Home / Romansa / Under His Darkness / 3. Pernikahan Terbuka

Share

3. Pernikahan Terbuka

Author: Hanana
last update Last Updated: 2025-06-03 17:22:27

Pagi datang seperti penghukuman. Terang yang menyusup dari celah tirai terasa terlalu kejam, menyinari tubuh Nayla yang masih tergeletak di atas ranjang asing. Sepi menggema di seluruh ruangan, tapi di dalam kepalanya, suara-suara semalam masih menjerit. Suara napas mereka, suara desahan, suara meja yang bergeser kasar. Semua itu menari di benaknya, seperti kutukan yang tak bisa dihapus.

Tubuhnya masih panas, tapi hatinya dingin. Dingin karena kenyataan menampar lebih keras daripada ciuman Damian semalam. Nayla perlahan bangkit, mengamati setiap sudut kamar yang baru pertama kali dia lihat, tapi dia tentu sudah tahu siapa pemiliknya.

Damian masuk tanpa mengetuk. Tentu saja. Pintu terbuka dengan suara pelan, tapi cukup untuk membuat Nayla reflek menegakkan tubuh.

“Aku tidak mengundangmu masuk,” ucap Nayla pelan, meski jantungnya berdetak seperti palu godam.

Damian memindai kamar itu sejenak sebelum matanya mendarat padanya. “Ini kamarku.”

“Kamu memberikannya padaku tadi malam.” Nayla membalas cepat.

Dia berjalan masuk. Langkahnya tak bersuara, tapi penuh kuasa. “Aku mempersilahkannya. Bukan memberikannya.”

Nayla mendengus. “Tipikal orang Italia. Selalu bermain kata.”

“Semoga kamu tidak lupa kalau kamu juga masih memiliki darah dari sana.”

Berbeda dengan Damian yang tumbuh dengan Opera dan Espresso, Nayla memiliki latar belakang yang lebih kompleks. Sejak kecil, dia tumbuh dalam dua dunia. Satu yang lembut dan penuh warna dari ibunya yang berasal dari Ubud, dan satu lagi yang dingin serta kaku dari ayahnya yang membawa aroma kopi, kebun anggur, dan meja makan yang penuh aturan.

"Aku akan pulang," kata Nayla tanpa basa-basi. Tangannya sudah menggenggam ponsel dan tubuhnya separuh berbalik ke arah pintu.

"Sayangnya, kamu sedang ada di rumahku." Damian menjawab dengan suaranya yang dalam dan nyaris malas. "Dan aku berhak membuka atau mengunci pintu sesukaku."

Nayla memutar tubuh, matanya menyipit. "Kamu tak punya hak atas diriku."

Damian menyandarkan bahu ke kusen pintu, kedua tangannya disilangkan di dada. Tatapannya menembus dengan tenang, tapi tak memberi ruang.

"Tapi aku punya hak atas tempat ini. Dan itu berarti aku bisa memilih siapa yang boleh keluar atau tinggal."

Sesaat hening. Napas Nayla terdengar lebih berat, tapi dia menahannya.

"Jadi, ini penjara sekarang?"

"Tergantung bagaimana kamu melihatnya." Damian menjawab. "Tapi aku tak pernah suka wanita meninggalkan tempat tidurku terlalu cepat.”

Nayla mengumpat dalam hati. Damian seharusnya bukan siapa-siapa dalam hidupnya. Dia hanyalah pria yang dulu sering datang ke rumah bersama Adrian sejak masa kuliah mereka di Milan. Dulu, Nayla hanya mengenalnya sebagai pria pendiam dengan sorot mata gelap dan bahasa tubuh yang selalu tenang dan terlalu tenang, sampai kadang menakutkan. Namun, sekarang Damian adalah badai. Dan Nayla berada tepat di pusatnya.

“Aku akan pulang. Dan jangan harap aku akan peduli pada laranganmu.” Suaranya tegas, meski tubuhnya masih diam di atas pijak yang sama.

Damian tidak bergerak. "Tidak."

“Kamu pikir aku akan menurut?”

“Aku pikir kamu cukup pintar untuk tahu kapan harus melawan, dan kapan harus diam.”

Ada jeda beberapa saat. Dada Nayla naik turun. Bukan karena takut, tapi lebih karena marah. Dia cukup tersulut oleh cara Damian berbicara seakan segalanya bisa diatur sesuai keinginannya.

“Kamu tidak akan bisa menahanku, Damian.”

Damian mendekat satu langkah, cukup untuk membuat udara di antara mereka menegang. “Jangan uji aku, Nayla.”

Tanpa menunggu jawaban, Damian berbalik keluar dari kamar. Tatapan mereka berselisih beberapa detik sebelum pria itu mengambil kunci mobil dari meja konsol dan melangkah keluar begitu saja. Tanpa sepatah kata, tanpa penjelasan, dan tentu saja tanpa pamit.

Suara pintu depan tertutup rapat dengan cepat. Ada sisa gema di tengah keheningan rumah yang cukup besar dan megah. Nayla sempat mengejar, tapi dia hanya bisa sampai di tengah lorong.

“Sial,” desisnya pelan.

Nayla lantas buru-buru berlari ke arah pintu. Gagang pintu digoyang, tapi terkunci. Dia berpindah ke pintu belakang, tapi juga terkunci. Bahkan, jendela-jendela besar di lantai bawah sama sekali tidak memberikan celah.

Damian benar-benar menguncinya di dalam.

Nayla seketika membombardir Damian dengan puluhan pesan. Sialnya, telepon genggamnya tak menampilkan pesan balasan. Panggilannya pun berakhir dalam nada tunggu panjang yang tak pernah terjawab.

Sebenarnya, Adrian adalah orang terdekat Damian di Indonesia. Dia memiliki akses kunci rumah ini. Namun, tentu saja, Nayla tak bisa meminta bantuannya. Kakaknya itu akan menghancurkan segalanya jika tahu Nayla menginap di rumah ini, dan … telah tidur dengan Damian malam tadi.

“Damian!” Nayla memekik kencang, tapi yang bisa dia dengar hanyalah gema dari suaranya sendiri.

Tubuh Nayla melemas, tanpa dia bisa melakukan apa-apa. Waktu merayap pelan, menyiksa, dan tak memberi jeda. Detik demi detik terdengar seperti siksaan di telinga Nayla. Ruang tamu yang luas itu kini tak ubahnya seperti penjara mewah.

Dia berdiri di depan pintu utama, mencoba sekali lagi memutar gagangnya. Tetap terkunci. Lagi-lagi.

“Brengsek!” umpatnya.

Hidup Nayla seolah berangsur lebih rumit. Belum lagi, bayangan wajah Nathan yang seolah selalu menyelinap di antara bayangan tembok. Senyum manis yang dulu membuatnya jatuh cinta, kini menjelma tamparan keras yang membekas. Pria yang dia sebut sebagai suami, kini menjelma menjadi ujian terbesarnya.

Nayla akhirnya menghempaskan tubuhnya ke sofa. Ingin menangis atau meronta, tapi dia sudah terlalu lelah. Atau bisa jadi sudah menyerah.

Damian masih belum kembali hingga hari lewat petang. Nayla akhirnya memutuskan berjalan pelan menuju sisi kiri dapur. Rumah itu terlalu sepi, terlalu besar, dan terlalu asing. Dia butuh sesuatu, apa saja, untuk membuat malam ini sedikit lebih kabur.

Sebotol whiskey setengah penuh berdiri angkuh di antara botol-botol elegan lainnya. Tangannya terulur. Tanpa berpikir panjang, dia menuangkan isi botol ke dalam gelas kristal, tanpa es, dan tanpa basa-basi.

Tenggakan pertama membuat tenggorokannya terbakar. Namun, anehnya, rasa sakit itu sedikit menghangatkan dadanya. Memberi sensasi bahwa dia masih hidup.

Gelas ke dua datang lebih cepat. Lalu yang ke tiga, ke empat, dan seterusnya.

Di tengah aroma kayu manis yang samar dan nyala lampu temaram, Nayla terduduk di lantai. Punggungnya bersandar pada kaki sofa, matanya mulai redup, pikirannya mengambang, dan dalam keheningan itu, semua pertahanan mulai runtuh.

Damian menemukannya setelah Nayla tampak benar-benar mabuk. Kedua lutut Nayla ditarik ke dada. Jarinya masih menggenggam lemah gelas terakhir yang isinya nyaris habis.

“Kalau kamu ingin melupakan sesuatu, ada cara lain yang tak membuatmu pusing besok pagi,” ucap Damian.

Nayla tertawa kecil, miris. “Tapi cara lain itu tidak secepat ini.”

Damian mendekat, duduk di kursi seberangnya, dan menjaga jarak. Dia tidak merampas gelas dari tangan Nayla, tidak pula menegur. Dia hanya diam, menunggu.

Lalu, tanpa benar-benar merencanakannya, Nayla mulai berbicara.

“Aku muak,” bisiknya. Kata-kata itu nyaris lenyap di antara detak jarum jam.

Damian tetap diam, hanya menatapnya. Tidak menginterupsi. Tidak menanyakan apa.

“Semua orang melihatku sebagai istri sempurna dari pria sempurna,” lanjutnya dengan suara yang mulai pecah. “Kamu tahu bukan? Nathan adalah publik figur. Terlalu tampan untuk menjadi buruk. Terlalu pintar untuk terlihat salah.”

Nayla mengangkat gelasnya lagi, menenggak beberapa tetes sisa isi sebelum menaruhnya di meja dengan bunyi pelan.

“Aku pikir dia mencintaiku. Aku pikir... pernikahan kami berarti sesuatu. Tapi ternyata aku cuma pajangan. Sesuatu yang cantik untuk dipamerkan di depan media.”

Damian masih diam. Dia tidak menyela, bahkan sama sekali tidak bergerak.

Nayla tertawa hambar sebelum kembali bersuara. “Nathaniel Wyatt Sinclair. Anak emas Indonesia-Australia. Aktor kesayangan ibu-ibu, menantu impian seantero negeri.” Dia tertawa lagi. “Dan aku? Aku cuma istri yang katanya dingin, terlalu sibuk bekerja, terlalu banyak memikirkan prinsip. I'm nothing.”

“You're not nothing.” Damian akhirnya bersuara.

“You know what? Dia bilang dia mencintaiku.” Suara Nayla melemah. “Tapi juga ingin tidur dengan orang lain.”

Damian tidak menunjukkan keterkejutan. Hanya sepasang mata yang semakin gelap.

"Pernikahan terbuka," lanjut Nayla, suaranya getir. "Kamu tahu apa yang lebih menyakitkan dari perselingkuhan diam-diam? Adalah ketika seseorang yang kamu cintai dengan sadar memintamu untuk merelakan kesetiaan.”

Damian memilih tidak merespon pernyataan ini. Dia hanya berniat memberi Nayla ruang untuk membongkar semua yang sudah lama terkunci.

“Open marriage, katanya. Biar dia bisa eksplorasi. Katanya ini normal dan modern. Tapi kenapa aku merasa seperti ditusuk?” Nayla tertawa hambar, matanya mulai berkaca-kaca.

“Non. Kamu sudah cukup mabuk,” pungkas Damian saat Nayla berniat meraih gelas yang ke sekian.

Tawa Nayla pecah lagi, bedanya, kini disertai dengan air mata. “Lucu, ya. Aku bahkan sempat bertanya-tanya mungkin akulah yang egois karena merasa keberatan.”

Damian hanya memandangnya, seolah tahu bahwa jika dia bicara sekarang, Nayla akan menutup diri lagi.

“Aku mencoba memahaminya,” lanjut Nayla pelan. “Kita sudah menikah lima tahun. Dia bilang itu hal yang wajar dalam hubungan jangka panjang. Dia bahkan mengutip artikel psikologi yang dia baca, seakan semua ini punya landasan ilmiah yang tidak bisa dibantah.”

Jemari tangan Damian terulur ke arah pipi Nayla. Aura tubuhnya masih gelap. Dia tetaplah Damian yang tampak tak punya hati. Hanya saja, dia benci saat melihat air mata wanita nyata mengalir di depan matanya.

“Aku bilang aku butuh waktu. Lalu Nathan jawab: ‘Ambil sebulan atau dua bulan, tapi pada akhirnya aku akan tetap menjalaninya, dengan atau tanpa izinmu.’”

Damian menatapnya lama. Ada sesuatu di balik matanya yang menyipit. Bukan iba, tapi penghormatan terhadap luka yang baru saja Nayla buka di hadapannya.

“Aku mulai mempertanyakan nilai diriku sendiri. Apakah aku cukup? Apakah aku membosankan? Apakah aku sudah kehilangan daya tarikku? Aku benci itu. Benci bahwa aku mempertanyakan semuanya hanya karena dia ingin berbagi ranjang dengan wanita lain.”

Diam menggantung di antara mereka selama beberapa saat.

“Aku merasa… kecil,” bisik Nayla. “Dan aku tidak tahu, berapa lama aku bisa terus bertahan.”

Damian bangkit berdiri, mendekat hanya satu langkah, lalu akhirnya meraih tubuh Nayla untuk didekap. Damian tidak berbicara apa pun, tidak menjamin apa pun, dan tidak menjanjikan apa pun.

Namun, malam itu, Nayla merasa tubuhnya telah berhenti berperang.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Under His Darkness   5. Cerai

    “Cerai?” Suara Nathan terdengar pelan, tapi tajam.Nayla tidak menunduk. Matanya tetap menantang ke arah pria yang dulu pernah dia cintai. Atau lebih tepatnya, dia pikir, pernah dia cintai.“Nayla, jangan bercanda.”“Aku serius,” pungkas Nayla. “Aku sudah memutuskan, lebih baik kita bercerai.”Nathan beranjak mendekat. Senyumnya masih bertahan. Namun, Nayla bisa melihat ekspresi penuh perhitungan di balik topeng yang menampakkan kehangatan dan keramahan.“Sayang, aku mengerti kamu sedang lelah,” katanya lembut, seolah kalimat itu bukan bentuk pengabaian, melainkan pelukan. “Pernikahan memang tidak selalu mudah. Dan pikiranmu sedang kacau, sampai-sampai kamu terpikirkan ide gila seperti itu.”Nayla tertawa hambar. “Justru ini adalah ide paling waras yang pernah aku buat dalam kehidupan rumah tangga kita yang gila.”Nathan berdiri perlahan dari kursi. Sejenak, dia merapikan kerah jasnya. Gerakannya tenang, nyaris teatrikal. Tak lupa, dia juga mengusap rambut Nayla lembut, meski yang bis

  • Under His Darkness   4. Nathaniel Wyatt Sinclair

    Nayla terbangun dengan penuh rasa malu. Bukan karena sinar matahari yang menampar wajahnya, bukan juga karena tubuhnya yang dingin karena lupa menarik selimut. Namun, karena ingatan semalam menelanjangi dirinya habis-habisan. Kepalanya terus berdenyut. Pahit alkohol masih tertinggal di lidah. Perih juga mengitari perut yang sejak kemarin kosong. Namun, bukan itu yang paling menyakitkan. Yang paling menyakitkan adalah fakta kalau Damian sudah dia biarkan melihat kelemahan yang dia tunjukkan semalam. Terlalu banyak yang Nayla ingin tarik kembali. Namun, semuanya sudah telanjur tumpah. Ratapannya, cerita pahitnya, dan rasa sakit yang selama ini dia sembunyikan di balik senyum buatan. "You're awake," ucap Damian datar. Nayla tidak menjawab. Dia lantas menarik napas, lalu duduk perlahan sambil merapikan rambutnya seadanya. Bahunya berat, sekujur tubuhnya linu, dan kedua kakinya seolah tak bertenaga. Ponsel dengan daya yang hampir habis diraih dari atas nakas. Nayla sempat melirik kal

  • Under His Darkness   3. Pernikahan Terbuka

    Pagi datang seperti penghukuman. Terang yang menyusup dari celah tirai terasa terlalu kejam, menyinari tubuh Nayla yang masih tergeletak di atas ranjang asing. Sepi menggema di seluruh ruangan, tapi di dalam kepalanya, suara-suara semalam masih menjerit. Suara napas mereka, suara desahan, suara meja yang bergeser kasar. Semua itu menari di benaknya, seperti kutukan yang tak bisa dihapus.Tubuhnya masih panas, tapi hatinya dingin. Dingin karena kenyataan menampar lebih keras daripada ciuman Damian semalam. Nayla perlahan bangkit, mengamati setiap sudut kamar yang baru pertama kali dia lihat, tapi dia tentu sudah tahu siapa pemiliknya.Damian masuk tanpa mengetuk. Tentu saja. Pintu terbuka dengan suara pelan, tapi cukup untuk membuat Nayla reflek menegakkan tubuh.“Aku tidak mengundangmu masuk,” ucap Nayla pelan, meski jantungnya berdetak seperti palu godam.Damian memindai kamar itu sejenak sebelum matanya mendarat padanya. “Ini kamarku.”“Kamu memberikannya padaku tadi malam.” Nayla m

  • Under His Darkness   2. Menjual Jiwa

    Musik dari lantai dansa masih berdentum samar. Ruang ini terlindung dari keramaian, tapi justru disitulah bahayanya. Udara menjadi lebih berat, seperti mencerminkan sesuatu yang belum terjadi, tapi akan segera meledak. Begitu Damian menutup pintu, napas Nayla langsung tercekat. Bunyi klik kunci terdengar seperti palu terakhir yang berhasil memakunya ke neraka. Tidak ada jalan pulang. Tidak ada ruang untuk keraguan. Hanya mereka berdua dan dosa yang menunggu untuk ditelan. “Duduk,” titah Damian singkat. Nayla tidak menjawab, hanya menatap. Damian tampak seperti sesuatu yang seharusnya ditolak, tapi terlalu indah untuk dihindari. Pria itu terlalu menggiurkan, meski sungguh, Damian juga terlalu berbahaya jika diterjang. “Nayla Moretti,” lirih Damian dengan suara sedikit serak. Pria berdarah Italia itu mendekat pelan. Ketenangan gerakannya membuat Nayla justru merasa seperti sedang dicekik secara perlahan. Semakin dekat, semakin membuat Nayla sesak. Tubuh Damian yang tegap selaras d

  • Under His Darkness   1. The Night

    “Nayla!” Adrian Moretti memekik kencang sambil melangkah menembus kerumunan. Wajahnya kaku seperti dipahat dari batu. Sorot matanya menghunus ke satu sosok wanita. Nayla Moretti, adik perempuannya.Nayla duduk di bar dengan kaki bersilang. Minuman berwarna kekuningan tersemat pada jemari tangan. Tak bisa dipungkiri, tubuhnya terlalu mengundang saat dibalut pakaian semi transparan dengan kesan setengah telanjang.Mendengar suara Adrian, Nayla sama sekali tidak menoleh. Dia memilih untuk hanya tersenyum tipis. Mata cokelat dengan bulu matanya yang lebat justru sibuk memandangi kilau gelas.Jemari yang lentik tampak pantas saat dihias dengan kuku panjang berwarna merah menantang. Wajah sinisnya tertangkap jelas di bawah kilatan lampu berwarna campuran merah dan ungu. Meski ekspresinya sama sekali tidak ramah, tapi Nayla tak bisa lagi menghitung berapa banyak tatapan lapar yang tertuju padanya.“What the hell are you doing here?” tanya Adrian yang sudah berdiri di sebelahnya.Dia lantas

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status