Share

Bab 5

POV Dion.

 

"Aku tidak bisa mencintaimu seperti aku mencintai Sarah!" ucapku.

 

"Bang, asal Abang tau aku juga terpaksa menikah dengan Abang, seandainya kak Sarah meninggal dan tidak memberi wasiat agar aku menjaga Abang serta Zyona dan Zyan, aku tidak akan mau menikah dengan Abang!" ucap Safira marah.

 

Aku berlalu meninggalkan Safira.

 

Aku tidak bisa mencintai Safira seperti aku mencintai Sarah kakaknya, karena selama ini aku tidak pernah mencintai Sarah walau dia menjadi istriku dan melahirkan dua orang anak kembar yang lucu.

 

Entah kenapa aku bisa menikahinya, ini berawal dari sebuah kesalahan pahaman, aku pikir seiring berjalannya waktu aku akan memiliki perasaan lebih untuknya. Namun setelah bertahun-tahun rasa itu tak kunjung datang.

 

Teringat saat aku bertemu untuk pertama kalinya dengan Sarah dan Safira, dua gadis kakak beradik yang sangat mirip wajahnya namun berbeda karakter.

 

******

 

Sedari tadi aku memperhatikan dua orang gadis yang sedang kebingungan, terdengar jelas jika keduanya kehilangan dompet.

 

Kuhampiri kedua gadis kembar itu.

 

"Ada yang bisa saya bantu?" tanyaku.

 

"Eh, itu, anu, enggak," ucap salah seorang gadis.

 

"Sepertinya kalian butuh bantuan?" tanyaku.

 

"Kak, bagaimana ini?" tanya salah seorang gadis.

 

"Jadi gini mas, dompet kami ketinggalan jadi kami tidak bisa bayar makanan ini," ucap gadis yang dipanggil Kakak.

 

"Oh, jadi itu masalahnya, baiklah saya akan membayar makanan kalian," ucapku.

 

Setelah sedikit perdebatan akhirnya mereka menerima bantuanku dan kami saling berkenalan dan bertukar nomor telepon.

 

Kedua gadis yang cantik dan sangat mirip, mereka hanya berbeda karakter.

Si kakak namanya Sarah, gadis cantik yang terlihat dewasa, keibuan serta tegas. Si adik namanya Safira tak kalah cantik dengan kakaknya, manis, lucu serta manja serta kekanakan dan aku menyukainya.

 

     ********

 

Hari demi hari berlalu, aku sering menghubungi Sarah untuk menanyakan Safira tapi Safira seolah cuek denganku, aku tidak menyerah, lewat Sarah aku jadi tahu seperti apa Safira dan aku semakin menyukainya.

 

Aku mulai memberanikan diri berkunjung ke rumah mereka dan mengajak mereka jalan-jalan, walau terkadang Safira izin entah kemana dan meninggalkan aku berdua dengan Sarah.

 

Gadis itu sungguh membuatku semakin penasaran, ingin rasanya aku mengungkapkan perasaanku kepada Safira.

 

Hingga tibalah saat keberanianku muncul, aku Langsung berniat melamar Safira.

 

"Pak, kedatangan saya kesini untuk melamar anak bapak," ucapku kenapa kedua orang tua Safira.

 

"Nak, Dion ingin melamar siapa?" tanya Umi.

 

"Sa ... Sa ...." ucapku terbata.

 

Prak!!

 

"Sarah!" ucapku terkejut saat dia menjatuhkan gelas yang ada ditangannya.

 

Buru-buru kuhampiri Sarah.

 

"Kamu gak apa-apa kan?" tanyaku.

 

"Gak Dion, aku gak apa-apa dan aku bersedia," ucap Sarah malu-malu.

 

Aku sedikit bingung dengan yang diucapkan Sarah, Tapi aku langsung berbincang kembali dengan kedua orang tuanya.

 

"Baiklah Nak Dion, jika memang kamu ingin meminang putri bapak, bapak terima," ucap Abah Safira.

 

Aku senang sekali karena lamaranku di terima dan mulai mempersiapkan segalanya, hanya dalam dua Minggu aku akan menikah. 

 

Selama dua Minggu aku tidak bertemu dengan calon istriku karena kata Abah dia sedang dipingit.

 

      ********

 

Hari pernikahanku tiba, aku dan keluargaku langsung menuju tempat akad nikah, untuk pertama kalinya aku akan bertemu Safira setelah dua Minggu tidak diizinkan bertemu.

 

Pengantin wanita segera memasuki tempat akad nikah, aku langsung terkejut karena Sarah yang memakai baju pengantin dan Safira ada disampingnya.

 

Ingin sekali aku bicara jika ini sebuah kesalahpahaman. Namun, apa dayaku tamu undangan banyak dan aku tidak mau membuat orang tuaku malu.

 

Dengan terpaksa aku menikah dengan Sarah.

 

"Saya terima nikahnya Sarah Amalia binti Saepuloh dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan tiga puluh gram emas di bayar tunai," ucapku dengan terpaksa.

 

"Sah," ucap para saksi.

 

Safira menghampiriku dan Sarah.

 

"Selamat ya, kak Sarah, bang Dion," ucap Safira memberi selamat.

 

"Sekarang manggil Dion Abang?" tanya Sarah.

 

"Iya, kan sekarang Dion jadi Abangku," ucap Safira tersenyum.

 

Kupandangi wajah manis Safira.

 

     ********

 

Sarah tampak sangat senang setelah menikah denganku, rasanya tidak tega untuk memberi tahu jika ini sebuah kesalahpahaman.

 

Aku menunggu waktu yang tepat untuk membicarakan hal ini.

 

Hari demi hari dan bulan demi bulan berlalu, aku masih saja belum berani mengatakan jika pernikahan ini sebuah kesalahan, hingga aku depresi dan memilih minum-minuman keras, pulang ke rumah saat sudah mabuk berat.

 

Hampir setiap hari aku pulang dalam keadaan mabuk berat dan terjadilah yang seharusnya tidak terjadi, aku tidur dengan Sarah.

 

Hal itu membuatku semakin stres dan melampiaskannya ke minuman keras.

 

     *******

 

Suatu pagi saat aku ingin berbicara kepada Sarah tentang kesalahan pernikahan kami, sudah kubulatkan tekad agar aku tidak terus menyiksa Sarah karena tidak bisa membalas perasaan cintanya terhadapku.

 

"Sarah, aku ingin bicara," ucapku.

 

"Iya Mas, aku juga," ucap Sarah.

 

"Silahkan kamu dulu yang berbicara," ucapku.

 

"Aku hamil Mas," ucap Sarah sambil tersenyum.

 

Bagaimana ini?, di saat aku sudah memiliki keberanian untuk menggungkapkan apa yang terjadi, ternyata Sarah hamil.

 

Kuurungkan niat untuk memberi tahu segalanya kepada Sarah, dan aku berusaha menerima Sarah serta perlahan belajar mencintainya.

 

Kian hari perut Sarah semakin membesar, aku berusaha menjadi suami dan calon ayah yang baik. Meski hati ini masih sulit menerima Sarah.

 

Aku perlahan berhenti minum minuman keras dan berusaha memanjakan Sarah dengan lebih sering bersamanya. Namun, saat aku bersamanya ada bayangan Safira.

 

Tibalah waktunya Sarah melahirkan, aku menemaninya sebagai suami yang baik dan bertanggung jawab, setelah perjuangan yang panjang akhirnya Sarah melahirkan sepasang bayi kembar. Aku memberinya nama Zyona untuk bayi perempuan dan Zyan untuk bayi laki-laki.

 

Sarah nampak senang dengan kelahiran bayi kembar kami.

 

Aku pikir setelah lahir anak kami, aku bisa mencintai Sarah, tapi sama saja. Rasa cinta itu belum juga tumbuh yang ada rasa terima kasih karena sudah memberikan aku dua orang anak yang lucu.

 

 ******

 

Tahun terus berganti tapi perasaanku terhadap Sarah tetap sama, hanya saja sekarang aku lebih menghargai dia sebagai seorang istri dan ibu dari anak-anakku.

 

Sore itu saat aku pulang kerja rumah dalam keadaan sepi seolah tidak ada penghuni.

Aku melihat meja rias dan ada catatan kecil disana.

 

'Mas, anak-anak ada di rumah Umi'

 

Disamping catatan kecil itu ada sebuah surat yang bertuliskan 'teruntuk Mas Dion'

 

Kubuka dan mulai aku baca isi dari surat tersebut.

 

'Mas, sebelumnya aku meminta maaf kepadamu karena selama ini aku selalu merepotkan. Mohon maaf karena aku, kamu tidak bisa bersama orang yang kamu cintai, sekali lagi aku minta maaf Mas, selama ini aku tahu, jika kamu tidak pernah mencintai aku dan aku tahu kamu mencintai siapa, namanya yang  selalu kamu sebut di saat kamu mabuk. Aku tahu semuanya kenapa kamu selalu menyentuhku saat kamu mabuk berat, aku tahu alasannya tapi karena aku sangat mencintaimu aku tetap bertahan.

 

Mas, mungkin saat kamu membaca surat ini aku sedang terbaring di meja operasi. Iya mas, aku sedang sakit tapi kamu tidak perlu tahu aku sakit apa yang jelas jika operasi ini gagal aku akan mati dan aku berharap operasi ini gagal agar aku bisa berwasiat kepada orang yang kamu cintai.

 

Saat aku mati nanti menikahlah dengannya dan berbahagialah, karena aku tahu kamu mencintainya dan dia bisa menjaga anak-anak kita.

 

Mas, aku pamit dan aku mohon nikahilah Safira orang yang kamu cinta.'

 

Mataku basah membaca surat dari Sarah, aku merasa tidak adil padanya dan aku merasa dzalim terhadapnya.

 

Buru-buru aku menelpon hp Sarah. Namun yang mengangkatnya Safira.

 

"Bang, kak Sarah ... " ucap Safira di telpon.

 

Aku langsung beranjak menuju lokasi Sarah lewat GPS dan tibalah aku di sebuah rumah sakit.

 

"Sarah dimana?" tanyaku pada Abah.

 

Abah tidak menjawab.

 

"Sarah dimana?" tanyaku pada Safira.

 

"Operasinya gagal dan dia sekarang koma," ucap Safira.

 

Rasa bersalah langsung menghantuiku. Penyesalan yang selalu hadir belakangan.

 

Sehari setelah koma akhirnya Sarah meninggal.

 

Empat puluh hari setelah Sarah meninggal aku menikah dengan Safira.

 

*****

 

Hari demi hari aku dihantui rasa bersalah, seandainya aku lebih peka, seandainya aku lebih berusaha agar bisa mencintai Sarah.

 

Sekarang aku memang telah menikah dengan Safira gadis yang selalu ada di hatiku tapi rasa bersalah dan penyesalan ini selalu ada.

 

Ingin sekali aku memeluk Safira dan menumpahkan rasa cinta yang selama ini terpendam. Namun, seolah ada bayangan Sarah yang menghantui, terlebih saat dia mengenakan pakaian Sarah, aku merasa Sarah kembali dan rasa bersalah ini semakin membuatku gila hingga aku kembali minum-minuman keras sebagai pelampiasan segala rasaku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status