Pukul satu siang aku memarkirkan mobil di garasi. Setelah pertemuan yang menguras banyak emosi dengan Handoko, tak ada hal yang ingin aku lakukan selain tidur. Mega terbiasa tidur siang sepulang sekolah, maka kali ini aku akan menemaninya. Tulang di tubuhku terasa tak berguna saat ini. Jika tak mengingat Mega, pasti tubuhku sudah rebah di kasur.
“Makan dulu ya, Meg. Setelah itu kita tidur.”
“Siap, Ma.” Mega berlari ke dalam.
Sejak sekolah, Mega sudah cukup mandiri. Setiap pulang sekolah, dia melepas seragam dan mencuci tangan, kemudian makan. Mulut kecilnya akan berceloteh tentang apa saja selama makan. Terutama mengenai kejadian yang dia alami selama sekolah. Aku sering tertawa mendengar semua ceritanya.
“Masa tadi April ngeledekin Mega, Ma.” Mega cekikikan saat menyuap ayam goreng ke mulutnya.
“Ngeledekin apa?” tanyaku mengulum senyum.
Aku selal
Jangan lupa like-nys, biar aku semangat terus nulisnya 😍😍 terus baca Ujung Senja, ya. Terima kasih atas perhatiannya.
Sepanjang jalan menuju kantor Bang Asman kami membisu. Aku menatap ke luar jendela, enggan bercakap dengannya. Lelaki itu selalu menyulut api kemarahan dalam hatiku. Bang Asman sepertinya tak ada niat mengajakku berbicara. Dia menyetir sambil bersenandung, mengikuti lagu yang diputar radio. Aku dan pikiranku sibuk merencanakan bagaimana nanti aku harus bersikap di depan teman-teman kantor Bang Asman. Ini pertemuan kami yang pertama, dan tak mungkin aku bersikap seenaknya seperti di rumah. Mungkin aku harus menyalami mereka satu persatu, atau meminta Bang Asman mengenalkanku kepada seluruh peserta. Ah, persetan, aku tak perlu membuat siapa pun terkesan. Tak lama, mobil Bang Asman memasuki area kantor. Ternyata tidak jauh dari rumah. Aku sempat melirik arloji tadi, kami hanya menghabiskan tiga puluh menit di perjalanan. Jadi agak aneh memang kalau selama ini Bang Asman selalu pulang tengah malam. Seumur pernikahan kami, baru kali ini Bang Asma
Khafid mendekatiku. Senyum belum lepas dari bibir seksinya. Seksi? Iya, aku menilai bibir penuh berwarna merah jambu itu seksi. Astaga! Rasanya aku ingin memukul diri sendiri. Bisa-bisanya aku menilai seorang lelaki seksi. Jalang sekali. “Anggota baru?” Khafid bertanya dengan nada simpatik. “Istri Pak Asman, Pak.” “Wow. Pantaslah disembunyikan terus dalam lubang semut. Secantik ini ternyata. Hai, Bu, kenalin saya Khafid.” Pak Khafid mengulurkan tangannya kepadaku. Tak mungkin aku membiarkan tangan itu hampa di udara. Mau tak mau, aku menyambutnya. “Saya Era, Pak.” Pak Khafid tersenyum. “Sayang sekali kita telat ketemunya, Ra. Kalau aku duluan ketemu kamu, aku bisa pastikan kamu lebih milih aku daripada Asman.” Suara sorakan memenuhi gendang telingaku. Percakapan macam apa ini? Aku sungguh merasa murahan karena Pak Khafid bertindak seperti itu, tetapi aku tak punya cukup keberanian untuk
Wina membuka pintu berwarna cokelat yang tampak kokoh. Aroma Bang Asman memenuhi Indra penciumanku. Wajah tampannya sedang serius menghadap komputer. Beberapa lembar kertas terhampar di atas meja kerjanya. Sebenarnya, bekerja di bagian apa dia di kantor ini? Kami memang sudah lima tahun menikah, tetapi aku tidak tahu apa-apa tentang kehidupannya. Aku lihat nama yang tertera di mejanya. Tengku Asman, SE Staff SDM Ruangan ini cukup besar, dan sepertinya bukan Bang Asman sendiri yang menghuni tempat ini. Aku perhatikan ada sekitar enam atau tujuh meja kosong. Wajar saja tempat ini sudah sepi. Matahari nyaris tenggelam di luar sana. Aku sedikit menggigil. Pendingin udara di ruangan ini sepertinya menyala maksimal. Bang Asman memang tak tahan panas. Setelah puas menyisir keseluruhan isi ruangan ini, mataku kembali menyusuri wajah
Sepanjang jalan tak ada lagi pembicaraan antara aku dan Khafid. Aku lebih banyak menoleh ke arah jendela. Menyaksikan pepohonan yang memenuhi sisi jalan protokol, sambil membayangkan kampung nun jauh di mata. Ada kerinduan yang tak pernah hilang dalam hatiku untuk menginjakkan kaki di Siak kembali. Paling tidak, melihat Emak.Aku menepis semua harapan. Bagiku, melihat kampung halaman kembali secara langsung adalah angan yang jauh dari kenyataan. Entah bagaimana bentuknya sekarang. Apakah masih ramai remaja yang menghabiskan waktu di pinggir sungai Siak? Atau jalanan tanah yang sering menyebabkan aku terjatuh mungkin sudah ditutup aspal. Entahlah.“Kita harus belok ke mana?” tanya Khafid.Aku menatap ke depan. Terkejut karena kami sudah sampai di persimpangan sebelum masuk jalan rumahku.“Kamu tahu rumahku?” Aku bertanya takjub. Bagaimana tidak, seluruh perjalanan ini aku habis
Waktu berlalu cepat. Tak terasa Mega sudah duduk di kelas dua sekolah dasar. Aku semakin tua. Ah, tetapi umur 27 rasanya belumlah terlalu tua. Andai aku bekerja, pastilah karierku sedang bagus-bagusnya. Sayang sekali, walaupun aku sudah mencari pekerjaan dengan mengandalkan staf Bang Asman, belum ada satu pun yang menerimaku.Untunglah Bang Asman masih seroyal yang dulu. Dia memberi uang gaji utuh untukku, ditambah penghasilan tambahan yang aku tak tahu dia dapatkan dari mana. Prinsipku, yang penting aku memiliki uang cukup untuk melakukan semua hal yang aku senangi. Hidupku sudah tidak bahagia, aku tak ingin terlalu menderita. Setidaknya ada satu hal yang membuatku tersenyum.Tak lupa aku menabung dengan memberi beberapa perhiasan setiap bulan. Aku tahu, karier Bang Asman tak akan selamanya. Suatu saat dia akan pensiun, dan dengan hubungan kami yang semakin lama semakin memburuk, tidak mungkin aku mengajaknya berdiskusi mengenai
Bang Asman memang benar-benar keterlaluan. Dia menyabotase waktu Bang Arham hingga tak bersisa sedikit pun untukku. Sudah tiga hari Bang Arham diajaknya berkeliling. Kemudian mereka pulang dengan berbagai macam oleh-oleh untuk keluarga di kampung. Sungguh cara yang licik untuk menghilangkan kesempatanku berbicara empat mata dengan Bang Arham. Aku bahkan belum tahu tujuan Bang Arham datang kemari. Mau apa lelaki bertubuh tinggi itu datang? Dan apakah tidak masalah beliau izin lama dari pekerjaannya? Aku bingung, sangat bingung hingga detik ini. Akan tetapi, Tuhan tampaknya masih sayang kepadaku. Pagi ini, telepon rumah berdering saat aku sedang menyiapkan teh hangat dan bubur ayam untuk sarapan kedua lelaki yang sedang ngobrol di teras. Bang Asman tergopoh-gopoh mengangkat panggilan itu. Setelah berbicara dengan si penelepon, Bang Asman bersiap pergi. Aku melihat dia berkali-kali meminta maaf kepada Bang
Sudut Teras pada pukul sepuluh pagi terbilang sepi. Kafe yang sepertinya baru buka ini kosong. Aku dan Bang Arham adalah pengunjung pertama. Aku menatap sekeliling kafe bernuansa kuning tersebut. Aku cukup sering menghabiskan waktu di sini, karena ibu-ibu yang menjadi temanku di sekolah Mega sering mengajak ke sini.“Duduk di mano?” tanya Bang Arham.“Situ ajolah, Bang. Jauh dari orang.” Aku menunjuk meja di sudut kafe. Cukup jauh dari pendengaran para pelayan, dan bukan tempat duduk favorit pengunjung.Bang Arham menatap keseluruhan area kafe. Tampaknya dia cukup nyaman berada di sini. Syukurlah kalau begitu. Aku ingin berbicara sangat panjang dengannya. Kondisi tempat yang menyenangkan menjadi hal yang penting bagi kami.“Tak apo kan, Bang?”“Taklah. Sedap nampaknya.”“Duduk situ kita, Bang.” Aku menarik tanga
Hujan perlahan reda. Jatuhnya tak sederas lima belas menit yang lalu. Aku masih duduk di sudut Kafe Sudut Teras, berhadapan dengan Bang Arham yang sedang memanggil pelayan sekali lagi. Aku melirik jam tangan, sudah pukul dua belas siang. Mungkin dia sudah lapar lagi. Maklumlah, untuk perut seorang laki-laki, roti bakar setangkup itu tak akan bisa memenuhi seluruh bagian lambungnya. Aku mendengar Bang Arham memesan nasi goreng spesial. Ditambah jus alpukat. Aku tak bisa menyembunyikan senyum. Makanan porsi kuli itu pasti dia perlukan untuk tetap waras mendengar semua cerita tragis. “Mengapo kau tersenyum? Pasti nak mengejek porsi makan Abang, ye?” Aku tertawa. Beban dalam dada yang sudah berkurang membuatku merasa mudah untuk mengekpresikan perasaan. “Betullah darah tu tak dapat bohong. Bisa pulak Abang tahu apa yang Era pikir.” Bang Arham tertawa. “Kalau roti bakar, itu tak makanan bagi Abang d