“Aku ada di kursi belakang,” ucap Adrian begitu Nayla memasuki ruang.
Nayla mengangguk. “Kamu akan baik-baik saja.” Nayla mengangguk sekali lagi. Adrian sempat menunduk, mencium pelipis adiknya dengan lembut. Lengannya merengkuh tubuh Nayla singkat, tapi sudah cukup untuk meredam gemetar yang tak tampak. Ada doa yang dia tanamkan, lengkap dengan saluran keberanian yang dia tahu Nayla butuhkan. Arah tubuh Nayla kemudian berpindah, meninggalkan dekapan keluarga, dan bersanding dengan Hartono. Sosok yang hari ini berdiri sebagai wakil hukumnya. Bukan pelindung, bukan sahabat, hanya seorang profesional yang akan menjembatani keputusannya untuk manamatkan segalanya. “Sudah siap?” tanya Hartono. Nayla mengangguk. “Aku tahu aku harus siap.” Nayla duduk, punggungnya lurus, rahangnya mengunci. Dari kejauhan, Nathan sempat memandangnya sesaat, lalu tersenyum. Senyum yang diaKasur di sebelahnya masih hangat. Itu hal pertama yang disadari Nayla ketika membuka mata. Bukan cahaya pagi yang menyelinap dari celah jendela, bukan pula aroma samar kopi dari kejauhan. Namun, kehangatan yang masih tertinggal di sisi ranjang yang tak lagi terisi. Artinya, Damian belum lama pergi. Artinya, sejak semalam, sejak semua kata dan ciuman yang tak bisa disebut kasih sayang, tapi juga tak bisa dimasukkan ke dalam kotak kekerasan, Nayla ditemani olehnya. Entah sebagai penjaga, penjajah, atau sesuatu di antaranya. Matanya belum sepenuhnya jernih, tapi pikirannya langsung mengaitkan semua yang terjadi di antara mereka berdua. Dia tahu, keintiman itu bukan bentuk damai. Dia tahu, kedekatan itu bukan cinta dalam bentuk yang sehat. Namun, dia juga tahu, apapun yang terjadi, Damian tidak akan pernah meninggalkannya. “Kamu sudah bangun?” Suara itu datang bersamaa
Hening mengendap selama beberapa saat. Meski sudah mencoba memejamkan mata, Nayla masih terjaga sepenuhnya. Dia pun tahu kalau Damian masih belum memejam, dan masih mengamati sisi wajahnya.“Amore.” Suara Damian terdengar lirih.“Hm?”“Aku tahu kamu masih berpikir kalau aku bersikap terlalu jauh kepada Nathan.”Nayla tidak menjawab.Damian melanjutkan, “Tapi seandainya kamu melihat wajahmu waktu itu.”Napas Nayla sedikit tertahan.“Waktu kamu berdiri di depan hakim, dengan semua luka yang kamu tahan sendiri,” ucap Damian pelan, nyaris seperti gumaman. “You know what, Amore? Aku ingin melempar semua orang ke luar ruangan, dan membakar tempat itu, lalu menyelesaikan sisanya dengan caraku.”Nayla terpaku. Matanya menatap ke satu titik di dinding, tapi penglihatannya mulai buram. Dia mengingat ruangan itu. Ruangan yang dingin dan kaku.Nayla menelan napas berat. Ada bagian dari dirinya yang ingin menyangkal
Tubuh Nayla terpaku. Semua rasa marah, semua dendam, bertemu dalam sebuah kebingungannya yang tidak bisa dia cerna.“Apa yang sebenarnya kamu inginkan dariku, Damian?” tanyanya akhirnya.Damian tertawa pelan, senyumannya semakin menggoda. “Aku hanya ingin kamu mengerti. Tidak lebih, tidak kurang.”Satu detik. Dua detik.Nayla tahu dia harus mundur. Harus menyingkir, membuang wajah, atau setidaknya bersuara. Namun, Damian sudah menatapnya dengan cara yang lain. Tatapan yang tidak seperti milik predator yang ingin memangsa, melainkan milik seseorang yang memelihara rasa dalam diam yang terlalu lama.“Jangan,” bisik Nayla, hampir tak terdengar.Damian tidak menjawab. Hanya tangannya yang terangkat, menyentuh sisi wajah Nayla. Tidak kasar. Tidak tergesa. Hanya menyentuh, lalu menunduk, lalu semakin mendekat.Nayla masih belum bergerak.Bibir Damian akhirnya kembali menyentuhnya. Tetap secara paksa. Namun, ada sesuat
Udara di tenggorokan Nayla sempat tersendat. Detik berikutnya, napas Nayla mengalir pendek, tapi langsung tersedak oleh aroma tubuh Damian yang membingungkan. Asing, tapi juga terlalu dikenal. Saat napas Damian menyapu belakang telinga Nayla, permukaan kulitnya langsung bereaksi. Merinding di sepanjang lengan, seolah syarafnya membangunkan ingatan yang sempat dia kubur. Jantungnya berdetak di tempat yang salah. Di dasar perut, di pangkal tenggorokan, di ujung jemarinya yang mengepal diam-diam. “Satu teriakanku sudah cukup untuk membangunkan Adrian,” ucap Nayla. “Lalu kenapa kamu tidak melakukannya?” Genggaman Damian lantas berpindah, menelusuri sisi lengan Nayla perlahan. Gerak tangannya seperti sedang menyusun ritme sebelum petaka. Dalam sekali tarikan, tubuh Nayla diputar meninggalkan jendela. Jantung Nayla refleks memukul tulang dada saat Damian mencengkeram dagunya. Dia mengangkat sedikit
Nayla tak tidur malam itu. Isi kepalanya terus bergerak tanpa arah. Persis seperti kompas yang kehilangan utara.Ponsel masih menyala di tangannya. Dunia mungkin tengah merayakan kehancuran Nathan. Namun, di dalam dirinya justru merasakan kekosongan yang ganjil. Seolah balas dendam itu datang terlalu cepat, terlalu kejam, dan terlalu sunyi.“Nayla.”Suara lirih dari balik pintu nyaris tidak tertangkap rungu. Namun, sunyinya ruang membuat Nayla bisa mendengar dengan cukup jelas bagaimana namanya dipanggil. Meski begitu, bibirnya tetap tidak tergerak untuk menjawab.Pintu kamar tamu itu terkunci. Namun, tentu tidak berlaku untuk si pemilik rumah.Tanpa permisi, Damian memutar handle. Dan benar saja, pintu itu langsung terbuka. Tidak semua kunci bekerja padanya. Beberapa, barangkali, memang memilih menyerah.Di tangan kiri Damian, tergantung satu set pakaian tidur dan perlengkapan pribadi untuk Nayla. Semua dibungkus rapi. Tidak ada
Nathan sekarat.Napasnya memburu. Embusannya tidak teratur, seperti orang yang baru saja dikeluarkan dari air setelah hampir tenggelam. Keringat dingin menetes dari pelipis, menyusuri garis rahang, dan berhenti di leher yang menegang.Lututnya goyah. Tubuhnya limbung. Jantungnya berdebar cepat oleh rasa panik yang tak bisa dia atasi. Emosinya meledak, mengguncang setiap sudut pikirannya."Fucking hell!" bentaknya sambil menendang meja kecil di depannya.Dengan satu hentakan, dia melempar vas kristal di atas meja. Suara pecahnya memenuhi ruangan, tapi tak cukup untuk menyaingi dentuman di dadanya.Tangannya menabrak sisi meja, menjatuhkan laptop dan kertas-kertas kontrak yang baru seminggu lalu ditandatangani. Selembar foto promosi film terbang dan mendarat di lantai, tepat di atas pecahan kaca.“Sialan!”Tumpukan majalah promosi berserakan. Gelas kopi pecah, cairannya menyebar di atas marmer seperti noda malu yang tak bi