Langkahnya terhuyung di antara gelap yang menggantung di langit kota. Nafas Ainsley memburu, dadanya naik turun tak beraturan, seolah paru-parunya tak lagi sanggup menerima dunia. Suara sepatu bot aparat masih terngiang, makin jauh tapi belum hilang. Ia menatap ke depan yang menampakkan gang sempit dengan tembok tua yang menghitam, aroma besi, dan bau lembab yang menyesakkan.
Udara malam menusuk kulit, tapi bukan itu yang membuat tubuhnya gemetar. Asma. Ia merogoh saku jaketnya dengan gemetar, berharap inhaler itu masih ada. Tak ada. Hanya selembar kertas basah dan batu kecil yang entah kapan terselip di sana. Matanya menatap langit. Bulan menggantung pucat di antara reruntuhan awan. "I can't take it anymore," bisiknya lirih sebelum lututnya goyah. Di ujung gang, lampu kuning temaram menyala dari balik jendela. Sebuah toko tua dengan papan kayu yang nyaris runtuh, bertuliskan huruf pudar “Batera Bookstore.” Tak ada suara. Tak ada tanda kehidupan. Tapi itu satu-satunya cahaya di antara gelap. Dengan sisa tenaga, Ainsley menyeret tubuhnya mendekat. Setiap langkah terasa seperti menghantam batu. Ia menyentuh gagang pintu, lalu dunia runtuh bersama dengannya—jatuh diam di ambang pintu, tubuh terkulai, nafas nyaris habis. Lalu suara langkah datang. Tenang. Tak tergesa. Sepasang mata kelam menatapnya dari balik pintu kaca. Valenha Batera berdiri dalam diam, seperti bayangan yang lupa bergerak. Pria itu berjongkok perlahan, menatap wajah Ainsley dengan sorot tak terbaca. Dingin. Hening. Seolah dunia memang diciptakan untuk sunyi seperti ini. Tanpa banyak tanya, ia mengangkat tubuh Ainsley dan membawanya masuk. Di dalam, toko itu berisi tumpukan buku tua, rak kayu berderit, dan aroma kertas yang usang tapi hangat. Valenha meletakkannya di sofa dekat rak puisi klasik, lalu menyalakan pemanas ruangan. Ia menatap wajah Ainsley sekali lagi, seolah mencoba membaca cerita dari garis wajah yang kacau oleh debu dan peluh. “Astmatik,” gumamnya pendek, lebih pada diri sendiri daripada pada gadis itu. Ia pergi ke dapur, mengambil sesuatu dari laci—bukan inhaler, tapi ramuan herbal dalam botol kecil. Ia tahu itu tak menyembuhkan, hanya menunda. Tapi terkadang, penundaan adalah bentuk pertolongan yang paling realistis. Ainsley tak benar-benar sadar, tapi tubuhnya perlahan tenang. Ia merasa hangat, seperti berada di ruang yang tak menghakimi. Antara sadar dan tidak, ia mendengar suara tetapi bukan suara aparat, bukan ancaman, hanya satu kalimat lirih dari lelaki asing yang menyelamatkannya. “Girl, Kalau kau bersembunyi di tempat yang tak dicari siapa pun, kau mungkin selamat.” Ainsley tak tahu siapa dia. Tapi entah kenapa, dada yang semula sesak kini terasa… sedikit lebih ringan. **** Tubuhnya masih terasa berat, tapi perlahan kesadaran mulai kembali. Matanya terbuka sedikit, cahaya hangat menari di langit-langit kayu, aroma kayu manis dan teh hitam menguar samar dari arah dapur. Ainsley menggeliat pelan. Selimut wol kelabu membalut tubuhnya. Entah sejak kapan. Entah siapa yang memberikannya. Ia duduk perlahan, mengerjap saat pandangan bertemu rak-rak tinggi penuh buku dengan sampul lusuh. Ruangan itu terasa tua, tapi tenang. Seolah waktu berjalan lambat di sini. Di antara tumpukan kisah dan kenangan yang tertinggal dalam debu. Pintu dapur berderit—nada alt yang nyaris musikal. Valenha muncul, rambut cokelat gelap berantakan secukupnya, mata legamnya memendarkan kejelasan musim dingin yang belum retak. Ia menatang secangkir teh beruap, menaruhnya di meja kecil bersisa ruang untuk tiga naskah dan satu bisu. “Minumlah. Itu akan membantu,” ucapnya, datar namun tak bermusuhan. Ainsley mengulurkan tangan. Jari-jarinya bergetar lirih saat menyentuh porselen hangat. “Kau yang menolongku? but why?” suara seraknya memecah gelembung keheningan. Valenha menimbang kata. “Aku enggan menyaksikan seseorang meregang nyawa di ambang tokoku,” jawabnya perlahan. Kedengarannya seperti alasan sederhana, mungkin terlalu polos. Ainsley tidak mendesaknya, ia tahu motif terdalam manusia kerap dilapisi kalimat-kalimat ringan bagaikan kertas nasi. “Namamu?” bisiknya, uap teh mengaburkan pandangannya sebentar. “Valenha.” “Only that?” “Valenha. Perkenalan itu sudah lebih dari cukup,” tuturnya, menoleh ke jendela gelap yang memantulkan kilau bulan. Ainsley membiarkan keheningan menua beberapa detik sebelum ia berbisik, “Aku Ainsley.” Nama itu di dunia luar hanyalah label dosa berderet di arsip polisi, tapi di ruang sunyi ini ia terdengar hampir suci. Valenha mengangguk tipis. Tatapannya mengingatkan Ainsley pada perpustakaan magnetik—sebuah ruang rahasia yang menyimpan lebih banyak rahasia daripada buku. Anehnya, gadis itu justru merasa aman, seolah lelaki asing ini memelihara oasis hening bagi jiwa-jiwa yang kehausan. “Kau boleh menetap hingga fajar,” Valenha akhirnya berkata. “Jangan menyentuh apa pun, dan jangan menginjakkan kaki ke trotoar sebelum matahari bersuara.” Perintah itu lebih mirip nasihat bijak ketimbang ancaman. Ainsley mengangguk, tubuhnya belum siap menyalin keberanian. Dadanya masih menyisakan gema sesak, ceruk kosong yang baru ditinggalkan badai. Valenha berbalik, langkahnya menghilang di balik rak-rak tebal, meninggalkan gadis itu bersama teh, buku-buku, dan malam yang berkepak pelan. Di luar, rembulan masih menggantung tinggi. Menyaksikan dua orang asing di satu titik pertemuan yang tak pernah mereka rencanakan. **** “Bagaimana nasibku setelah ini?” Gumaman itu mengudara. Rasa bingung merayap di dalam pikiran Ainsley. Matanya mengelilingi toko buku ini. Suram tetapi Ainsley dapat merasakan jika tempat ini lebih baik dibanding harus berlarian dan bermain kejar-kejaran bersama aparat. “Terdengar tidak tahu diri jika aku memintanya menampung diriku di sini,“ monolognya tersenyum hambar. Ainsley menatap Valenha yang berhadapan dengan seorang kakek. “Toko buku yang terlihat mati ini bahkan nyaris masih ada pelanggannya?” Kakek itu menoleh, menatap Ainsley dengan senyum simpati. “Kau terlihat pucat, Nona.” “Sakit asma,” jawab Valenha cepat, seakan ia sendiri yang bertanggung jawab atas diagnosis. “Oh, putriku juga mengidapnya,” gumam Richter, mendekati rak esai sejarah. Ia menelusuri judul-judul dengan jari gemetar. “Aku mencari ‘Chronicles of the Forgotten Emperors’ edisi jilid dua. cucu-cucuku menunggu kisah penutupnya.” Valenha menuntun sang kakek ke lorong kiri, tangannya sigap menarik tangga kecil beroda. Ainsley memperhatikan bagaimana lelaki itu menuruni anak tangga usai menemukan buku dengan gerakan sehalus angin. Dalam sekilas, ia menangkap raut lembut di wajah Valenha yang nyaris mustahil terlihat saat ia menegur barusan. Mungkin lelaki ini bukan sekadar penjual buku, mungkin ia penjaga dunia di mana kisah-kisah terlupakan tetap diberi tempat bernafas. Richter membayar, menyelipkan koin tipis serta sepucuk catatan pada telapak Valenha. Sambil menutup pintu, ia berkata lirih, “Terima kasih, nak. Kau selalu menjaga bab-bab yang dunia pilih untuk melupakan.” Setelah pria tua itu lenyap di balik kabut dingin, Valenha menatap catatan di tangannya—wajahnya mengeras. Ia menyimpannya di saku, menyadari tatapan Ainsley. “Apa isi catatan itu?” tanya gadis itu pelan, setengah menyesal setelah ucapan meluncur. “Bukan urusanmu,” jawabnya pendek, namun tidak menghardik. Ia membersihkan meja kasir, seolah percakapan telah selesai. Ainsley menatap lantai, menahan rasa ingin tahu yang berdenyut. Ia mengerti garis batasnya bahwa ia hanya tamu, ia ancaman potensial, dan ia masih berada dalam mata bidik dunia luar. Hingga nalam melarut, jam saku raksasa kini menandakan 5:40—entah bagaimana jarum bergerak lagi. Angin menggigiti kusen, memanggil fajar. Fajar menghembuskan abu-abu pucat ke tepi awan saat Valenha menyalakan lampu gantung terakhir di koridor belakang. Ia menunjuk sebuah kamar mungil berisi ranjang besi, lemari tipis, dan jendela kecil. “Tidurlah di sini. Aku harus membuka toko pukul sepuluh. Kau aman selama menetap di lantai dua.” “Kau tidak mengusirku setelah fajar?” “Aku tau kau ingin tinggal. Hiding here is half safe, aku mengizinkanmu tinggal disini selalu beberapa hari,” jawab Valenha. Ainsley berterima kasih dengan anggukan teredam kantuk. Saat ia merebahkan diri, ia mendengar gemerisik halaman buku di lantai bawah—Valenha sedang menata ulang etalase, barangkali menanggalkan malam dengan ritual harian. Gadis itu memejamkan mata, merasakan inhalasi pertamanya tanpa rasa terancam dalam hitungan pekan.Ainsley duduk di lantai toko buku, tubuhnya bersandar pada rak bagian pojok. Matanya sembab. Tangan kanannya masih menggenggam cangkir yang kini dingin sepenuhnya, dan tangan kirinya menutup perut—seolah mencoba melindungi sesuatu yang baru tumbuh, sesuatu yang kini terasa begitu rapuh. Tak ada suara lain kecuali detik jam dinding dan sesekali bunyi kayu tua yang mengerang terkena angin lembap. Dunia di sekitarnya membeku. Sampai pintu belakang toko dibuka dengan paksa. Elric masuk, setengah basah oleh hujan, jaket kulitnya meneteskan air ke lantai. Ia berhenti sejenak saat melihat Ainsley duduk di lantai, wajahnya tanpa warna, seperti lilin yang hampir padam. “Aku minta maaf,” katanya pelan. Ainsley tidak menjawab. Elric meletakkan dokumen di atas meja kasir. “Aku tidak bisa memberitahumu sebelumnya. Ini bukan karena kami tidak percaya padamu.” Ainsley mengangkat wajah perlahan. Matanya kosong. “Tapi kalian mencabut hakku untuk memilih.” Elric mendesah, lalu duduk di bangku d
Langit berwarna putih pudar, seperti lembaran kosong yang menunggu untuk ditulisi. Kota masih sunyi ketika mobil hitam tua milik Elric meluncur perlahan keluar dari gang belakang toko buku. Di dalamnya, Ainsley duduk dengan tangan yang tak henti meremas-remas tas kecil di pangkuannya, sementara Valenha duduk di samping, menyapukan pandangan ke jendela. Beberapa hari yang lalu, Elric dengan wajah setengah cemas menyerahkan secarik kertas berisi alamat rahasia kepada Valenha. "Dokter ini tak banyak tanya dan tak punya hubungan apa pun dengan lembaga medis resmi. Dia milik keluarga lamaku. Aman." Valenha mengangguk. “Kalau ada yang bisa jaga rahasia, itu yang kita butuhkan.” Hari ini, alamat itu menjadi tujuan mereka. Seorang dokter pribadi, tersembunyi di pinggiran kota, tak terlihat dari jalan utama, dan terdaftar di bawah nama palsu. Sebuah klinik kecil berdinding kayu dengan cat biru pudar dan tirai putih di jendela. Ketika mereka tiba, seorang wanita paruh baya menyambut mer
Ainsley tengah merapikan buku-buku pada rak depan, jemarinya sibuk menyusun ulang koleksi novel sejarah yang baru mereka susun ulang setelah perombakan beberapa hari lalu. Valenha berdiri di belakang meja kasir, matanya terus memandangi layar laptop yang menampilkan hasil pemindaian kamera keamanan toko. "Kau memandangi layar itu sejak dua jam lalu," komentar Ainsley tanpa menoleh. "Aku terus menatapnya sampai yakin semua terkendali," sahut Valenha pelan. Sorot matanya tak meninggalkan layar, mencermati setiap gerakan bayangan yang muncul di sudut-sudut bingkai video. Ainsley berbalik, menyandarkan tubuh ke rak buku. "Kau tahu itu bukan cara sehat untuk hidup." "Aku tahu." Valenha menghela napas. "Tapi ini juga bukan hidup biasa." Suara bel pintu berbunyi pelan. Elric masuk dengan mantel panjang berwarna gelap, membawa dua kantong kertas besar. Ia meletakkannya di atas meja kasir sambil mendesah. "Kau bisa menyambutku dengan senyuman, Valenha. Aku sudah setengah basah kuyup demi
Toko buku tua yang dulunya terkesan mati kini suasananya menjadi lebih hidup. Pelanggan datang silih berganti meski hanya sekadar melihat-lihat. Rak-rak yang dulu tertutup debu kini tampak tertata, dengan label baru dan catatan tangan kecil dari Ainsley tentang rekomendasi bacaannya. Bahkan, aroma kopi hangat dari sudut dapur kini menjadi bagian dari pengalaman berkunjung ke toko tersebut. Siang yang agak mendung, ketika suara radio pelan memutar musik klasik dan Ainsley sedang menyusun kembali buku-buku memoar, bel toko berbunyi. “Selamat siang,” sapa suara tenang dari seorang perempuan yang melangkah masuk. Rambutnya rapi disanggul, jas panjang berwarna abu-abu muda melapisi blus biru langit, dan tatapan matanya tajam namun dibuat seramah mungkin. Ainsley menoleh dan tersenyum kala melihat siapa yang datang. “Dokter Agrina? Sudah lama kita tidak bertemu.” Dokter Agrina tersenyum hangat. Ia berujar, “Aku hanya ingin melihat perkembangan seseorang yang dulu sempat dalam penang
Pagi datang tanpa sempat mengusir sisa gelap di langit. Udara dingin membekukan jendela rumah perlindungan itu, membuat embun seperti kristal menempel di kaca. Ainsley terbangun lebih awal dari biasanya. Kepalanya terasa ringan, tapi firasatnya berat. Sesuatu mengganjal—bukan mimpi, bukan kecemasan samar, tapi lebih kepada kenyataan yang tertinggal di malam sebelumnya. Begitu turun ke ruang tengah, pandangannya langsung membeku. Di meja makan, Valenha duduk dengan kepala tertunduk, baju bagian kiri robek, memperlihatkan luka lebam di sepanjang sisi tubuhnya. Elric berdiri di dekat wastafel dapur, wajahnya bengkak dan ada bercak darah kering di rahangnya. “Apa yang terjadi?” Suara Ainsley terdengar kaget, nyaris putus di akhir kalimat. Matanya menyapu tubuh keduanya. Napasnya tertahan. Valenha mengangkat kepala pelan, seperti tak ingin membuatnya semakin panik. “Bukan sesuatu yang harus kau khawatirkan.” “Benar-benar bukan?” Ainsley mendekat, memegang bahu Valenha dan dengan cep
Di lantai atas, Ainsley menyapu lantai dapur kecil dengan langkah lambat. Perutnya mulai menunjukkan tanda. Tubuhnya cepat lelah, tapi ini terasa tenang. Ia belum tahu apa yang sedang terjadi di bawah sana. Belum tahu bahwa Valenha sedang mempersiapkan pengorbanan terakhir demi menjaganya tetap hidup. Ketika suara langkah kaki menaiki tangga, ia menoleh. Valenha muncul di ambang pintu, ekspresinya seperti biasa—dingin, tapi tidak mengancam. Ia membawa semangkuk sup kaldu hangat dan sepotong roti. "Kau lupa makan lagi," katanya. Ainsley tersenyum tipis. "Kau terlalu sering memperhatikanku." "Karena kau terlalu sering lupa memperhatikan dirimu sendiri," jawab Valenha sambil meletakkan mangkuk di meja. Ia duduk di kursi seberang, menyandarkan diri dengan letih. "Kau terlihat lebih tua dari seminggu lalu." "Mungkin karena aku mimpi dikejar bayi raksasa berwajah Elric." Ainsley terkekeh pelan, untuk sesaat dunia terasa hangat. Valenha mengusap wajahnya, lalu menatap Ainsley d