Share

UNPLACED
UNPLACED
Author: SURIYANA

Good Day, Nobody

“Ibu, hari ini saya datang mau bikin Ibu cantik untuk yang terakhir kalinya. Mohon diizinkan,” kata seorang gadis gendut seraya mengenakan sarung tangan. Setelahnya, dia mengambil alas bedak dari meja beroda yang terletak di sampingnya.

Gadis yang bernama Vika itu meneliti wajah yang rebah di hadapannya. Alas bedak sudah tergenggam di tangan. Jeda sejenak tatkala dia mengumpulkan konsentrasi dengan menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya dari mulut. Kemudian, dia membuka alat rias tersebut dan menepuk pulasan pertama ke dahi jenazah yang ada di depannya. Begitu terus dia lakukan selembut mungkin sampai merata keseluruhan. Wajah yang pucat pasi itu, Vika permanis dengan semburat warna merah muda pada bagian pipi. Tidak lupa pula, dia menghiasi mata yang tertutup dengan pemulas berwarna senada. Vika mempertegas alis dan sebagai sentuhan terakhir, dia mengoleskan lipstik.

Vika mundur selangkah untuk memeriksa riasan yang dia aplikasikan. Tentu saja dia juga memutar ke sisi lain untuk memastikan wajah itu sama sempurnanya. Pada saat-saat seperti ini, Vika suka berlama-lama memandang jenazah yang terbaring itu. Dengan kondisi yang sudah rapi, jenazah tampak damai seperti tidak ada beban. Dalam pikirannya, mereka sudah siap dan ikhlas menghadap keabadian di dunia lain. Ya, Vika memang berprofesi sebagai perias jenazah.

Bunyi dering telepon seluler yang nyaring begitu mengagetkannya sampai membuat lipstik yang sedang dia pegang terjatuh dengan posisi yang menunjukkan tulisan Mirah Delima menghadap ke atas. Vika mengecek dan rupanya suara itu berasal dari alarm yang dia seting kemarin. Interview: 13.00, begitu yang tertera di layarnya. Terburu-buru, Vika meraup alat makeup yang belum sempat dibereskan dan menuangkannya begitu saja ke dalam tote bag. Tak lupa, dia menyambar tas punggung yang tergeletak rapi di atas lantai dekat pintu.

Mendorong pintu kamar jenazah, Vika disambut dengan salah satu anggota keluarga yang berduka. “Sudah selesai, Tante.” Tanpa menunggu respons dari lawan bicaranya, Vika setengah berlari meninggalkan tempat itu.

“Jangan lupa amplop di Romo, Vik!”

***

Dalam tempo yang masih sama terburu-burunya dengan sewaktu dia meninggalkan rumah duka, Vika bergegas mengejar pintu lift yang masih terbuka dan mengabaikan keringat yang bercucuran di dahi. Sebaik gadis bertubuh gempal itu memasuki transportasi pengangkut vertikal itu, kelegaan pun menyelimutinya.

Tiba-tiba, notifikasi yang menandakan lift mengalami kelebihan beban menjerit-jerit. Secara serempak, semua mata penggunanya menoleh kepada Vika tajam. Alasannya apalagi kalau bukan gara-gara melihat bobot gadis itu yang paling lebar di antara mereka. Vika menundukkan kepala, lalu tanpa menimbulkan suara, kakinya beranjak meninggalkan lift.

Namun, tidak sampai sedetik berikutnya, “Hold the door!” Seorang wanita kurus, tinggi, dan semampai berjalan santai mendekati lift yang batal dinaiki Vika tadi. Gaun mini tanpa lengan yang dipakai perempuan itu menunjukkan kemulusan kulitnya yang putih benderang. Sudah barang tentu, salah satu dari penghuni lift memencet tombol agar pintu tetap terbuka. Sudah dapat Vika tebak juga kalau mereka, - yang kebetulan kebanyakan pria tidak ragu-ragu menunjukkan reaksi terpukau akan kedatangan pemakai gaun mini itu.

Please, bunyi, please bunyi, pinta Vika dalam hati. Harapan yang sia-sia karena pintu lift lancar menutup tanpa ada ciri-ciri keberatan beban seperti dengannya tadi. Bahu Vika melorot sewaktu dia menunggu pengangkut vertikal lainnya.

***

Hampir terlambat mengakibatkan Vika tidak dapat memoleskan riasan wajah yang lengkap dan sempurna. Tapi dia bersyukur semburan AC di ruang HRD mampu menjinakkan keringatnya. Dari tempat duduk saat itu, sekilas dia melirik penampilannya pada cermin yang menempel di dinding seberang. Bibirnya sedikit pucat sehingga memerlukan pulasan. Vika mengubek-ubek tas punggung akan tetapi tidak menemukan apa yang dia cari. Tatapan gadis itu beralih ke arah tas jinjing. Beranikah Vika menggunakan salah satu perangkat rias yang ada di dalamnya? Matanya bolak-balik dari cermin ke tas. Tekadnya sudah bulat sewaktu Vika merogoh-rogoh tote bag. Sial, lagi-lagi tidak dia temukan.

“Vika Tanana?”

Dia menoleh dan refleks berdiri mendengar panggilan itu. Vika mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan pewawancara.

“Usia kamu 24 tahun?” tanya Pewawancara mengonfirmasi data dan resume Vika dengan pena terselip di tangannya. “Lulus kuliah dua tahun lalu? Tapi belum punya pengalaman kerja?”

Vika merunduk dan menggeleng-gelengkan kepala.

“Terus, kesibukannya apa?”

Make-up,” jawab Vika lirih.

“Apa? Makeup artist?”

Vika kebingungan mengartikan mimik wajah pewawancara yang meninggikan sebelah alis dan pupil mata yang naik turun sembari menelaahnya lekat-lekat. Tapi, tetap saja kalimat itu berupa pertanyaan yang harus dia jawab.

Baru saja Vika membuka mulut, pewawancara sudah menanggapi, “Percaya sih,” sambil mengetuk bagian foto berukuran 3x4 di CV dengan pulpennya.

“Oke, cukup!” Pewawancara berdiri dan mengajak Vika bersalaman.

“Cukup?” Tidak ada ‘Apa minat Anda?’ Bagaimana dengan ‘Lima tahun ke depan, apa yang kamu lihat terjadi dengan dirimu?’ Wawancara kerja yang relatif membingungkan karena tidak ada sama sekali pertanyaan itu.

“Nanti dikabari,” begitu pewawancara mengakhiri sesi mereka.

***

Gang di salah satu sudut kampung Jakarta itu memang sempit. Tapi, di depan setiap rumah tertanam berbagai tanaman. Bahkan air pada got kecil di depan masing-masing kediaman mengalir tanpa sampah-sampah yang tersendat.

“Baru pulang, Neng?”

Melewati sekelompok bapak-bapak yang nongkrong di pos ronda, Vika memamerkan senyum sambil menyapa, “Nggak pada mancing nih bapak-bapak?”

“Libur dulu, Neng. Daripada mancing keributan sama bini, iye kagak?” balas salah satunya yang berbuah tawa dari semuanya.

Ikut terkekeh-kekeh, Vika melanjutkan perjalanan ke kos-kosannya. Rumah itu terdiri dari dua lantai. Di bawah ada dua petak kontrakan yang hanya terdiri dari satu kamar, dapur, dan kamar mandi. Dia menempati lantai dua. Lantai tersebut memiliki lima kamar yang masing-masing ukurannya 3x3 meter dengan kamar mandi pribadi yang tak kalah mungil. Daripada kamar, mungkin lebih tepat jika dikatakan kotak kos.

Sekonyong-konyong, ponselnya berbunyi satu kali pertanda pesan masuk. Susah payah satu tangannya menelusuri isinya dan untunglah, karena itu seketika suasana hati buruknya menjadi lebih baik.

“Vik, meuni pas datangnya.” Itu adalah Teh Euis, yang tinggal di lantai bawah. Belum sempat Vika menjajaki kaki di anak tangga pertama, Teh Euis menyodorkan piring, “Ayo!”

Bodoh kalau dia menolak tawaran itu karena dari bangun tidur tadi dia belum makan. Langsung saja Vika meletakkan kedua tasnya secara sembarang di salah satu anak tangga lalu melenggang ke dalam rumah Teh Euis.

“Ikan asin doang, Vik.”

Cengiran melebar di wajahnya. Nasi dicendok sampai tiga kali. Ikan asin yang dijanjikan pun berpindah ke atas piringnya. “Eh, Dek,” sapanya sewaktu mendapati anak Teh Euis keluar dari kamar mandi.

“Dedek nggak makan?” tanya Vika seraya duduk di samping Teh Euis yang sedang menonton TV.

“Nggak selera katanya, Vik. Dari tadi mual-mual sama pipis melulu.”

“Ke dokter aja, Teh.”

“Ah, minum air teh hangat dan istirahat juga sembuh, Vik.”

Suapan nasi plus lauk besar-besar masuk ke mulut Vika. “Mas Ucok ke mana, Teh?”

“Barusan keluar. Ada yang kasih kerjaan. Tuh peralatan tukangnya dibawa semua. Pakai tas gede.”

Kunyahan cepat Vika sudah menghabiskan setengah piring. Sejak kecil, dia selalu bersemangat apabila bertemu makanan. Ada rasa aman yang ditimbulkan dari mencicipi setiap menu sewaktu bersentuhan dengan indera pengecapnya. Efek negatif dari kebiasaannya itu tentu saja penampakannya yang dia yakin sudah menyentuh angka 100 kg.

“Tambah, Vik. Stres banget kayaknya?”

“Nggak terbayangkan, Teh.” Dengan pengantar itu, keluarlah curahan hatinya tentang semua yang terjadi hari ini.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status