Seminggu penuh aku dirawat oleh makcik Nur. Setiap hari ia membersihkan tubuhku dengan krim yang ia sebut lulur. Tak lupa, ia menyuruhku duduk di atas kursi kayu yang dibawahnya ia letakkan rebusan air sirih.
Aku menjalani semua perintah makcik Nur, demi tampil sempurna saat hari pernikahan, begitulah yang makcik Nur katakan.
“Lawo betul anak Emak,”ujar Emak saat melihatku sedang minum air rebusan racikan makcik Nur. “Tak kenallah Asman dengan engkau, Ra. Lain betul muko engkau sekarang.”
“Tak kenal pun tak apo, bio dio tak jadi dengan Era,” tukasku dengan kesal.
“Ish, apolah kau ni. Jangan cakap macam tu, bersyukurlah, keluarga terpandang yang meminang kau. Kau pike (pikir) mudah mencari calon suami? Orang dah tau aib Bah kau, tak ado yang nak samo kau, Ra.”
Luka hatiku kembali berdarah mendengar perkataan Emak. “Kalau jodoh, Mak, apa pun yang terjadi, pasti datang.”
“Nah, inilah buktinya, kau bejodoh dengan Asman.” Emak tersenyum puas.
Aku menghela napas. Emak tetaplah Emak, tidak ada manusia yang bisa menang berdebat dengannya. Terlebih anak-anaknya.
Sebenarnya, pernikahanku ini terlalu dipaksakan. Sebagai anak bungsu dari enam bersaudara, baru dua orang abangku yang menikah. Jadi, ada tiga orang abang yang akan aku langkahi nanti.
Entah bagaimana cara Emak meyakinkan abang-abangku, mereka tidak menuntut pelangkah apa pun dariku.
Sehari sebelum hari H, rumahku mulai ramai didatangi saudara dan tetangga. Mereka bergotong royong memasak, menghias pelaminan, dan mendekorasi panggung.
Aku sudah tidak boleh keluar kamar oleh Emak. Perempuan itu rela merogoh koceknya untuk membangun kamar mandi di dalam kamarku, demi menjamin kepastian bahwa aku tidak akan keluar kamar.
Makcik Nur bekerja ekstra hari ini. Dia menggosok tubuhku lebih kuat dari hari sebelumnya. Sirih yang dibuatnya pun lebih pahit rasanya. Aku lakukan semua yang ia perintahkan. Tak ada gunanya melawan, toh pernikahan itu pasti akan terjadi.
Pukul sembilan malam, rumah kembali sepi. Tak ada lagi kegaduhan dari luar. Mungkin, besok adalah puncaknya, sebab besok, akad nikah akan dilaksanakan.
Aku duduk di kamar. Merenungi jalan hidup yang entah akan kubawa ke mana. Asman begitu asing, tetapi ia akan menjadi suamiku. Banyak suara di luar sana yang mengatakan aku beruntung. Skandal poligami Bah harusnya merusak reputasi keluargaku, tetapi Tengku Asnawi tetap memintaku untuk menjadi istri Asman.
Seandainya Bah tidak menikah dengan makcik Hanum, hidupku mungkin berbeda. Bisa jadi, sekarang aku sedang bersiap untuk ujian masuk sekolah Guru di kota, atau sedang duduk berkumpul bersama teman-temanku di pinggir Sungai Siak.
“Mengapa lagi Abang ke sini?”
Aku dengar suara Emak dari balik pintu kamarku. Secepat kilat, aku menempelkan telinga di daun pintu, aku ingin tahu, Emak sedang berbicara dengan siapa.
“Ado nak aku cakap dengan kau, Mah.” Suara lesu Bah menggema.
“Apo lagi nak Abang cakap? Tak sudah-sudah menyakiti aku.”
“Besok, biolah aku yang menikahkan Era. Satu dio ajo anak perempuan aku, janganlah kau larang aku menikahkan dio.” Bah berkata dengan suara penuh permohonan.
“Taklah, Bang. Abang dio banyak, usahlah Bah dio yang tak tau diuntung ni nak menikahkan dio pulak. Sial anak aku nanti.” Aku dengar Emak menjawab permintaan Abah dengan suara ketus.
Aku tak sanggup lagi mendengarkan pembicaraan dua orang itu. Masih kudengar Bah memohon-mohon, tetapi tidak ada jawaban dari Emak.
Iba hatiku pada Bah. Emak sampai hati melarang Bah menikahkanku. Apa pun kesalahan Bah, beliau berhak menikahkanku, melepasku pada pria yang akan meneruskan tugasnya. Namun, aku tahu, Emak tidak akan menerima pendapat siapa pun.
Jam sepuluh malam, aku masih terjaga. Padahal, makcik Nur sudah berpesan, agar aku segera tidur hari ini, tetapi aku malah tak bisa tidur. Anganku mengembara, menyesali banyak hal yang terjadi pada hidupku.
Jendela kamarku diketuk dari luar. Ketukannya pelan seolah tak ingin mengkhianati sepinya malam.
Aku tersenyum simpul. Ini pasti ulah iseng teman-teman dekatku. Aku dulu sering mengerjai beberapa teman dekatku, mendatangi rumah mereka pada malam sebelum akad nikah, dan masuk dari jendela kamar, selanjutnya kami akan bercerita hingga subuh.
Hasilnya sebagian dari mereka, mengantuk saat prosesi akad nikah. Mereka pasti ingin balas mengerjaiku. Dengan antusias, aku membuka jendela kamar.
Pekikku tertahan melihat siapa yang berdiri di depan jendela. Fahmi berdiri dengan wajah tegang di sana.
“Kau ingkar, Ra!” ujarnya.
Aku mundur beberapa langkah. Mulutku tertutup rapat, menahan agar tak keluar suara teriakan.
Aku takut, Fahmi menuntut balas akan janji-janjiku. Janji untuk menunggu ia kembali. Ia pasti sudah melihat rumahku yang telah berdandan semarak, dan ia pun pasti mencari informasi, hajatan siapakah yang akan dilaksanakan.
“Kau bohong!” desisnya dari luar jendela kamar. “Kau bilang akan menungguku, kau bilang akan menikah denganku. Aku sudah lulus sekolah polisi, tetapi apa yang aku dapati? Janur kuning yang melengkung di depan rumahmu? Undangan pernikahan yang tertulis namamu?”
Bulir bening menetes dari mata lelaki itu. Aku hanya menatapnya, masih tak percaya ia datang di hadapanku.
“Sekarang, buktikan bahwa Ucapmu tiada dusta. Ayo, ikut denganku, kita kawin lari.” Ia berkata pasti.
Aku menggeleng. Ide gila itu akan mencoreng arang yang semakin hitam di kening keluargaku. Aib Bah bahkan belum bisa hilang dari ingatan orang.
“Ah, kau benar-benar telah berkhianat, Ra. Diammu membuktikannya. Lelah aku berusaha untuk menjadi yang terbaik dengan mengingatmu, hadiah yang kudapat sungguh pahit.”
Aku menangis mendengar setiap aksara yang keluar dari mulutnya. Perih hingga ke dasar hatiku. Menyayat sampai ke kalbuku. Sesakit ini rasanya patah hati. Jika Fahmi tidak datang, ragu tidak akan merajai saat ini.
“Jadi, bagaimana, Ra? Aku masih menunggu mulutmu bersuara.” Lelaki itu terus mengejarku.
“Aku-aku tidak bisa. Aku tak mungkin mempermalukan keluargaku lagi. Cukup Bah saja, aku tak akan mencoreng kening Emak dengan arang hitam.”
“Yakin kau dengan pilihanmu?” tanya Fahmi. Sudut bibirnya menyunggingkan senyum sinis.
“Pergilah! Agar aku tidak semakin ragu. Kau tahu hatiku, kan? Ia masih milikmu hingga sekarang. Namun, jika Allah tidak menulis takdir kita bersama, tak mungkin aku memaksa.”
“Mari perjuangkan takdir kita. Ikut denganku, Ra, aku janji tak akan pernah mengecewakanmu.” Fahmi mengulurkan tangannya.
“Maafkan aku.”
“Aku janji, takkan pernah membuat air matamu menetes.” Fahmi mengulurkan kedua tangannya.
“Maafkan aku. Mungkin, kau dan aku memang tidak akan pernah menjadi kita.”
Aku menutup jendela rapat. Tangisku pecah sesaat setelah grendel jendela kupasang. Ah, andai saja masih ada kesempatan kedua. Banyak andai berseliweran dalam pikiranku.
Fahmi pasti kecewa. Aku pun berdosa sebenarnya. Sudah mengikat janji dengan Fahmi, tetapi menikah dengan lelaki lain. Wajar ia kecewa. Ia berjuang untukku, aku malah melempar duka ke wajahnya.
Demi Emak aku mengorbankan segala rasa yang kupunya. Biarlah aku lara, asal Emak tidak nestapa.
***
Aku memakai pakaian adat khas Melayu, Kebaya Laboh berwarna kuning dengan hiasan kepala bernuansa emas. Pakaian ini umum digunakan oleh seluruh pengantin Melayu. Pakaian ini juga sangat cocok melekat di tubuhku. Kulitku yang berwarna kuning langsat, semakin cerah saat memakainya.Wajahku telah dirias oleh makcik Nur sejak habis subuh tadi. Berbeda dengan riasan saat pinangan pekan lalu, kali ini, makcik Nur menunjukkan kualitasnya sebagai bidan pengantin handal. Aku tidak mengenali wajah sendiri yang terpantul di cermin. Wajahku yang biasa polos tanpa make up, tampak berbeda kali ini, berkilauan seperti ada permata yang ditanam di dalamnya.Hanya saja kepalaku agak pusing dengan banyaknya perhiasan yang aku gunakan di kepala, pun Kebaya Laboh ini sangat tebal, seperti tak memberi ruang tubuhku untuk bernapas. Makcik Nur menguatkanku, dia bilang, momen ini adalah momen sekali seumur hidup, jadi aku harus tahan menggunakan pakaian ada
Pelaminan pernikahanku, berganti dengan kasur tipis sebagai alas jenazah Bah. Kebaya Laboh telah bertukar dengan gamis hitam legam tanda dukacita. Jilbab panjang berwarna sama menutupi kepalaku.Jenazah Bah terbujur kamu di depan pelaminan. Sungguh malang nasibku, di hari pernikahan yang tak kuinginkan, Bah pergi meninggalkanku sendirian.Lantunan ayat suci Alquran bergema di dalam rumah. Emak terduduk lemah di samping jenazah Bah. Tangannya memegang tasbih, tetapi tatapannya kosong seperti tak memiliki kehidupan.Bau bunga rampai dan kapur barus menusuk hidung, aromanya mengalir ke otakku, hingga kepalaku seperti ditusuk ribuan sembilu. Bah akan dimandikan, jenazah lelaki kesayanganku ini segera menuju tempat peristirahatan terakhirnya.“Ra, dimano Bah engkau nak dimandikan?” tanya makcik Emboh, adik bungsu Emak.“Kejab (sebentar) Era tengok ke belakan
Suasana duka masih menyelimuti rumah kami. Emak belum keluar kamar sejak semalam. Abang-abangku yang sudah menikah telah kembali ke rumahnya masing-masing.Pelaminan pernikahanku telah dilepaskan tadi pagi. Namun, bendera putih masih terpasang di depan rumah. Tenda untuk tamu pun beralih fungsi menjadi tempat berteduh para tamu takziah.Kami bahkan tak tahu Bah dikuburkan di mana. Perempuan berhati iblis itu benar-benar biadab. Dia membawa jenazah Bah, dan tak mengizinkan Bang Arham ikut ke kuburan. Padahal, Bang Arham sengaja datang karena ingin ikut memasukkan jenazah Bah ke Liang lahat.“Buatkan aku sarapan, Ra.” Bang Asman yang baru keluar dari kamar mandi memerintahku.“Beli ajalah, Bang. Tak telap Era masak. Lemah semangat Era sejak Bah tak ado ni.”“Halah, alasan! Aku enggak mau tahu, buatkan aku sarapan. Dari semalam sibuk Bah kau tu aja. Muak aku mendengarnya.” Bang Asman berkata ketus.&nb
Bah menatapku dengan wajah sedih. Dia berdiri di hadapanku, menggunakan baju koko putih dan peci hitam kesukaannya. Tubuhnya begitu bersih, seperti ada cahaya yang melingkupi tubuh gagahnya.Dia menatapku lama, tanpa kata. Aku pun sama. Dalam hening, mata kami bertautan.“Bah,” ujarku. Bibirku menahan tangis yang seakan mau meledak.Bah menarik tanganku, menyeretku entah ke mana.“Bah.” Aku berusaha menepiskan tangan Bah, tetapi pegangannya terlalu kuat.Setelah berjalan jauh. Bah berhenti dan tersenyum padaku.“Era!” Aku mendengarpekikan dari kejauhan. Suara Bang Asman. Aku menoleh ke belakang.Bang Asman berdiri dengan wajah dingin. “Ikut aku!” titahnya.Bah menggeleng, dia hanya menggeleng sambil menangis tersedu.Tangis Bah makin kencang terdenga
Emak menghapus air mata yang menganak sungai di pipinya. Wanita tua itu memegang pipiku dengan kedua belah telapak tangannya. Tangannya bergetar dan dingin, ah, aku paham bagaimana rasanya menjadi dia. Baru saja ditinggalkan suami tercinta, sekarang anak perempuan satu-satunya pun harus pergi.“Cepatlah sikit, terbang nanti pesawat tu cemano (gimana)?” bentak bang Asman.Tangis Emak makin keras. Bahunya sampai berguncang hebat. Aku memeluknya, berusaha mengalirkan ketabahan ke aliran darahnya. Inilah takdir yang telah aku pilih, tak mungkin untuk mundur.“Era berangkat, Mak, do’akan Era banyak rezeki, bisa sering pulang tengok Emak.”Emak mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Duka dalam matanya terlihat jelas. Entah apa yang memenuhi benak wanita yang telah melahirkanku itu, mungkin dia menyesal karena menyetujui pernikahanku dengan Bang Asman, atau mungkin dia merasa t
10Menjadi istri seorang Asman Chairi, aku dipaksa menjadi mandiri, dewasa, dan mengambil keputusan sendiri. Asman tak memiliki waktu untuk mendengar keluhanku, pun memberi pendapat untuk masalah-masalah yang aku hadapi.Hidup kami berjalan seperti air mengalir, tenang. Sangat tenang. Tepatnya aku berusaha untuk tetap tenang menghadapi sikap tak peduli lelaki itu.Hari, minggu, bulan, aku habiskan dalam kesendirian. Bang Asman lebih banyak menghabiskan waktu di tempat kerja—atau tempat lain yang aku tidak tahu—dari pagi buta hingga tengah malam.Awal mula pindah ke Jakarta, aku masih berharap dia berubah menjadi lebih baik. Setiap hari aku bangun lebih awal untuk membuatkan dia sarapan, melepas dia bekerja, dan hal lain yang lazim dilakukan suami istri. Aku berusaha sangat keras untuk melembutkan hatinya, membuat dia bisa mencintaiku. Paling tidak, bersikap baik padaku.Namun
Aku memegang benda pipih berwarna putih itu dengan tangan bergetar. Garis dua di bagian tengahnya membuat napasku nyaris putus. Hamil? Aku hamil? Bagaimana bisa? Selama ini aku sengaja mengkonsumis pil KB tanpa sepengetahuan Bang Asman. Aku berpikir untuk apa memiliki anak jika rumah tangga yang kami jalani ini jauh dari kata bahagia. Kehadiran anak dalam rumah tangga yang gersang, hanya akan membawa malapetaka. Kasihan anakku nanti. Dadaku sesak dengan sesal. Mengingat-ingat apakah aku lupa meminum pil KB sialan itu? Rasanya tidak. Aku sengaja menaruhnya di meja rias agar tak pernah lupa. Bang Asman pun pernah melihat pil itu, dan dia tidak pernah keberatan. Bagaimana aku akan memberi tahu hal ini padanya? Sedangkan kami sudah seminggu tidak bertegur sapa. Jangan tanya mengapa, karena jika aku ceritakan, seolah aku adalah wanita paling durhaka di dunia karena membuka aib suami seenaknya. Namun bisa aku pastikan, tak banyak w
Pukul dua belas malam lelaki itu pulang. Wajahnya terlihat sangat lelah, tidak seperti biasa. Kadang aku berpikir, apa yang dia lakukan di kantor sehingga selalu pulang tengah malam. Mas Wibi pun bekerja di kantor pemerintahan walaupun jabatannya tidak setinggi Bang Asman, tetapi suami Lina itu selalu tiba di rumah pukul lima sore.Untunglah Lina dan Mas Wibi bukan tetangga yang usil. Mereka diam saja melihat Bang Asman selalu pulang tengah malam. Lina tak pernah bertanya apa pun padaku. Hubungan kami yang dekat tak lantas menjadi alasan untuk mencampuri urusan masing-masing.“Ha, tumben kau menungguku? Dah tak marah?” sindirnya tajam, tanpa menoleh ke arahku.Hatiku bagai diiris sembilu dan ditetesi jeruk nipis saat melihat lelaki itu langsung masuk ke kamarnya. Kami memang sudah seminggu pisah kamar. Aku yang memulai dengan memilih tidur di kamar tamu. Sepertinya Bang Asman merasa ny