Share

Fitting Dress

Hari ini Almira terpaksa harus meminta ijin untuk tidak masuk, karena Nico mengajaknya ke butik langganan keluarga Brahmantyo untuk mencari gaun pengantin.

Sepanjang perjalanan menuju butik, Almira lebih banyak melamun, sedangkan Nico sibuk dengan laptop yang berada dipangkuannya. Ia harus menyelesaikan pekerjaannya yang menumpuk akibat kecelakaan yang dialaminya.

Meski Nico merupakan pria yang temperamen dan arogan tapi ia tetap memperlakukan Almira dengan baik, mungkin tidak semanis pasangan yang akan menikah pada umumnya. Tapi bersikap tidak temperamen dan arogan serta menahan emosi untuk sementara waktu sudah merupakan sebuah kemajuan untuk seorang Nicolas.

“Apa yang sedang kau pikirkan?”

Almira sedikit terkejut saat Nico membuyarkan lamunannya—tiba-tiba pria itu sudah menutup laptopnya. Almira berpikir sejak kapan pria itu menyelesaikan pekerjaannya?

Almira heran dengan dirinya sendiri, ia menjadi sering malamunkan hal-hal yang tidak penting tentang pernikahan ini.

“Kamu jadi sering melamun sejak aku memintamu untuk menggantikan Amanda untuk menikah dengan ku!”

“Benarkah?” ucap Almira.

“Aku tidak suka melihatmu sering melamun.”

Almira menoleh kearah Nico yang masih menatapnya dengan intens. “Saya tidak melamun. Saya hanya sedang berpikir.”

“Mengapa pria kaya seperti Anda, memilih gadis biasa seperti saya yang hanya bekerja sebagai perawat di rumah sakit, hanya untuk sekedar menggantikan Amanda?!” ucap Almira. “Sedangkan Anda bisa mencari seorang gadis di luar sana yang sepadan untuk menggantikan Amanda, menikah dengan Anda?”

Nico mengalihkan pandangannya dan terdiam sejenak.

“Jangan terlalu banyak bertanya, Almira. Percaya saja padaku, semua akan berjalan sesuai rencanaku dan akan baik-baik saja untuk kita, terutama untuk mu!”

Sepenggal kalimat yang diucapkan Nico, entah kenapa membuat keyakinan Almira jika semua akan kembali pada tempatnya.

“Dan satu lagi, Almira. Sudah kukatakan padamu untuk membiasakan berbicara non formal padaku. Apakah sesusah itu untuk mu?”

“Maaf, saya sudah terbiasa.” Almira langsung meralat ucapannya. “Aku sudah terbiasa maksudnya…”

“Bagus. Kau terlihat seperti orang asing jika tetap berbicara seperti itu dihadapan keluarga dan seluruh kolega bisnisku,” ucap Nico.

Almira menyunggingkan senyum. “Bukankah memang kita orang asing yang awalnya tidak saling mengenal, Pak?”

“Nico, Almira…” Nico mengingatkan Almira untuk memanggil nama.

“Katakan padaku, konsep pernikahan seperti apa yang kau inginkan. Kita bisa merubah konsep pernikahan yang sudah ada dengan konsep pernikahan yang kau ing—”

Almira menatap Nico serius. “Aku punya syarat, Nico. Tidak peduli kau suka atau tidak dengan syarat yang ku berikan,” ucapnya.

“Katakan!,” perintahnya tanpa menoleh sedikitpun.

“Aku tidak ingin orang-orang mengetahui pernikahan ini, karena pernikahan ini palsu. Tidak perlu perayaan besar dan tidak perlu ada media yang meliput. Hanya diantara kita, jadi kau bisa mengganti konsep yang sudah ada menjadi lebih tertutup,” tegas Almira.

Nico menatap Almira beberapa saat. “Itu agak mengejutkan untukku, Almira. Aku pikir, kau akan mengganti konsep pernikahan yang lebih besar dan mewah dari konsep yang dibuat Amanda saat ini,” ucapnya. “Aku ingin semua mengenalmu dan media meliput pernikahan megah ini.”

Almira terhenyak beberapa saat mendengar ucap Nico, ia tidak menduga dibalik sikap yang Nico lakukan ternyata ia tidak merasa keberatan memperkenalkan Almira pada semua.

“Anda tidak perlu melakukan hal itu, Pak. Anda bisa melakukannya saat pernikahan yang sesungguhnya terjadi. Bukankah image Anda akan jauh lebih baik jika di kenal hanya dengan pernikahan yang cukup sekali, Pak?” ucap Almira.

Nico menampilkan senyum manisnya dan mengalihkan pandangannya dari Almira. “Kita tidak akan tahu apa yang akan terjadi pada pernikahan ini kedepannya, Almira!”

Almira terdiam, maksud Nico…

“Mengapa?” tanya Almira.

“Karena takdir Tuhan dan masa depan tidak ada yang tahu. Seperti kondisiku saat ini!” ucap Nico dengan mengepalkan tangannya.

Apa yang Nico katakan di depan Almira terdengar memilukan, bukan karena Almira sudah memiliki rasa padanya. Melainkan semua yang dikatakan Nico memang benar adanya jika sudah berurusan dengan takdir Tuhan.

***

“Gaun ini sangat pas dan cocok pada tubuh mu,” Ucap pemilik butik pada Almira. “Ayo kita keluar. Pengantin pria harus melihat betapa cantiknya pengantin wanita saat ini menggunakan gaun yang sederhana namun terlihat glamor.”

Nico tersenyum puas ke arah desainer itu. “Pilihan yang bagus, Almira," ucap Nico. "Tunjukkan beberapa gaun untuknya, Mona” perintah Nico pada pemilik butik.

Nico memutar kursi rodanya. “Aku akan keluar sebentar, hubungi aku jika kalian sudah selesai.” Nico menggerakan kursi rodanya keluar dari butik menuju mobilnya yang terparkir didepan butik.

“Kalian memang pasangan yang sangat serasi.” Mona—pemilik butik itu tersenyum, bergerak menuju koleksi-koleksi gaunnya yang akan digunakan untuk peragaan busananya.

‘Serasi? Yang benar saja’ batin Almira. Mereka bagaikan air dan minyak yang tidak akan bisa menyatu. Nico yang temperamen dan arogan di pertemukan dengan Almira Larasati yang introvert.

Mona mendekati Almira. “Aku Monalisa Sutanto.” Wanita itu memperkenalkan dirinya pada Almira.

“Almira Larasati,” balas Almira.

Mona terdiam cukup lama, memastikan pendengarannya. Ia yakin jika undangan yang ia terima tertera nama ‘Amanda Lucero’ bukan ‘Almira Larasati’.

Pantas saja ia tidak melihat mereka seperti layaknya pasangan kekasih yang saling mencintai. Tampak dari wajah gadis cantik didepannya saat ini sangat memancarkan kebaikan.

“Jika boleh tahu, sudah berapa lama kalian berkenalan?”

“Seminggu,” ucap Almira singkat.

“Benarkah? Dimana?” Mona terkejut dengan jawaban Almira.

“Tentu," jawab Almira. "Kami bertemu di rumah sakit,” sambungnya. Ia tidak peduli jika Mona memiliki pikiran jelek tentangnya.

Paras cantik, tubuh jenjang dan ramping juga kulit kuning langsat layaknya orang Indonesia, membuat Almira merasa Mona jauh lebih baik daripada dirinya.

Kenapa Nico tidak memilih wanita sekelas Mona untuk menjadi pengganti Amanda?

***

Dua puluh menit kemudian, Nico datang dengan membawa segelas Capucinno di tangannya. “apa kalian sudah selesai memilih gaun pengantinnya?” tanya Nico.

“Hem…” jawab Almira. “Apa kamu keluar hanya untuk mencari minum?”

Nico Mengangguk. Tangan kanan pria itu memberikan minuman yang ia belikan untuk Almira. Nico tahu minuman yang ia bawakan adalah minuman kesukaan Almira karena sebelumnya ia sudah meminta Joni untuk menyelediki latar belakang Almira.

“Pak,” panggil Almira.

Nico menatapnya santai. “Apa?”

“Apakah Anda tidak ingin merubah keputusan Anda untuk menikah dengan saya. Masih ada waktu sehari untuk Anda berubah pikiran.” Ucap Almira

“Terima kasih Mona. Kirimkan gaunnya besok pagi karena pernikahannya akan dilaksanakan lusa, dan kau jangan lupa datang.” Ucap Nico tanpa memikirkan kata-kata Almira.

“Ayo. Aku lapar sedari pagi kita belum sarapan, dan kita belum membicarakan perjanjian yang kau inginkan.” Pria itu memutar kursi rodanya untuk menuju mobil.

“Huft…” Almira menghela napas.

Almira duduk dibangku penumpang bersama Nico, ia mengarahkan pandangan menatap jalanan Jakarta yang padat tanpa mempedulikan kemana Nico akan membawanya.

Seketika kepala Almira di penuhi oleh nama seseorang.

Benny.

Benny-nya yang saat ini sedang melanjutkan pendidikannya di luar negeri, entah bagaimana ekspresinya jika ia tahu bahwa Almira telah menikah dengan laki-laki lain.

Hidup Almira menjadi semakin rumit sejak Amanda menciptakan huru hara dengan meninggalkan calon suaminya.

Bersambung,

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status