Share

02 | Seorang Primadona

Semua perempuan akan menjadi primadona di tempat dan di mata yang tepat.

Sepuluh tahun lalu ketika masih mengenakan seragam putih merah, dua anak perempuan asik bertukar cerita di sela aktivitas menikmati sarapan. Melempar gelak, membahas kegiatan menyenangkan, sampai mengutarakan janji untuk memperbanyak momen bersama. Terlalu polos sekadar menyadari perbedaan mencolok di antara keturunan Wijaksana.

"Ma, minum."

Sodoran gelas berisi minuman segera tertangkap manik kecilnya. Fiona tersenyum lebar, tak sungkan mempertunjukkan deretan gigi yang berlubang. "Terima kasih."

"Buat Flora mana, Ma?"

Bocah di seberang ikut bersuara. Menanti perlakuan sama sesuai adegan yang baru saja dia perhatikan. Tidak berpikir buruk sekalipun jauh dari harapan. Hanya saja, ekspresinya berubah sendu. Menghilangkan kadar keceriaan yang sempat terpatri menakjubkan.

"Ini minumnya, Non."

Flora enggan mengubah mimik, tetapi sempat menipiskan bibir kala mendapatkan lengkungan tulus milik pembantu rumah sembari bergerak membantu meneguk air. Hal sederhana yang bila diperlakukan terus-menerus tentu menimbulkan luka teramat lebar nan perih.

Sejak saat itu, Flora sadar jika atensi di rumah super megah tak lagi dianggap sebagai keluarga. Terlebih, jadwal terbang Prabu sedang sibuk-sibuknya yang meminimalisir alasan dia patut diberi kasih sayang sebanyak sang kakak. Mengubur banyak harapan indah yang selalu berakhir memilukan. Tentang keluarga, sudah cukup untuk menimbulkan lara. Memutuskan menghindari dua manusia penghambat kebahagiaan saat dirinya bahkan belum mengenal dunia sepenuhnya.

Seluruh kisah pilu pengisi masa kanak-kanak sudah dijelaskan secara rinci pada sosok papanya. Flora mengakui status Prabu sebagai keluarga, itu saja. Peran terbesar dalam kehidupannya. Posisi Prabu yang menjadi saksi kerumitan perihal kasih sayang terbagi benar-benar sebuah penyelamat juga penghambat. Meski papanya menuruti setiap keinginan Flora, tetap saja Prisha ikut ambil bagian mengatur semuanya.

Walau begitu, Flora bersyukur keberadaan Prabu sedikit membantu meringankan beban di pundak kala itu. Teman curhat pertama sebelum diganti dengan pulpen dan buku.

Kini, kesibukan mengingat masa lalu berakhir tatkala bunyi derit pintu tertangkap telinga. Flora memperhatikan penampilan untuk terakhir kali melalui pantulan cermin panjang, kemudian menarik sudut bibir ke atas sebagai sambutan.

"Sudah ditunggu, Non," tutur Bi Inah lembut seperti biasa.

Cewek yang sengaja menggerai rambut hitam kecokelatan itu mengangkat jempol, mengarahkan pada wanita keriput di ambang pintu. Tangannya beringsut mengambil tas, lalu lekas meninggalkan ruangan bercat biru laut. Turun menuju lantai bawah dengan santai, tetapi beralih memelan ketika menemukan punggung tegap seseorang. Berdiri membelakangi, menghadap ke arah wanita berpakaian serupa—formal.

Flora menajamkan penglihatan, bahkan mengucek mata berulang kali untuk memastikan. Hampir saja pergerakan menuruni tangga berganti insiden mengenaskan. Terlalu payah menyeimbangkan tubuh setelah dilanda keterkejutan akibat kaki salah memijak undakan. Beruntung, cekalan dari belakang berhasil menggagalkan tubuhnya terjungkal.

"Terima kas—"

Wajah berbinar cewek tak kalah cantik terpampang sempurna. Alih-alih memandang penuh takjub, Flora justru memaparkan muka datar. Enggan melanjutkan ungkapan yang terlanjur sumbang. Lebih dulu dihampiri kekesalan ketimbang ketulusan.

Fiona tak berkutik memperhatikan adiknya mempercepat laju seolah ingin segera menjauh dari jangkauannya. Embusan napas keluar samar. Wajah sendunya segera berganti seperti sedia kala saat menangkap suara sang mama.

"Pa, kenapa harus sama, sih? Sekolah di sini, kan, banyak."

Lagi, menghela napas sejenak mendengar suara cempreng khas anak remaja melengking. Fiona bisa menebak topik pembahasan mereka—orang tua dan anak—yang sedang berkumpul sekarang.  Cukup berupaya dipenuhi pikiran positif sebelum ikut berembuk bersama. Sebenarnya, ada keraguan dalam benak melihat tatapan tak bersahabat Flora terus-menerus menerobos masuk seperti tanda peringatan sekaligus gurat penuh kebencian.

Namun, Prisha menarik kuat pergelangan tangan putri sulungnya, menyuruh paksa masuk ke tengah-tengah mereka. Tepat mengambil duduk di samping adik kembaran. Mengulas senyum tipis sebagai formalitas juga sapaan ramah dan persis seperti dugaan, Flora membuang muka dengan tatapan sinis andalan.

"Kalian berangkat bersama. Papa yang antar," putus Prabu akhirnya.

Tentu saja keluhan Flora yang akan dilontarkan langsung ditolak tegas melalui sorot mata tajam. Dia mendesah kecewa. Tak bisa berkutik lagi kalau sudah mendapatkan respon menyeramkan seperti itu. Mau tak mau, hari pertamanya ke sekolah setelah libur panjang harus dibuka oleh segmen menyebalkan.

"Sial," rutuknya sebal.

***

Flora bergegas turun dari mobil alphard hitam tanpa perlu menunggu sebentar atau melakukan rutinitas mencium punggung tangan sang papa. Rasa kesal menghimpit dada setiap kali ocehan Prabu agar bisa menjaga Fiona nanti sepanjang perjalanan mengusik ketenangannya. Dia tidak tuli dan bisu, tetapi perlukah memberikan bukti persetujuan dengan penuturan sama berkali-kali?

Lagipula, Fiona sudah besar. Tentu cukup dewasa menjaga diri sendiri, malah lebih dari cukup. Status sebagai kakak pun perlu ditekankan. Seharusnya, Flora-lah yang perlu dijaga. Bukankah kodrat seorang adik adalah disayang dan diawasi? Dia lupa, dalam keluarganya aturan normal seperti itu tidak berlaku lagi.

"Flora!"

Bentakan Prabu melebihi bising percakapan pelajar lalu lalang tentu bukan pertanda baik. Akan tetapi, Flora tetap tidak peduli dan terus melangkah memasuki area sekolah. Kedongkolannya menjadi-jadi tatkala Fiona mengambil tempat di belakang, mengambil atensi semua murid yang sempat terdeteksi oleh penglihatan tajam Flora. Dia mendesis saat tak sengaja mencuri dengar biang gosip mengutarakan kekaguman cewek memakai jaket abu-abu.

Mencoba acuh atas reaksi berlebihan para pencipta rumor, cewek berambut gelombang itu mempercepat laju jalan menyusuri koridor yang mulai dipadati siswi kehausan alias butuh asupan wajah-wajah tampan. Flora menyembulkan senyum lebar mendapatkan sambutan meriah dua temannya di ambang pintu kelas. Teriakan lebay disertai entakan antusias turut merekahkan lengkungan yang terpatri apik di bibirnya.

"Princess!"

"Gila, makin cantik aja lo."

"Wah ... betul-betul primadona."

"Bacot lo pada," sungut Flora merasa tergelitik menangkap ocehan kagum dari teman-temannya.

Ketiga cewek itu saling berpelukan erat, sarat akan melepas kerinduan.  Memilih absen mengabari selama liburan panjang, tentu membuat mereka dipenuhi rasa ingin bertemu menggebu-gebu. Sebenernya tak apa bertukar pesan sekadar bercerita, tetapi percuma saja karena waktu terlalu berharga untuk dinikmati berlama-lama dengan ponsel. Menurut mereka, lebih seru berbagi pengalaman saat berkumpul bersama seperti ini.

Usai adegan melepas kangen, cewek berbando hitam mengerutkan alis. Perubahan mimik yang signifikan berhasil tertangkap penglihatan Flora. Sedangkan cewek satunya jadi ikut memerhatikan pula, memasang ekspresi sama persis—bingung.

"Ada apa, Babe?" Flora mengerutkan kening, bertanya-tanya.

"Wah, lo bawa saingan?" Anaya si fashionable yang selalu mengenakan aksesoris di kepala menjawab sembari mengedikkan dagu ke arah belakang cewek berambut hitam kecokelatan bergelombang.

Flora jadi teringat kalau Fiona daritadi membuntutinya. Tidak menutup kemungkinan kalau sosok yang dibicarakan oleh Anaya adalah sang kakak. Dia segera menolehkan kepala berikut badan mengarah ke depan cewek cantik yang berwajah tak jauh berbeda dengannya. Namun, dalam versi jauh lebih kalem.

Fiona mendadak bertransformasi sebagai patung. Berdiri membeku, pandangan kosong, dan tanpa ekspresi menyenangkan. Lingkungan baru seperti ini terlalu sulit dicerna. Butuh banyak waktu untuk sekadar mengedipkan mata. Sedangkan Flora sudah berpose ala senior garang dengan melipat tangan di dada. Memperhatikan lamat-lamat setiap pergerakan kaku cewek kebanggaan keluarga.

Tak hanya Anaya dan Jihan, sebagian siswa-siswi yang kebetulan melintas turut memberi pandangan beraneka ragam, tetapi lebih ke arah penasaran. Fiona meneguk ludah susah payah kala mendapat sorot ingin meminta penjelasan dari sekian orang di sekitar. Suasana ini sungguh terlalu mendadak bagi dirinya, mengingat dia amat menghindari posisi sebagai objek pengamatan banyak pasang mata.

"Tunjukkan aja." Flora maju selangkah, masih memperlihatkan wajah antagonis dibumbui senyum licik. "Buktiin kalau lo bisa hebat juga di sini," lanjutnya berbisik penuh penekanan diakhiri keduanya saling berpandangan dalam diam.

Disaksikan oleh sebagian penghuni sekolah, Fiona merasa ada kekuatan tersendiri pada setiap ucapan Flora barusan. Sebuah tantangan yang ternyata menghilangkan titik lemahnya secara perlahan-lahan.

Bersambung

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status