Malam belum sepenuhnya larut. Lily yang akan beranjak tidur tiba-tiba teringat dengan pengakuan cinta dari Bagas beberapa hari yang lalu. Pengakuan cinta dan memintanya kembali lagi bersama seperti dahulu. Kembali mencintai dan menjalin kasih.
Lily duduk sambil mengusap perutnya yang mulai sedikit membuncit. Ini sudah masuk trimester kedua. Seharusnya disaat-saat seperti ini, suaminya mendukung dan memberikan banyak cinta padanya. Andai saja ia seperti Nayya, yang dicintai dan disayangi sepenuh jiwa pastinya ia dan anaknya akan bahagia saat ini.
Sayangnya tidak.
"Semoga Bagas bisa menjadi ayah yang baik untuk kalian," gumam Lily. Diliriknya jam dinding yang sudah menunjukkan pukul delapan malam. Karena belum terlalu mengantuk, ia pun bangun dan ingin sekali bergabung dengan Bagas dan Tya yang sedang bersantai di ruang tengah.
"Haa...haaa..itu bule gegabah. Kenapa dia tidak tunggu pesanannya datang lalu pergi. Bodohnya," kekehan Bagas terdengar keras. Tya yang berasa di sampingnya tak merasa jengah sama sekali. Hebatnya.
"Maklum, bule kampung. Muka saja yang ganteng, tapi otaknya minus," ujar Tya menimpali.
Lily pun ikut bergabung. Ia duduk di samping Tya yang kakinya menjulur ke meja. Begitu sadar ada Lily, kakinya pun diturunkan kembali. Tya menggeser tempat duduknya hingga ke tengah dan Bagas lebih ke pinggir.
"Lily mau makan? Atau aku ambil cemilan?" tanya Tya. Lily menggeleng. Ia malah menyambar minuman kaleng di meja dan hampir saja meneguknya namun ditarik oleh Tya. "Ibu hamil dilarang minum cola. Aku buatkan susu dulu ya."
Lily pun mengangguk. Tya bangun dan segera beranjak menuju dapur. Sebenarnya ini hanya alasannya saja, agar kedua insan tadi jadi lebih dekat dan tidak canggung.
Saat melihat Bagas, tiba-tiba saja Lily menjadi gugup. Ia ingin berkata sesuatu. Ah tidak, dia menginginkannya. Bagas menoleh, tak tega melihat raut wajah tegang Lily ia pun bertanya," Ada yang ingin kamu katakan?"
Lily mengangguk. "Bagas, boleh aku minta sesuatu sama kamu? Kalau kamu tidak mau, ya tidak masalah."
Bagas mengerutkan dahinya, coba menerka apa keinginan yang akan disampaikan oleh Lily. Bagas mengubah posisi duduknya. Menepuk sofa bagian tengah dan mengajak Lily duduk disana, di sampingnya.
"Katakan."
Lily bergerak lebih ke tengah, lebih dekat dengan Bagas. Tangannya terulur menarik tangan Bagas lalu menaruhnya di atas perutnya. Kini Bagas yang merasa panas dingin. Bahkan jantungnya berdebar semakin kencang. Lily menunduk karena malu, mungkin karena ia dengan berani menaruh tangan Bagas di atas perutnya.
"Aku hanya minta tolong usap perut saja. Maaf kalau terkesan aneh."
"Sure. Hanya usap perut tidak membuat nyawaku habis, kan?" Bagas pun menuruti keinginan Lily. Ia memang belum berpengalaman dengan ibu hamil. Tapi, sepengetahuannya seorang ibu hamil hormonalnya akan selalu naik turun. Kadang terasa ingin dimanja, terkadang enggan.
"Terima kasih."
Dalam hati Bagas, ia sedikit miris melihat nasib Lily. Perempuan cantik, berpendidikan tinggi dan punya hati bak malaikat tapi harus berakhir seperti ini pernikahannya. Kenapa pula tuhan menjodohkannya dengan orang sekejam Rayyan.
"Lily, kalau kamu ingin seperti ini atau ingin apapun tolong kasih tahu aku. Jangan sungkan," ujar Bagas. Lily mengangguk.
"Kalau aku minta makanan juga?" tanya Lily.
"Tentu. Apa saja."
Ekhem
Tya datang dari arah dapur membawa segelas susu untuk Lily, Tya memberikan gelas itu yang langsung disambar oleh Lily, "Ayo diminum dulu susunya."
"Terima kasih."
"Lily, besok jadi ke butik? Kamu juga harus cek sesekali takutnya ada manipulasi keuangan disana," tanya Tya.
Lily menaruh gelas di meja sambil membersihan bibirnya dari sisa susu yang menempel. Ia pun menjawab pertanyaan Tya yang masih penasaran dengan cara Lily mengelola butik pemberian orangtuanya. "Aku sudah percayakan pada seseorang disana. Rencananya, aku akan menghilang sementara hingga melahirkan. Aku harus mengambil alih perusahaan papa sebelum jatuh ke tangan Rayyan."
Tya hampir tersedak mendengarnya. Bagas pun sama, hanya saja dia lebih terlihat cool saat terkejut. Lily melirik keduanya bergantian. Tya dan Bagas terdiam saat Lily mengatakan hal tadi.
"Yang kamu katakan tadi serius, Lily?" Lily mengangguk. "Maksud kamu?"
Dengan tenang Lily mengambil satu bongkah kue kering buatan Tya, ia mengunyahnya pelan. Wajahnya datar menatap televisi sebelum menjawab pertanyaan Tya. "Sebenarnya, perusahaan yang sekarang ditempati Rayyan adalah milik papa aku. Karena dia adalah suamiku, jadi aku serahkan pengelolaannya padanya. Sekarang, pimpinan tertinggi diambil oleh Abizar."
Lily menatap kedua sahabatnya lalu menarik napas panjang dan menghempasnya perlahan. "Aku akan ambil hak yang memang sedari awal adalah milikku."
Perusahaan yang dimaksud Lily adalah perusahaan patungan milik ayah dan tuan Ardiwira. Selama lily dan Rayyan dalam status menikah, perusahaan itu dikelola oleh Rayyan sebagai perwakilan.
Sebelumnya, Lily pikir pernikahan mereka akan berlangsung lama jadi tak apa jika perusahaan itu dikelola oleh Rayyan. Tapi ternyata semuanya berubah. Rayyan membuangnya. Ini yang membuat Lily berpikir lagi untuk mengambil kembali hak ayahnya di perusahaan itu.
"Berapa persen saham yang dimiliki papa disana?" tanya Bagas. Ia ahli keuangan, setidaknya ia tahu seluk beluk kepemilikan usaha.
"Hampir setengahnya," jawab Lily.
Tya menutup mulutnya dengan tangan, lebih terkejut dari yang tadi. Lily mempunyai rahasia yang bisa membuat orang lain tercengang. Tya mengira jika Lily seorang wanita biasa yang membutuhkan tempat tinggal. Tapi ternyata lbih dari itu.
"Lalu apa rencanamu?"
"Aku tarik semua saham milik papa."
"Itu bagus, Lily. Aku dukung," ujar Tya.
"Terima kasih."
Lily teringat kembali kalimat yang menyakitkan hatinya yang terlontar dari mulut Rayyan. Kalimat yang mengatakan bahwa Lily seharusnya sadar diri dengan status dirinya sebagai istri yang tak diinginkan. Lily menahannya saat itu. Tapi sekarang tidak. Ia tidak akan kembali mengalah.
Lily berpamitan masuk kedalam kamarnya meninggalkan Tya dan Bagas yang masih ingin menonton tv di ruang tengah. Lily duduk menatap langit malam dari dalam ruangan kamar yang ia tempati.
'Andai saja mama masih hidup.'
Tya memukul lengan Bagas yang tampak acuh saat Lily bercerita tadi. Bagas memutar matanya malas, namun tetap fokus pada layar tv. Ia kembali memungut sisa popcorn karamel kesukaannya yang sekarang sudah habis tak tersisa.
"Kamu tidak merespon dia? What the? Katanya mau menunjukkan kalau kamu serius sama dia?" desak Tya. Bagas masih mengunyah popcorn di sela giginya. Berpikir sejenak apakah respon yang ia berikan tadi masih kurang.
"Tya, bukannya aku tidak mau. Tapi, kamu bisa lihat kan apakah aku masuk ke dalam prioritasnya dia?" Bagas terdiam. "Aku sebenarnya kecewa," ujarnya lirih.
Tya tak dapat memaksa. Memang dalam suatu hubungan harus ada timbal balik yang sesuai. Jika salah satunya tak mencintai, apakah pihak yang lain harus memaksanya?
"Yah, semoga dia berubah pikiran."
"Hmm.."
Dughh!! Mobil yang ditumpangi oleh Rayyan menabrak pinggir jembatan. Lampu depan pecah dan bunyi alarmnya terdengar cukup keras. Rayyan tersadar dari lamunannya lalu memutuskan untuk keluar dari dalam mobil. Ia butuh udara segar. Rayyan berdiri di sisian jembatan. Matanya tertuju pada ramainya lalu lintas di bawah sana. Terbersit pikiran kotor untuk mengakhiri hidupnya. Namun lagi-lagi ingatannya tentang Lily kembali membawanya pada kewarasan. "Aku harus hidup demi kedua buah hatiku," bisiknya dalam diam. Rayyan belum pernah bertemu kedua anaknya dan ia tak mau mati konyol hanya karena kebodohan. Ia pun segera ke dalam mobil dan melanjutkan perjalanannya. Sementara itu, Nayya yang sejak sore tadi sudah berada di rumah menjadi sedikit cemas karena sosok Rayyan yang belum juga kembali. Ponselnya pun tidak aktif. Nayya mencoba menghubungi beberapa rekannya tapi hasilnya nihil. Rayyan tak ada dimana-mana. "Kemana perginya Rayyan?" Nayya terus mencari cara agar bisa tahu dimana suam
Mengerikan. Rayyan mendapati sang ayah tersenyum sendiri saat duduk satu ruangan dengannya. Ia terus menerus mengecek ponselnya lalu kembali tersenyum tanpa tahu apa sebabnya. Sebagai anak yang baik, Rayyan tentunya sangat penasaran mengapa ayahnya terlihat bahagia hari ini. Tak seperti biasanya. "Papa sedang merencanakan apa?" ujar Rayyan yang kini sudah risih dengan tingkah Ardiwira. "Oh, papa sedang melihat beberapa koleksi perhiasan. Sepertinya cocok untuk mama," jawab Ardiwira sembari memperlihatkan isi ponselnya. "Papa tidak sedang merencanakan sesuatu yang berhubungan dengan Lily kan?" tanyanya lagi. Ardiwira mengangguk pelan. Namun Rayyan tak langsung percaya padanya. "Papa mau kamu datang ke rumah besok Sabtu. Ada sesuatu yang akan papa bicarakan," perintah Ardiwira dengan mata tertuju pada Rayyan. Ia menutup ponselnya lalu menopang satu kakinya dengan santai. "Ini serius dan kamu bawa juga Nayya kesana." "Untuk apa? Bukankah papa tidak suka padanya?" "Apa dia selamany
Mata Lily terlihat kosong. Sejak Bagas pulang kerja sore tadi, ia hanya berdiam diri di kamar sambil memandangi kedua anaknya. Sesekali Lily beranjak ke dapur untuk makan lalu kembali lagi ke kamar. Bagas mengerutkan dahinya. Ia pun akhirnya memberanikan diri untuk bertanya padanya. "Kamu kenapa, sayang? Ada yang mengganjal hati?" "Tadi siang dia datang. Entah dari mana dia mengetahui alamat rumah ini." Lily mengembuskan napasnya yang terasa sesak di dada. "Dia mengajakku menemui Ardiwira. Mrnurutmu, aku harus menurutinya atau tidak?" "Apa yang diinginkan Ardiwira darimu?" Bagas mengubah posisinya. Matanya ia fokuskan pada Lily. "Dia meminta si kembar? Kumohon jangan." "Sampai mereka nangis darah pun tidak akan aku berikan." "Tidak salah kalau aku mengajukan status si kembar ke pengadilan," ujar Bagas. Ia berdiri mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah amplop berwarna coklat yang terlihat tebal dari luar. "Minggu depan kita sidang. Si kembar akan sah jadi anak kandungku." Ma
Nayya tak sabar menunggu informasi yang diberikan oleh orang suruhannya. Sejak tadi ia gelisah melirik arloji di tangannya menunggu kedatangan si pemberi pesan. Tak lama kemudian, datanglah sang informan menghadap padanya. Mata Nayya berbinar saat melihatnya. Ini hari yang sangat ia tunggu. "Lama sekali," sindir Nayya. "Sabar, bos." Nayya tersenyum melihat hasil yang didapatkan dari informan yang ditunjuknya. Ada dua foto yang membuatnya yakin jika itu adalah Lily yang tengah ia cari keberadaannya. "Kerja bagus. Mereka ada di Bandung?" informan itu mengangguk. "Sisa bayaran saya transfer langsung." "Terima kasih, bos." Setelah menyelesaikan tugasnya, informan itu segera pergi meninggalkan Nayya. Istri Rayyan itu menghitung-hitung seberapa banyak uang yang bisa ia dapatkan dari Ardiwira setelah rencananya berhasil. "Apa aku akan dapat satu miliar? Ah, terlalu kecil. Lima miliar cukup? Ah, bisa foya-foya seumur hidup." Nayya yang sudah mengantongi alamat Lily segera melajukan
"Hai, sayang." Nayya menyapa dari balik meja dapur. Rayyan hanya melihatnya sekilas dan berlalu masuk ke dalam kamar. Nayya mengikutinya dari belakang. Tanpa diduga, Nayya dengan sigap mengambil pakaian Rayyan dan menaruhnya di atas tempat tidur. Lalu ia juga menyiapkan bak mandi untuk suaminya yang biasa berendam. "Aku sudah siapkan semuanya. Aku siapkan makan malam dulu," ujar Nayya yang bersiap pergi dari kamar. Tangan Rayyan menarik pelan lengan Nayya disertai dengan tujukan tajam alis yang membuat Nayya terdiam. "Kenapa tiba-tiba seperti ini?" tanya Rayyan. Genggaman tangan Rayyan semakin mengeras dan itu membuat Nayya sedikit kesakitan. "Mas, jangan gini. Aku bisa jelaskan semuanya." Nayya berusaha melepas genggaman tangan Rayyan namun tak berhasil. "Katakan, siapa yang telah mencuci otakmu hingga kamu berubah secepat ini!" teriak Rayyan lepas. Nayya ketakutan. Ia menunduk menutupi wajahnya yang gemetar menahan tangis. "Katakan! Bukan tangisan yang aku inginkan!" Rayyan me
"Kamu menyembunyikan sesuatu dari papa?" Rayyan tak bisa berkutik. Matanya yang gelisah berpendar ke segala arah memastikan rasa gugupnya hilang. Ia menggeleng kemudian. "Tidak, Pa." Rayyan merasa jawabannya salah. Ayahnya masih terus mengintimidasinya dengan tatapan penuh tanda tanya. "Yakin? Kamu tidak mau bercerita?" Rayyan menggeleng ringan. "Rayyan tidak tahu apa yang harus diceritakan. Apa ini menyangkut kinerja?" tanya Rayyan penasaran. "Bukan. Ini semua tentang mantan istrimu." "Kenapa dengan Nayya?" Ardiwira terkekeh. Tangannya pelan menepuk bahu sang anak yang terlihat menegang. "Papa dengar, dia sudah berhasil ditemukan. Kamu tahu?" tanyanya yang lagi-lagi dengan tatapan intimidasi. "Aku tidak tahu," jawab Rayyan. "Benarkah? Lalu apa yang kamu lakukan di toko perlengkapan bayi beberapa waktu lalu?" mata Rayyan membola. Ia tak bisa menyembunyikan kegugupannya. "Oh, aku membelinya untuk teman." "Benarkah?" Rayyan mengangguk. "Mata-mata papa banyak loh." Rayyan me