Share

Pinangan

Hari ini Emak membebaskanku dari segala tugas memasak. Seharian aku hanya disuruh berkurung di kamar dengan makcik Nur, bidan pengantin paling terkenal di kampung.

Makcik Nur membalur seluruh tubuhku dengan butiran halus berwarna putih. Kemudian, ia menggosok kuat seluruh tubuhku.

“Makcik, sakit betullah. Apo bendo ni namonyo?” Aku meringis menahan sakit saat makcik Nur menggosok kulitku sekuat tenaga.

“Lulur, Ra. Bio bekilau badan kau.”

“Bekilau? Untuk apo pulak kulit aku dibuat bekilau? Aku di rumah ajo, masak ke masak, tak ado kejo lain.” Aku tertawa menanggapi perkataan makcik Nur.

“Diam ajolah kau. Jangan banyak cakap.”

Aku pun diam. Menikmati setiap urutan tangan makcik Nur di tubuhku.

Setelah selesai, makcik menyuruhku minum air yang rasanya sangat tidak enak.

“Air apo ni Makcik? Tak sedap.” Rasanya aku ingin memuntahkan lagi air yang sudah masuk ke tenggorokanku.

“Minum ajolah. Ha, dah siang. Engkau pegi Salat Zuhur dulu. Abis tu lanjut muko engkau pulak aku bedah,” ujar makcik Nur.

“Muko aku nak diapokan, Makcik?” aku bergidik mendengar kata bedah.

“Tak ado, nak aku bersihkan sikit, supaya nanti malam bedelau (sangat cantik/berkilau).”

“Nanti malam? Apo hal nanti malam?”

“Dahlah, jangan banyak kesah (tanya/ngomong) kau ikut ajo kato aku.”

Aku pun menunaikan Salat Zuhur. Seperti kata makcik Nur, setelah salat, wajahku dioleskan krim yang aku tak tau apa gunanya. Rasanya sangat menyenangkan. Membuat pikiranku tenang, hingga tak sadar aku tertidur.

Entah sudah berapa lama aku tertidur, yang jelas saat sadar, makcik Nur sedang menggelar baju kurung berwarna hijau di atas tempat tidurku.

“Baju apo tu, Makcik?” tanyaku.

“Baju untuk engkaulah, nanti malam engkau nak dilamar.” Makcik Nur tersenyum padaku.

“Dilamar? Siapo nak melamar aku?“ tanyaku terkejut.

“Mana aku tahu. Mak kau nyuruh aku mengemas kau malam ni, sebab engkau nak dipinang.”

“Kejab, Makcik, aku cari Emak dulu.”

Aku keluar kamar mencari Emak. Dari bangun pagi aku belum ada keluar kamar setapak pun. Ternyata rumah sudah berhias sedemikian rupa. Kue sudah terhidang di lantai yang telah ditutupi karpet. Cerek besar berisi teh, tersusun rapi di sudut ruangan. Disampingnya, baki berisi gelas telah disiapkan.

“Mak,” pekikku memanggil Emak.

Emak tergopoh menghampiriku. Wajahnya tampak tak senang melihatku.

“Ngapo engkau keluo (keluar) kamar, Ra?”  Perempuan bersarung  itu menarik tanganku untuk kembali ke kamar.

“Jangan keluo kamar! Duduk situ elok-elok. Nanti malam, Tengku Asnawi datang nak pinang engkau untuk Asman.”

"Astagfirullah, Mak." Aku terduduk lemas  di lantai.  “Ngapo Mak tak cakap samo  Era? Tanyolah dulu, Mak, yang nak nikah tu Era, bukan Mak.”

“Emak yang paham, apo yang terbaik untuk kau. Dah, jangan banyak cakap. Duduk situ, turut kato makcik Nur.”

Makcik Nur memerintahkanku untuk Salat Asar. Setelah asar, wajahku dipoles make up tebal. Aku tak mengenali wajahku sendiri. Seperti ada topeng yang menempel di sana.

“Makcik, Ngapo macam tetempel tepung di muko aku ni.” Aku protes pada makcik Nur.

“Dahlah, kau duduk di kamar ni ajo. Tak keluo.”

Setelah maghrib, aku duduk di kamar. Suara riuh terdengar dari luar. Mungkin keluarga Bang Asman sudah datang. Tak lama, aku dengar, Tengku Asnawi mengutarakan niatnya untuk meminangku. Suaranya yang tegas sudah lekat dalam pikiranku.

“Jadi, begitulah tujuan kami, sanak sedaro datang ke sini. Nak meminang Hera, untuk jadi istri Asman. Asman sekarang sudah pindah ke kantor pusat di Jakarta. Hebat dio, dah jadi Kepala Bagian. Tetapi, sebagai orang berdarah Melayu, dio nak mendapat istri dengan darah yang sama. Teringin betul dio dengan Hera.”

“Time kasih Tengku Asnawi, kami sekeluarga, dengan senang hati menyambut niat baik Asman. Insyaallah, jika tak ada halangan, Hera siap menjadi istri Asman.” Suara Bah terdengar.

Hatiku teriris. Dia yang dulu berjanji untuk membela hakku, mengizinkanku sekolah ke kota, tetapi sekarang? Dia yang menerima lamaran Tengku Asnawi.

Tuhan mengkhianatiku, menjatuhkanku ke dalam liang dalam tak berdasar. Bah lupa semua janjinya, dia sudah terhipnotis dengan pesona makcik Hanum.

Bah memang berubah drastis. Entahlah, feelingku sebagai seorang anak cukup tajam. Aku bisa melihat perubahan pada Bah. Mata lelaki itu kini kosong seperti tak memiliki kehidupan. Beda dengan Bah yang dulu kukenal. Terlepas dari Bah kena guna-guna atau tidak, aku merasa kehilangan sosok panutanku selama ini.

Jam sembilan malam, rombongan tamu agung pulang. Aku yang sudah berhias laksana boneka, membersihkan wajah dengan susah payah. Entah apa bedak yang dipakai makcik Nur ini, hingga lekat menempel di wajahku.

Aku pun heran, mengapa aku didandani sedemikian rupa, keluar kamar saat acara pun tidak.

Bah masuk ke kamar saat aku sudah bersiap tidur. Lelaki itu menatapku, mata kosongnya seolah mengiba maafku.

“Maafkan, Bah, Ra,” ujarnya.

“Apo yang nak Era maafkan, Bah? Semuo dah terjadi. Era ni boneka ajo, Emak dalangnyo. Hidup Era dah hancur, Bah. Hancur!” Aku terisak, menangisi nasib tragisku.

Sejak kecil, aku memang lebih dekat dengan Bah. Emak yang bersifat pengatur dan egois, tak bisa dekat dengan semua anaknya. Sebagai anak perempuan satu-satunya, perhatian Bah memang lebih banyak tercurah untukku.

Bah adalah orang yang mengerti dengan apa pun keinginanku. Dia selalu menjadi tameng bagiku saat keegoisan Emak merajalela.

Kini, aku merasa tak memiliki siapa pun. Bah tak ada lagi untuk membelaku. Dia patuh pada keegoisan Emak.

Bah tak meraihku dalam pelukannya. Dia hanya menatapku dari kejauhan. Membiarkanku menangis tanpa sandaran.

“Ngapo lagi Abang di sini? Tak balek tempat bini mudo?” Emak yang tiba-tiba muncul di kamarku, bertanya sinis.

“Tak boleh aku tengok anak aku? Minggu depan, dio dah milik orang.”

“Abang kan jugo dah milik orang. Tak payahlah menengok anak aku tu. Tengok ajo anak bini mudo.” Mulut Emak tajam melontarkan segala kekesalannya.

“Aku nak tido (todur) suni, Mah. Aku rindu engkau.”

“Ah, tak nak aku tido sama Abang.” Emak membuang pandangan ke arah lain.

“Aku yang nak. Engkau masih istri syah aku.” Bah memegang tangan Emak.

Emak menepis tangan Bah. Wajahnya menyiratkan rasa tak suka. “Ah, tak sudi aku, Bang. Tangan Abang dah pernah sentuh tubuh perempuan lain!”

Bah tampak terpukul mendengar perkataan Emak. Mata tuanya berkaca-kaca, menatap Emak yang juga terlihat menderita.

Aku nelangsa melihat kedua orang tuaku itu. Entahlah, entah di mana letak kesalahan Bah yang sebenarnya. Sehingga dia terpikir untuk menikahi makcik Hanum.

“Dahlah, Ngapo bekelahi di kamar Era. Pegilah. Era nak tido.” Aku melerai adu mulut antara Emak dan Bah.

Emak dan Bah keluar dari kamarku. Mereka seperti dua orang musuh yang siap saling menghancurkan.

Aku berharap, mereka bisa berbicara dengan kepala dingin. Berkompromi dengan kenyataan yang sudah terjadi.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status