Share

Kunjungan Pertama

Almira menghembuskan nafas kecewa begitu keluar dari ruangan ayah tirinya. Ia melangkahkan kakinya sambil melamun menjauh dari ruangan Dokter Yacob dan berjalan menuju lift.

Dalam lamunannya ia berfikir, mengapa ayah tirinya tega melimpahkan kesalahan yang dilakukan Amanda dengan menyetujui perjanjian gila yang diberikan Nico padanya.

Menikah dengan orang yang tidak dikenal dan tidak ia cintai bukanlah daftar dari rencana masa depan Almira, apalagi dengan seorang CEO yang temperamental dan arogan. Tujuannya kembali ke Jakarta bukan sekedar bekerja tapi demi meminta kembali rumah panti peninggalan ibunya, tapi kenyataan yang terjadi saat ini  justru diluar bayangannya.

Dan sialnya, Almira tidak bisa menolak pernikahan ini karena nenek dan rumah panti yang masih ada dalam genggaman ayah tirinya. Ia hanya bisa berharap setelah menjalani pernikahan ini, kaki Nico dapat segera sembuh dan bisa berjalan kembali seperti semula. Semakin cepat kesembuhan kaki Nico semakin cepat pula pernikahan itu akan berakhir dan Almira bisa segera mendapatkan rumah panti untuk merawat neneknya.

Ting…

Almira tersadar dari lamunannya ketika mendengar suara lift berhenti. Ia melangkahkan kakinya masuk ke dalam lift dan menekan tombol menutup, saat pintu lift akan menutup tiba-tiba sebuah tangan menahan pintu, “tunggu, Nona.” Ucap Joni

Almira terdiam dan menatap datar wajah Nico dan keluarganya sejenak saat masuk ke dalam lift, lalu ia memalingkan wajahnya menatap pintu lift. Lift melaju dengan keheningan, membuat suasana di dalam lift menjadi dingin.

“Joni akan menjemputmu pukul tujuh. Ada beberapa hal yang harus kita bicarakan tentang pernikahan ini.” ucap Nico tiba-tiba memecahkan keheningan dalam lift.

“Terima kasih, Almira.” Sela Ratna tersenyum dengan mendekat dan memegang tangan Almira, “saya senang kamu bersedia menggantikan Amanda untuk menikah dengan Nico. Kamu wanita yang baik, Nak.”

“Tidak apa-apa, Nyonya.” Jawabku dengan tersenyum, “itu semua saya lakukan bukan untuk Amanda tapi untuk nenek dan rumah panti peninggalan ibu saya!”

Dokter Nando yang mendengar percakapan antara ibunya dan Almira hanya bisa memberikan senyuman, tapi tidak dengan Nico yang masih memasang wajah datarnya tanpa memperhatikan mereka.

Ting …

Pintu lift terbuka, tanpa kata-kata dengan cepat kursi roda yang dinaiki Nico keluar dan menuju mobil yang telah menunggunya.

“Kami menunggu kedatangan mu, Almira.” Ucap Ratna lalu mengikuti Nico keluar dan menuju mobil

“Suster Almira, tolong tahan liftnya sebentar.” Pinta Dokter Nando

“Ma, maaf aku tidak bisa mengantarmu sampai ke mobil? Aku harus segera kembali keruangan, banyak pasien yang telah menungguku.” Ucap Dokter Nando

“Tidak apa, sayang,” jawab Ratna dengan senyum. “Mama bisa sendiri, lanjutkan saja pekerjaan mu dan mama minta jagalah calon adik ipar mu.”

Dokter Nando mengarahkan pandangannya pada Almira, “Mama tenang saja. Lebih baik mama menenangkan pria manja itu,” ucapnya tersenyum dengan melirik kearah Nico. “Kabari aku jika mama sudah sampai dirumah,” sambungnya dengan mencium kedua pipi ibunya.

Sementara itu, Dokter Yacob masih terus berusaha mencari dan menghubungi putrinya, ia ingin tahu dimana keberadaan putrinya saat ini.

“Ergh…dasar anak tak tahu diuntung!” ucap Dokter Yacob kesal. “Kenapa kamu begitu bodoh, Amanda? Melepaskan tambang emas begitu saja…Argh!!”

“Bagaimanapun juga aku tidak mau kehilangan rumah sakit ini dan rumah panti itu. Apa apun akan aku lakukan meski harus mengorbankan anak kandungku sendiri!” gerutu Dokter Yacob.

“Jika aku bisa mengorbankan Almira demi ambisi ku, aku juga akan mengorbankan anak ku sendiri!!” seringai licik tampak diwajah Dokter Yacob.

***

“Apa anda sudah siap, Nona?” tanya Joni.

“Sudah, tapi...tunggu sebentar,” ucap Almira.

Almira masuk untuk mengambil tas. “Saya sudah siap.”

Joni membukakan pintu mobil bagian belakang untuk Almira. “silahkan, Nona,” Ucapnya.

Sepanjang perjalanan Almira hanya menatap kearah jalanan dari jendela kaca mobil yang ia tumpangi. Ia bergelut dengan lamunannya tentang pernikahan itu, hingga ia menyadari jika ia harus menutupi pernikahan ini dari Benny, kekasihnya.

“Apa Anda baik-baik saja, Nona?” tanya Joni tiba-tiba. “Maaf jika saya membuat Anda terkejut. Saya lihat dari tadi Anda melamun.”

“Hah..oh, saya baik-baik saja. Terima kasih,” balas Almira. “Apa kita masih jauh, Pak?” tanya Almira.

“15 menit lagi kita akan sampai, Nona.”

“Apa Anda sudah lama bekerja dengan keluarga Brahmantyo, Pak?”

“Sejak orang tua saya meninggal, 15 tahun yang lalu.”

“Oo..pasti Anda sudah sangat mengenal keluarga Brahmantyo. Menurut Anda apakah mereka orang yang baik?”

Joni tersenyum mendengar pertanyaan dari Almira. “Tentu saja, Nona. Mereka semua orang yang baik.”

“Apakah Anda juga mengenal Amanda, Pak?” tanya Almira dan dijawab dengan anggukan kepala oleh Joni.

Almira memalingkan wajahnya kembali menatap jalanan dan kembali bergelut dengan pikirannya sendiri.

Tak lama berselang mobil mewah yang ditumpangi Almira masuk ke sebuah rumah mewah yang memiliki halaman yang sangat luas.

“Kita sudah sampai, Nona,” Kata Joni. “Silahkan. Mereka sudah menunggu Anda.”

Almira turun dari mobil, pandangannya mengitari kagum rumah mewah yang ia lihat saat ini. ‘Hah, besar banget rumahnya. Ini rumah atau istana, besar baget!’ batin Almira.

“Mari, Nona.” Joni mempersilahkan Almira masuk dan ia mengikutinya.

“Selamat datang, sayang,” sambut Ratna dengan menghampiri Almira dan memeluknya. Almira yang canggung dengan perilaku Ratna spontan membalas pelukannya.

“Ayo masuk, kami sudah menunggumu,” ajak Ratna menggandeng tangan Almira menuju ruang makan, namun dihentikan oleh Joni.

“Maaf, Nyonya. Tuan Nico meminta saya untuk mengantarkan Nona Almira langsung keruang kerjanya.” Ucap Joni

“Emm…baiklah. Katakan pada Nico kami menunggunya untuk makan malam bersama.”

Joni menganggukan kepala dan berpamitan untuk mengantar Almira kepada tuannya yang sudah menunggu diruang kerja.

Tok…

Tok…

“Masuk.” Ucap seseorang dari dalam. Joni dan Almira masuk, “Permisi Tuan, Nona Almira sudah ada disini!” ucap Joni.

“Aku tahu! Tinggalkan kami.” Perintah Nico

“Baik, Tuan.” Jawab Joni, “Maaf, Tuan. Nyonya besar tadi pesan jika Tuan dan Nona Almira ditunggu untuk makan malam bersama.”

“Hem…!” jawab Nico dengan memberi tanda agar asistennya segera keluar.

“Duduk! Katakan padaku, apa yang kau inginkan dari selama pernikahan ini berlangsung?” mata biru Nico menatap tajam Almira.

“Tidak banyak. Saya hanya membutuhkan beberapa aturan yang ingin saya buat,” ucap Almira tegas. “Tidak boleh ada satupun yang Anda ingkari, Pak!”

Nico tersenyum. “Baik. Aku siap mendengarkan satu persatu aturan dari mu. Tapi aku akan menolak jika aku merasa tidak bisa menyangupinya.”

Almira menghela nafas. “Saya yakin, Anda mampu menepatinya Anda, Pak!”

“Aku juga punya aturan untuk mu, Almira. Selain perjanjian yang kau dengar tadi pagi.” Terdengar helaan nafas kecewa dari wanita yang berada didepannya saat ini.

“Kau harus mulai membiasakan berbicara non formal padaku, Almira. Aku tidak suka mendengar kata Saya, Anda dan Pak.” Nico mengingatkan.

Nico menjalankan kursi rodanya menuju pintu, sedangkan Almira masih bergelut dengan pikirannya. Memikirkan menikah dengan seorang CEO Nicolas Brahmantyo? Ya Tuhan, bermimpi saja Almira tidak pernah.

Dan dua hari lagi ia akan menikah dengannya. Ia berharap semoga ini hanya mimpi.

Bersambung…

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status