Share

Kesepakatan

Mereka tiba di sebuah restauran mewah di Jakarta, pelayan wanita mendatangi mereka. Nico memesan makanan begitu juga Almira, meskipun ia tidak tahu jenis makanan seperti apa yang ia pesan.

“Apa kau yakin tidak ingin merubah konsep pernikahan yang kau inginkan, Al?” tanya Nico memecahkan keheningan.

“Tidak,” jawab Almira singkat.

“Kenapa? Setiap wanita yang akan menikah pasti menginginkan pesta yang mewah dan meriah. Lagipula aku tidak keberatan jika harus mengeluarkan ratusan juta.”

Almira tercengang—ratusan juta katanya? Pria ini memang benar-benar sudah gila.

“Saya bukan gadis yang tidak tahu malu, Pak? Dengan mengadakan pesta meriah dan sebesar itu yang disaksikan semua orang, lalu berita perceraian muncul dua atau satu tahun kemudian?!” ucap Almira kesal.

“Baiklah. Terserah padamu. Mungkin aku bisa melakukannya saat menikah dengan wanita lain nanti.” Nico menyesap minuman yang telah dipesannya tadi.

“Itu lebih baik. Apa Anda tidak ingin mencari keberadaan Amanda, Pak?” Almira memberanikan diri bertanya.

“Nope…!”

“Kenapa? Apakah Anda tidak ingin menjelaskan keadaan Anda padanya?”

“Untuk apa? Kenapa kau cerewet sekali, Almira” jawab Nico santai—padahal ia sudah tahu keberadaan Amanda.

Mereka berhenti bicara saat pelayan mengantarkan pesanan mereka.

“Terima kasih,” ucap Nico pada pelayan wanita itu yang membuat pelayan itu menjadi salah tingkah. Wanita manapun akan terpikat dengan senyuman dan wajah tampan Nico—Almira mengakui hal itu.

Mereka makan dengan tenang. Hingga bunyi ponsel Almira memecah ketenangan makan mereka. ‘Benny’ batinnya.

Almira membaca dan membalas pesan dari Benny tanpa memperhatikan manusia yang duduk di hadapannya.

Gadis itu berpikir bagaimana ia akan menjelaskan pada kekasihnya nanti jika ia sudah menikah dengan orang lain. Bayangan itu terus bergelayut di dalam pikiran Almira.

Ini mimpi buruk bagi Almira!

***

Mereka sampai di rumah keluarga Brahmantyo. Almira heran, harusnya ia pulang kerumahnya tapi mobil yang dikendarai oleh asisten Nico malah mengantarkannya ke rumah keluarga  Brahmantyo.

“Pak..,” panggil Almira—saat pintu mobil dibuka oleh Joni.

Nico mengarahkan pandangannya. “Ada apa?” jawabnya.

“Ini sudah malam. Bukankah seharusnya Anda mengantarkan saya pulang tadi?”

Nico mengeser posisinya menaiki kursi rodanya. “Malam ini kau tidak perlu pulang, Almira!” ucapnya. “Karena mulai malam ini dan seterusnya kau akan tinggal disini.”

“Tapi, Pak..,”

“Tidak ada tapi. Ini sudah malam dan cukup untuk hari ini, aku lelah.” Ucapnya santai, lalu meminta Joni mengantarkannya masuk.

Almira buru-buru turun dari mobil dan mengikuti Nico dari belakang.

Suasana di rumah keluarga Brahmantyo begitu sepi mungkin ini sudah malam, pikir Almira. “Lalu aku akan tidur dimana, jika malam ini aku harus menginap disini?” tanya Almira.

“Aku sudah meminta kepala pelayan untuk menyiapkan kamar yang akan kau tempati,” Ucap Nico. “Kamar mu ada disebelah kamar ku.”  

Nico pergi meninggalkan Almira dengan diantar Joni hingga kekamarnya, dan Almira masih mengikuti Nico dari belakang. Joni menghentikan kursi roda Nico tepat didepan pintu kamarnya dan Almira pun ikut menghentikan langkahnya.

“Apa kau akan terus berdiri dibelakang Joni, Almira?!” tanya Nico dengan tegas. “Masuklah, kamar mu ada di sebelah,” tunjuk Nico.

“Permisi,” pamit Almira.

Almira menutup pintu kamarnya, namun Nico masih setia berada didepan pintu kamarnya sebelum Joni membukakan pintu kamarnya. “Apa kau sudah melaksanakan yang ku minta, Jon?”

“Sudah, Tuan. Saya sudah melaksanakan sesuai perintah Tuan.” Ucapnya

“Baiklah kau boleh pergi.” Perintah Nico yang dibalas dengan anggukan oleh Joni.

Sementara itu, Almira yang kagum dengan seisi kamar yang ditempatinya berjalan menuju balkon kamarnya menatap indahnya cahaya lampu di malam hari dan sejuknya angin malam.

Angin malam yang berhembus kencang membuat rambut Almira sedikit menutupi wajahnya. Almira memang membutuhkan ruang untuk menenangkan pikiran, semenjak masalah yang di timbulkan Amanda, ia merasa bebannya semakin berat.

Tidak pernah terpikirkan oleh Almira jika ia harus menikah namun dengan menggunakan jangka waktu, karena menurut Almira suatu pernikahan itu sakral, yang hanya ingin ia lakukan sekali dalam seumur hidup, bukan dengan jangka waktu.

Almira mengecek ponselnya, tidak ada tanda pemberitahuan pesan masuk…lagi, dari Benny sejak makan malam tadi. Gadis itu beranjak dari tempatnya berdiri—masuk dalam kamar, namun ia sedikit terkejut melihat Nico sudah berada dalam kamarnya tanpa ia sadari.

“Apa yang sedang Anda lakukan disini, Pak?” tanya Almira.

“Aku ingin membicarakan perjanjian yang kau inginkan.”

“Tidak bisakah kita bicarakan besok pagi, Pak? Ini sudah larut malam!”

“Aku lupa mengatakan sesuatu padamu. Besok pagi-pagi sekali aku akan berangkat ke Singapura, aku akan pulang lusa saat pernikahan kita.”

“Jika besok Anda akan ke Singapura lalu untuk apa Anda meminta saya untuk menginap di sini sedangkan saya harus bekerja besok!” ucap Almira dengan tegas.

Nico tidak menatap matanya, namun sedikit menekan emosinya. “Jika kau tidak mau membicarakan perjanjian yang kau inginkan tidak apa-apa, aku tidak masalah. Aku akan memberikan perjanjian dari ku untuk kau tanda tangani.” Ucapnya dengan memutar kursi rodanya—menuju pintu untuk keluar.

“Baiklah. Mulai dari mana?”

“Terserah padamu.”

Almira terdiam sejenak. “Seperti yang saya katakan kemaren pada Anda, jika saya tidak ingin pernikahan ini diketahui oleh siapa pun dan saya juga tidak ingin pernikahan ini mengekang saya dalam pekerjaan dan kehidupan sosialisasi saya. Saya ak—”

“Aku tidak bisa mendengarmu jika kau masih menggunakan kata Saya dan Anda dalam percakapan kita. Dan berhenti memanggilku Pak, Almira,” kata Nico dengan menahan emosinya.

Almira berdehem untuk menetralkan suaranya karena ia belum terbiasa berbicara secara tidak formal, namun ia akan mencoba untuk membiasakannya.

“Pertama, tidak ada perayaan besar-besaran untuk pernikahan ini, cukup kita dan keluarga mu saja yang tahu.” Ucap Almira yang langsung disetujui Nico.

“Kedua, aku tidak ingin pernikahan ini mengekang ku. Aku ingin tetap mempunyai waktu untuk diri ku sendiri dan bertemu dengan teman-teman ku begitu juga dengan pekerjaan ku.” Almira memandang Nico—melihat respon Nico dari perjanjian yang ia berikan.

“Ditolak. Kau harus memberi tahu ku dengan siapa kau pergi dan jam malam tidak lebih dari jam 11 malam. Mulai besok kau tidak harus bekerja di rumah sakit karena aku sudah meminta Nando mengirimkan surat pengunduran diri mu” ucapnya santai tanpa menoleh kearah Almira.

“Tapi…,”

“Tidak ada bantahan. Lanjutkan, Almira.”

“Aku ingin kau tidak terlalu berharap dengan pernikahan ini. Seharusnya kau tahu pernikahan ini hanya sementara, jadi jangan berharap aku akan bersikap posesif padamu, khawatir dengan apa yang akan kau lakukan dan lain-lain.”

“Disetujui. Lagipula aku bukan pria yang manja, Almira.”

Almira menarik napas dalam. “Aku sangat berharap kau menyetujui perjanjian terakhir ku.”

“Apa?”

Almira terdiam beberapa menit.

Nico menatapnya, “Katakan, Almira!”

“…”

“Kalau yang kau maksud adalah materi. Aku pastikan kau akan mendapatkan segala yang kau butuhkan. Jikapun pernikahan ini berakhir aku akan tetap memberikan mu nafkah, ak—.”

“Perjanjian terakhir dari ku, aku tidak mau kau menyentuhkan, Nico. Selama perjanjian yang kau buat aku tidak ingin kau melakukan hal-hal yang berbau seksual apapun padaku.” Almira memotong ucapan Nico.

Sejenak Nico terdiam dalam tenang—belum merespon ucapan yang di katakan Almira.

Bersambung,

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status