“Sya…”
“Ya?”
Suara Sya memecah kesadaran Rayhan, ia melamun cukup lama. Namun Sya sepertinya tahu dan tak mengganggunya.
“Kenapa aku ada disini?” Rayhan kembali bertanya tapi emosinya telah turun.
“I don’t know. You tell me.” Sya menanggapi dengan santai.
“Why?”
“Because, you came to here.”
“Am I?”
Sya menyodorkan pisin berisi kue.
“Makanlah, kau seperti mayat. Apa kau merindukanku?”
Adu tatap bersinggungan dengan apa yang diucap Sya. Sepertinya hal itu sangat sensitif untuk mereka yang tak berhubungan kontak sangat lama.
“Bukankah usia kau telah melewati tiga puluh?”
“Lebih tepatnya tiga puluh lima.” Jawab Rayhan singkat.
Tatapan mata Sya yang penasaran berusaha menelanjangi Rayhan. Dan Rayhan tahu itu. Sya sangat antusias bertemu dengannya walau tak pernah berubah sifat ketusnya. Malah Sya lebih seperti menontoni Rayhan dengan bersahaja. Matanya begitu melekat namun gerak tubuhnya tenang. Apakah ini yang diinginkannya?
“Kau telah selesai membaca itu?”
Rayhan hanya menggeleng.
“Sayang sekali, kau melewatkan bagian penting.”
“Kau pernah menjadi bagian penting dalam hidupku. Tapi kau mengacaukannya!” Rayhan mengalihkan pembicaraan.
“Jadi kau juga tidak mengacau? Ini aneh, Rayhan. Tak seperti yang ku ingat.”
“Mungkin. Tapi itu meyakinkan diriku bahwa kau tak membutuhkanku.”
Mereka kemudian terdiam ketika menyadari bagaimana akhir dari hubungan mereka dimasa lalu. Sehembus angin menerpa, dahan pohon meriak, daun-daun kering berjatuhan. Begitu senyap, tidak ada orang lain selain mereka disitu. Waktu berjalan begitu lambat sedangkan perbincangan ini seperti berlangsung selamanya. Tak ada alasan dari Sya maupun Rayhan untuk beranjak dari kursi mereka.
Setelah sekian lama akhirnya Rayhan menyentuh makanan itu. Mungkin baginya jaim bukan alasan yang tepat bila berhadapan dengan wanita ini. Kue-kue bahkan buah-buahan tampak begitu enak, ini waktu-waktu minum teh yang menyenangkan, untuk saat ini.
“Kau yang membuat ini?” Sambil menunjukkan kue yang digenggamnya.
“Ya. Aku punya waktu seumur hidup untuk membuat kue, membuat teh, memetik buah atau sekedar bicara denganmu…”
“Aku cukup tersanjung.”
Sya ketawa kecil.
“Sebaiknya jangan. Kau tidak pernah tahu bagaimana ini akan berakhir.”
“Terdengar seperti menyeramkan.”
“Kau seharusnya menyelesaikan buku itu sebelum kesini.”
Itu kalimat terakhir yang Rayhan dengar sebelum tak sadarkan diri. Rayhan merasakan kepalanya pusing dan berkunang-kunang lalu penglihatannya gelap dalam sekejap. Apa yang ada dikue itu? Apa ini? Apa yang terjadi?! Rayhan pingsan seketika.
*
Rayhan bangun dari pingsan. Ia merasakan kepalanya pusing, tubuhnya lemah. Sepertinya ia masih duduk ditempatnya berada. Ingatannya masih belum pulih.
“Apa yang terjadi? Sudah jam berapa ini? Aku harus pulang.” Rayhan berbicara sendiri.
Tampaknya tiada siapa-siapa disitu. Kursi yang Sya tempati kosong. Meja juga ditata berbeda, kali ini ada sepiring makan berat. Rayhan kemudian melihat arah datangnya matahari yang berbeda, letaknya di timur. Sedangkan sebelum ia pingsan matahari letaknya di barat. Lamat-lamat Rayhan melihat kearah arlojinya. Oh My God? Pukul 8? Artinya ini sudah esok hari?
“Kau sudah bangun?”
Kedatangan Sya cukup mengangetkan.
“Aku pingsan dari kemarin?!” Rayhan menunjukkan kekesalannya.
Sya tak menjawab, dia lebih memilih menuang jus digelas dan meminumnya. Sepertinya dia masih memakai baju yang kemarin, apa dia berusaha menipu Rayhan?
Rayhan seperti tak habis pikir. Dia marah dan tak diam diduduknya. Berjalan kesana kemari dengan kesal. Tubuhnya begitu kaku dan sakit. Kepalanya masih pening. Ia kemudian menemukan sejenis keran air dan buru-buru ketempatnya. Begitu keran dibuka, ia meletaknya mulutnya dibawah keran. Membiarkan air membersihkan mulutnya. Sedikit banyak ia meminumnya karena kehausan. Kemudian wajah dan kepalanya juga ikut bagian merasakan segarnya air. Jika tak terhalang wadah menampung air, Rayhan ingin mandi saja saat itu juga.
“Aku ingin pulang”. Dihadapan Sya, usai membersihkan wajahnya.
“Kenapa kau tidak makan dulu?”
“Kenapa juga aku harus makan? Kau ingin membuatku kembali pingsan?! Apa kau sudah gila, Sya?! Apa yang sebenarnya kau inginkan?!”
“Aku ingin kau makan!”
“For God Sake! Kau ingin aku makan? Ini… sudah ku makan!”. Emosi Rayhan memuncak dan dia mengambil piring dimeja kemudian dibanting ketanah sampai pecah dan berantakan dihadapan Sya. Sya yang kaget, langsung bangkit berdiri menghindar.
“Kau ingin main-main?! Mari kita main-main!”.
Rayhan yang marah sejadi-jadinya. Mendekati Sya kemudian membopong tubuh Sya dibahunya. Dengan tubuh dan baju yang sebagian basah, Rayhan berjalan cepat kedalam rumah. Sya berontak namun tak digubris Rayhan. Dengan kasar, Rayhan membuka paksa setiap pintu yang ada dirumah. Sebuah kamar tak dikunci dimasuknya tanpa tending alih-alih. Rayhan melempar tubuh Sya ke kasur.
“Kau ingin aku makan, Sya? Aku-akan-memakan-mu!”
Rayhan membuka paksa baju yang dikenakan Sya. Bahkan dia tak segan merobeknya. Kemudian Rayhan melumat bibir Sya yang begitu menggodanya sejak kemarin. Terdengar rintihan Sya menerima lumatan bibir dari Rayhan.
Tangan Rayhan menjelajahi setiap jengkal dari tubuh Sya. Pagi yang begitu menggairahkan Rayhan lewati dengan mengeksplor kedua buah d*** Sya. Sya tampak menikmatinya dengan mengeluarkan suara erangan.
Rayhan jelas tak ingin buru-buru melakukan aksi yang lebih panas. Ia mengulur-ulur waktu yang cukup lama membuat Sya gelisah. Rayhan kemudian menjamah kewanitaan Sya. Sekujur tubuh Sya merinding seketika merasakan nikmatnya. Karena reaksi Sya yang begitu panas, Rayhan mengeksplor bagian itu sesuka hatinya. Sya menggelinjang keenakan sambil mengeluarkan suara erangan yang tak kalah keras.
Setelah dirasakannya sudah sangat siap. Barulah Rayhan memasuki kewanitaan Sya. Karena sudah tidak sabar, Rayhan mempercepat gerakannya ketika didalam kewanitaan Sya.
“Aku sekarang makan. Seperti keinginanmu!”
“Terus Rayhan jangan berhenti.”
Tubuh mereka bergoyang, keringat bercucuran seperti kehabisan oksigen. Tak butuh waktu lama mereka telah mencapai klimaksnya. Lalu Rayhan terkapar dikasur sementara Sya meninggalkan kamar itu.
***
Sore menjelang, Rayhan terbangun dengan lebih santai tak seperti pagi tadi. Tubuhnya dirasa jauh lebih baik. Rayhan kemudian pergi mandi. Setelahnya dia mengenakan piyama yang ada dikamar itu karena tak ada baju atau kaos dan dia juga tak membawa pakaian. Keluar dari kamar diharapkan segera bertemu Sya. Berkeliling ditempat asing memang menyenangkan. Mungkin Sya dikebun. Piring yang dipecahkannya tadi pagi sudah tidak ada. Meja itu pun kembali berisi piring dengan makanan berat. Berbeda dengan menu pagi tadi. Karena Rayhan lapar, dimakannya dengan lahap. “Sudah ku bilang, sebaiknya kau makan.” Merasa dipergoki Sya, Rayhan menengadahkan wajahnya sambil mengunyah menatap wajah Sya. Kemudian kembali menikmati makanannya tanpa hirau. Sya duduk dikursinya setelah meletakkan beberapa buah yang mungkin baru dipetiknya. Menyenangkan sekali disini bisa memakan buah-buahan dengan hanya memetik saja. “Aku lebih suka memakanmu.” Goda Rayhan pada Sya. Rayh
Kali ini Rayhan seperti bangun dari mimpi buruk. Kepala pusing, tangan dan kaki terikat. Ingin berteriak tapi tak bisa. Dia berada diruang yang sempit dengan kilasan-kilasan cahaya melalui lubang sekeliling dinding kayunya. Satu-satunya cara yang bisa dilakukannya yaitu berontak, membuat gaduh. Tapi rupanya cara itu tak membuatnya dikeluarkan dari tempat itu. sialan! Apa yang sebenarnya terjadi. Kemudian Rayhan lebih memilih diam karena lelah. Lamat-lamat terdengar langkah kaki mendekat. Dibuka penutup kotak itu dan muncul Sya dan seorang lagi laki-laki. “Nyenyak tidurmu?” “Keparat! Apa yang sebenarnya kau lakukan? Dimana aku?” “Peti mati.” “Bangsat! Kau menempatkanku di peti mati?! Kau psikopat!” “Aku bertaruh, menukar nyawamu dengan suamiku. Tapi sepertinya tidak berhasil. Tutup kembali petinya.” Perintah Sya kepada Heri, keamanannya. “Apa?! Keluarkan aku dari sini! Sya! Sya!” Peti mati telah ditutup sempurna oleh Heri. Sya m
Setelah memarkirkan mobilnya digarasi. Rayhan keluar dari mobil sambil membawa bucket bunga lalu bergegas menuju kebun yang ada dibelakang. Benar saja, Sya sedang menuangkan teh. Sya mengenakan kemeja satin berwarna biru tua dengan panjang se-paha, membiarkan dua kancing teratas terbuka. Rayhan segera berdiri dihadapannya dan memberikan bucket bunga yang baru dibelinya. Sya menerimanya, diperhatikan bucket bunga itu ada secarik kertas dengan pesan menyertainya MISS YOU. Sya merekahkan senyumnya lalu duduk kursinya. Begitu juga dengan Rayhan. “Mawar putih?”. “Kau suka?”. Rayhan tak sungkan meminum teh dan memakan kuenya. Seperti telah biasa ditempat ini. “Kau tahu, kebun ku punya lebih banyak dan bermacam bunga”. “Tapi ini pemberianku, tentu berbeda bukan?”. “Jika kau merasa begitu”. “Dua hari kemarin aku menerima pos yang aneh isinya. Kemudian empat hari yang lalu aku te
Sebulan lebih lamanya Rayhan tidak bertemu dengan Sya. Namun selama itu pula Rayhan mendapat pesan terus menerus dari ponsel yang diberikan Sya. Tak ada satupun pesan itu dibalas Rayhan. Bahkan pesan suara berisi Sya menyanyikan sebuah lagu, tak digubrisnya sedikit pun. Rayhan hanya membacanya, mendengarkan, kadang-kadang ikut bersenandung juga. Karena mendengar lagu tersebut terus-terusan, Rayhan malah jadi hapal lagu itu di luar kepala. Tanpa disadarinya di sela-sela aktifitasnya, Rayhan bersenandung lagu tersebut. When you tell me that you love me. Lagu dinyanyikan oleh ... . Suatu pagi, Rayhan menerima notifikasi di ponselnya bahwa dia mendapatkan promo makan di restoran yang baru dibuka, letaknya memang cukup jauh dari kantornya. Namun karena restoran ini restoran seafood. Rayhan tidak mau melewatkan promo yang hanya berlaku satu hari saja sampai jam 5 sore. Jadilah ketika masuk jam makan siang, Rayhan terburu-buru keluar kantor menaiki ojek secepat kila
Wanita berambut pendek yang di cat pirang dan bertubuh mungil itu bekerja disalah satu perusahaan advertasing. Baru tiga tahun Erin bekerja disana setelah lulus kuliah. Tak banyak yang bisa diceritakan, dia penyendiri. Dengan bakatnya yang luar biasa tak membuat dirinya banyak teman. Sehingga acapkali bertemu orang baru, rasa-rasanya mudah sekali untuk dekat. Namun sulit mempertahankan hubungan. Erin bertekad untuk memperbaiki sikapnya, namun stress memicunya bertindak diluar dugaan. Hari-harinya setelah bertemu Rayhan, Erin merasa gundah menanti kabar. Harap-harap cemas ia menanti sebuah pesan atau telepon mungkin. Ia ingin lebih dekat dengan Rayhan. Baginya Rayhan seperti angin surga dalam hidupnya yang membosankan. Bekerja segiat mungkin tak lantas dapat menemukan kebahagiaan. Erin tak ingin bersabar untuk dapat bertemu lagi. Namun ia tak mungkin muncul kembali tiba-tiba di kantor Rayhan. Erin bisa digunjing yang tidak-tidak dan Rayhan akan terkena
Pulang kantor sore itu teramat melelahkan bagi Rayhan. Ia tiba di apartemennya hampir menjelang malam. Rutinitas baru mengantar jemput Erin menjadi tambahan pekerjaan Rayhan yang tanpa sadar lama-kelamaan mengikatnya sendiri. Ketika tiba di pintu apartemennya, Rayhan langsung membuka dan menyalakan lampu. Lalu dia melangkah ke ruang tengah dengan santai tanpa menyadari apapun, hingga suara itu mengagetkannya. “Kenapa kau tidak pernah membalas pesanku?”. Suara itu, apakah itu Sya? Rayhan mencari keberadaan sosok itu disekeliling apartemennya. Matanya terbelalak ketika menemukan Sya tengah duduk di kursi kebesarannya. Sya tampak anggun dengan gaya duduknya, menyilangkan kaki diantara pahanya sendiri. Apa yang dikenakannya? Itu sangat menggangu ketenangan banti dan birahi Rayhan. Karena Rayhan tak merespon pertanyaannya. Sya kemudian bangkit dari duduknya. Lalu melangkah mendekat ke arah Rayhan dengan cara yang sangat dramatis. Rayhan belum pernah meliha
Setelah hampir satu jam mereka berkendara, tibalah mereka di sebuah Hotel mewah. Untuk mencapai ke ruang pertunjukan mereka harus menaiki lift ke lantai 15. Mereka memasuki hotel tersebut dari pintu depan setelah menyerahkan kunci mobil ke petugas hotel. Sya tampak percaya diri melangkah anggun menggandeng Rayhan. Dia memancarkan senyum secerah berlian yang dikenakannya. Rayhan merasa hatinya penuh dengan perasaan takjub. Seolah keindahan yang baru ditemuinya itu belum pernah masuk kedalam ingatannya sendiri. Selain merasa takjub dengan Sya. Rayhan juga merasa takjub dengan dirinya sendiri. Dia tidak pernah seserius ini dalam berpenampilan. Serapih-rapihnya dia mengenakan pakaian, ya hanya ketika dia pergi bekerja atau bertemu dengan klien. Rayhan bahkan harus mencukur kumis tipisnya hingga botak, dan menggunakan minyak rambut agar terlihat necis dan klimis. Ia tak mau tampil mengecewakan saat bersanding dengan Sya. Belum lagi, penampilan Sya yang super glamor dan seksi menj
Sebelum memanas birahi mereka akibat ciuman spontan itu, Sya melepaskan dirinya dari cengkraman Rayhan. Masih ada yang harus dilakukan sebelum pulang. “Hmm... Kau sangat nakal, Ray...”, goda Sya dengan senyum menyindir. “Apa aku tidak salah dengar?”, balas Rayhan kepada Sya. “Ayo, aku harus menemui tamu. Tidak sopan jika tidak menyapa mereka. Ayo!”, titah Sya sambil menarik tangan Rayhan keluar dari belakang panggung menuju aula. Walaupun rangkaian acara telah selesai, para tamu itu tak buru-buru mengosongkan ruangan. Justru banyak diantaranya ada yang mulai makan besar atau bahkan mabuk-mabukan. Pesta yang sesungguhnya baru dimulai. Sya dan Rayhan berjalan beriringan tanpa gandengan kali ini. Karena Sya tampak antusias, tak jarang Sya mendahului langkahnya Rayhan. Sehingga Rayhan tampak mengekor langkah Sya. Dari kejauhan ada sekelompok orang yang sibuk bercakap dengan diselingi ledakan tawa. Sya melangkah ke arah tersebut. Satu diantara kelo