Home / Romansa / Under His Darkness / 2. Menjual Jiwa

Share

2. Menjual Jiwa

Author: Hanana
last update Last Updated: 2025-06-03 17:21:23

Musik dari lantai dansa masih berdentum samar. Ruang ini terlindung dari keramaian, tapi justru disitulah bahayanya. Udara menjadi lebih berat, seperti mencerminkan sesuatu yang belum terjadi, tapi akan segera meledak.

Begitu Damian menutup pintu, napas Nayla langsung tercekat. Bunyi klik kunci terdengar seperti palu terakhir yang berhasil memakunya ke neraka. Tidak ada jalan pulang. Tidak ada ruang untuk keraguan. Hanya mereka berdua dan dosa yang menunggu untuk ditelan.

“Duduk,” titah Damian singkat.

Nayla tidak menjawab, hanya menatap. Damian tampak seperti sesuatu yang seharusnya ditolak, tapi terlalu indah untuk dihindari. Pria itu terlalu menggiurkan, meski sungguh, Damian juga terlalu berbahaya jika diterjang.

“Nayla Moretti,” lirih Damian dengan suara sedikit serak.

Pria berdarah Italia itu mendekat pelan. Ketenangan gerakannya membuat Nayla justru merasa seperti sedang dicekik secara perlahan. Semakin dekat, semakin membuat Nayla sesak.

Tubuh Damian yang tegap selaras dengan rahang tegas dan rambut gelap yang terurai sedikit acak. Dia tampak menggoda, tapi juga tak tersentuh. Bahkan, angin malam mungkin tak berani menyentuhnya terlalu lama.

Mata berwarna hazel masih berhenti pada kedua manik Nayla yang kecoklatan. Ada kesombongan alami dalam cara Damian membawa diri. Dia seperti pria yang tahu betul siapa dirinya. Bisa dipastikan, dia juga tahu bahwa wanita mana pun akan goyah hanya karena satu sentuhannya.

“Seharusnya kamu bisa menolak saat aku membawamu ke sini,” ucap Damian. “Tapi kamu memilih berserah, Nayla.”

“Aku hanya ingin kita saling bicara.” Nayla menatap mata Damian sejenak, sebelum akhirnya membuang pandang ke arah jendela. “Seingatku, kamu pernah menawarkan telinga untuk mendengar ceritaku.”

“Tapi ruang ini bukan untuk kata-kata, Nay,” pungkas Damian. “Dan kamu sudah tahu itu.”

Di luar, udara tropis Bali menyusup ke balik dinding. Namun, di dalam sini, panas itu berubah bentuk. Bukan lagi tentang cuaca, melainkan tentang kehangatan tubuh. Ruang kecil itu menjadi wadah atas batas samar antara realitas dan mimpi buruk yang terlalu menggoda untuk dibangunkan.

“Dan kamu juga tahu konsekuensi masuk ke ruang ini,” imbuh Damian lagi.

Tangan Nayla gemetar. Bukan karena takut atau ragu, melainkan karena tubuhnya mengkhianati logika. Sudah terlalu lama badan Nayla menahan keinginan atas sesuatu yang tidak bisa dia ucapkan.

Dia ingin dihancurkan. Dirobek dari segala ilusi. Ditegaskan bahwa dia masih hidup, meski dengan cara yang paling salah.

Hingga tanpa aba-aba, bibir mereka pun saling bertabrakan. Kasar, mendesak, dan tanpa jeda. Ini bukan ciuman. Ini perang. Perang antara siapa yang lebih rusak dan siapa yang lebih haus.

Bibir Damian menyapu bibir Nayla tanpa berlandaskan kasih. Tangannya menahan rahang Nayla kuat, membuat wanita itu tak bisa mengelak. Saat mulutnya terbuka, lidah Damian langsung menuntut jalan masuk. Gerakannya dalam, menguasai, dan penuh kendali.

Satu tangan Damian terus mencengkeram sisi wajah Nayla. Sementara tangan satunya bergerak mengabsen tiap titik yang dia suka. Seolah-olah, dirinya telah hafal tubuh Nayla bahkan saat sebelumnya mereka tidak pernah saling bersentuhan.

Napas mereka berpacu, saling mencuri udara. Namun, Damian tetap memimpin ritme. Tidak ada yang lembut. Tidak ada yang manis. Hanya panas yang tumbuh di antara bibir yang sama-sama kehausan.

Damian lantas mendorong Nayla kuat ke arah dinding. Nayla sampai harus tersengal saat merasakan setiap garis otot Damian yang mengencang. Dalam sekejap, Nayla tahu, di ruangan ini, di momen ini, Damian bukalah lawan. Dia adalah badai yang tak bisa ditawar.

“Damian, stop it!”

Suara Nayla mulai terengah. Setengahnya karena perlawanan, setengahnya lagi karena terpancing godaan. Namun, Damian tidak hidup dari perintah. Dia hidup dari insting, dan instingnya malam ini hanya mengenal satu kata, yaitu, maju.

Tanpa menjawab sepatah kata pun, tangan Damian segera menyelinap ke belakang kepala Nayla. Jari-jarinya tenggelam dalam helaian rambutnya yang halus. Hingga kemudian, satu tarikan tegas sudah langsung membuat kepala Nayla terangkat paksa.

“Damian!” pekik Nayla kencang.

Lehernya terekspos dalam lengkungan sensual. Ada nyeri pada kulit kepala yang ditarik paksa. Namun, entah naif atau memang terlalu mabuk, Nayla tidak memberontak.

Matanya menatap langit-langit ruangan yang temaram. Cahaya oranye keemasan dari lampu gantung bergaya industrial memantulkan siluet tubuh mereka pada dinding. Benak Nayla masih sedikit berantakan, berbanding terbalik dengan indahnya bayangan tubuhnya di bawah kendali kegelapan tubuh Damian.

“Nayla.” Damian mendekat, bibirnya nyaris menyentuh kulit leher Nayla yang kini basah oleh napas. Suaranya turun menjadi bisikan rendah dan penuh bara. “Don’t ask me to stop when your body’s begging for more.”

Napas Nayla tercekat saat jemari, tubuh, dan bibir Damian semakin menekan. Suhu udara kian membakar, membuat setiap sentuhan terasa lebih dalam dan brutal. Tangannya yang besar menelusuri sisi tubuh Nayla, menghafal setiap lekuk dengan ketepatan seorang pria yang terbiasa mengendalikan.

Bibirnya menyusur dari leher ke bahu, meninggalkan jejak basah yang tak hanya memabukkan, tapi juga menuntut. Nayla menggigil. Bukan karena takut, tapi karena tubuhnya menyerah lebih cepat daripada pikirannya.

"Lihat aku, Nayla. Aku ingin kamu mengingat siapa pemilikmu sekarang.”

Jari-jari Damian mencengkeram pinggangnya, lalu menarik lebih dekat. Suara napas mereka bertabrakan dengan berantakan. Tidak ada kelembutan malam ini. Tidak ada pula penyangkalan. Hanya ketelanjangan keinginan yang tidak lagi bisa disembunyikan.

“Kamu milikku,” bisik Damian.

Ciumannya kembali datang, tapi kali ini lebih beringas. Damian mencium seperti pria yang ingin menghancurkan dan menyelamatkan dalam waktu yang bersamaan. Seolah tubuh Nayla adalah ladang dosa, dan dia adalah neraka yang tak sabar menelan semuanya.

“Kamu tidak lari malam ini. Tidak dari sini. Tidak dariku,” ucap Damian dengan nada serak.

Damian lantas membuka paksa kaitan belakang gaun Nayla. Gerakannya tidak tergesa, tapi tetap terasa tanpa belas kasih. Suara sobekan kain menggema pelan. Hitungan detik, kulit punggung Nayla akhirnya terbuka seutuhnya.

“Lihat bagaimana tubuhmu menjawabku,” gumam Damian rendah, hampir seperti ancaman.

“No! Stop it!”

“Terlambat.”

Damian melempar asal gaunnya, menyisakan tubuh Nayla yang setengah telanjang. Sejenak, matanya menyorot ke bagian ujung dada, sebelum akhirnya kembali mendaratkan jemari. Tubuh Nayla terlalu indah untuk diabaikan terlalu lama.

Setiap rabaan terasa kasar. Namun, Damian tetap tahu ke mana tangannya harus bergerak. Dia mengeksplor setiap lekuk dengan kekejaman yang sensual. Begitu bibirnya mencumbu tengkuk Nayla, dia menggeram pelan, seolah sekujur tubuh wanita itu adalah miliknya sejak awal.

“Apa kamu sudah gila?!” pekik Nayla.

Nayla mendorong tubuh Damian, lalu berbalik. Dua langkah sudah berhasil Nayla ciptakan untuk pergi menjauh. Dia seperti akan kabur, tapi nyatanya dia tidak benar-benar ingin lari. Kedua kakinya terayun hanya untuk kembali dipenjara oleh Damian. Bahkan, dia kembali terpaku dalam diam begitu Damian berhasil meraih tubuhnya lagi.

“Kamu suka bermain api, Nayla,” bisiknya serak, tepat di telinga. Damian menunduk, lalu mencium tulang belakangnya satu per satu. Napasnya hangat, tapi bukan hangat lembut. “Sekarang, rasakan panasnya terbakar.”

Dari arah belakang, sebelah tangan Damian mengunci kedua pergelangan tangan Nayla. Tubuh Nayla kemudian membusung. Masih mencoba melepaskan diri, Nayla mulai menggeliat. Sialnya, setiap gerakannya justru semakin mengundang dan menelan seluruh kewarasan.

Dengan satu gerakan tegas, Damian lantas membalik tubuh Nayla. Begitu mereka saling berhadapan, Nayla didorong cepat hingga pinggulnya bertemu dengan permukaan meja yang dingin dan tidak bersahabat. Suara benturan halus kayu mahal menggema di ruangan, tapi tak ada yang lebih keras daripada degup jantung Nayla yang kini menggila.

Tangan besar pria itu menjalar cepat ke bawah punggung. Dia menekan, menahan, dan mengatur posisi tubuh Nayla tanpa sedikit pun memberi waktu untuk berpikir. Sentuhan Damian semakin membuat Nayla kehilangan kewarasan. Alhasil, dia berakhir luluh dan merebah.

“Please, no,” lirih Nayla dengan sorot mata yang menyiratkan hal yang berlawanan dengan bibirnya.

Meja itu cukup tinggi. Cukup untuk menciptakan posisi yang sempurna di antara mereka berdua. Sungguh, ketimpangan itu membuat Nayla semakin gemetar.

“Katakan padaku untuk berhenti, Nayla… dan aku tidak akan melakukannya.”

Nayla tak lagi mengucapkan apa-apa. Dia hanya bisa berteriak saat tiba-tiba Damian memutar tubuhnya kasar. Pipinya yang kemerahan pun beradu pada sisi atas meja.

Dengan piawai, Damian membuka celananya sendiri dan menempelkan bagian yang menegang tepat di pangkal paha Nayla. Dada Nayla menekan meja, punggungnya melengkung, dan napasnya tak lagi teratur.

Dia tahu ini salah. Dia tahu ini gila. Namun, tubuhnya tak bisa berhenti bergetar, mendambakan sesuatu yang lebih.

“Damian!”

Damian menekuk tubuhnya ke depan. Bibirnya menyentuh telinga Nayla, lalu memberikan satu kecupan. Tanpa peringatan, Damian akhirnya mendorong dirinya masuk.

“Fuck! Damian!”

"Ucapkan namaku lagi," gumam Damian. "I want to hear it when you fall apart.”

Nayla membuka mulutnya, tapi yang keluar hanya erangan. Suara itu membuat Damian menyeringai kecil. Tarikan bibirnya tajam, puas, dan nyaris kejam.

Napas keduanya sudah memburu. Ruangan itu terasa terlalu sempit untuk menampung hasrat liar yang tak bernama. Hingga beberapa saat, tak ada yang tersisa selain suara derit meja dan desahan yang memuakkan… tapi candu.

"Setiap suara yang kamu buat adalah milikku, Nayla. Setiap napas, setiap getaran, semuanya adalah milikku.”

Damian bergerak dengan ritme yang tak kenal belas kasih. Dia bahkan menarik kencang rambut Nayla ke belakang tiap kali tubuh mereka menyatu. Tetes peluh benar-benar telah berpadu dalam simfoni dosa yang tak bisa dibatalkan.

Damian tak bercinta.

Dia mengambil.

Memiliki.

Dan menghancurkan.

Entah berapa lama mereka bertukar bara api hingga akhirnya tubuh Nayla gemetar. Tidak bisa dipungkiri, yang dia rasa adalah kenikmatan mutlak. Hingga beberapa saat kemudian, kesadarannya perlahan hanya tinggal samar.

Di antara batas sadar dan tidak sadar, Nayla hanya mengingat dua nama. Nathan yang telah menghancurkan hatinya. Dan Damian yang kini sedang menghancurkan tubuhnya.

Damian Bellucci. Pria itu seperti lubang hitam yang gelap dan tak berpintu keluar. Nayla tahu, dia sedang ditelan. Namun, sejujurnya, bagian tergelap dari dirinya… menikmati semua ini.

Benar kata Adrian. Nayla memang sedang membunuh dirinya sendiri. Malam ini, Nayla seolah baru saja menjual jiwanya. Dan Damian… membelinya tanpa kompromi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Under His Darkness   5. Cerai

    “Cerai?” Suara Nathan terdengar pelan, tapi tajam.Nayla tidak menunduk. Matanya tetap menantang ke arah pria yang dulu pernah dia cintai. Atau lebih tepatnya, dia pikir, pernah dia cintai.“Nayla, jangan bercanda.”“Aku serius,” pungkas Nayla. “Aku sudah memutuskan, lebih baik kita bercerai.”Nathan beranjak mendekat. Senyumnya masih bertahan. Namun, Nayla bisa melihat ekspresi penuh perhitungan di balik topeng yang menampakkan kehangatan dan keramahan.“Sayang, aku mengerti kamu sedang lelah,” katanya lembut, seolah kalimat itu bukan bentuk pengabaian, melainkan pelukan. “Pernikahan memang tidak selalu mudah. Dan pikiranmu sedang kacau, sampai-sampai kamu terpikirkan ide gila seperti itu.”Nayla tertawa hambar. “Justru ini adalah ide paling waras yang pernah aku buat dalam kehidupan rumah tangga kita yang gila.”Nathan berdiri perlahan dari kursi. Sejenak, dia merapikan kerah jasnya. Gerakannya tenang, nyaris teatrikal. Tak lupa, dia juga mengusap rambut Nayla lembut, meski yang bis

  • Under His Darkness   4. Nathaniel Wyatt Sinclair

    Nayla terbangun dengan penuh rasa malu. Bukan karena sinar matahari yang menampar wajahnya, bukan juga karena tubuhnya yang dingin karena lupa menarik selimut. Namun, karena ingatan semalam menelanjangi dirinya habis-habisan. Kepalanya terus berdenyut. Pahit alkohol masih tertinggal di lidah. Perih juga mengitari perut yang sejak kemarin kosong. Namun, bukan itu yang paling menyakitkan. Yang paling menyakitkan adalah fakta kalau Damian sudah dia biarkan melihat kelemahan yang dia tunjukkan semalam. Terlalu banyak yang Nayla ingin tarik kembali. Namun, semuanya sudah telanjur tumpah. Ratapannya, cerita pahitnya, dan rasa sakit yang selama ini dia sembunyikan di balik senyum buatan. "You're awake," ucap Damian datar. Nayla tidak menjawab. Dia lantas menarik napas, lalu duduk perlahan sambil merapikan rambutnya seadanya. Bahunya berat, sekujur tubuhnya linu, dan kedua kakinya seolah tak bertenaga. Ponsel dengan daya yang hampir habis diraih dari atas nakas. Nayla sempat melirik kal

  • Under His Darkness   3. Pernikahan Terbuka

    Pagi datang seperti penghukuman. Terang yang menyusup dari celah tirai terasa terlalu kejam, menyinari tubuh Nayla yang masih tergeletak di atas ranjang asing. Sepi menggema di seluruh ruangan, tapi di dalam kepalanya, suara-suara semalam masih menjerit. Suara napas mereka, suara desahan, suara meja yang bergeser kasar. Semua itu menari di benaknya, seperti kutukan yang tak bisa dihapus.Tubuhnya masih panas, tapi hatinya dingin. Dingin karena kenyataan menampar lebih keras daripada ciuman Damian semalam. Nayla perlahan bangkit, mengamati setiap sudut kamar yang baru pertama kali dia lihat, tapi dia tentu sudah tahu siapa pemiliknya.Damian masuk tanpa mengetuk. Tentu saja. Pintu terbuka dengan suara pelan, tapi cukup untuk membuat Nayla reflek menegakkan tubuh.“Aku tidak mengundangmu masuk,” ucap Nayla pelan, meski jantungnya berdetak seperti palu godam.Damian memindai kamar itu sejenak sebelum matanya mendarat padanya. “Ini kamarku.”“Kamu memberikannya padaku tadi malam.” Nayla m

  • Under His Darkness   2. Menjual Jiwa

    Musik dari lantai dansa masih berdentum samar. Ruang ini terlindung dari keramaian, tapi justru disitulah bahayanya. Udara menjadi lebih berat, seperti mencerminkan sesuatu yang belum terjadi, tapi akan segera meledak. Begitu Damian menutup pintu, napas Nayla langsung tercekat. Bunyi klik kunci terdengar seperti palu terakhir yang berhasil memakunya ke neraka. Tidak ada jalan pulang. Tidak ada ruang untuk keraguan. Hanya mereka berdua dan dosa yang menunggu untuk ditelan. “Duduk,” titah Damian singkat. Nayla tidak menjawab, hanya menatap. Damian tampak seperti sesuatu yang seharusnya ditolak, tapi terlalu indah untuk dihindari. Pria itu terlalu menggiurkan, meski sungguh, Damian juga terlalu berbahaya jika diterjang. “Nayla Moretti,” lirih Damian dengan suara sedikit serak. Pria berdarah Italia itu mendekat pelan. Ketenangan gerakannya membuat Nayla justru merasa seperti sedang dicekik secara perlahan. Semakin dekat, semakin membuat Nayla sesak. Tubuh Damian yang tegap selaras d

  • Under His Darkness   1. The Night

    “Nayla!” Adrian Moretti memekik kencang sambil melangkah menembus kerumunan. Wajahnya kaku seperti dipahat dari batu. Sorot matanya menghunus ke satu sosok wanita. Nayla Moretti, adik perempuannya.Nayla duduk di bar dengan kaki bersilang. Minuman berwarna kekuningan tersemat pada jemari tangan. Tak bisa dipungkiri, tubuhnya terlalu mengundang saat dibalut pakaian semi transparan dengan kesan setengah telanjang.Mendengar suara Adrian, Nayla sama sekali tidak menoleh. Dia memilih untuk hanya tersenyum tipis. Mata cokelat dengan bulu matanya yang lebat justru sibuk memandangi kilau gelas.Jemari yang lentik tampak pantas saat dihias dengan kuku panjang berwarna merah menantang. Wajah sinisnya tertangkap jelas di bawah kilatan lampu berwarna campuran merah dan ungu. Meski ekspresinya sama sekali tidak ramah, tapi Nayla tak bisa lagi menghitung berapa banyak tatapan lapar yang tertuju padanya.“What the hell are you doing here?” tanya Adrian yang sudah berdiri di sebelahnya.Dia lantas

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status