Sya memutuskan mencari mantan kekasihnya setelah suaminya meninggal satu tahun. Mengetahui mantannya, Rayhan, masih tak berpasangan. Sya berniat menjalin hubungan kembali dengannya. Dengan cara-cara anti-mainstream, Sya mengejutkan Rayhan lewat bukunya setelah tidak bertemu selama 15 tahun.
Lihat lebih banyak-Rayhan-
Aku tidak percaya melakukan ini. Menemuinya dirumahnya yang letaknya tidak ku ketahui. Wanita sialan! Mencampur-adukan perasaanku seperti ini untuk kesekian kalinya. Tapi ada perasaan lain yang juga melegakan dibandingkan dengan rasa penasaranku setelah belasan tahun tak bersentuhan dengannya. Mungkin kemarahan yang ku rasakan adalah manifestasi dari kerinduan yang tak pernah bisa ku lampiaskan. Betapa waktu menusukku dari belakang. Hari-hari buruk yang menerpaku dikarenakan olehnya, membuatku memilih untuk berpisah.
Aku membawa sebuah novel yang ditulisnya. Dia membuat cerita yang didalamnya terselimut pesan tesembunyi agar aku mau menemuinya di kediamannya. Entah ini cara yang cemerlang atau aku hanya ingin memujinya atau dia ingin membuatku takjub dan terkesan sehingga aku mau menemuinya. Wanita jalang… Tak pernah terpikir olehku untuk apa dia melakukan ini.
Kehentikan mobil tepat didepan rumahnya sekarang, Jalan Azalea 73. Bukan dikota, daerah yang tinggi dan cukup dingin. Pagar rumahnya sangat tinggi dan dijaga. Setelah aku melapor pada keamanan. Dengan mudah aku dapat masuk tanpa ditanya. Mobil ku tinggalkan parkir digarasi. Sepertinya sang tuan rumah memang mengharapkan aku datang. Ini rumah yang cukup mewah. Minimalis dan dinamis. Tamannya lebih menyerupai kebun, mungkin kebunnya dibelakang jauh lebih luas lagi. Aku diantar menuju ruang tamu. Lebih sepi yang ku kira. Seingatku dia memiliki anak, harusnya sekarang sudah besar.
Ini menyebalkan. Lebih dari 30 menit dan dia tidak muncul juga. Aku hampir saja tertidur jika pelayannya tidak datang menghampiri.
“Nyonya ingin menemui anda dikebun. Silahkan ikut saya.”
“Oh ya.” dalam hatiku yang paling suci ingin sekali mengutuk dirinya.
Mengikuti sang pelayan ketempat tuannya, aku melihat sekeliling rumah. Rumah yang indah, sungguh. Begitu damai. Aku tak tahu apa yang bisa membuatnya begitu. Pohon-pohon pun tidak membuat suasana menjadi mencengkam. Teduh dan bersahaja. Seperti sebuah kenikmatan yang tidak akan ku dapatkan di tempat lain.
“Silahkan tunggu disini” kata pelayan setelahnya berlalu.
Hanya ada meja dan kursi serta penganan diatasnya. Aku tak melihat rupanya sama sekali. Sekalipun mataku menyidik sekeliling tak henti dikebun ini. Tak lama aku mendengar langkah kaki dari ujung kebun. Aku menatap penuh sabar menunggu kedatangannya. Ia masih memiliki rambut panjangnya. Mengenakan pakaian atasan kemeja gelap dengan dua kancing atas terbuka dan bawahan celana panjang, dibalut lagi dengan jubah tidur yang tak diikat. Wajahnya tak berubah banyak sejak dulu, justru semakin cantik. Tubuhnya yang tinggi semampai membawa keranjang penuh buah dan bunga-bungaan. Sepertinya baru saja dipetiknya. Air mukanya begitu tenang dan percaya diri, perlahan sekali menghampiriku di tepi meja.
“Duduklah...” perintahnya.
Diletakkannya keranjang itu diatas meja sambil sedikit ditata. Meja yang sudah setengah isi menjadi hampir penuh dibuatnya. Sebuah ceret telah mengepulkan asap. Rupanya dibawah ceret itu sebuah tungku kecil yang terbuat dari tanah liat berisi kayu dengan arang yang membara didalamnya. Seketika itu juga bunga-bungaan yang baru dipetiknya dimasukkan kedalam ceret. Tak merasa puas, dia kembali kekebun memetik dedaunan entah apa, kemudian pergi membasuhnya dengan air dan kembali memasukkan daun itu kedalam ceret. Setelah menurutnya cukup, dia mengaduk dan menuangkan isi ceret itu ke cangkir.
Dia telah duduk dikursinya sambil meniup-niup uap dari cangkirnya. Sesekali disesapnya perlahan karena teh itu masih panas. Matanya terus menatapku yang diam saja setelah disodorkan teh yang telah dibuatnya. Dia tak berkata sedikit pun hingga membuatku kikuk dengan posisi dudukku. Tak sedikitpun dari auranya gentar. Seperti, ia menunggu reaksiku.
Aku perlu mengatur nafas agar bisa menguasai diriku, minimal. Tak mungkin aku menguasai keadaan ditempat asing dengan tuannya yang tampak mengerikan. Jelas sekali secara geografis dia berkuasa. Dan tak mungkin aku berbuat hal yang memalukan disaat genting begini. Teringatlah aku dengan novel itu, ku keluarkan dari tas dan kulemparkan diatas meja dengan cara yang dramatik, pikirku.
“Apa itu?”
“Kau tentu tahu apa ini.”
“Jadi kau membacanya.”
“Jika tidak ku baca, tak akan mungkin aku ada disini.”
“Itu benar.” Katanya dengan seringai tipis.
“Jadi… apa yang sebenarnya kau inginkan, Sya?”
Sya tak langsung menjawab. Dia lebih memilih meletakknya cangkirnya. Menatapku kemudian mengalihkan pandangan. Dia mengambil kue yang tersedia. Aku bahkan tak tahu kue-kue apa disitu, sangat asing bagiku.
“Aku akan bilang… Aku tidak menyangka ini… Rayhan…”
Apa yang dikatakannya barusan membuatku menganga. Namun sepertinya tidak demikian untuknya. Sya sangat tenang, bahkan saat ini pun dia mengisap rokok yang tidak ku lihat keberadaannya sedari tadi. Mungkin kebiasaan barunya ini membuatnya sedikit lebih dewasa dan semakin mempesona, pikirku.
“Kenapa kau tidak menghubungiku saja?”
“Itu membosankan. Kau menghilang begitu saja tanpa penjelasan. Bertahun-tahun setelahnya apa kau pikir aku akan mudah untuk menghubungimu? Apa kau pernah mencariku? Tidakkan?”
“Kau sudah menikah, Sya! Lantas aku harus apa?!!” Rayhan menunjukkan emosinya.
“Kau bicara begitu karena kau menginginkan lebih dariku! Kau tidak pernah tulus!”
“Bullshit! Kenapa kau tidak mati saja?! Untuk apa aku disini?!”
“Mana ku tahu? Kau yang datang sendiri kesini!”
“Kau memintaku datang kesini lewat buku ini!” Sambil menunjukkan novel tersebut.
“Memang, aku hanya ingin tahu apa kau benar-benar menemuiku.”
“Kau tahu? Aku tidak terkesan! Buang-buang waktu saja.” Kesal Rayhan.
“Mungkin… Tapi kenyataannya kau ada disini, Rayhan. Kau seharusnya sadar sudah masuk kedalam permainan.”
“Apa maksudmu? Permainan apa?!” Tanya Rayhan heran.
***
Pagi itu, mereka telah menaiki speed boat menuju ke tengah laut. Sya, Rayhan dan Luki telah memakai perlengkapan menyelam. Mereka akan snorkling, melihat kehidupan laut di kedalaman tertentu. Jika meraka beruntung, mereka dapat melihat ikan berbagai rupa yang cantik-cantik. Atau terumbu karang yang bentuknya unik. Karena baru pertama kali, untunglah mereka di dampingi penyelam profesional yang akan membantu mereka menemukan objek yang dicari. Speed boat telah berhenti. Instruktur pun menyuruh mereka menyelam di lokasi itu. Ketika semua sudah di dalam air, instruktur memandu mereka menyelam. Dengan membawa kamera khusus dalam air. Luki banyak memotret objek yang menurutnya bagus. Tiga puluh menit kemudian, Sya menunjukkan telunjuknya ke atas meminta untuk naik. Instruktur pun menyuruh Rayhan dan Luki juga ikut ke permukaan. Setelah mereka semua telah berada di speed boat, Rayhan tampak cemas dengan keadaan Sya. “Kamu gapapa, sayang?”, tanya Rayhan khawatir.
“Mau langsung ke pantai?”, tanya Rayhan kepada mereka semua. “Ayo om, sekarang aja!”, jawab Luki tidak sabar. “Masih panas loh Luki, sore aja gimana?”, balas Rayhan. “Jalan-jalan dulu gapapa dong?”. Rayhan mengiyakan permintaan Luki dengan masuk ke dalam mobil. Usai mereka santap siang dan belanja di toko oleh-oleh. Rayhan tahu benar waktu Luki tak banyak, jelas Luki tak ingin membuang waktunya walau hanya sekedar istirahat. Istirahat bisa malam hari ketika tidur dan itu sudah cukup. Sya hanya mengikuti keinginan Luki. Dia merasa liburan kesana memang untuk menyenangkan anaknya. Dan untuk merehatkan pikirannya sejenak dari pekerjaan. Namun jika berlama-lama, dia bisa kelupaan tak berkutat pada pekerjaannya lagi. Rayhan pasti akan senang dengan hal itu, punya banyak waktu untuk bersama dengannya. Karena permintaan Luki yang ingin jalan-jalan. Maka Rayhan mengendarai mobil keliling kota saja sampai waktu sore tiba. Baru setelahnya mereka
Di bandara, Luki datang bersama Heri. Sedangkan Sya, Rayhan, dan Fina telah menunggu untuk boarding lalu mereka semua santai sejenak minum kopi di kafe. Walaupun Rayhan telah bertemu Luki beberapa kali, tapi mereka belum pernah berbincang satu sama lain sehingga Rayhan tampak canggung saat Sya dan Luki saling berbicara. “Schedule kita nanti gimana, ma?”, tanya Luki kepada Sya. “Okay, kita terbang sekitar dua jam. Jam sembilan nyampe, kita ke hotel dulu. Lalu belanja, makan, istirahat sebentar. Sore baru ke pantai, makan malam, terus main kembang api. oiya ada tari kecak juga, nanti kita nonton. Baru besok pagi kita snorkling sampai siang. Setelah itu terserah kamu mau ngapain, yang penting jam delapan malam kamu sudah harus di bandara. Gimana?”, jawab Sya mejelaskan ke Luki panjang lebar. “Wow asyik! Tapi masa besok aku udah harus pulang sih?”, kata Luki melas. “Kan kamu sekolah”, jawab Sya. “Tapi sebentar banget ma, gak asyik. Huh..”, kata Lu
Ketika sosok Sya sudah menghilang, Rayhan mengecek panggilan yang ada di ponselnya. Ternyata yang dimaksud oleh Sya adalah Erin. Erin meneleponnya. Kalau dipikir, Rayhan memang sudah lama tidak bertemu dengannya sejak malam pernikahan Pak Hendra waktu itu. Tak mau menebak-nebak terlalu jauh. Rayhan menyempatkan dirinya untuk menelepon Erin. “Halo Rin? Ada apa kamu telepon tadi?”, tanya Rayhan tanpa basa basi. “Ehiya mas, maaf tadi ku pikir mas Rayhan. Tapi ternyata yang jawab suara perempuan, aku takut ganggu”. “Enggak itu cuma teman aku, Rin. Hei, kau belum menjawab pertanyaanku”. “Hmm aku mau ngajak mas makan malam di rumah ku. Dulu mas sempat minta masakin sop buntut kan?”. “Mungkin gak sekarang, Rin. Nanti aku kabarin lagi ya”. “Oh gitu mas, yaudah gapapa”. “Udah dulu ya, bye”. Rayhan pikir ada hal mendesak. Rupanya cuma mengajak makan malam. Memang sejak Sya tinggal di apartemennya, Rayhan lupa dengan Erin. Perasaa
Esok paginya mereka memulai hari yang sama seperti kemarin. Karena tubuh jauh lebih segar saat pagi hari, Rayhan memutuskan untuk bercinta hanya pada saat itu saja. Frekuensi yang terlalu sering juga akan mengakibatkan keduanya bisa merasa bosan. Jadi Rayhan berusaha untuk tidak memaksa jika Sya tidak ingin. Sarapan pagi itu, Sya tampak sedang video call dengan anaknya. Di sela-sela panggilan tersebut, Sya mengajak Rayhan untuk video call juga. Tak dapat menolak, Rayhan menurut saja. “Luki ini ada om Ray...”, kata Sya menyodorkan ponselnya tepat ke muka Rayhan. “Hai Luki gimana kabarmu?”, tanya Rayhan masih mengunyahkan makanan. “Hai om, kabarku baik. Apa mama merepotkan disana?”. “Sama sekali tidak merepotkan, om senang ada mama disini. Kamu juga bisa kesini kalau kamu mau”, jelas Rayhan. “Enggak ah om, mama sedang puber”, ledek Luki. “Mama dengar loh Luki”, ucap Sya tegas. “Hehehe bercanda ma”. “Gini deh, kamu
“Kok lu bisa mesra banget sama dia? Bukannya dia punya pacar?”, kata Luis mengawali obrolan di mobil yang dalam perjalanan. “Pacar? Pacar yang mana?”, balas Sya heran. “Itu loh yang kemarin kita sempat pas-pasan di bassment, waktu pernikahan Pak Hendra”, kata Luis menjelaskan. “Oiya, gue lupa. Ya kita lihat aja apakah dia beneran punya pacar atau tidak. Tapi menurut perasaan gue, ya dia sama gue aja sekarang ini”, jawab Sya. “Mungkin, kalau ternyata dia buaya tenang aja biar gue hajar dia! Gantengan juga gue, Sya daripada dia!”, tegas Luis sambil memperagakan adegan tinju. “Udah dah, makan nih. Lu rese kalau lagi laper!”, ucap Sya sambil melemparkan kantong berisi roti isi itu. “Lah itu mah iklan yang kita buat hahaha”. Sampai di kantor, Sya dan Luis bekerja seperti biasa. Tidak ada pembicaran tentang Rayhan atau yang lain-lain. Mereka sangat serius jika konsentrasi sedang tinggi-tingginya. Beberapa pekerjaan mampu terselesaika
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen