Share

Under His Darkness
Under His Darkness
Author: Hanana

1. The Night

Author: Hanana
last update Last Updated: 2025-06-03 17:20:02

“Nayla!”

Adrian Moretti memekik kencang sambil melangkah menembus kerumunan. Wajahnya kaku seperti dipahat dari batu. Sorot matanya menghunus ke satu sosok wanita. Nayla Moretti, adik perempuannya.

Nayla duduk di bar dengan kaki bersilang. Minuman berwarna kekuningan tersemat pada jemari tangan. Tak bisa dipungkiri, tubuhnya terlalu mengundang saat dibalut pakaian semi transparan dengan kesan setengah telanjang.

Mendengar suara Adrian, Nayla sama sekali tidak menoleh. Dia memilih untuk hanya tersenyum tipis. Mata cokelat dengan bulu matanya yang lebat justru sibuk memandangi kilau gelas.

Jemari yang lentik tampak pantas saat dihias dengan kuku panjang berwarna merah menantang. Wajah sinisnya tertangkap jelas di bawah kilatan lampu berwarna campuran merah dan ungu. Meski ekspresinya sama sekali tidak ramah, tapi Nayla tak bisa lagi menghitung berapa banyak tatapan lapar yang tertuju padanya.

“What the hell are you doing here?” tanya Adrian yang sudah berdiri di sebelahnya.

Dia lantas menarik lengan Nayla dengan kasar, tapi tak sampai meninggalkan bekas. Demi melenyapkan diri dari pusat perhatian, Adrian memilih menyeret Nayla menjauh dari keramaian. Sudut lounge yang gelap dan tersembunyi kiranya jauh lebih aman.

Nayla menegakkan tubuh, sambil masih menyesap minuman. "Aku hanya datang untuk bersenang-senang."

Adrian mengatupkan rahang. Napasnya berat. Matanya memerah, bukan karena marah, tapi karena terlalu banyak emosi menumpuk dalam waktu yang singkat.

"Bersenang-senang atau menghancurkan dirimu sendiri?"

Nayla terkekeh. “Aku sudah terlanjur hancur ulah adik iparmu.”

Adrian menahan napas sambil menelan ludah, sebelum akhirnya menjawab, “Tapi bukan berarti kamu harus menjadi seperti ini, Nay.”

“Seperti apa? Aku bahkan tidak melakukan apa-apa. Aku tidak butuh kamu melindungiku, Adrian.”

“Nayla,” bisik Adrian getir. “Saat ini, kamu sedang tidak menjadi dirimu sendiri. Kamu terluka. Kamu kacau. Dan sekarang, kamu memilih tempat ini, tempat yang penuh dengan lelaki yang akan dengan senang hati merobekmu habis, lalu membuangmu seperti sampah. Kamu pikir ini kebebasan?”

Tatapan Nayla menusuk. “Kamu tidak tahu apa-apa tentang yang aku rasakan.”

“Aku tahu semuanya!” Adrian meledak. “Aku tahu kamu belum makan, belum tidur. Aku tahu Nathan membuatmu hancur. Tapi datang ke sini dengan pakaian seperti itu, dengan minuman yang selalu ada di tangan, dan dengan kondisi yang berantakan, itu bukan penyembuhan. Itu bentuk lain dari bunuh diri.”

Nayla terdiam. Matanya melembut sesaat, tapi kemudian dia meneguk habis sisa minumannya. “Lebih baik aku membunuh diriku pelan-pelan... daripada terus hidup dalam pernikahan yang terasa seperti neraka. Pernikahan yang bahkan kamu dukung sejak awal.”

Wajah Adrian mengeras. “Kamu pikir aku tidak menyesal? Aku kira Nathan cukup baik untukmu. Aku kira dia bisa menjagamu. Dan ternyata… aku salah. Tapi kalau kamu pikir aku akan diam melihatmu jatuh semakin dalam, you're wrong.”

Nayla menunduk sejenak, lalu mendongak dengan ekspresi nyaris kosong. “Kamu tidak bisa menyelamatkanku, Adrian. Aku bahkan tidak yakin aku ingin diselamatkan.”

Adrian memejamkan mata, lalu meremas rambutnya sendiri seperti pria yang kehabisan cara. Lalu, dengan suara yang lebih lembut tapi penuh luka, dia berkata, “Kamu satu-satunya yang aku punya, Nay. Dan kalau aku kehilangan kamu juga... aku tidak tahu harus hidup untuk apa lagi.”

Di balik sorot lampu yang terus berganti warna, dentuman musik yang memekakkan telinga, dan amarah yang belum sepenuhnya sirna, Nayla dan Adrian hanya bisa berdiri dalam diam. Tatapan mereka terus beradu meski tak ada yang kalah juga menang. Keduanya tertelan oleh jarak yang seolah tak pernah benar-benar bisa dijembatani.

Tanpa bisa berkata apa-apa lagi, Adrian akhirnya memilih pergi. Emosinya masih meledak. Namun, terus menekan Nayla sepertinya bukanlah jalan keluar yang benar.

“Pulanglah, Nay.” Hanya itu yang keluar dari mulut Adrian sebelum bayang tubuhnya menghilang.

Sepeninggal Adrian, Nayla tetap berdiri di titik yang sama. Selama beberapa saat, matanya terus menatap kosong. Tangannya masih menggenggam gelas, tapi jiwanya seperti sudah terlepas. Nayla terjebak di antara rasa bersalah dan keinginan untuk lenyap seluruhnya.

Rasanya lelah, sesak, sekaligus sekarat. Nayla butuh, setidaknya setetes air atau sedikit belaian angin untuk membuatnya tetap hidup. Lalu, seolah semesta sengaja menjawab doanya, udara di sekelilingnya tiba-tiba berubah.

Sesuatu, lebih tepatnya seseorang, mendekat ke arah Nayla. Suara langkah sepatu kulit di lantai marmer terdengar berat, tapi terukur. Dalam lautan cahaya klub yang gemerlap, siluet seorang pria kemudian muncul di ambang pintu.

Tinggi. Tegap. Penuh bayangan.

Dia tidak tersenyum. Tidak pula memamerkan pesona. Namun, kehadirannya menggetarkan.

Dan Nayla tahu betul siapa dia. Damian Bellucci.

Pria itu adalah sahabat baik kakaknya. Nama yang sering disebut Adrian dengan campuran rasa akrab sekaligus hormat. Pria yang dikenal dengan reputasi yang jauh lebih gelap daripada senyumannya yang langka.

Setelan hitamnya membungkus sempurna tubuh tinggi tegapnya. Sosoknya seperti diukir dari gelapnya malam. Meski pencahayaan tidak menyinari wajahnya, tapi Nayla bisa merasakan kalau kedua mata Damian sedang menusuk ke arahnya.

Sejenak, waktu berhenti. Napas Nayla tercekat. Sorot mata pria itu serupa obsidian yang tak memantulkan cahaya. Dinginnya menusuk. Panasnya membakar.

Nayla mencoba berpaling, tapi tubuhnya tak menurut. Rasanya seperti terkunci. Seolah-olah, Damian adalah bahaya yang tak bisa dihindari.

“Nayla Moretti.”

Perlahan, Damian mulai memangkas jarak. Langkah demi langkah terayun dengan pasti. Dia berjalan tenang seperti predator yang tahu buruannya tidak akan lari.

Ketika jarak mereka hanya tinggal satu meter, Damian akhirnya bicara. “Should I call Adrian back, or should I take it from here?”

Nayla menelan ludah. Matanya bertemu dengan miliknya, dan untuk pertama kalinya, dia merasa... dilihat. Bukan sebagai adik Adrian. Bukan sebagai istri yang dikhianati. Namun, sebagai wanita.

Wanita yang ingin dihancurkan, dan mungkin, diam-diam, ingin menikmati kehancurannya.

“Take it,” ucap Nayla. Lirih. Nyaris tak terdengar, tapi cukup keras untuk membuat Damian menajamkan tatapannya.

Damian tidak menjawab, tapi matanya bicara lebih keras daripada kata-kata. Permainan berbahaya telah dimulai.

Damian telah memilih mangsanya.

Dan Nayla Moretti sudah terlalu lelah untuk bersembunyi.

Semula, semua mengalir apa adanya. Namun, seperti kilatan refleks dari harga diri yang terluka, Nayla menegakkan kembali bahunya. Sebuah gerakan kecil, tapi penuh makna. Seolah sisa kekuatan terakhirnya terkumpul di sana.

Kelemahan dan kecerobohan yang tadi nyaris menelannya, kini berubah wujud menjadi sinisme. Dalam sekejap, Nayla berhasil membangun tameng sebagai pertahanan diri atas bahaya yang kini ada di depan mata.

“Wait. Sepertinya aku salah bicara. Alkohol membuatku lupa siapa dirimu,” ucap Nayla.

“Memangnya, siapa aku?”

Nayla menatap Damian sejenak. Kepalanya sedikit dimiringkan. Bibirnya terangkat, membentuk senyum sinis.

“Siapa aku?” Damian bertanya untuk yang kedua kalinya.

"Pria seperti kamu—" Nayla membuka suara, kali ini dengan nada yang lebih tajam, meski gemetar masih menggantung di ujung lidahnya. "—biasa berpikir kalau dunia bisa dibeli dengan kekuasaan dan godaan murahan.”

Nayla tahu itu bukan kalimat yang adil. Terlalu menuduh. Namun, biar saja. Toh, dunia ini juga tidak pernah adil padanya. Pada wanita yang dikhianati, ditinggalkan, lalu dicemooh saat mencoba menyembuhkan diri dengan caranya sendiri.

“Really?” sahut Damian.

Kepala Nayla terus berputar, pusing, dan sedikit melayang. Detak jantungnya berdentum tak beraturan. Namun, satu hal jelas, Nayla tidak akan menjadi mangsa tanpa adanya perlawanan.

Jika Damian ingin bermain, dia akan berani bersaing. Bahkan, jika satu-satunya kemungkinan yang Nayla punya adalah… kalah.

“Aku tahu, aku bukan orang pertama yang coba kamu pikat dengan arogansi.” Nayla menantang wajah pria yang berdiri lebih tinggi darinya. “Dan kamu harus tahu, aku tidak akan menjadi cerita kecil dalam koleksi dosamu.”

Damian mendekat lagi. Hanya satu langkah, tapi sukses membuat dunia terasa menyempit.

“But here you are,” balas Damian, nyaris berbisik. “Standing in my club, wearing sin like second skin.”

Jantung Nayla seperti sejenak terhenti. Dia seharusnya pergi. Namun, kakinya tertambat terlalu kuat.

Wajah Damian lantas merapat, nyaris menyentuh hidungnya. Tanpa suara. Tanpa tergesa.

Nayla tak sempat mundur. Atau mungkin, sebagian dirinya memang tak ingin.

Tubuh Nayla terpaksa bersandar ke tembok saat Damian semakin merapatkan jarak dengan terlalu dekat. Satu tangannya bertumpu pada dinding untuk memagari sisi kepala Nayla. Sementara tangan lainnya tetap masuk ke saku celana, seolah tubuhnya tak perlu dua tangan untuk mengendalikan keadaan.

Bibir Damian kemudian menuju pipi, lalu berhenti di dekat telinga. Tak sampai bersinggungan, tapi Nayla sudah bisa mencium aroma tubuhnya yang memikat. Dia berbau angkuh. Namun, keangkuhan ini terasa seperti keangkuhan yang sudi dia telan.

Damian tak menyentuh, tapi kehadirannya sudah mewakili sentuhan paling dalam. Menggores, menelanjangi, dan menuntut.

“I don’t seduce, Nayla,” ucap Damian pelan, nyaris seperti desisan dosa yang menggoda. “I take. And you—”

“Aku bukan milikmu.” Nayla menyela.

Damian menatapnya tanpa berkedip. Sebuah senyum kecil, gelap, penuh arti, menghiasi bibirnya, sebelum akhirnya dia menjawab dengan hanya satu kata.

“Belum.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Po Lan
kesan pertama bagus, tata bahasa enak di baca
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Under His Darkness   116. Berjanjilah

    “Berjanjilah, okay?”“Damian, ada apa?” Alih-alih langsung mengiyakan, Nayla justru balik bertanya.Tatapan Damian tertahan. Matanya menyorot wajah Nayla lebih lama dari biasanya, seakan sedang menciptakan ruang untuk mencari jawaban yang aman. Namun, hingga beberapa detik kemudian, yang keluar hanyalah jeda panjang. Garis wajahnya tetap sama. Datar dan terkendali dengan ketenangan yang nyaris dibuat-buat.Bibir Damian sempat terbuka, seperti hendak memberi penjelasan, tapi segera menutup rapat kembali. Rahangnya mengeras sejenak, lalu melembut lagi. Pandangannya sesaat jatuh ke arah meja demi menghindari tatapan Nayla. Rasanya ingin sekali menyapu bersih pertanyaan itu dan menganggapnya seolah tak pernah ada.Masih tak bersuara, tangan kanan Damian mulai mencoba mendistraksi dengan bergerak ke atas meja. Dia kemudian mendorong cangkir teh agar lebih dekat ke posisi Nayla. Namun, Nayla masih setia menunggu jawaban Damian.“Tehmu hampir dingin. Minumlah dulu,” ucapnya pelan, nadanya rin

  • Under His Darkness   115. Mendadak Berubah

    Pagi yang tenang, tidak menjamin siangnya juga akan tenang. Meja makan tidak lagi penuh piring, hanya gelas air setengah terisi, dan piring kecil dengan potongan buah yang tersisa dua. Nayla sedang berdiri di depan wastafel saat tiba-tiba mendengar Damian mengumpat.“Fuck!”Nayla tersentak kecil dan menoleh dengan cepat. “Ada sesuatu?”Tangan Damian masih menggenggam ponsel. Ada jeda singkat, hanya sedetik saja, saat wajahnya sempat menampilkan kegugupan. Namun, detik berikutnya, dia sudah menegakkan diri. Sikapnya kembali kokoh seolah celah tadi tidak pernah ada.“Tidak ada,” ucap Damian singkat.Nayla hanya mengangkat bahu, lalu kembali ke arah wastafel. Rambutnya diikat ke atas secara asal, beberapa helai lepas menempel di pelipis. Dia tampak masih belum terganggu dengan gerak-gerik Damian yang kali ini sedikit berbeda.Damian duduk di kursi bar dekat meja dapur dengan diam, tapi tegang. Punggungnya tegak dengan satu siku menyentuh meja, seolah menahan tubuhnya agar tidak goyah. Ta

  • Under His Darkness   114. Tugasmu Hanya Bahagia

    Nayla membaca pelan, kata demi kata, seperti menelan pil tanpa air. Tenggorokannya kering. Di sudut layar, ratusan komentar bermunculan.Dia kemudian memilih untuk lebih baik meletakkan ponsel di pangkuan, lalu menatap lurus pada jarak kosong di hadapannya. Damian menghampirinya tanpa suara, menyentuhkan ujung jarinya pada layar, dan membalik ponsel hingga menghadap ke meja.“Makan dulu,” katanya datar.Nayla hampir mengatakan bahwa dia tidak lapar, bahwa udara pun seperti menolak masuk. Namun, Damian sudah terlebih dulu memaksa sepotong roti untuk mengetuk mulut.Ponsel Nayla kembali bergetar, dan kali ini getarannya seperti terasa sampai ke tulang. Damian menoleh sekali. Berbekal wajah yang sudah tampak jengah, dia lantas mengeluarkan ponselnya sendiri, bangkit dari meja, lalu berjalan menjauh ke halaman belakang.“Andy,” ucapnya, begitu telepon sudah tersambung.“Ya, halo, Damian.”“Bereskan semua nomor yang masuk ke ponsel Nayla. Aku tidak mau ada yang mengganggunya lagi mulai hari

  • Under His Darkness   113. Media Lagi

    Gambar-gambar kecelakaan itu kembali melintas di kepala Nayla, tapi sekarang tidak lagi memukul. Dia memejamkan mata lebih lama, mengatur napas seperti semalam. Tarik, tahan, lepas. Detak jantungnya mengikuti ritme yang dia pinjam dari dada Damian.Air hangat memukul kulit, membuka pori, meluruhkan sisa lengket air mata. Nayla masih berdiri di bawah pancuran. Kedua telapak menempel di dinding, membiarkan hangat itu masuk ke bahu. Selesai mandi, handuk melilit tubuh dengan rambut yang masih menetes. Di kursi kecil dekat lemari, Damian sudah menaruh kaos longgar dan celana rumah milik Nayla sendiri, tapi sudah diambilkan tanpa perlu diminta. Ada catatan kecil di atasnya yang membuat Nayla menggeleng pelan. ‘Jangan berdandan terlalu cantik, atau kamu akan menjadi hidangan penutup di sarapanku pagi ini.’“Pagi,” ucap Nayla begitu keluar dari kamarnya.Adrian yang sedang berada di ambang pintu belakang tampak menoleh dan memaksakan senyuman. “Pagi, Nayla.”Tak jauh dari Adrian, Damian tid

  • Under His Darkness   112. Terlalu Aneh

    Pagi datang tanpa drama. Kelopak mata Nayla terasa berat. Baru ketika berhasil membuka matanya lebar-lebar, dia menyadari bahwa Damian sedang duduk di tepi ranjangnya.Nayla mengangkat kepala sedikit. Gambar kecelakaan Nathan semalam kembali melintas. Lampu merah-biru, mobil ringsek, dan garis kuning. Perutnya mengerut. Dia menahan napas sampai rasa mual itu mundur setapak.“Perutmu tidak nyaman?” tebak Damian.Nayla lantas melihat wajah Damian dari dekat. Garis wajah tegas, alis teduh, bibir yang tidak tampak menghakimi ketika sedang diam. Pengawas dan tempat beristirahat dalam satu tubuh sekaligus. Dia memejam lagi, menempelkan dahi ke arah Damian.“Kamu baik-baik saja?” tanya Damian.Nayla mendongak. Ingatan tentang bagaimana hubungan mereka selama ini lantas berputar di dalam benak. Sejak awal, penolakan Nayla terhadap Damian bukanlah penolakan mutlak. Sepertinya, itu hanyalah cara tubuh dan pikirannya melawan sesuatu yang terlalu besar untuk dia akui.Ada sisi dalam dirinya yang

  • Under His Darkness   111. Di Bawah Kegelapan

    Di ruang tengah, Adrian duduk di sofa dengan tubuh condong ke depan. Kedua sikunya menumpu beban tubuh pada lutut. Lampu di rumah itu hanya menyisakan cahaya tipis dari meja sudut. Adrian terus menunggu, tanpa tahu apa yang sebenarnya dia tunggu. Sesekali, dia mengangkat kepala ke arah koridor. Namun, hening.Ketika akhirnya terdengar langkah pelan, Adrian menegakkan punggung. Damian muncul dari pintu kamar Nayla dengan satu tangan di saku celana. Kemejanya kusut sedikit dan lengan digulung sampai siku.Tanpa memedulikan Adrian yang terus menatapnya, Damian justru berjalan ke arah dapur. Seperti biasa, dia tampak santai, membuka kulkas, mengambil botol air, lalu menenggaknya hingga sisa separuh.“Permainan apa lagi kali ini?” Suara Adrian rendah.Damian tidak terkejut. Dia menoleh sedikit, menatap Adrian di atas bahu. “Apa maksudmu?”“Jadi kecurigaanku selama ini benar? Aku tahu tidak mungkin tidak ada apa-apa di antara kalian. Kamu pikir aku tidak bisa membaca itu?”“Okay. Lalu?” tan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status