***Sementara Toni sudah murka kembali pada Layla. Ia menurunkan Layla di tengah jalan."Jangan lakukan ini, Mas! Saya takut, hari sudah sangat larut malam," lirih Layla memohon."Saya tidak peduli! Jangan harap saya akan iba padamu. Saya tidak akan mengizinkan kau bertemu Naomi lagi!" hardik Toni."Saya akan menurut, Mas! Tolong jangan tinggalkan saya di sini." Layla mulai terisak."Anggap saja ini adalah hukuman, silakan pulang berjalan kaki!"Toni melajukan mobilnya dan meninggalkan Layla.Di sisi lain, Naomi tak bisa tidur. Ia merasa gelisah memikirkan Layla.Dev sudah terbang ke alam mimpi, Naomi duduk termenung di sudut ranjang.Naomi ingin membangunkan Dev, tapi tak tega. Akhirnya ia keluar dari kamar dengan perasaan tak tentu arahnya.Sedangkan Layla menangis di tepi jalan. Para lelaki hidung belang menghampirinya."Eh, ada cewek Bang! Cantik bener, mending kita bawa ke markas saja Bang," ucap salah seorang dari tiga berandalan itu."Mau apa kalian? Jangan mendekat! Atau saya
***"Dokter Dev," lirih Layla pelan.Dev juga sangat terkejut melihat Layla sebagai pasiennya. "Layla! Apa yang terjadi? Ayo duduk dulu!" Dev panik melihat kondisi Layla yang begitu pucat.Layla merasa ketakutan, Toni pasti akan marah jika tahu, dirinya bertemu dengan Dokter Dev di rumah sakit."Sa-saya, tidak apa-apa Dok! Saya tidak jadi periksa," ujar Layla sambil mencoba berdiri.Namun, tiba-tiba pandangannya buram, tubuhnya semakin lemah, dan Layla pingsan.Dev semakin panik, ia membaringkan Layla dan segera memeriksanya. "Sepertinya harus dirawat, cepat siapkan semua!" perintah Dev pada Asistennya. Kini Layla sudah dipindahkan ke ruang rawat. Dev juga memberitahu Toni tentang keadaan Layla sekarang ini."Halo, Pak Toni! Istri anda sekarang sedang dirawat. Sebaiknya anda segera ke sini! ujar Dev lewat panggilan suara."Apa, Dok? Ba-baik, saya akan segera ke sana." Toni terdengar syok dan dengan cepat memutuskan sambungan telepon.Dev merasa ada yang janggal. Kaki Layla terluka,
***Setelah berada di dalam taksi, Naomi terus menggenggam tangan Layla. Betapa Naomi merasa bahagia, karena kini ia bisa tinggal bersama sahabatnya."Apa keluarga Dokter Dev tidak keberatan jika saya tinggal di rumah kalian?" tanya Layla."Tentu saja tidak! Keluarga suamiku itu sangat baik dan pengertian," jawab Naomi.Layla merasa lega, ia berharap kehadirannya tidak membuat resah yang lain.Setelah kurang lebih tiga puluh menit perjalanan, kini mereka telah sampai."Ayo turun!" ucap Naomi sambil menuntun Layla."Terima kasih."Layla tersenyum. Setelah sekian lama tak ada yang menyayangi dirinya, kini kasih sayang itu telah kembali dalam hidupnya. Sedari kecil hanya Naomi yang benar-benar peduli padanya.Bahkan mereka siap berkorban satu sama lain."Assalamualaikum," ucap Naomi sambil menekan bel."Walaikumussalam," sahut Oma Sulis dengan membukakan pintu."Hai, Oma sayang!" Naomi mencium punggung tangan Omanya.Oma Sulis tersenyum kemudian menatap ke arah Layla."Lho, kenapa sahaba
***Hari berganti, Dev mengajak istrinya pergi ke acara pesta temannya. Namun, Naomi sangat sibuk."Sayang, cepatlah pulang! Ini sudah malam, kenapa belum kembali? Mas harus berangkat ke pesta sebentar lagi. Tidak mungkin, Mas pergi tanpa pasangan," ucap Dev lewat panggilan suara."Maaf, Mas. Malam ini aku lembur, ada pasien yang harus sesar. Aku tidak bisa pergi bersamamu. Ajak Layla saja ya, sayang!"Tut ....Panggilan terputus. Dev membuang nafas dengan kasar. Naomi sudah sering seperti ini. Kesibukannya sebagai dokter kandungan membuat waktu bersantai mereka semakin berkurang."Kenapa Nak?" tanya Lastri yang melihat Dev tampak gusar."Naomi lembur, Bu. Padahal malam ini aku harus menghadiri pesta," jawab Dev dengan lemah."Kamu harus ngertiin istri kamu dong sayang! Terus Naomi bilang apa?""Katanya ajak Layla saja untuk menemani.""Ya sudah, itu ide bagus! Lagian kasian Layla di rumah terus. Mungkin saja dia butuh hiburan di luar," ujar Lastri dengan tulus."Baiklah, aku akan mem
***"Halo, cantik! Bolehkah saya mengenalmu lebih dekat lagi? Saya tahu, pasti Dokter Dev juga memanfaatkan kecantikanmu ini. Saya bisa membayar yang lebih dari Dokter Dev," ujar Roy merendahkan Layla."Tidak! Saya bukan wanita seperti itu." Layla menepis tangan Roy yang hendak menyentuh pipinya."Halah! Jangan munafik, wanita sepertimu banyak. Tetapi harus saya akui, kecantikanmu ini di atas rata-rata," papar Roy semakin mendekat ke arah Layla.Ada sebagian yang memperhatikan sikap Roy, tapi mereka sudah tak heran lagi. Bahkan kedua istri Roy pun tak bisa menghentikan sifat buaya Roy itu. Sedangkan yang melihat aksi Roy berpikir, bahwa Layla memang wanita penggoda. Hanya saja mereka tak menyangka seorang Dokter Dev yang terhormat bisa membawa wanita rendahan seperti Layla."Berhenti mendekat!" teriak Layla.Dev sontak menatap ke arah Layla, dan mendapati Roy tengah mengganggunya."Hentikan, Pak Roy! Anda keterlaluan! Jangan anda pikir semua wanita itu sama! Layla wanita baik-baik!"
Judul: Undangan pernikahan suamiku.Part: 1."Bu, ada undangan!" teriak Salman, Putra semata wayangku.Aku pun langsung keluar menghampiri, Salman. "Siapa yang ngantar, Nak?" tanyaku sambil meraih undangan itu."Gak tahu, Bu. Tadi Salman dapat di bawah pintu."Aku bergeming mendengar penjelasan Salman. Perlahan kubuka, dan kubaca. Tertulis dua nama mempelai pengantin.Nia Surtia dan Arifin Ilham."Namanya sama seperti nama Bapak, ya, Bu." Lagi-lagi aku terdiam. Entah kenapa bisa kebetulan begini. Tiba-tiba perasaanku jadi tak enak. Terlebih lagi, aku tidak mengenal nama mempelai wanita itu, dan Arifin Ilham, aku juga tak punya kenalan dengan nama itu selain suamiku.Penasaran aku dengan undangan misterius yang putraku temukan di balik pintu.Aku berniat menghadiri acara itu besok. Mungkin saja salah satu temanku memakai nama baru. Ya, mungkin saja.Akan tetapi besok aku tak bisa pergi bersama Mas Arifin. Karena suamiku itu sedang ke luar kota untuk beberapa hari.***Hari berganti
Judul: Undangan pernikahan suamikuPart: 2***"Mas, usir mereka! Jangan membuat malu diacara kita ini," ucap wanita berkebaya merah muda itu.Mas Arifin berdiri, kemudian mendekat ke arahku dan Salman.Ditariknya tanganku agar segera keluar. "Lepas, Mas! Kau keterlaluan!" hardikku.Mas Arifin tak peduli, aku tetap ditarik paksa hingga sampai di luar ruangan. Putraku Salman berlari mengejar langkahku."Nanti Mas akan jelaskan di rumah. Sekarang pulanglah! Bawa Salman, dan jangan sampai putra tampan kita mendengar hal yang seharusnya tak ia dengar."Aku membuang napas kasar menerima perintah suamiku. Tanpa membantah, akhirnya aku membawa Salman berlalu.Hatiku remuk, pengabdianku sudah dikhianati. Mas Arifin yang 12 tahun silam mengucap janji sakral di hadapan kedua orang tuaku, kini telah mendua. Sekuat tenaga aku menahan air mata agar tak terjatuh lagi. Aku tak mau Salman turut merasa sedih.Taksi yang kami tumpangi melaju dengan cepat. Sepanjang perjalanan aku bergeming. Bahkan pu
Judul: Undangan pernikahan suamikuPart: 3***Malam pun tiba, Mas Arifin benar-benar tidak tidur dengan Nia. Karena saat ini ia sudah mendengkur di dalam kamarku.Ada perasaan lega di hatiku. Namun, tetap saja aku tak bisa tenang. Biar bagaimanapun Nia juga istri Mas Arifin. Lama kelamaan, tentunya Nia menuntut haknya..Pagi harinya, aku bangun seperti biasa. Lebih awal dari Mas Arifin dan Salman. Semua sarapan sudah kusediakan. Bahkan Nia belum terlihat batang hidungnya. "Dasar anak orang kaya yang manja. Bisa-bisanya masih molor di rumah orang," gumaku."Siapa yang molor, Mbak?" Aku berlonjak kaget saat menoleh ke arah suara. Ternyata Nia sudah berdiri di belakangku.Matanya melototiku, berbeda saat ada Mas Arifin. Nia bahkan tak berani mengangkat wajahnya. Lalu pagi ini?"Mbak aku lapar," ucap Nia melengos ingin mengambil makanan yang sudah aku siapkan."Hus! Gak sopan kamu! Tunggu sampai Mas Arifin bangun. Pantas saja calon suamimu pergi kabur, mungkin dia ilfeel dengan sika