"Mommm!"
Setelah menyelesaikan seruannya, Sarla Maykan Parker pun berlari kencang ke arah sang ibu yang sedang berdiri di depan dengan jarak sekitar lima meter, masih dalam areal ruang tamu megah rumahnya.
Senyum kian Sarla kembangkan bersamaan akan kedua tangan direntangkan ke samping. Ia berniat memberikan pelukan, setelah nanti berada di depan sang ibu. Tinggal beberapa langkah lagi sampai.
"Mommm!" Sarla kembali berseru, bahkan lebih kencang dari sebelumnya. Antusiasme meningkat.
"Jangan berani mendekati Mom, Sayang!"
Sarla langsung berhenti berjalan selepas sang ibu mengeluarkan perintah dalam suara begitu tegas. Ia pun berdiri dengan tubuh kaku. Merasakan secara jelas bagaimana ibunya tengah marah lewat sorot mata ditunjukkan memandang dirinya lekat.
Jarak tersisa kurang dari satu meter saja. Atmosfer tak menyenangkan semakin membuat Sarla jadi kurang tenang. Keadaan yang tidak pernah dirinya inginkan alami, yakni menghadapi kemarahan dari kedua orangtuanya. Terutama, sang ibu.
"Mom...," Sarla memanggil pelan. Suaranya lebih rendah. Masih diarahkan tatapan pada ibunya.
"Sudah Mom bilang jangan mendekat, Nak!"
Sarla yang baru dua langkah berjalan ke depan pun harus dihentikannya. Menuruti perintah sang ibu agar tak semakin membuat marah. Ia jelas saja mulai dirundung oleh perasaan takut. Berefek juga pada debaran jantung yang bertambah kencang. Ia belum pernah melihat ibunya bersikap begitu keras
"Mom, apakah sedang marah padaku?"
Sarla mengakui ia sangat bodoh menanyakan hal demikian yang sudahlah jelas ditunjukkan sang ibu. Kemudian, ia memilih membungkam mulut dengan rapat. Menunggu jawaban akan diloloskan ibunya. Ketenangannya semakin tak bisa diberlakukan.
"Jelas saja Mom marah kepadamu, Sarla!"
"Mom, aku ingin minta maaf. Mom pasti marah atas keterlambatan aku pulang bukan? Tadi dari bandara aku diundang ke bar sebentar. Tapi, aku tidak satu gelas pun minum. Aku hanya mencicipi coke. Sungguh aku tidak berbohong. Aku ti--"
Plak!
Sarla terkejut bukan main sebab pipi bagian kirinya menerima tamparan yang cukup keras dari sang ibu. Ia benar-benar tak menyangka akan mendapat perlakuan kasar. Namun, tidak mungkin untuknya memprotes karena sang ibu sedang begitu emosi.
"Jangan membela dirimu, Nak! Bukan masalah kau pergi ke bar atau minum sampai mabuk. Hal lain yang sudah membuat Mom begitu marah padamu."
Sarla menelan air ludah dengan cukup susah payah guna membasahi kerongkongan yang kian kering. Mata sudah berkaca-kaca. Rasa takut tentu bertambah seiring menajamnya mata sang ibu. Namun, ia sudah bertekad memberi penjelasan secara detail sebagai senjata andalan.
"Masalah apa Mom? Aku akan jelaskan sem--"
"Mom juga tidak membutuhkan penjelasan apa pun darimu, Nak. Bukti-bukti sudah cukup, Sarla! Kau sungguh keterlaluan menghabiskan uang satu juta dollar dalam waktu satu bulan! Mom kecewa."
Air mata Sarla semakin deras keluar. Penglihatan pun mulai mengabur. "Aku minta maaf, Mom. Ak--"
"Mom sudah memutuskan hukuman yang akan kau terima. Mom dan Dad tidak bisa lagi menolerir gaya hidupmu yang mewah. Kau harus diberi pelajaran, Nak. Supaya kau bisa lebih sadar akan kesalahan yang sudah kau lakukan. Tolong berubahlah."
Sarla membelalakan mata. "Mom akan memberi aku hukuman sepeerti apa? Kenapa terdenga--"
"Kau akan kami asingkan ke rumah Mr. Davis, Nak. Kau akan belajar banyak di sana. Kau baru boleh kembali setelah kau mau berubah, Sarla."
"Mr. Davis, tolonglah kemari."
Sarla segera saja mengikuti arah pandang sang ibu yang tertuju ke arah salah satu ruangan tidur tamu, masih terletak di lantai satu. Dan, berjarak sekitar enam meter dari tempat dirinya serta juga sang ibu sedang berdiri. Degupan jantung semakin tak bisa menentu. Terus berdetak dengan kencangnya.
Tak berselang lama, sepasang mata Sarla jelas menangkap sosok pria berpostur tinggi, perparas tampan, dan menyeringai keluar dari dalam kamar tersebut. Ia terpesona. Semakin tak mampu untuk dialihkan perhatian, saat pria itu mendekatinya.
"Senang bisa bertemu denganmu, Miss Sarla. Tapi, maaf aku harus membuat kau pingsan dulu."
Sarla butuh waktu lebih dari lima detik untuk dapat memahami makna ucapan baru didengarnya. Ia pun hendak menyahut. Namun, tak sempat karena merasakan kantuk luar biasa. Tepat setelah, mulut dibekap oleh pria itu menggunakan sapu tangan. Ia langsung memejamkan mata, terhuyung ke depan.
"Mr. Davis, aku memercayaimu. Tolong buat putri kami berubah. Aku tahu kau bisa melakukannya."
"Baiklah, Bibi. Percayakan semua padaku."
"Cepat bangun!""Sudah jam sebelas. Cepatlah bangun!""Miss Sarla, aku tidak menduga kau pemalas."Sejak mendengar seruan pertama, Sarla sudah ingin membuka kelopak matanya. Namun, ia tidak dapat karena terasa terlalu berat. Meski demikian, tak pantang. Terus saja berupaya dilakukannya.Suara berat milik pria yang tak asing, sebab pernah didengar. Ya, kemarin di rumah orangtuanya. Dan, masih diingat jelas bagaimana paras tampan dari pria itu yang membuat debaran jantung meningkat."Bangunlah, Miss Sarla. Setidaknya sebelum aku berbuat suatu hal agar kau mau menuruti se--"Tepat setelah membuka mata, pria yang sedang menjadi pusat pandangannya pun berhenti berucap. Mereka saling memandang. Kegugupan melanda Sarla kembali karena tatapan intens pria itu yang diarahkan tepat pada matanya dengan jarak tidak terlalu jauh. Bahkan, kurang dari satu meter.Bukan hanya pancar
Sarla tidak pernah menangis dan merasa sesedih ini akan keadaan dialaminya. Situasi yang bahkan tak sekalipun dibayangkan akan menimpanya. Ia kini harus menghadapi kondisi tidak menyenangkan tanpa adanya persiapan apa-apa sama sekali.Hanya pakaian melekat di tubuh satu-satunya yang dibawa. Handphone dan dompet kesayangan berisi sejumlah uang serta kartu-kartu bank sudah tidak ada. Sarla menganggap dirinya menyedihkan.Kehidupan berubah dalam semalam saja. Jauh dari keluarga. Berada dengan orang asing yang cukup menyebalkan dan sombong di tempat belum bisa diketahuinya menjadi cobaan terasa kian terberat.Pikiran Sarla pun buntu. Tidak bisa untuk mencari solusi terbaik yang dapat menyelamatkan dirinya secara cepat. Memasrahkan semua bukan pilihan yang menguntungkan baginya kedepan. Ia enggan menyerah terlalu dini tanpa usaha untuk mengamankan dirinya. Namun, kondisi tak dapat memberikan dukungan sesuai dengan harapan.
Sarla sudah keluar dari kamar tidur yang ditempati sejak satu jam lalu. Hampir tiga puluh menit waktu dihabiskan menelusuri lantai demi lantai dalam mansion luas milik pria bernama Wilzton Davis.Kini, Sarla telah berada di bagian teratas kediaman pria itu. Hanya dikelilingi atap dan juga kebun kecil, namun asri. Angin berembus semilir, memberikan sedikit kesejukan ditengah cuaca yang panas.Sarla tidak bisa menampik kekaguman akan desain interior dan bangunan. Begitu elegan serta mewah, walau bergaya minimalis. Halaman luas dipenuhi tanaman-tanaman bunga dan pepohonan rindang menambah kesan yang indah. Seharusnya mampu memberikan ketenangan serta juga kenyamanan.Kenyataannya, Sarla semakin dilanda kegelisahan. Dan ia terus memikirkan bagaimana nasibnya yang tambah membingungkan. Jalan keluar belum bisa juga ditemukan. Pikiran masih terus buntu. Tidak bisa menemukan cara membebaskan dirinya dari Wilzton dan hukuman diberikan oleh k
Sarla sudah membuat keputusan. Telah dirinya pikirkan matang sejak semalam akan jalan diambil. Menangis dan meratapi nasib tidak mampu untuk mengubah apa pun dalam kondisi dihadapinya.Yang dibutuhkan adalah cara bertahan. Menyerah sama saja melukai harga diri. Sarla enggan dicap wanita lemah menerus oleh pria bernama Wilzton. Ia bisa menjadi orang lebih baik dan kuat lagi. Hanya tinggal memberikan pembuktian.Tak ada uang untuk menyelamatkan selain dirinya sendiri. Sarla berpikir bahwa ia tengah bertempur di medan perang. Sudah bertekad akan menang dan mengalahkan Wilzton Davis dengan caranya. Ia yakin akan sangat bisa menaklukan pria itu. Uang Wilzton pun menjadi target utamanya.Mengenai hukuman diberikan ayah dan sang ibu. Ia akhirnya bisa menerima. Memanglah harus juga dijalani sebagai penebusan kesalahan.Minimal harus memberikan bukti kepada orangtuanya jika ia bisa berubah menjadi lebih baik dengan pel
Menyerah dengan mudah bukanlah sesuatu yang akan dilakukan. Ia pun bertekad untuk terus menunjukkan perlawanan.Tidak ada yang menolong menyelamatkan dirinya. Ia tengah sendiri di rumah Wilzton. Tak akan diraih bantuan dari siapa pun. Hanya ia seorang yang mampu melakukannya."Bisakah kau berhenti bergerak? Kau pikir jika badanmu tidak berat, Miss Sarla?""Aku tidak peduli!" Sarla berseru dengan kencang. Amarahnya semakin meningkat.Kedua telinga pun tambah memanas karena ejekan dilontarkan oleh Wilzton Davis. Ia tak senang dikomentari tentang bobot dari tubuhnya.Hal yang baginya sensitif. Tidak akan suka diejek gemuk. Sebab, selama ini sudah dilakukan berbagai macam program menjaga beratnya. Tak bisa diterimanya."Lepaskan aku sekarang! Jangan kau pernah berpikir kau akan bisa memaksaku unt--"Sarla harus menghentikan perkataan akibat dilanda kekagetan besar dirinya dihempas ke kasur Wilzton yang empuk. Ia pun berada dal
Menunggu adalah hal paling tidak menyenangkan bagi Sarla. Terlebih, tanpa kepastian yang jelas atas keputusan sudah dibuatnya.Rasa mual pada sosok pria menyebalkan nan sombong, Wilzton, tak terbendung sejak mereka terakhir berbicara tadi di dalam. Debat tentu mewarnai.Dirinya diusir paksa dari ruangan tidur pria itu. Tak ada pilihan selain menanti Wilzton keluar. Dan, ia sudah berdiri di depan pintu hampir setengah jam.Kedua kakinya mendapatkan efek, pegal-pegal. Ia harus segera beristirahat untuk memulihkan tenaga dan pikiran yang masih senantiasa terkuras.Rasa kantuk juga menyerang karena waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Namun, tidak bisa pergi ke kamarnya. Ia membutuhkan jawaban yang lebih pasti lagi.Benar, kesepakatan secara tertulis agar semua jelas dan juga memiliki dasar hukum. Jika terjadi masalah yang tak diduga-duga, ia bisa menuntut.Wilzton Davis tipikal pria yang misterius. Ia tidak bisa merasa
Wilzton merasakan kesunyian cukup mencekam, saat masuk ke dalam kamar tidur Sarla. Sedangkan, suasana juga gelap. Tanpa ada nyala lampu yang menerangi.Namun demikian, ia masih tak menemukan kendala berjalan ke ranjang tidur wanita itu dengan langkah santai saja. Seringaian dibentuknya pada wajah. Tatapan lurus ke depan."Miss Sarla!" Wilzton berseru kencang, sengaja.Salah satu sudut bibir semakin dinaikkan. Ia sudah berdiri di samping tempat tidur yang digunakan oleh Sarla.Arah pandang pun telah terpusat penuh ke sosok wanita itu. Tak ada tanda-tanda respons dari Sarla. Walau, volume suaranya terbilang keras. Ia begitu yakin sudah didengar. Tak mungkin tidak."Aku kira kau tidak akan malas lagi. Ternyata, masih saja kau lakukan kebiasaanmu. Cepat bangun! Kau tidak boleh menjadi pemalas."Telinga Sarla langsung memanas karena seruan begitu kencang nan penuh sindiran diucap oleh seseorang.Sangat dikenalinya dengar benar pemilik
Sarla membutuhkan waktu selama lebih dari satu jam untuk menyelesaikan dua pancakes berukuran sedang untuk menu sarapan dirinya dan Wilzton.Ditambah dengan dua gelas jus strawberri yang diminta secara khusus oleh pria itu kepadanya tadi.Semua sudah terhidang di meja makan berbentuk bulat yang cukup besar. Tak ada makanan lainnya tersaji.Dan secara tiba-tiba saja, Sarla mengingat momen sarapan di rumah bersama ayah, ibu, serta sang kakak dengan menu beragam dibuatkan oleh para pelayan. Semua sangat enak, ia rindu.Penyesalan pun juga menyelimutinya atas sikap dan gaya hidup glamour selama ini sudah dijalani. Namun, tak akan berlaku permohonan maaf dari dirinya.Dan, tetap harus menjalani hukuman sebagaimana mestinya yang sudah ditetapkan oleh ayah dan sang ibu. Entah sampai kapan, tak ada kejelasan yang diberitahukan Wilzton.Pria itu masih ingin menunjukkan kemisteriusan pada dirinya. Ia enggan untuk lebih terpancing lagi.Ta