhiri hubungannya dengan Revan dan membiarkan hati mereka sama-sama tersakiti? Di tengah kekalutannya, tiba-tiba seorang wanita berusia tiga puluh tahunan masuk ke kamarnya. Wanita itu tidak lain adalah seorang MUA (Make Up Artist) yang tadi meriasnya. Tanpa berpikir panjang, Nayla segera mematikan ponselnya dan menaruhnya di atas nakas. “Mau dilepas sekarang Mbak, kebayanya?” tanya wanita bermata sipit itu. “Eh ... iya, Mbak,” jawab Nayla sedikit gugup. Setelah melepas semua hiasan kepala dan pakaian pengantinnya, Nayla pun beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Di bawah siraman air shower yang segar, pikiran Nayla kembali dipenuhi oleh bayang-bayang Revan. Hatinya kian gelisah dan dipenuhi rasa bersalah. Ia tidak a
Nayla memasuki kamarnya. Sekilas ia melirik ke arah jarum jam dinding yang hampir menunjukkan pukul sembilan malam. Lalu pandangannya teralih ke arah Airin yang tertidur pulas di atas ranjang dengan kain bedung bermotif binatang yang membalut tubuh mungilnya. Di jam-jam seperti ini, Airin memang sangat anteng. Namun, saat tengah malam, bayi itu akan terbangun dan menangis dengan kencang karena kehausan. Nayla sudah sangat hafal karena sudah satu minggu ia tidur bersamanya. Nayla mengambil tas perlengkapan bayi, lalu memasukkan semua pakaian Airin, popok, susu formula, dan perlengkapan bayi lainnya. Setelah semuanya beres, ia pun menggendong Airin dengan hati-hati sekali agar bayi itu tidak kaget dan terbangun, kemudian mencangklongkan tas perlengkapan bayi tersebut di bahu kanannya. Dengan sebongkah keraguan dalam dada, Nayla beranjak keluar dari kamarnya. Langkah kakinya terasa amat berat. Saat itu ia benar-benar takut kalau Abyan akan menolaknya mentah-mentah dan m
Nayla membuka mata saat suara tangisan Airin menusuk gendang telinganya. Ia pun beringsut bangun. Dengan cepat kedua tangannya membuka kain bedung yang membalut tubuh Airin, lalu mengecek popoknya. “Airin kenapa, Nay?” Suara Abyan membuat Nayla tersentak kaget. Tiba-tiba pria itu sudah berdiri tegak di sampingnya. Ia sama sekali tidak mendengar langkah kakinya. “Emh ... ini, Mas. Kayaknya popoknya penuh. Aku akan menggantinya,” sahut Nayla tanpa menoleh ke arah pria itu. Tangannya bergerak cepat merobek sisi kanan dan kiri popok Airin. “Mungkin dia haus,” tutur Abyan dengan panik saat tangisan Airin terdengar semakin kencang. “Iya, Mas. Apa Mas bisa menolongku untuk membuatkan susu?” tanya Nayla yang sudah berdiri untuk mengambil popok baru di dalam tas perlengkapan bayi. “Baiklah. Mana susunya?” Nayla pun mengeluarkan satu kotak susu formula, botol kecil, dan termos kecil dari dalam tas, lantas menyerahkannya kepada Abyan. Aby
Hidup Nayla selama ini terbilang sempurna di mata masyarakat. Segala yang ia inginkan bisa terpenuhi. Makanan lezat, pakaian branded, dan barang-barang mewah lainnya bisa ia dapatkan dengan mudah. Hanya dengan menggesek kartu ajaib yang Abyan berikan untuknya. Seolah-olah isi dalam kartu itu tidak ada habisnya. Lahirnya ia kelihatan bahagia. Namun, siapa sangka, kalau selama ini batinnya amat tersiksa. Mahligai yang terbina sejak tiga tahun yang lalu seolah-olah menjadi penjara emas yang membelenggunya, mengekang kebebasannya, dan membatasi ruang geraknya. Setiap hari Nayla hanya menghabiskan waktu di rumah untuk menjaga Airin. Sementara Abyan, dia hanya sibuk mengurus pekerjaannya di kantor. Abyan Raffasya adalah seorang pengusaha sukses di Jakarta. Ia pemilik dari PT Raffasya Land, perusahaan properti terbesar di ibu kota. Sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pembangunan hotel, vila, perumahan, dan apartemen di kawasan Asia Tenggara meliputi Indonesia, Singapu
Toyota Fortuner putih tampak memasuki pintu gerbang utama. Sepanjang perjalanan dari sekolah sampai di rumah, Nayla hanya termenung memikirkan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Airin kepadanya di meja makan tadi. Haruskah ia bicara pada Abyan dan memintanya untuk sedikit saja memberikan perhatian pada Airin? “Nyonya, kita sudah sampai.” Suara parau Pak Mahmud membuyarkan lamunan Nayla. Saking seriusnya melamun, ia tidak menyadari kalau mobilnya sudah berhenti tepat di depan rumah. “Eh iya, Pak. Sudah sampai ya?” “Sudah, Nyah.” Nayla segera turun dari mobil, lantas melangkah gontai memasuki rumah. “Sudah pulang, Nyah?” tanya Mbok Sum dengan ramah. Wanita paruh baya itu tengah membersihkan debu-debu yang menempel di perabotan rumah dengan kemoceng. “Sudah, Mbok,” jawab Nayla lirih. Ia pun meletakkan sling bag-nya di meja, lantas menjatuhkan tubuhnya duduk bersandar di sofa untuk melepas lelah. Ia terlihat muram. Sama se
Nayla melirik jam di pergelangan tangan kirinya yang menunjukkan pukul 09.55. Itu artinya lima menit lagi Airin akan keluar dari kelasnya. Nayla tampak berdiri menunggu di halaman sekolah bersama dengan orang tua lainnya yang juga sedang menjemput putra-putri mereka. Lima menit kemudian, terdengar bunyi bel yang menandakan kalau sekolah telah usai. Murid-murid tampak berhambur keluar dari kelasnya. Begitu melihat sosok Airin, Nayla pun melambaikan tangan kanannya sambil mengulum senyuman. “Mamaaa!” teriak Airin sambil berlari menyongsong ibunya. Nayla pun menekuk lutut dan menyambut tubuh kecil Airin ke dalam pelukannya. “Halo, Sayang. Bagaimana sekolahmu hari ini?” Airin pun mulai bercerita panjang lebar tentang apa saja yang diajarkan oleh gurunya hari itu. Nayla mendengarkan sambil menggandeng tangan kecil putrinya itu menuju tempat parkir. “Sayang, sebelum pulang bagaimana kalau kita jalan-jalan ke mall dulu? Nanti Mama beliin es k
Abyan terkejut saat melihat semua makanan favoritnya tersaji di meja makan. Entah dari mana Nayla tahu semua makanan kesukaannya. Ah, mungkin Mbok Sum yang sudah memberi tahunya. Mereka berdua pun duduk berdampingan. Abyan diam saja saat Nayla mencidukkan nasi, sayur, dan lauk pauk ke dalam piringnya. Ia merasa de javu. Seolah-olah Aleya-lah yang sedang melayaninya. “Silakan dimakan, Mas!” seru Nayla karena pria di sampingnya itu masih tampak bergeming. “Eh, iya.” Lagi-lagi suara Nayla membuatnya sadar kalau wanita itu bukanlah Aleya. Ia kembali menghela napas panjang untuk menguasai dirinya. Kemudian ia meraih sendok dan mulai memasukkan makanan tersebut ke dalam mulutnya. Saat lidah Abyan menyentuh rendang daging buatan Nayla, ia merasa seolah-olah sedang memakan masakan Aleya. Rasanya benar-benar sama. Apa karena mereka sama-sama belajar dari Bu Saida? Abyan bertanya dalam hati. “Bagaimana, Mas? Enak?” Abyan
Karena tidak mengantar Airin ke sekolah, pagi itu Nayla bisa mengawali rutinitasnya untuk bersih-bersih rumah. Biasanya ia akan membersihkan semua kamar yang ada di lantai dua. Sementara Mbok Sum dan Pak Mahmud diberi jatah untuk membersihkan lantai bawah dan halaman. Usai membersihkan kamarnya dan kamar Airin, Nayla pun memasuki kamar Abyan yang memang tidak pernah dikunci. Di tangannya sudah ada sapu ijuk dan kemoceng yang siap digunakan untuk bersih-bersih. Sudah tiga tahun berlalu. Namun, tidak ada yang berubah di kamar itu. Semuanya masih sama. Foto pernikahan Abyan dan Aleya masih tergantung manis di dinding. Sementara foto pernikahannya hanya teronggok di gudang. Terlupakan dan terabaikan. Nayla selalu berpikir, apa ia begitu tidak berarti di mata suaminya? Apa janji suci yang pernah Abyan ucapkan di hadapan penghulu itu tidak ada artinya? Mata Nayla mulai terasa panas. Namun, ia berusaha keras untuk menahan bulir bening itu agar tidak jatuh ke pipi. S