Hari demi hari kedekatan antara Valdi dan Vina kian terjalin. Komunikasi di antara keduanya semakin intim. Di tambah Claudia yang sudah semakin dekat pada Valdi. Bahkan hampir seminggu sekali Valdi pasti menyisihkan dua sampai tiga kali waktu untuk mengajak Claudia jalan-jalan. Seperti sore ini, di sebuah toko yang menjual aneka mainan anak-anak, Valdi sibuk memilihkan beberapa mainan khusus untuk Claudia. Claudia nampak bahagia dengan sikap Valdi."Mas, makasih ya, udah baik banget sama Claudia. Dia jadi kayak nemuin papanya kembali." ucap Vina terharu."Nggak apa, Vin. Aku juga suka anak kecil. Jadi ga ada masalah. Aku udah lama pengen punya anak perempuan, tapi yaa, dulu istriku nggak bisa kasih keturunan. Dia cuma bisa ngasih anak hasil selingkuhan." jawab Valdi dengan nada sedih."Lho, kok tega banget dia nyelingkuhin kamu yang baik banget gini?""Namanya manusia, Vin. Aku udah anggep itu nasib naas buat aku. Senagai laki-laki tentu aku ngerasa sangat kecewa ketika tahu dia sel
Tentu saja aku muak dengan kedatangan Rika yang tiba-tiba. Sebaiknya aku apakan wanita itu ya? Apa harus aku ceraikan sekarang? Tapi kasihan sekali dia kalau aku ceraikan sekarang? Bagaimana bisa dia membesarkan Clara tanpa aku? Ah lagi-lagi anak itu yang jadi penghalang. Hmmm, tapi bukankah kayaknya Clara itu benar-benar bukan anak aku? Habis emang nggak ada mirip-miripnya sih masa aku yang ganteng gini bisa punya anak kayak gitu? Kurus dan nggak nampak sama sekali gurat-gurat gen-ku pada wajahnya.Sering kali waktuku habis hanya buat mikirin mereka. Rika sih nggak tahu diri, udah untung sekali aku mau mempertahankan dia, kalau aku menceraikannya belum tentu dia bisa mendapatkan laki-laki setampan aku. Di layar ponsel aku membuka sebuah akun media sosial dari wanita yang membuatku meleleh. Aku tersenyum melihat foto yang terpampang pada profil. Seraut wajah cantik dengan pesona yang sangat sempurna. Di tengah-tengah konsentrasiku, pesan Rika kembali mengganggu.[Mas, kapan pulang
Seorang anak kecil yang masih menatap lesu ke arah layar ponsel ibunya."Ma, panggilan Clara di tolak sama Papa. Papa kemana sih, Ma? Kok nggak pake pulang-pulang?" Anak yang masih duduk di bangku taman kanak-kanak tersebut merunduk. Tatapan matanya kosong. Rika menghela nafas panjang. Sama sekali ia tak menyangka jika tadi Clara menghubungi Papa-nya."Nak, Papa mungkin masih sibuk kerja. Udah, Clara nggak usah ngehubungin Papa dulu, ya." Rika membujuk dengan kasih sayang."Tapi, Ma, ini hari udah sore, masa Papa belum selesai kerjanya? Udah lama lho papa nggak balik ke rumah. Apa papa marah sama Clara? Sampe-sampe nggak mau dateng ambil raport Clara?" Rika melihat setetes dua tetes air mata jatuh dari sudut mata anak kecil itu. "Nak, Clara kan masih punya mama? Sini, peluk sama mama." Rika memeluk putrinya.Clink!Satu pesan masuk. [Hai Mbak, majikanmu lagi nggak bisa di ganggu. Mohon pengertiannya ya! Nggak usah nelpon mulu.]"Majikan? Siapa majikan? Siapa yang ngirimin ini pesa
Sengaja aku bawakan semua baju kotorku dari rumah ibu. Maklum, selama di rumah ibu, baju-bajuku tidak pernah di setrika, jadi gak rapi. Maklum, ibuku yang sudah tua mana bisa menyetrika. Kasihan juga. Masa punya istri tapi nyetrika baju nyuruh orang tua, he ... he ...Kulihat Rika diam saja melihat kepulanganku."Apa itu, Pa?" tanya Clara."Ini baju kotor papa." jawabku."Rik, ntar tolong cuciin dikit ya bajunya! Tolong setrikain juga! Malu mah bajuku kusut semua." Ucapku.Rika masih diam saja. Apa sih maunya? "Aku taruh di sini ya bajunya," ujarku."Taruh saja." jawabnya.Aku menuju balkon untuk mengusir hawa panas."Pa, aku udah mau masuk SD, baiknya aku sekolah dimana ya, Pa?" Seorang anak kecil berlari menuju ke tempat dimana aku duduk. Uh, inilah hal yang terkadang membuatku malas pulang, kalau saja karena tidak ingin mengambil berkas yang tertinggal dan mengantar baju kotor, tentu saja aku malas untuk pulang ke rumah. "Pa!" Clara kembali mengulang."Apalagi, Clara?" Kadang
Dengan bersiul-siul kecil aku menghampiri lemari bajuku.Krieett! "Lho, kok kosong gini?" Aku kaget."Mana baju-bajuku?"Lemari bajuku kosong melompong, hanya ada beberapa baju saja di dalamnya. Mungkin saja masih Rika taruh di atas meja setrika. Kebiasaan sekali si Rika ini, kalau selesai nyetrika tuh, apa susahnya baju disusun kembali dalam lemari. Kalo kayak gini kan jadi pusing aku nyarinya. Padahal hari ini aku buru-buru sekali.Bergegas Aku menuju ke meja setrika di ruang tengah."Eh kok nggak ada?" Tidak bajuku di sana."Riiik ...!" Aku memanggil."Kenapa?" Suara Rika terdengar dari dalam kamar Clara."Mana kau taruh baju-bajuku?" Aku menghampirinya."Emang kemarin kamu taruh di mana bajumu, Mas?" Lho kok balas nanya dia?"Ya baju yang aku mintai tolong kamu buat cuciin kemarin! Kan aku taruh di samping mesin cuci." Jawabku."Oooh, kalo kamu taruh di samping mesin cuci ya berarti cari ajah di situ, Mas!" Jawab Rika."Kok kamu taruh di sana?""Cek ajah sendiri sana, Mas!" Hu
"Pacar? Apa maksudmu? Tahu apa kamu soal Vina, Ha?" Aku geram."Haa? Vina?" Rika nampak kaget.Busyeet, mulutku kok malah keceplosan nyebutin nama Vina sih. Mati aku."Eh, enggak, Rik. Maksudku, kamu jangan nuduh sembarangan. Aku gak punya pacar."Sejenak Rika diam "Serius, Rik. Aku nggak bohong. Aku tadi cuma keceplosan." ujarku."Iya, Mas. Aku tahu kamu keceplosan." Aduuh, ini lidah ada apa sih, kenapa harus ngaku segala kalo lagi keceplosan. Ini mungkin karena lagi nggak bisa menjaga kestabilan konsentrasi."Rik, Vina itu klien aku. Makanya tadi aku tak sengaja nyebutin nama dia." Ralatku.Nah, ini baru jawaban yang tepat."Iya aku tahu dia itu klien penting kamu. Nggak apa-apa, aku kan nggak mempermasalahin itu."Aku melihat ke arah Rika yang baru saja menjawab ringan. Kenapa nih orang selalu nampak santai-santai aja ya? Apa nggak curiga dia? Jujur sih, meski aku udah punya hubungan khusus sama Vina, tapi sepertinya aku belum bisa seratus persen meninggalkan Rika. Masih ragu aj
"Sini kertasnya! Kamu bohong, ini bukan kredit mobilku! Tapi mobil temen!" Aku menarik kertas itu dari tangannya.Hadeeh, ngapain pula surat itu bisa sampai ke tangan Rika! Sialan memang. Aku bergegas bersiap untuk kembali ke rumah ibu. Rasanya malu kalo sampai Rika melihat mimik kegelisahan pada raut wajahku.Satu lagi aku takut jika Vina menungguku terlalu lama. Aku melangkahkan kaki dengan perasaan kesal, gagal sudah keinginanku untuk berangkat dengan baju yang rapi. Biarlah, kali ini aku maafin kamu Rika! Sekali lagi kamu berbuat kayak gini tak akan ku maafkan!Kalau begini terpaksa nanti aku meminta bantuan Kak Salma saja untuk merapikan bajuku. Oh iya aku lupa, aku kan masih punya kakak-kakak perempuan dan ibu yang benar-benar menyayangi dan peduli sama aku.***"Kak, tolong setrikain baju aku, Kak!" Aku meletakkan bajuku di atas kursi."Maaf kakak nggak bisa, Val. Loh kok kamu minta tolong sama Kakak sih? Istrimu kemana aja? Kenapa nggak urus keperluan kamu?" Kak Salma mendel
Pikiranku bingung. Ingin rasanya aku segera menyusul Vina menuju ke sekolah baru Claudia, tapi di samping itu aku takut juga di sana akan bakalan bertemu dengan Rika. Apa yang harus aku lakukan sekarang?[Apa kamu negur dia, Sayang? maksudku apa kamu negur art-ku?] [Nggak, Mas. Rasanya aku males buat negur. Ntar aku dikira temenan sama ART. Jan nggak lucu] Jawaban dari pesan yang membuat hatiku lega. Setidaknya tidak terjalin komunikasi di antara mereka. Jika mereka berbicara, takutnya Vina memberitahu Rika jika dia adalah kekasihku. Dan akan lebih berbahaya lagi ketika mengetahui ternyata Vina lebih cantik, Rika akan cemburu besar.Karena khawatir aku langsung menelepon Vina."Sayang, kamu nggak usah ladenin dia ya, nggak usah negur-negur juga," ujarku."Lho, kenapa, Mas? Bukannya lebih baik juga kalau aku bisa lebih akrab sama asisten kamu!" Ucap Vina diperseberangan sana."Gini, Vina Sayang, soalnya dia tuh mulutnya rempong, ntar kamu bisa kerepotan sendiri kalau ngeladenin dia ng