Aku mengupas bawang merah yang akan digiling bersama cabe. Pukul sepuluh pagi, aku sudah harus menyiapkan makan siang. Biasanya, ada Emak yang menemaniku, tapi sejak pagi, aku belum melihat Emak sama sekali.
Di rumah ini, Emak membagi pekerjaan rumah dengan adil dan merata. Aku kebagian tugas memasak. Menurut Emak, anak perempuan harus pandai masak, agar bisa membuat perut suami kenyang, dengan tujuan agar suami betah di rumah. Aku manut saja. Tak ada ruginya belajar memasak.
Abang-abangku pun sudah ada tugasnya masing-masing. Ada yang mencuci, menyetrika, membersihkan rumah, dan sebagainya.
Aku membuka pintu belakang dapur yang menghadap langsung ke jalan samping rumah. Memasak sambil melihat orang lalu lalang adalah kesenanganku. Sesekali aku menyapa tetangga yang lewat.
Aku menghidupkan kompor dengan korek api. Tak lupa sebelumnya, aku mengecek minyak tanah yang tersimpan di dalam kompor.
Sambil bersenandung kecil, aku memasukkan ikan patin yang sudah dibumbui ke dalam kuali berisi bumbu asam pedas khas Melayu. Bah paling suka asam pedas ikan patin. Beliau bisa makan bertambah jika aku masak masakan kesukaannya itu.
Sambil menunggu asam pedas mendidih, aku menggiling sambal terasi. Saat sedang menggiling sambal, orang ramai berlari di samping rumahku. Tak lengah, aku menyapa Nong-tetanggaku.
“Nong, ngapo?” pekikku.
“Ra, ikutlah. Ado yang tertangkap sedang berzina. Ramai ni.” Nong antusias bercerita.
“Astagfirullah, kejab, aku pakai kerudung.” Aku mematikan kompor terlebih dahulu sebelum berlari keluar menyusul Nong. Kerudung kupakai sambil jalan keluar.
Kejadian menggemparkan seperti ini, jarang terjadi. Aku ingin melihat langsung ada orang tertangkap berzina. Ah, mungkin bagi sebagian orang kampung kami aneh, tapi begitulah sanksi sosial yang kami berikan. Orang berbuat tak baik, sudah sewajarnya menjadi bulan-bulanan.
Aku dan Nong berlari. Kami tak ingin ketinggalan melihat kejadian ini.
“Ra, itu mak engkau, ke? Ngapo dio meraung tu?”
Dari kejauhan, aku melihat Emak duduk menggelesot di tanah sambil meraung.
“Eh, iyo. Mengapo orangtuo tu, Nong? Macam budak-budak, menangis tengah jalan. Bikin malu.”
Aku makin laju berlari mengejar Emak. Tak sabar ingin bertanya, mengapa Emakku menggelesot di tanah sambil menangis.
“Emak ngapo?” tanyaku saat sudah dekat dengan Emak.
“Ra, ya, Allah, Ra.” Emak berteriak histeris. Banyak orang mengelilingi kami. Sebagian menatap Emak dengan pandangan iba, sebagian lagi bisik-bisik.
“Apo ni, Mak?“ Aku memeluk wanita yang melahirkanku itu.
“Bah engkau, Ra,” raungan Emak seakan membelah langit.
“Bah Ngapo, Mak?“Aku mengguncang bahu Emak. Hatiku sangat gundah. Apa yang terjadi dengan Bah? Sakitkah Bah? Atau kecelakaan? Ya, Allah.
“Bah engkau-Bah engkau berzina dengan mak si Nurma,” terbata Emak menerangkan.
“Ya, Allah, mak si Nurma? Makcik Hanum, Mak? Astagfirullah.” Aku pun terduduk di tanah.
“Iyo, Ra. Tetangkap samo warga. Diarak Bah engkau, Nak. Astagfirullah, bala apo yang menimpa keluarga aku.” Emak meraung, bersujud mencium tanah.
Bang Harun--abang sulungku, berlari mengejar Emak. Dia menegakkan Emak yang lunglai seperti tak bertulang.
“Kau ngapo di sini? Balek!” bentak Bang Harun.
Aku mengikuti langkah lelaki kurus yang berjalan sambil memapah Emak. Isakan Emak masih terdengar. Aku menutup wajahku, malu pada warga yang sedang berkerumun. Menyaksikan tontonan gratis yang disajikan keluarga kami.
***
Bah tidak pulang seminggu. Selama itu pula, rumah kami seperti kuburan. Tak ada gelak tawa yang mengiringi makan malam kami. Tak ada kesibukan pagi yang biasanya terjadi kala abang-abangku hendak berangkat kerja.
Emak mengurung diri di kamar. Tak keluar rumah sejak hari jahanam itu. Aku meletakkan makanan di meja kamarnya tiga kali sehari. Saat makan siang, aku mengambil sarapannya yang masih utuh. Begitu juga saat mengantarkan makan malam, aku kembali membuang makan siang Emak yang tak tersentuh sama sekali.
Aku seperti robot. Memasak dari hari ke hari, memastikan Abang-abangku tak kelaparan. Memastikan pasokan makanan untuk Emak tetap ada, walau tak sedikit pun Emak makan.
Bah pulang pada hari ke delapan. Aku sedang di luar saat itu, menyapu dedaunan yang mengering di halaman.
“Ra.” Bergetar suara Bah menyebut namaku. Aku mengangkat wajah. Mataku bersirobok dengan mata Bah yang tampak basah.
Aku mundur. Rasa jijik muncul saat melihat wajah pria yang menjadi cinta pertamaku. Tangannya pernah menggerayangi tubuh makcik Hanum. Aku tak ingin mencium tangan kotor Bah.
“Ra,” panggil Bah lagi. “Kau ... kau tak pecayo dengan Bah?"
“Bah dah mencoreng aib di kening keluarga ini. Lalu, Bah ingin Era percaya dengan Bah? Tak akan, Bah!”
“Setidaknya, dengo (dengar) penjelasan Bah dulu, Nak. Bah ado alasan. Tak betul tuduhan orang kalau Bah berzina.” Bah memohon sambil berlutut di hadapanku.
“Jadi apo namonyo, Bah? Apo namonyo?” pekikku.
Beberapa orang tetangga berkumpul di depan rumah masing-masing, menyaksikan keributan yang sedang aku lakoni.
Bah diam. Dia menarik rambutnya sendiri. Pria gagah dan tampan kesayanganku itu, telah membuat hatiku remuk redam.
“Bah, becakaplah samo Emak, jangan samo Era. Emak yang paling hancur, Bah. Dah seminggu Emak tak makan.”
Bah menatapku. Tak lama, ia berlari ke dalam. Mungkin mau berjumpa Emak. Entahlah, entah apa yang akan Bah lakukan. Yang pasti, aku sudah tak perduli dengan lelaki itu.
Cukuplah aib yang ia coreng ke wajahku. Jika Emak ingin bercerai dari Bah, biarlah. Aku yang paling depan mendukung Emak. Kasihan wanita itu. Sudahlah menanggung malu, dia juga harus kehilangan belahan jiwanya.
Malamnya, aku baru tahu dari Emak, jika Bah sudah menikah dengan makcik Hanum. Bah iba, sebab makcik Hanum yang baru enam bulan ditinggal suaminya, hidup dalam jerat kemiskinan.
Alasan klasik untuk menghalalkan hawa nafsu, pikirku.
Aku kenal baik dengan makcik Hanum. Dia adalah ibu Nurma, teman baikku saat SMA. Perempuan tua itu memang genit. Dia senang berpakaian yang menampakkan belahan dadanya. Menghias rambut sedemikian rupa, agar leher putihnya menjadi pusat perhatian. Saat suaminya--pakcik Aziz meninggal enam bulan lalu, Bah bahkan ikut turun ke liang lahat, membantu menguburkan pakcik Aziz.
Baru enam bulan menjadi janda, sudah sibuk menggoda suami orang.
“Memang miang betul, tak ado anak bujang yang nak diganggu lagi? Harus Bah aku yang jadi sasaran,” umpatku dalam hati.
Emak yakin,Bah diguna-guna oleh makcik Hanum. Begitu juga Abang-abangku, mereka membantu Emak mencari orang pintar, yang bisa memulihkan kesadaran Bah.
Pagi ini, aku kembali melihat Emak bersiap pagi buta. Perempuan itu menutup rambutnya dengan selendang berwarna hitam.
“Emak nak kemano?“ tanyaku sambil membereskan bekas sarapan.
“Nak ke rumah Tengku Asnawi,” jawab Emak.
“Ngapo Emak ke situ?”
“Ado urusan sikit.”
“Yolah, Hati-hati, Mak.”
Aku mengantarkan Emak ke pintu. Iba hatiku melihat nasib perempuan itu. Bah yang sudah mengakui berpoligami, lebih banyak menghabiskan waktu di rumah makcik Hanum. Hanya sesekali ia pulang ke rumah kami, untuk memberi uang belanja pada Emak, atau mengambil bajunya yang masih tersimpan di lemari.
Karier Bah hancur. Beliau tak lagi menjadi camat. Sebagai mantan pejabat, Bah sekarang menjadi staf biasa di kantor kecamatan. Menurut berita yang kudengar dari Bang Harun, Bah jarang datang ke kantor. Mungkin ia malu, atau mungkin ia sibuk bulan madu dengan makcik Hanum.
***
Hari ini Emak membebaskanku dari segala tugas memasak. Seharian aku hanya disuruh berkurung di kamar dengan makcik Nur, bidan pengantin paling terkenal di kampung.Makcik Nur membalur seluruh tubuhku dengan butiran halus berwarna putih. Kemudian, ia menggosok kuat seluruh tubuhku.“Makcik, sakit betullah. Apo bendo ni namonyo?” Aku meringis menahan sakit saat makcik Nur menggosok kulitku sekuat tenaga.“Lulur, Ra. Bio bekilau badan kau.”“Bekilau? Untuk apo pulak kulit aku dibuat bekilau? Aku di rumah ajo, masak ke masak, tak ado kejo lain.” Aku tertawa menanggapi perkataan makcik Nur.“Diam ajolah kau. Jangan banyak cakap.”Aku pun diam. Menikmati setiap urutan tangan makcik Nur di tubuhku.Setelah selesai, makcik menyuruhku minum air yang rasanya sangat tidak enak.&ld
Seminggu penuh aku dirawat oleh makcik Nur. Setiap hari ia membersihkan tubuhku dengan krim yang ia sebut lulur. Tak lupa, ia menyuruhku duduk di atas kursi kayu yang dibawahnya ia letakkan rebusan air sirih.Aku menjalani semua perintah makcik Nur, demi tampil sempurna saat hari pernikahan, begitulah yang makcik Nur katakan.“Lawo betul anak Emak,”ujar Emak saat melihatku sedang minum air rebusan racikan makcik Nur. “Tak kenallah Asman dengan engkau, Ra. Lain betul muko engkau sekarang.”“Tak kenal pun tak apo, bio dio tak jadi dengan Era,” tukasku dengan kesal.“Ish, apolah kau ni. Jangan cakap macam tu, bersyukurlah, keluarga terpandang yang meminang kau. Kau pike (pikir) mudah mencari calon suami? Orang dah tau aib Bah kau, tak ado yang nak samo kau, Ra.”Luka hatiku kembali berdarah mendengar perkataan Emak. “Kalau jodoh,
Aku memakai pakaian adat khas Melayu, Kebaya Laboh berwarna kuning dengan hiasan kepala bernuansa emas. Pakaian ini umum digunakan oleh seluruh pengantin Melayu. Pakaian ini juga sangat cocok melekat di tubuhku. Kulitku yang berwarna kuning langsat, semakin cerah saat memakainya.Wajahku telah dirias oleh makcik Nur sejak habis subuh tadi. Berbeda dengan riasan saat pinangan pekan lalu, kali ini, makcik Nur menunjukkan kualitasnya sebagai bidan pengantin handal. Aku tidak mengenali wajah sendiri yang terpantul di cermin. Wajahku yang biasa polos tanpa make up, tampak berbeda kali ini, berkilauan seperti ada permata yang ditanam di dalamnya.Hanya saja kepalaku agak pusing dengan banyaknya perhiasan yang aku gunakan di kepala, pun Kebaya Laboh ini sangat tebal, seperti tak memberi ruang tubuhku untuk bernapas. Makcik Nur menguatkanku, dia bilang, momen ini adalah momen sekali seumur hidup, jadi aku harus tahan menggunakan pakaian ada
Pelaminan pernikahanku, berganti dengan kasur tipis sebagai alas jenazah Bah. Kebaya Laboh telah bertukar dengan gamis hitam legam tanda dukacita. Jilbab panjang berwarna sama menutupi kepalaku.Jenazah Bah terbujur kamu di depan pelaminan. Sungguh malang nasibku, di hari pernikahan yang tak kuinginkan, Bah pergi meninggalkanku sendirian.Lantunan ayat suci Alquran bergema di dalam rumah. Emak terduduk lemah di samping jenazah Bah. Tangannya memegang tasbih, tetapi tatapannya kosong seperti tak memiliki kehidupan.Bau bunga rampai dan kapur barus menusuk hidung, aromanya mengalir ke otakku, hingga kepalaku seperti ditusuk ribuan sembilu. Bah akan dimandikan, jenazah lelaki kesayanganku ini segera menuju tempat peristirahatan terakhirnya.“Ra, dimano Bah engkau nak dimandikan?” tanya makcik Emboh, adik bungsu Emak.“Kejab (sebentar) Era tengok ke belakan
Suasana duka masih menyelimuti rumah kami. Emak belum keluar kamar sejak semalam. Abang-abangku yang sudah menikah telah kembali ke rumahnya masing-masing.Pelaminan pernikahanku telah dilepaskan tadi pagi. Namun, bendera putih masih terpasang di depan rumah. Tenda untuk tamu pun beralih fungsi menjadi tempat berteduh para tamu takziah.Kami bahkan tak tahu Bah dikuburkan di mana. Perempuan berhati iblis itu benar-benar biadab. Dia membawa jenazah Bah, dan tak mengizinkan Bang Arham ikut ke kuburan. Padahal, Bang Arham sengaja datang karena ingin ikut memasukkan jenazah Bah ke Liang lahat.“Buatkan aku sarapan, Ra.” Bang Asman yang baru keluar dari kamar mandi memerintahku.“Beli ajalah, Bang. Tak telap Era masak. Lemah semangat Era sejak Bah tak ado ni.”“Halah, alasan! Aku enggak mau tahu, buatkan aku sarapan. Dari semalam sibuk Bah kau tu aja. Muak aku mendengarnya.” Bang Asman berkata ketus.&nb
Bah menatapku dengan wajah sedih. Dia berdiri di hadapanku, menggunakan baju koko putih dan peci hitam kesukaannya. Tubuhnya begitu bersih, seperti ada cahaya yang melingkupi tubuh gagahnya.Dia menatapku lama, tanpa kata. Aku pun sama. Dalam hening, mata kami bertautan.“Bah,” ujarku. Bibirku menahan tangis yang seakan mau meledak.Bah menarik tanganku, menyeretku entah ke mana.“Bah.” Aku berusaha menepiskan tangan Bah, tetapi pegangannya terlalu kuat.Setelah berjalan jauh. Bah berhenti dan tersenyum padaku.“Era!” Aku mendengarpekikan dari kejauhan. Suara Bang Asman. Aku menoleh ke belakang.Bang Asman berdiri dengan wajah dingin. “Ikut aku!” titahnya.Bah menggeleng, dia hanya menggeleng sambil menangis tersedu.Tangis Bah makin kencang terdenga
Emak menghapus air mata yang menganak sungai di pipinya. Wanita tua itu memegang pipiku dengan kedua belah telapak tangannya. Tangannya bergetar dan dingin, ah, aku paham bagaimana rasanya menjadi dia. Baru saja ditinggalkan suami tercinta, sekarang anak perempuan satu-satunya pun harus pergi.“Cepatlah sikit, terbang nanti pesawat tu cemano (gimana)?” bentak bang Asman.Tangis Emak makin keras. Bahunya sampai berguncang hebat. Aku memeluknya, berusaha mengalirkan ketabahan ke aliran darahnya. Inilah takdir yang telah aku pilih, tak mungkin untuk mundur.“Era berangkat, Mak, do’akan Era banyak rezeki, bisa sering pulang tengok Emak.”Emak mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Duka dalam matanya terlihat jelas. Entah apa yang memenuhi benak wanita yang telah melahirkanku itu, mungkin dia menyesal karena menyetujui pernikahanku dengan Bang Asman, atau mungkin dia merasa t
10Menjadi istri seorang Asman Chairi, aku dipaksa menjadi mandiri, dewasa, dan mengambil keputusan sendiri. Asman tak memiliki waktu untuk mendengar keluhanku, pun memberi pendapat untuk masalah-masalah yang aku hadapi.Hidup kami berjalan seperti air mengalir, tenang. Sangat tenang. Tepatnya aku berusaha untuk tetap tenang menghadapi sikap tak peduli lelaki itu.Hari, minggu, bulan, aku habiskan dalam kesendirian. Bang Asman lebih banyak menghabiskan waktu di tempat kerja—atau tempat lain yang aku tidak tahu—dari pagi buta hingga tengah malam.Awal mula pindah ke Jakarta, aku masih berharap dia berubah menjadi lebih baik. Setiap hari aku bangun lebih awal untuk membuatkan dia sarapan, melepas dia bekerja, dan hal lain yang lazim dilakukan suami istri. Aku berusaha sangat keras untuk melembutkan hatinya, membuat dia bisa mencintaiku. Paling tidak, bersikap baik padaku.Namun