Aku menggesek-gesekkan kedua telapak tangan sesekali meniupnya. Rasanya tidak sabar menunggu kemunculan Puspa dan meminum kopi itu. Ingin sekali melihat dirinya terkulai lemas di sofa. Mulutnya berbusa, matanya melotot melihatku dan air matanya jatuh seakan ingin mengatakan sesuatu tapi tak mampu.
Membayangkannya saja aku begitu senang. Apalagi jika itu benar terjadi. Mungkin dunia berasa hanya milikku seorang.
Ini Puspa yang mulai. Dia yang menyimpan racun di kopi itu. Kalau dia meninggal, siapa yang disalahkan coba? Ya, dirinya sendiri. Anggap saja bunuh diri.
"Mas, kok senyum-senyum gitu, sih? Diminum dong kopinya." Puspa tiba-tiba muncul, langsung duduk di sampingku. Kaki kiri ia naikkan di atas paha kanannya. Terlihat anggun sekali.
"Mau tahu kenapa mas senyum-senyum begini?" Aku menatapnya, masih dengan senyuman yang tak pudar-pudar.
Dalam hati berkata, 'Enggak lama lagi kamu akan menghembuskan napas terakhir Puspa.' Rasanya ingin
POV 3Mail menyingkirkan tangan Ray dari kerah bajunya, ia berusaha berdiri. Tentu dengan perasaan amarah yang besar. Tampak giginya bergeletuk, tangannya mengepal. Bahkan urat-urat tangannya tampak mengeras. Ia melangkah, maju hendak membalas Ray, tetapi secepat kilat ditangkis pria berjas itu.Lantas keduanya saling beradu pandang, tidak ada yang mau mengalah. Dan tibalah saatnya Mail kembali melayangkan kepalan tangannya pada arah wajah Ray, tetapi sekali lagi gerakan lincah dari tangan Ray menangkis sehingga ketampanan wajahnya tak lecet sedikitpun."Aku peringatkan sekali lagi, jangan pernah mengganggu Marina atau kamu akan tahu akibatnya!" ancam Ray, mengangkat telunjuk di depan Mail."Kamu pikir aku takut?" Telunjuk Ray malah dihempas kasar oleh Mail."Kamu bukan siapa-siapanya Marina. Sedangkan aku ... aku masih suaminya. Berhak atas dirinya. Kamu mau apa? Bahkan ka
Seorang wanita berdiri sambil tersenyum miris. Raut wajahnya menampakkan kebahagiaan luar biasa tatkala mengetahui Nessa menghembuskan napas terakhir. Akan tetapi, wajah itu berubah seketika saat menyadari keberadaan Marina dalam kamar. Dia, Puspa mengepalkan tangan.'Selanjutnya kamu Marina. Sebenarnya kamu enggak salah apa-apa, tapi suamimu yang membuatku seperti ini. Aku tahu Mas Mail sangat mencintaimu, dia akan sakit jika kamu terluka.' Dalam hati Puspa bicara. Setiap kata ia tekan penuh makna.Tak lama kemudian Puspa melangkah pelan, masuk dan pura-pura terkejut."Astaghfirullah, Nessa? Apa yang terjadi? Ray, ada apa dengan Nessa? Kenapa dia seperti ini?" Beberapa pertanyaan ia tujukan pada Ray yang tengah duduk memangku kepala istrinya di lantai.Semua mata memandang ke arah Puspa, tak terkecuali Aura yang sudah sangat lemah melihat mamanya. Sekilas menatap tantenya lalu ke
Pria itu memanggil satpam untuk mendekat. Satpam yang tak merasa curiga pun langsung saja mendekat dan pada saat itu juga pria tersebut menyemprotkan sesuatu di depan satpam hingga jatuh pingsan di dekat pagar besi. Itu mempermudah pria tersebut mengambil kunci yang tergantung di tali pinggang satpam. Ia kemudian membuka pagar dan langsung masuk."Semudah itu?" Sambil tersenyum miris, pria itu berjalan santai ke teras.Berdiri seperti sedang memikirkan sesuatu. Matanya fokus menatap ke arah pintu."Masuknya gimana, yah?" gumamnya. Tidak lama kemudian, ia tersenyum simpul seperti mendapatkan ide secara tiba-tiba.
Mungkin karena terlalu sedih, ditambah lagi belum menemukan sosok pemberi air minum itu hingga mengakibatkan kematian istrinya, kebanyakan mikir akhirnya Ray jadi pingsan. Pria yang sedikit bercambang tersebut terlentang di lantai. Dinginnya keramik tak ia rasa.Marina berusaha menyadarkannya dengan mempercikkan air di wajah. Akan tetapi, Ray tak juga kunjung sadar. Matanya tertutup rapat."Kasih ini Mbak siapa tahu Pak Ray-nya cepat sadar." Sebuah botol minyak kayu putih Bi Jumi sodorkan. Langsung diterima Marina dan selanjutnya membuka tutupan minyak kayu putih tersebut. Mendekatkan ke hidung Ray, bermaksud supaya Ray bisa sadar ketika menghidu aroma minyak tersebut."Bangun, dong Pak. Ya Allah ...," keluh Marina, khawatir.Akhir-akhir ini ada banyak masalah yang dihadapi keluarga Ray dan Marina merasa bahwa semua itu terjadi karena dirinya. Seketika jatuh air mata Marina.
Mail terus mendekat. Bekas pukulan Ray kemarin di wajahnya sangat kentara. Itu pasti sangat sakit, tapi tetap datang ke pengadilan."Lepaskan tanganmu!" teriak Mail sambil menarik paksa Marina untuk menjauh dari Ray. Nyaris saja Marina terjatuh, tapi Mail tampak tak peduli. Ia fokus menatap Ray. Matanya melotot tajam seperti ingin menerkam.Bruk!Tanpa berpikir panjang, Mail langsung melayangkan satu pukulan di wajah Ray hingga Ray sedikit terhuyung ke belakang sambil memegang bekas pukulan itu."Marina masih istriku. Berani kamu menyentuhnya?!" sergah Mail. Dadanya tampak jelas naik turun saking marahnya.Saat hendak kembali memukul, seketika Marina maju ke depan Mail."Enggak usah menyia-nyiakan tenaga Abang, karena sampai kapanpun aku enggak akan pernah kembali. Hari ini adalah penentuan bagi kita berdua. Kita akan berstatus sebagai 'ma
Puspa mundur tatkala Mail semakin mendekat. Akan tetapi, tangannya berhasil diraih, lalu ditarik hingga ia rapat dengan Mail."Mau apa kamu Mas?" Puspa marah, ia meronta-ronta."Santai aja kenapa, sih?" Mail mendorong tubuh Puspa hingga terjatuh di atas kasur dan pada saat itu juga Mail tidak memberi ruang pada Puspa untuk melawan.Ia berhasil membalas dendam dengan cara merenggut mahkota Puspa yang sama sekali belum tersentuh. Kini Puspa hanya mampu menangis meratapi nasibnya."Kamu jahat Mas, jahat!" Di balik selimut warna putih itu, Puspa terduduk masih gemetar."Udah, jangan banyak ngomong, terima aja kenyataan bahwa kamu sudah enggak perawan lagi," kata Mail santai sambil memakai pakaiannya. "By the way, kamu mau tahu kenapa aku lakukan ini?" lanjutnya.Mail berjalan ke depan cermin. Mengacak rambutnya yang sedikit basah oleh keringat
Mata Ibu Rosma beralih kepada Puspa. Kembali mengulang pertanyaan yang belum mendapatkan jawaban. Sedangan Puspa masih terdiam sambil memikirkan jawaban yang tepat dan masuk akal untuk ibunya."Puspa, kamu enggak apa-apa 'kan? Ditanya, kok enggak menjawab?" Merasa ada sesuatu, Ibu Rosma kembali bertanya."Ya Allah, Bu ... aku enggak apa-apa lagi. Darah yang Ibu lihat itu darah kemarin. Aku tembus, lupa ganti sprei," jelas Puspa, masih tetap betah dalam selimut.Ia tidak ingin membukanya karena tidak memakai baju. Apa kata Ibu Rosma kalau melihat anaknya tidur tanpa sehelai benang pun? Pasti pikirannya mengarah pada yang aneh-aneh. Toh, tidak biasanya Puspa seperti itu."Jorok, ih ... cepetan bangun suruh pembantu menggantinya," pinta Ibu Rosma kemudian berlalu.Ketika sudah memastikan ibunya benar-benar sudah pergi, Puspa bangun. Berjalan pelan men
Ray dapat mengerti dari ekspresi Marina yang terkejut. Ia sangat yakin kertas tersebut bukan tulisan Marina. Sejak pertama membacanya saja, sudah tidak percaya Marina setega itu menulis kalimat-kalimat yang sangat menyakiti.Saat ini Marina menatap Ray sambil berkata, "Kertas ini dari Jihan, Pak?""Kamu menitipnya sama Jihan bukan? Tentu saja ini dari Jihan, sahabatmu," tekan Ray di akhir kalimat.'Sahabatku, Jihan sahabatku, Jihan sahabatku,' batin Marina berulang-ulang menyebut Jihan sahabatnya.Marina tidak ingin berprasangka buruk, tapi juga tidak punya alasan untuk memiliki prasangka baik. Kertas itu bukan dirinya yang tulis. Marina tidak menyangka tulisannya akan diganti dengan tulisan seperti itu.Marina ingat betul tulisannya hanya beberapa baris saja.Pak Ray aku pergi.Maaf bila langsung pergi tanpa izin. Sepertinya