Pagi datang seperti penghukuman. Terang yang menyusup dari celah tirai terasa terlalu kejam, menyinari tubuh Nayla yang masih tergeletak di atas ranjang asing. Sepi menggema di seluruh ruangan, tapi di dalam kepalanya, suara-suara semalam masih menjerit. Suara napas mereka, suara desahan, suara meja yang bergeser kasar. Semua itu menari di benaknya, seperti kutukan yang tak bisa dihapus.
Tubuhnya masih panas, tapi hatinya dingin. Dingin karena kenyataan menampar lebih keras daripada ciuman Damian semalam. Nayla perlahan bangkit, mengamati setiap sudut kamar yang baru pertama kali dia lihat, tapi dia tentu sudah tahu siapa pemiliknya. Damian masuk tanpa mengetuk. Tentu saja. Pintu terbuka dengan suara pelan, tapi cukup untuk membuat Nayla reflek menegakkan tubuh. “Aku tidak mengundangmu masuk,” ucap Nayla pelan, meski jantungnya berdetak seperti palu godam. Damian memindai kamar itu sejenak sebelum matanya mendarat padanya. “Ini kamarku.” “Kamu memberikannya padaku tadi malam.” Nayla membalas cepat. Dia berjalan masuk. Langkahnya tak bersuara, tapi penuh kuasa. “Aku mempersilahkannya. Bukan memberikannya.” Nayla mendengus. “Tipikal orang Italia. Selalu bermain kata.” “Semoga kamu tidak lupa kalau kamu juga masih memiliki darah dari sana.” Berbeda dengan Damian yang tumbuh dengan Opera dan Espresso, Nayla memiliki latar belakang yang lebih kompleks. Sejak kecil, dia tumbuh dalam dua dunia. Satu yang lembut dan penuh warna dari ibunya yang berasal dari Ubud, dan satu lagi yang dingin serta kaku dari ayahnya yang membawa aroma kopi, kebun anggur, dan meja makan yang penuh aturan. "Aku akan pulang," kata Nayla tanpa basa-basi. Tangannya sudah menggenggam ponsel dan tubuhnya separuh berbalik ke arah pintu. "Sayangnya, kamu sedang ada di rumahku." Damian menjawab dengan suaranya yang dalam dan nyaris malas. "Dan aku berhak membuka atau mengunci pintu sesukaku." Nayla memutar tubuh, matanya menyipit. "Kamu tak punya hak atas diriku." Damian menyandarkan bahu ke kusen pintu, kedua tangannya disilangkan di dada. Tatapannya menembus dengan tenang, tapi tak memberi ruang. "Tapi aku punya hak atas tempat ini. Dan itu berarti aku bisa memilih siapa yang boleh keluar atau tinggal." Sesaat hening. Napas Nayla terdengar lebih berat, tapi dia menahannya. "Jadi, ini penjara sekarang?" "Tergantung bagaimana kamu melihatnya." Damian menjawab. "Tapi aku tak pernah suka wanita meninggalkan tempat tidurku terlalu cepat.” Nayla mengumpat dalam hati. Damian seharusnya bukan siapa-siapa dalam hidupnya. Dia hanyalah pria yang dulu sering datang ke rumah bersama Adrian sejak masa kuliah mereka di Milan. Dulu, Nayla hanya mengenalnya sebagai pria pendiam dengan sorot mata gelap dan bahasa tubuh yang selalu tenang dan terlalu tenang, sampai kadang menakutkan. Namun, sekarang Damian adalah badai. Dan Nayla berada tepat di pusatnya. “Aku akan pulang. Dan jangan harap aku akan peduli pada laranganmu.” Suaranya tegas, meski tubuhnya masih diam di atas pijak yang sama. Damian tidak bergerak. "Tidak." “Kamu pikir aku akan menurut?” “Aku pikir kamu cukup pintar untuk tahu kapan harus melawan, dan kapan harus diam.” Ada jeda beberapa saat. Dada Nayla naik turun. Bukan karena takut, tapi lebih karena marah. Dia cukup tersulut oleh cara Damian berbicara seakan segalanya bisa diatur sesuai keinginannya. “Kamu tidak akan bisa menahanku, Damian.” Damian mendekat satu langkah, cukup untuk membuat udara di antara mereka menegang. “Jangan uji aku, Nayla.” Tanpa menunggu jawaban, Damian berbalik keluar dari kamar. Tatapan mereka berselisih beberapa detik sebelum pria itu mengambil kunci mobil dari meja konsol dan melangkah keluar begitu saja. Tanpa sepatah kata, tanpa penjelasan, dan tentu saja tanpa pamit. Suara pintu depan tertutup rapat dengan cepat. Ada sisa gema di tengah keheningan rumah yang cukup besar dan megah. Nayla sempat mengejar, tapi dia hanya bisa sampai di tengah lorong. “Sial,” desisnya pelan. Nayla lantas buru-buru berlari ke arah pintu. Gagang pintu digoyang, tapi terkunci. Dia berpindah ke pintu belakang, tapi juga terkunci. Bahkan, jendela-jendela besar di lantai bawah sama sekali tidak memberikan celah. Damian benar-benar menguncinya di dalam. Nayla seketika membombardir Damian dengan puluhan pesan. Sialnya, telepon genggamnya tak menampilkan pesan balasan. Panggilannya pun berakhir dalam nada tunggu panjang yang tak pernah terjawab. Sebenarnya, Adrian adalah orang terdekat Damian di Indonesia. Dia memiliki akses kunci rumah ini. Namun, tentu saja, Nayla tak bisa meminta bantuannya. Kakaknya itu akan menghancurkan segalanya jika tahu Nayla menginap di rumah ini, dan … telah tidur dengan Damian malam tadi. “Damian!” Nayla memekik kencang, tapi yang bisa dia dengar hanyalah gema dari suaranya sendiri. Tubuh Nayla melemas, tanpa dia bisa melakukan apa-apa. Waktu merayap pelan, menyiksa, dan tak memberi jeda. Detik demi detik terdengar seperti siksaan di telinga Nayla. Ruang tamu yang luas itu kini tak ubahnya seperti penjara mewah. Dia berdiri di depan pintu utama, mencoba sekali lagi memutar gagangnya. Tetap terkunci. Lagi-lagi. “Brengsek!” umpatnya. Hidup Nayla seolah berangsur lebih rumit. Belum lagi, bayangan wajah Nathan yang seolah selalu menyelinap di antara bayangan tembok. Senyum manis yang dulu membuatnya jatuh cinta, kini menjelma tamparan keras yang membekas. Pria yang dia sebut sebagai suami, kini menjelma menjadi ujian terbesarnya. Nayla akhirnya menghempaskan tubuhnya ke sofa. Ingin menangis atau meronta, tapi dia sudah terlalu lelah. Atau bisa jadi sudah menyerah. Damian masih belum kembali hingga hari lewat petang. Nayla akhirnya memutuskan berjalan pelan menuju sisi kiri dapur. Rumah itu terlalu sepi, terlalu besar, dan terlalu asing. Dia butuh sesuatu, apa saja, untuk membuat malam ini sedikit lebih kabur. Sebotol whiskey setengah penuh berdiri angkuh di antara botol-botol elegan lainnya. Tangannya terulur. Tanpa berpikir panjang, dia menuangkan isi botol ke dalam gelas kristal, tanpa es, dan tanpa basa-basi. Tenggakan pertama membuat tenggorokannya terbakar. Namun, anehnya, rasa sakit itu sedikit menghangatkan dadanya. Memberi sensasi bahwa dia masih hidup. Gelas ke dua datang lebih cepat. Lalu yang ke tiga, ke empat, dan seterusnya. Di tengah aroma kayu manis yang samar dan nyala lampu temaram, Nayla terduduk di lantai. Punggungnya bersandar pada kaki sofa, matanya mulai redup, pikirannya mengambang, dan dalam keheningan itu, semua pertahanan mulai runtuh. Damian menemukannya setelah Nayla tampak benar-benar mabuk. Kedua lutut Nayla ditarik ke dada. Jarinya masih menggenggam lemah gelas terakhir yang isinya nyaris habis. “Kalau kamu ingin melupakan sesuatu, ada cara lain yang tak membuatmu pusing besok pagi,” ucap Damian. Nayla tertawa kecil, miris. “Tapi cara lain itu tidak secepat ini.” Damian mendekat, duduk di kursi seberangnya, dan menjaga jarak. Dia tidak merampas gelas dari tangan Nayla, tidak pula menegur. Dia hanya diam, menunggu. Lalu, tanpa benar-benar merencanakannya, Nayla mulai berbicara. “Aku muak,” bisiknya. Kata-kata itu nyaris lenyap di antara detak jarum jam. Damian tetap diam, hanya menatapnya. Tidak menginterupsi. Tidak menanyakan apa. “Semua orang melihatku sebagai istri sempurna dari pria sempurna,” lanjutnya dengan suara yang mulai pecah. “Kamu tahu bukan? Nathan adalah publik figur. Terlalu tampan untuk menjadi buruk. Terlalu pintar untuk terlihat salah.” Nayla mengangkat gelasnya lagi, menenggak beberapa tetes sisa isi sebelum menaruhnya di meja dengan bunyi pelan. “Aku pikir dia mencintaiku. Aku pikir... pernikahan kami berarti sesuatu. Tapi ternyata aku cuma pajangan. Sesuatu yang cantik untuk dipamerkan di depan media.” Damian masih diam. Dia tidak menyela, bahkan sama sekali tidak bergerak. Nayla tertawa hambar sebelum kembali bersuara. “Nathaniel Wyatt Sinclair. Anak emas Indonesia-Australia. Aktor kesayangan ibu-ibu, menantu impian seantero negeri.” Dia tertawa lagi. “Dan aku? Aku cuma istri yang katanya dingin, terlalu sibuk bekerja, terlalu banyak memikirkan prinsip. I'm nothing.” “You're not nothing.” Damian akhirnya bersuara. “You know what? Dia bilang dia mencintaiku.” Suara Nayla melemah. “Tapi juga ingin tidur dengan orang lain.” Damian tidak menunjukkan keterkejutan. Hanya sepasang mata yang semakin gelap. "Pernikahan terbuka," lanjut Nayla, suaranya getir. "Kamu tahu apa yang lebih menyakitkan dari perselingkuhan diam-diam? Adalah ketika seseorang yang kamu cintai dengan sadar memintamu untuk merelakan kesetiaan.” Damian memilih tidak merespon pernyataan ini. Dia hanya berniat memberi Nayla ruang untuk membongkar semua yang sudah lama terkunci. “Open marriage, katanya. Biar dia bisa eksplorasi. Katanya ini normal dan modern. Tapi kenapa aku merasa seperti ditusuk?” Nayla tertawa hambar, matanya mulai berkaca-kaca. “Non. Kamu sudah cukup mabuk,” pungkas Damian saat Nayla berniat meraih gelas yang ke sekian. Tawa Nayla pecah lagi, bedanya, kini disertai dengan air mata. “Lucu, ya. Aku bahkan sempat bertanya-tanya mungkin akulah yang egois karena merasa keberatan.” Damian hanya memandangnya, seolah tahu bahwa jika dia bicara sekarang, Nayla akan menutup diri lagi. “Aku mencoba memahaminya,” lanjut Nayla pelan. “Kita sudah menikah lima tahun. Dia bilang itu hal yang wajar dalam hubungan jangka panjang. Dia bahkan mengutip artikel psikologi yang dia baca, seakan semua ini punya landasan ilmiah yang tidak bisa dibantah.” Jemari tangan Damian terulur ke arah pipi Nayla. Aura tubuhnya masih gelap. Dia tetaplah Damian yang tampak tak punya hati. Hanya saja, dia benci saat melihat air mata wanita nyata mengalir di depan matanya. “Aku bilang aku butuh waktu. Lalu Nathan jawab: ‘Ambil sebulan atau dua bulan, tapi pada akhirnya aku akan tetap menjalaninya, dengan atau tanpa izinmu.’” Damian menatapnya lama. Ada sesuatu di balik matanya yang menyipit. Bukan iba, tapi penghormatan terhadap luka yang baru saja Nayla buka di hadapannya. “Aku mulai mempertanyakan nilai diriku sendiri. Apakah aku cukup? Apakah aku membosankan? Apakah aku sudah kehilangan daya tarikku? Aku benci itu. Benci bahwa aku mempertanyakan semuanya hanya karena dia ingin berbagi ranjang dengan wanita lain.” Diam menggantung di antara mereka selama beberapa saat. “Aku merasa… kecil,” bisik Nayla. “Dan aku tidak tahu, berapa lama aku bisa terus bertahan.” Damian bangkit berdiri, mendekat hanya satu langkah, lalu akhirnya meraih tubuh Nayla untuk didekap. Damian tidak berbicara apa pun, tidak menjamin apa pun, dan tidak menjanjikan apa pun. Namun, malam itu, Nayla merasa tubuhnya telah berhenti berperang.Damian menelusuri beberapa kontak yang nyaris tidak pernah dia hubungi. Selama ini, dia sudah cukup hanya dengan mengandalkan orang-orang di jaringannya sendiri. Damian tahu, dirinya bukan orang kecil. Dia punya kekuatan, uang, dan nama besar yang membuat banyak musuh gentar. Dia bisa menyingkirkan lawan bisnis, bahkan menghapus nama dari peta Eropa. Namun, dunianya yang ilegal terlalu abstrak untuk bisa mengimbangi dunia pemerintahan Iran yang tentu saja sangat bertolak belakang. Alhasil, tentu saja dia membutuhkan bantuan dari pihak yang sejajar.Dari seluruh deret nama, dia menemukan satu yang menurutnya paling bisa diandalkan. Alessandro De Luca. Nama yang bukan sekadar catatan, tapi legenda gelap. Seorang pria Italia yang dijuluki pembunuh berdarah dingin. Jejaknya tak pernah tercatat secara resmi, tapi bayangannya selalu muncul di setiap operasi besar yang gagal diurai oleh pihak mana pun.Alessandro berpengalaman bukan hanya di dunia kriminal, tapi juga di lingkaran intelijen.
Diapit oleh kehangatan, Nayla akhirnya jatuh terpejam. Napasnya perlahan menjadi tenang, teratur, seakan ancaman para musuh kekasihnya itu tak pernah ada. Rambutnya terurai di bantal, dan sebagian menempel pada kulit Damian yang masih basah oleh keringat.Damian menatap wajah itu lama. Lembut sekaligus rapuh, berbanding terbalik dengan segala kegelapan yang menjerat dirinya. Dia mengusap pipi itu pelan, lalu menunduk mengecup kening Nayla sekali lagi.Kedua mata Damian memang kini bisa melihat wujud dari kedamaian. Namun, di dalam dadanya, badai justru kian menggila. Hatinya ingin menetap di sini, bersama wanita ini, dalam hangat yang sederhana. Namun, kepalanya menolak. Setiap cabang otak terus menghitung kemungkinan, ancaman, dan rencana.Damian memejamkan mata sebentar. Bukan untuk tidur, melainkan untuk menahan sesak yang semakin mendesak. Detik berdetak di telinganya, seolah jarum jam sedang mengejek. Tidur mustahil, tenang mustahil, menyerah pun mustahil.
“Damian.” Ucapan Nayla beradu padu dengan desah panjang.“Hm?”“Lagi.”Sambil sedikit melepas senyum tipis, jemari tangan Damian bergerak dengan semakin rakus. Tarikan napas Nayla semakin cepat. Dadanya naik-turun. Matanya setengah terpejam dengan racauan lirih yang lolos di sela bibirnya. Damian menatap wajah itu sejenak, lalu menunduk untuk meraih mulutnya lagi.Ketika tubuh mereka kembali menyatu, Damian menahan napas panjang. Erangan tertahan lolos dari kerongkongannya. Dia menutup mata, lalu menenggelamkan wajahnya di leher Nayla. Geraknya masih dibuat lambat dan terukur. Dia ingin Nayla merasakan setiap tarikan, setiap dorongan, setiap kepemilikan yang dia tanamkan.“Amore,” ucapnya serak. “Kamu akan selamanya denganku.”Nayla melingkarkan lengannya di leher Damian untuk menarik tubuh pria itu agar lebih dekat. Bibirnya gemetar saat berbisik, “Aku tahu. Aku tahu, Damian.
Kedua kaki mereka terayun menyusuri lorong villa. Damian menuntun di depan dengan langkah yang sengaja dibuat pelan. Gerakannya sama sekali tidak tampak terburu-buru, seolah sedang menakar detik sembari menenangkan denyut di kepalanya sendiri.Jemari mereka terus bertaut. Bahkan, ketika tiba di depan kamar, Damian tetap menggenggam tangan Nayla dengan satu tangan, sementara tangan yang lain bertugas membuka handle.Begitu pintu kembali ditutup, suasana seketika berubah. Napas mereka berdua entah mengapa berembus dengan ritme yang lebih cepat. Namun, alih-alih langsung mendekap tubuh Nayla, Damian justru menatapnya terlebih dulu. Sorot gelapnya menyelam dengan cukup dalam, juga mengunci pandang dengan cukup lama. Bukan untuk menguji kesabaran, tapi untuk sekadar memastikan kalau wanita di hadapannya masihlah Nayla yang dinding pertahanannya akan runtuh hanya perantara tatapan mata.“Amore,” bisiknya dengan suara rendah.Nayla belum sempat menjawab ketika Damian tiba-tiba mencondongkan
“Damian.”Suara Nayla terdengar dari balik pintu. Meski sedikit memekik, tapi nadanya tetap lembut. Beriringan dengan itu, ketukan kecil ikut menyusul dengan ritme yang teratur. Di satu sisi, Nayla tetap ingin menilik Damian yang sejak tadi mengurung diri di dalam, dan di sisi lain, dia juga tak ingin sepenuhnya merusak dinding tenang yang Damian bangun.“Apa aku mengganggu?” tanya Nayla kemudian.Damian terkekeh, setengah tertawa. “Tidak, Amore. Tunggu sebentar.”Damian cepat-cepat mematikan rokok yang masih menyala di tepian asbak. Bara merah seketika padam dengan desis pendek. Saat dia bangkit dari kursi, jejak asap pekat masih menempel di udara, menusuk hidungnya sendiri.Sambil melangkah mendekati sumber suara, Damian menarik napas panjang. Tangan kiri sedikit memijat pinggang, sedangkan tangan kanan mengibas di udara. Kiranya, dia tak hanya berniat mengibas sisa kepulan putih, tapi sekaligus ingin mengibas kalut di kepalanya.Sebelum membuka pintu, jemarinya menyempatkan diri un
Damian menyandarkan tubuh kursi begitu panggilan berhenti. Jarinya tak henti mengetuk perlahan permukaan meja. Sorot matanya menajam, seakan isi kepala sedang menghitung detik, angka, juga merapal beberapa nama.Sunyi menekan ruangan. Hanya ada bunyi detik jam yang terdengar pelan tapi entah mengapa justru menegangkan. Di tengah keterdiamannya, getar telepon dari nama lain mendadak memecah udara.“Ya?” ucap Damian singkat.Laporan masuk dari salah satu penjaga. Suara di seberang terdengar disiplin dan teratur.“Signore, area villa aman. Madam masih berada di ruang tengah dengan televisi menyala. Tidak ada aktivitas mencurigakan dari pihak lawan. Pos dua ratus meter juga bersih. Rotasi tetap berjalan, tidak ada indikasi lokasi ini terdeteksi.”Damian terdiam sejenak, mendengarkan setiap kata. Napasnya sedikit berembus lega.“Perintahkan tim yang lain untuk membuat tanda-tanda palsu tentang keberadaanku di area Kintamani. Buat pihak Jonathan berpikir aku ada di sana,” titah Damian kemud