Gelisah.Otak Nayla berdesir, menolak untuk tenang. Dia mencoba menukar makna warna merah itu dengan apapun yang lebih masuk akal. Tumpahan saus, kopi, atau mungkin cat. Namun, tidak. Polanya, warnanya, bahkan cara serat kain menyerapnya, Nayla bisa memastikan kalau itu memang darah.Pikiran Nayla berisik. Kemungkinan demi kemungkinan berdesakan, saling bertubrukan. Apakah darah itu milik Damian sendiri? Sepertinya bukan. Kalau miliknya, Damian pasti akan tahu. Lalu milik siapa? Apa yang baru saja Damian lalui sebelum datang ke sini? Dan kenapa? Kenapa selalu ada sesuatu yang disembunyikan di balik tatapan dan perilakunya yang selalu tenang?Nayla memalingkan wajah sepersekian detik, cukup untuk mengatur ulang ekspresinya. Saat dia kembali menatap, Damian sudah menangkap kedua manik miliknya. Tatapan pria itu tidak bertanya, tidak pula menantang. Namun, sepertinya dia mulai sadar tentang alasan Nayla melihatnya dengan cara yang berbeda.“Bukankah kamu lebih baik tidur?” ucap Damian ti
Suara itu, aroma tubuh itu, sesuatu yang sangat Nayla kenal, membelah kesadarannya yang masih setengah tertidur.“Sudah kamu beri obat penurun panas?”“Sudah, tapi dia menolak saat aku mengajaknya ke rumah sakit.” Kali ini suara Carina terdengar sangat jelas meski lirih.Kedua mata Nayla seketika terbuka lebar, tiba-tiba, sama sekali tidak perlan-pelan, persis seperti seseorang yang terkejut. Tepat ketika kelopak matanya tak lagi menghalangi pandangan, dunia Nayla terasa seolah bergeser sekian derajat. Damian sudah berdiri tepat di sisi kanannya, sementara Adrian duduk bersisian dengan Carina.Tubuh Nayla refleks bangkit dari sofa. Selimut yang menyelimuti kakinya jatuh berkerut di lantai. Napasnya tercekat ketika pandangan matanya menabrak dua sosok pria di ruang ini. Mereka benar-benar ada di sini. Di rumahnya.“Bagaimana…?” Suaranya nyaris tak keluar. Tenggorokannya kering. Pandangannya berpindah cepat dari satu wajah ke wajah lain, mencari penjelasan dan alasan yang masuk akal.Da
Hari kemarin berlalu tanpa kejadian berarti. Tak ada bel gerbang yang berbunyi, tak ada telepon yang berdering tiba-tiba, juga tak ada pesan aneh yang masuk. Namun, bagi Nayla, rasanya tetap melelahkan, tetap menguras emosi, dan tetap menyisakan kebingungan.Nayla memang berhasil tidur dengan durasi sedikit lebih panjang, tapi bangun pagi ini tetap dengan kepala berat dan tubuh yang seperti belum pulih. Carina masih setia menginap di rumah. Entah untuk membantu mempersiapkan projek stylish, atau sekadar menjadi teman bicara.“Kamu terlihat kelelahan,” ucap Carina.“Iya, padahal aku sama sekali tidak melakukan apapun.”Carina lantas menempelkan punggung tangan pada dahi dan leher Nayla. “Kamu demam. Perlu ke rumah sakit?”Nayla menggeleng pelan. “Tidak. Aku hanya butuh istirahat.”“Kamu yakin?”“Yakin. Aku minum obat saja.”Carina tidak membantah, hanya mengambilkan segelas air dan sebutir obat dari kotak P3K kecil yang tertempel di dinding. Nayla meneguknya perlahan, lalu membaringkan
Keheningan kembali merambat di dalam kamar setelah sambungan telepon terputus. Udara sekitar terasa menebal. Seperti sebuah ketegangan, tapi tidak bisa sepenuhnya disebut tegang. Seperti kewaspadaan, tapi di sisi lain, Nayla sama sekali tidak merasa harus takut akan apapun. Jadi, mungkin semua itu lebih tepat dinyatakan sebagai kebingungan.Hingga setengah jam Nayla tidak melakukan apapun, Carina akhirnya datang. Nayla sempat melirik dari jendela untuk memastikan itu benar-benar sahabatnya. Begitu melihat rambut cokelat yang sudah akrab di matanya dan tote bag besar yang biasanya dia bawa, Nayla baru merasa lega.“Kamu tidak tidur?” Itulah pertanyaan pertama yang terlontar begitu Carina masuk.“Tidur.”Carina terkekeh. “Anggap saja aku percaya.”Nayla tidak menjawab, hanya tersenyum hambar, lalu duduk di sofa ruang tengah.“Lalu siapa pria itu? Yang dibicarakan media.”“Damian.”Carina menganggukkan kepala beberapa kali. “Sudah kuduga. Lucunya, media menggiring opini seolah itu adalah
Deru mesin kendaraan terdengar saat Nayla keluar dari kamar mandi. Rambutnya basah, jatuh di atas bahu. Jejak air tertinggal di ujung kimono satin yang membungkus tubuhnya. Kaki telanjangnya kemudian menapaki lantai kayu, berniat mencari tahu ke sumber suara.Lamat-lamat, Nayla bisa mendengar mobil yang seperti berhenti di tepi jalan depan. Sunyi menguasai seisi rumah selama sepersekian detik. Tak lama, suara bel dari gerbang terdengar samar.Nayla berhenti di tengah ruang tamu. Alisnya berkerut dengan kepala sedikit menoleh ke arah jendela besar yang tertutup tirai tipis. Bel itu berbunyi sekali lagi, kali ini lebih jelas. Rasa ingin tahu mendorong kedua kakinya untuk melangkah, membuat dia bergerak menuju pintu untuk sekadar mengintip.Namun, belum sampai setengah jalan, ponselnya tiba-tiba berdering. Nama yang tak asing segera muncul di layar. Damian."Halo?"“Di mana kamu?” Nada suara Damian datar, tapi ada ketegangan yang tidak bisa disembunyikan.“Di rumah.”“Di kamar? Atau dapu
Nama Adrian muncul berulang kali di layar ponsel Nayla. Jumlah panggilan tak terjawab semakin banyak setiap jamnya. Dia tahu Adrian khawatir. Bahkan, mungkin merasa kasihan.Dan di satu titik, Nayla pun sebenarnya kasihan pada dirinya sendiri. Pada tubuhnya yang lelah, matanya yang nyaris tak pernah istirahat, pikirannya yang berantakan, dan hatinya yang terus terasa kosong sekaligus kacau. Namun, rasa kasihan itu segera dia dorong jauh-jauh. Dia memilih menjadi kuat, atau setidaknya tampak kuat.Nayla sempat menjawab telepon Adrian sekali. Hanya untuk memastikan bahwa dirinya baik-baik saja. Hanya agar Adrian tidak terlalu khawatir dan banyak bertanya. Namun, tak seberapa lama mereka bicara, Nayla buru-buru menutup sambungan dengan alasan ada pekerjaan yang harus diselesaikan.Pekerjaan itu memang ada. Setumpuk kotak aksesoris berserakan di ruang tamu, menunggu untuk disortir dan dicatat, bagian dari persiapan styling yang akan datang. Sialnya, tangan Nayla hanya memindahkan barang d