Share

BAB-02

Author: Kanunu
last update Last Updated: 2025-04-20 19:32:11

Pagi datang dengan malu-malu. Cahaya keemasan menyelinap lewat jendela tinggi yang berdebu, menyapu rak-rak tua seperti jari-jari hangat dari langit. Ainsley terbangun perlahan. Nafasnya lebih ringan kini, dada tak lagi sekeras semalam. Tapi hatinya tetap penuh tanya.

Ia duduk di sofa, selimut wol masih membalut tubuhnya. Ruangan itu terasa seperti dunia lain—toko buku tua dengan lantai kayu yang berderit pelan setiap kali ia menggerakkan kaki, dan udara yang menyimpan aroma kertas tua bercampur sesuatu yang asing tapi menenangkan.

Valenha tidak terlihat. Hanya ada secarik kertas kecil di meja.

Kau bisa tetap di sini. Tapi jangan sentuh kamar belakang. Jangan tanyakan alasan. Jangan keluar sebelum aku kembali. —V.

Tulisan tangan itu rapi, sedikit condong ke kanan. Tegas. Terlatih.

Ainsley mendesah pelan. Ia berdiri, berjalan perlahan menelusuri barisan rak. Matanya menangkap judul-judul yang sudah lama tak ia lihat—To Kill a Mockingbird, Les Misérables, The Prophet. Beberapa bersampul kulit, sebagian lainnya nyaris sobek dimakan usia.

Tangannya terulur, menyentuh punggung buku. Lalu berhenti.

Ia ingat peringatan Valenha.

Tapi rasa ingin tahu lebih kuat dari rasa takut. Ia menarik satu buku tipis dari rak tengah, membukanya perlahan. Sebuah bunga kering terselip di halaman ketiga puluh dua. Mawar mini, warnanya telah pudar menjadi ungu kelabu.

Ainsley menatapnya beberapa detik. Kenangan menghantam diam-diam—masa kecil, ibu, suara dongeng di malam hari.

“Sudah kukatakan, jangan sentuh apa pun.”

Suara itu membuatnya hampir menjatuhkan buku. Valenha berdiri di ujung tangga kayu, membawa kantung kertas berisi roti dan dua botol susu kaca. Matanya menatap Ainsley tanpa ekspresi, tapi bukan marah.

“Aku hanya—”

“Aku tahu.” Ia meletakkan belanjaan di meja, lalu berjalan mendekat. “Tapi toko ini bukan sekadar tempatku hidup. Ia menyimpan terlalu banyak hal.”

“Seperti, mawar kering di halaman ketiga puluh dua?” Ainsley menatap Valenha.

Untuk pertama kalinya, Valenha tersenyum tipis. Bukan senyum ramah. Lebih seperti senyum seseorang yang tahu bahwa masa lalu tak bisa dihapus, hanya disembunyikan.

“Itu bunga terakhir dari makam ibuku.”

Hening sejenak.

Ainsley menutup buku itu perlahan dan mengembalikannya ke rak. “Maaf.”

Valenha menggeleng. “Kau penasaran, itu wajar. Tapi di tempat ini, rasa ingin tahu bisa membawamu pada hal-hal yang tak siap kau pahami.”

Kata-katanya tak bernada ancaman, tapi cukup membuat dada Ainsley mengencang lagi. Ia menunduk, kembali duduk di sofa, sementara Valenha sibuk menata sarapan sederhana.

“Kau tidak bertanya siapa aku sebenarnya,” gumam Ainsley setelah beberapa saat.

“Aku tidak perlu tahu semuanya,” sahut Valenha tanpa menoleh. “Orang yang datang ke tempat sepi seperti ini biasanya sedang melarikan diri dari sesuatu. Dan aku bukan tipe yang mengejar bayangan.”

Ainsley terdiam.

Ia tahu, kalimat itu mengandung dua sisi—perlindungan, dan peringatan.

Dan meski tubuhnya tertampung dalam hangatnya toko itu, jiwanya masih berdiri di ambang pintu, bingung harus memilih bertahan atau pergi.

****

Valenha berdiri di balik rak, memperhatikan gadis itu dari kejauhan.

Ainsley. Nama itu mengendap di ingatannya seperti debu yang menempel pada halaman tua—diam, tapi tak pernah benar-benar hilang. Ia melihat cara gadis itu mengamati buku, menyentuh punggungnya dengan ragu, seolah setiap kata bisa melukai atau menyembuhkan, tergantung dari siapa yang membacanya.

Ia tahu Ainsley menyentuh mawar itu. Ia juga tahu, gadis itu belum siap menghadapi hal-hal yang disembunyikan rak-rak toko ini. Tapi Valenha tidak marah. Ia hanya... waspada.

Bukan karena Ainsley. Tapi karena dunia.

Valenha telah lama belajar bahwa manusia yang datang dengan luka, sering kali membawa luka lain yang belum sempat mereka kenali. Dan luka... selalu menular, kalau tidak tahu cara menutupinya.

Ia melangkah pelan ke arah dapur, menyalakan pemanas air, dan memandangi bayangannya di cermin kusam di atas wastafel. Mata itu masih sama—gelap, penuh bayangan, dan kehilangan cahayanya sejak bertahun lalu. Dendam telah lama menggantikan harapan. Kini yang tersisa hanya satu tujuan, dan Ainsley—entah mengapa—tiba di tengah rencananya seperti titik koma di kalimat yang hampir selesai.

“Aku tidak butuh gangguan,” gumamnya pelan.

Tapi saat ia kembali ke ruang utama dan melihat Ainsley duduk di sofa, tangannya menggenggam cangkir seperti memegang sesuatu yang terlalu rapuh untuk dijaga, ia tahu; Ia tidak akan bisa mengusir gadis itu. Belum sekarang.

Bukan karena iba. Tapi karena insting.

Ada sesuatu dalam cara Ainsley menatap malam. Seperti seseorang yang pernah kehilangan segalanya tapi tetap memilih untuk hidup. Dan Valenha... mungkin, diam-diam, iri pada keberanian seperti itu.

“Aku akan menyiapkan kamar di lantai dua,” ucapnya datar.

Ainsley menoleh. “Kenapa membiarkanku tinggal?”

Valenha menahan napas sejenak. Ia tak tahu jawaban pastinya.

“Karena aku tahu bagaimana rasanya dikejar, dan tidak punya tempat untuk pulang.”

Ia berbalik sebelum Ainsley bisa membalas. Langkahnya naik menyusuri tangga kayu yang berderit pelan. Setiap pijakan seolah membawanya mundur—ke malam penuh darah, ke wajah ibunya yang dingin di lantai rumah yang dulu hangat.

Ia memejamkan mata.

Dendamnya belum selesai. Tapi malam ini, dunia memberinya satu jeda. Satu jeda bernama Ainsley.

Dan meskipun ia tak yakin peran gadis itu dalam kisah panjangnya, Valenha tahu satu hal—bulan di luar jendela tak pernah sekadar menjadi penonton. Ia menyinari siapa pun yang berdiri di bawahnya. Termasuk dua jiwa yang saling diam, tapi perlahan mulai melihat satu sama lain.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Under The Moonlight - Love the Law    BAB-03

    Ainsley duduk di loteng itu selama beberapa lama, memandangi langit melalui jendela kecil yang buram. Bulan belum muncul malam ini, tapi cahaya dari kota jauh masih menembus masuk seperti bisikan samar yang tak ingin dilupakan. Langit-langit kamar miring, dindingnya dari kayu yang mulai rapuh. Tapi entah kenapa, tempat itu terasa aman. Seperti ruang kecil dalam dunia yang penuh retakan—satu-satunya celah di mana ia bisa bernapas tanpa takut dikejar. Ia memejamkan mata. Nafasnya kini lebih tenang, tapi bayang-bayang tetap menari di balik kelopak. Sorot lampu polisi. Teriakan. Bunyi tembakan. Tangannya mengepal pelan. Ia ingin tidur. Tapi tidur artinya kembali ke mimpi yang tak pernah damai. Langkah pelan terdengar dari bawah. Bukan derap. Bukan tergesa. Valenha. Ainsley turun perlahan, melewati tangga kayu yang dingin. Ia mendapati pria itu berdiri di depan meja kayu besar yang kini dipenuhi kertas, gunting kecil, dan lem usang. Sejumlah buku tua terbuka di hadapannya, halama

    Last Updated : 2025-04-20
  • Under The Moonlight - Love the Law    BAB-04

    Pagi datang tanpa dentang jam atau derak pintu. Ia datang diam-diam seperti pengunjung gelap yang tak diundang. Ketika Ainsley membuka mata, sinar matahari menyusup malu-malu lewat sela jendela loteng yang berembun. Dingin masih menempel di udara, dan suara dari bawah nyaris tak terdengar. Ia turun perlahan, menyusuri tangga yang kini mulai akrab di langkahnya. Di bawah, Valenha sudah berdiri di belakang meja kasir, mengamati tumpukan buku baru yang belum disortir. Wajahnya masih muram seperti malam sebelumnya, tapi ada ketenangan aneh dalam cara ia menyusun buku demi buku, seperti seorang pendeta mengatur kitab suci. “Pagi,” sapa Ainsley pelan. Valenha hanya mengangguk. Ainsley mengambil buku dari rak terdekat dan duduk di dekat jendela. Ia membaca dalam diam, tapi pikirannya tak sepenuhnya tenggelam. Sejak kejadian semalam—amplop cokelat yang jatuh dari rak, dan kata-kata Valenha yang mengambang seperti ancaman dan janji—ia tahu, tempat ini bukan sekadar toko buku tua. Ada

    Last Updated : 2025-04-20
  • Under The Moonlight - Love the Law    BAB-05

    Malam kembali turun dengan langkah lembut. Toko buku tertutup rapat, tirai ditarik, lampu diredam. Hujan tidak turun, tapi udara dingin menggigit lebih tajam dari malam-malam sebelumnya. Ainsley duduk di lantai dekat rak sejarah, tubuhnya dibalut jaket tua pemberian Valenha. Ia memandangi nyala api dari tungku kecil di pojok ruangan—api yang tenang, nyaris tak bersuara, tapi cukup untuk mengusir dingin dari tulangnya. Valenha duduk tak jauh darinya, memeriksa buku catatan hitam yang sama seperti malam sebelumnya. Tapi malam ini, ia tak menulis. Hanya membuka-buka halamannya tanpa benar-benar membaca. “Kau terlihat lebih lelah dari biasanya,” bisik Ainsley. Valenha menoleh. Tatapannya sayu, tapi tak kehilangan ketajaman yang membuat Ainsley selalu waspada. “Aku sedang berpikir.” “Berpikir soal siapa? Aku?” “Kalau iya?” Ainsley terdiam. Ada kehangatan yang naik perlahan ke pipinya, seperti uap teh yang terlalu lama disimpan dalam gelas. Ia menunduk. “Apa yang kau pikirkan tenta

    Last Updated : 2025-04-20
  • Under The Moonlight - Love the Law    BAB-06

    Ainsley tak bisa tidur malam itu. Bayangan langkah-langkah asing di depan toko masih menghantui kepalanya, seakan suara itu menempel di dinding-dinding pikirannya. Ia berbaring di ruang belakang, di atas kasur tipis yang beralaskan selimut tua. Di luar, udara malam terasa lebih dingin dari biasanya, dan bulan tampak bersembunyi di balik awan kelabu. Ia mendengar suara langkah Valenha di ruang depan—tenang, ritmis, seperti seseorang yang terbiasa berjaga sepanjang malam. Mungkin memang begitu. Valenha tak pernah tampak benar-benar istirahat. Mungkin karena dunia tak memberinya kesempatan untuk merasa aman. Ainsley duduk perlahan, lalu berdiri dan menyibak tirai ruangan. Ia berjalan pelan menuju ruang utama toko. Lampu gantung menyala temaram. Di balik meja kasir, Valenha sedang duduk bersandar, memandangi pintu yang sudah ia kunci dua kali. “Apa kau tidur sama sekali?” Ainsley bersuara pelan. Valenha menoleh. “Tidak malam ini.” Ia menepuk kursi di sampingnya. Ainsley berjal

    Last Updated : 2025-04-20
  • Under The Moonlight - Love the Law    BAB-07

    Ainsley menatap pantulan dirinya di kaca jendela kereta kota. Gaun hitam sederhana membungkus tubuhnya dengan anggun, rambutnya disisir rapi dan dijepit ke belakang, menyisakan beberapa helaian yang membingkai wajahnya. Ia terlihat asing bahkan bagi dirinya sendiri. Sesuai rencana Valenha, malam ini Ainsley akan menghadiri gala kecil di galeri seni yang dimiliki oleh rekan bisnis Aruon Gazerad. Nama pria itu tak muncul dalam undangan, tapi Valenha yakin—Gazerad akan hadir. Di balik acara seni dan anggur mahal, ada rapat rahasia yang sedang dipersiapkan. Dan Ainsley… adalah umpan. Ia melangkah keluar dari kereta, menyusuri trotoar menuju gedung galeri di pusat kota. Lampu-lampu malam bersinar pucat, tak mampu menyingkirkan hawa dingin yang merayap ke dalam mantel tipisnya. Tangannya sedikit bergetar, entah karena gugup atau cuaca. Mungkin keduanya. Di depan pintu, seorang pria bertubuh tegap memeriksa undangan. Ainsley menunjukkan kartu tipis yang diberikan Valenha—palsu, tapi

    Last Updated : 2025-04-20
  • Under The Moonlight - Love the Law    BAB-8

    Tiga hari setelah gala itu, Ainsley kembali berdiri di depan toko buku Valenha—seperti biasa, saat langit mulai menggelap dan jalanan kota berubah lebih sunyi. Di tangannya, sebuah buket kecil bunga liar dan secangkir kopi hangat dari kedai seberang. Ia mendorong pintu kaca yang berderit halus. Valenha ada di dalam, berdiri di balik meja kasir sambil membalik halaman buku tua. Saat melihat Ainsley, alisnya sedikit terangkat. "Bunga?" tanyanya, menatap buket kecil itu. “Untuk kamu. Tapi kamu bisa pura-pura itu hiasan,” jawab Ainsley ringan. “Ersya menyukainya waktu aku bawa tadi siang, jadi aku beli dua.” Valenha memejamkan mata sejenak. “Kau mulai akrab dengannya?” Ainsley mengangguk, duduk di kursi baca yang menghadap jendela. “Kami pergi ke kafe tadi. Dia cerita tentang ibunya yang meninggal waktu dia umur sembilan tahun. Dan… tentang kesepiannya.” Valenha tak menjawab. Ia hanya menatap Ainsley lama, seperti mencoba membaca isi pikirannya. Tapi Ainsley menatap balik tanp

    Last Updated : 2025-04-20
  • Under The Moonlight - Love the Law    BAB-09

    Ainsley menatap undangan yang baru saja diletakkan Ersya di pangkuannya. Kertas putih gading itu berkilau samar dalam cahaya kafe. Di pojok kanan bawahnya tercetak nama besar Gazerad Private Foundation Gala – For The Families of Justice. “Acara keluarga,” kata Ersya santai, menyeruput teh herbalnya. “Tak terlalu ramai. Hanya beberapa petinggi hukum, pengusaha tua, dan orang-orang yang terlalu malas untuk peduli siapa kau, selama kau membawa senyum dan sepatu yang mengilap.” Ainsley mengulas senyum. “Dan kau ingin aku datang sebagai apa? Teman? Pendamping? Mata-mata?” Ersya tertawa kecil. “Teman. Setidaknya untuk malam itu.” Jawaban itu harusnya menenangkan. Tapi bagi Ainsley, justru membuat dadanya makin sesak. Karena makin lama ia berdiri di dekat Ersya, makin kabur batas antara peran dan kenyataan. Ia tak lagi yakin apakah kedekatan ini demi Valenha… atau demi hatinya sendiri. “Ayahmu akan hadir?” “Tentu saja.” Suara Ersya mendadak datar. “Dia yang membiayai semuanya. Ta

    Last Updated : 2025-04-21
  • Under The Moonlight - Love the Law    BAB-10

    Ainsley berdiri di depan cermin panjang, mengenakan gaun berwarna hitam keabu-abuan yang dipilihkan Ersya. Gaun itu menjuntai anggun, dengan potongan sederhana namun berkelas. Rambutnya disanggul rendah, menyisakan beberapa helaian di pelipis yang sengaja dibiarkan liar. Sekilas, ia tampak seperti bagian dari dunia yang mewah itu—sebuah dunia yang terlalu terang bagi seorang buronan. "Tak nyaman?" tanya Ersya, masuk ke kamar hotel dengan senyum lembut. Ainsley menoleh, tersenyum kecil. “Seperti sedang mencoba menjadi seseorang yang bukan aku.” “Kadang, untuk bertahan hidup, kita memang harus menjadi topeng yang berjalan.” Jawaban itu menusuk lebih dalam dari yang seharusnya. Ainsley memandangi Ersya—dengan gaun merah marun, sepatu berhak tinggi, dan rambut yang disanggul anggun. Wanita itu tampak sempurna, namun sorot matanya tetap membawa kesepian yang sama seperti malam pertama mereka berbicara di kafe. “Siapa kau, Ersya, sebelum menjadi... semua ini?” tanya Ainsley pelan. Ers

    Last Updated : 2025-04-21

Latest chapter

  • Under The Moonlight - Love the Law    BAB-10

    Ainsley berdiri di depan cermin panjang, mengenakan gaun berwarna hitam keabu-abuan yang dipilihkan Ersya. Gaun itu menjuntai anggun, dengan potongan sederhana namun berkelas. Rambutnya disanggul rendah, menyisakan beberapa helaian di pelipis yang sengaja dibiarkan liar. Sekilas, ia tampak seperti bagian dari dunia yang mewah itu—sebuah dunia yang terlalu terang bagi seorang buronan. "Tak nyaman?" tanya Ersya, masuk ke kamar hotel dengan senyum lembut. Ainsley menoleh, tersenyum kecil. “Seperti sedang mencoba menjadi seseorang yang bukan aku.” “Kadang, untuk bertahan hidup, kita memang harus menjadi topeng yang berjalan.” Jawaban itu menusuk lebih dalam dari yang seharusnya. Ainsley memandangi Ersya—dengan gaun merah marun, sepatu berhak tinggi, dan rambut yang disanggul anggun. Wanita itu tampak sempurna, namun sorot matanya tetap membawa kesepian yang sama seperti malam pertama mereka berbicara di kafe. “Siapa kau, Ersya, sebelum menjadi... semua ini?” tanya Ainsley pelan. Ers

  • Under The Moonlight - Love the Law    BAB-09

    Ainsley menatap undangan yang baru saja diletakkan Ersya di pangkuannya. Kertas putih gading itu berkilau samar dalam cahaya kafe. Di pojok kanan bawahnya tercetak nama besar Gazerad Private Foundation Gala – For The Families of Justice. “Acara keluarga,” kata Ersya santai, menyeruput teh herbalnya. “Tak terlalu ramai. Hanya beberapa petinggi hukum, pengusaha tua, dan orang-orang yang terlalu malas untuk peduli siapa kau, selama kau membawa senyum dan sepatu yang mengilap.” Ainsley mengulas senyum. “Dan kau ingin aku datang sebagai apa? Teman? Pendamping? Mata-mata?” Ersya tertawa kecil. “Teman. Setidaknya untuk malam itu.” Jawaban itu harusnya menenangkan. Tapi bagi Ainsley, justru membuat dadanya makin sesak. Karena makin lama ia berdiri di dekat Ersya, makin kabur batas antara peran dan kenyataan. Ia tak lagi yakin apakah kedekatan ini demi Valenha… atau demi hatinya sendiri. “Ayahmu akan hadir?” “Tentu saja.” Suara Ersya mendadak datar. “Dia yang membiayai semuanya. Ta

  • Under The Moonlight - Love the Law    BAB-8

    Tiga hari setelah gala itu, Ainsley kembali berdiri di depan toko buku Valenha—seperti biasa, saat langit mulai menggelap dan jalanan kota berubah lebih sunyi. Di tangannya, sebuah buket kecil bunga liar dan secangkir kopi hangat dari kedai seberang. Ia mendorong pintu kaca yang berderit halus. Valenha ada di dalam, berdiri di balik meja kasir sambil membalik halaman buku tua. Saat melihat Ainsley, alisnya sedikit terangkat. "Bunga?" tanyanya, menatap buket kecil itu. “Untuk kamu. Tapi kamu bisa pura-pura itu hiasan,” jawab Ainsley ringan. “Ersya menyukainya waktu aku bawa tadi siang, jadi aku beli dua.” Valenha memejamkan mata sejenak. “Kau mulai akrab dengannya?” Ainsley mengangguk, duduk di kursi baca yang menghadap jendela. “Kami pergi ke kafe tadi. Dia cerita tentang ibunya yang meninggal waktu dia umur sembilan tahun. Dan… tentang kesepiannya.” Valenha tak menjawab. Ia hanya menatap Ainsley lama, seperti mencoba membaca isi pikirannya. Tapi Ainsley menatap balik tanp

  • Under The Moonlight - Love the Law    BAB-07

    Ainsley menatap pantulan dirinya di kaca jendela kereta kota. Gaun hitam sederhana membungkus tubuhnya dengan anggun, rambutnya disisir rapi dan dijepit ke belakang, menyisakan beberapa helaian yang membingkai wajahnya. Ia terlihat asing bahkan bagi dirinya sendiri. Sesuai rencana Valenha, malam ini Ainsley akan menghadiri gala kecil di galeri seni yang dimiliki oleh rekan bisnis Aruon Gazerad. Nama pria itu tak muncul dalam undangan, tapi Valenha yakin—Gazerad akan hadir. Di balik acara seni dan anggur mahal, ada rapat rahasia yang sedang dipersiapkan. Dan Ainsley… adalah umpan. Ia melangkah keluar dari kereta, menyusuri trotoar menuju gedung galeri di pusat kota. Lampu-lampu malam bersinar pucat, tak mampu menyingkirkan hawa dingin yang merayap ke dalam mantel tipisnya. Tangannya sedikit bergetar, entah karena gugup atau cuaca. Mungkin keduanya. Di depan pintu, seorang pria bertubuh tegap memeriksa undangan. Ainsley menunjukkan kartu tipis yang diberikan Valenha—palsu, tapi

  • Under The Moonlight - Love the Law    BAB-06

    Ainsley tak bisa tidur malam itu. Bayangan langkah-langkah asing di depan toko masih menghantui kepalanya, seakan suara itu menempel di dinding-dinding pikirannya. Ia berbaring di ruang belakang, di atas kasur tipis yang beralaskan selimut tua. Di luar, udara malam terasa lebih dingin dari biasanya, dan bulan tampak bersembunyi di balik awan kelabu. Ia mendengar suara langkah Valenha di ruang depan—tenang, ritmis, seperti seseorang yang terbiasa berjaga sepanjang malam. Mungkin memang begitu. Valenha tak pernah tampak benar-benar istirahat. Mungkin karena dunia tak memberinya kesempatan untuk merasa aman. Ainsley duduk perlahan, lalu berdiri dan menyibak tirai ruangan. Ia berjalan pelan menuju ruang utama toko. Lampu gantung menyala temaram. Di balik meja kasir, Valenha sedang duduk bersandar, memandangi pintu yang sudah ia kunci dua kali. “Apa kau tidur sama sekali?” Ainsley bersuara pelan. Valenha menoleh. “Tidak malam ini.” Ia menepuk kursi di sampingnya. Ainsley berjal

  • Under The Moonlight - Love the Law    BAB-05

    Malam kembali turun dengan langkah lembut. Toko buku tertutup rapat, tirai ditarik, lampu diredam. Hujan tidak turun, tapi udara dingin menggigit lebih tajam dari malam-malam sebelumnya. Ainsley duduk di lantai dekat rak sejarah, tubuhnya dibalut jaket tua pemberian Valenha. Ia memandangi nyala api dari tungku kecil di pojok ruangan—api yang tenang, nyaris tak bersuara, tapi cukup untuk mengusir dingin dari tulangnya. Valenha duduk tak jauh darinya, memeriksa buku catatan hitam yang sama seperti malam sebelumnya. Tapi malam ini, ia tak menulis. Hanya membuka-buka halamannya tanpa benar-benar membaca. “Kau terlihat lebih lelah dari biasanya,” bisik Ainsley. Valenha menoleh. Tatapannya sayu, tapi tak kehilangan ketajaman yang membuat Ainsley selalu waspada. “Aku sedang berpikir.” “Berpikir soal siapa? Aku?” “Kalau iya?” Ainsley terdiam. Ada kehangatan yang naik perlahan ke pipinya, seperti uap teh yang terlalu lama disimpan dalam gelas. Ia menunduk. “Apa yang kau pikirkan tenta

  • Under The Moonlight - Love the Law    BAB-04

    Pagi datang tanpa dentang jam atau derak pintu. Ia datang diam-diam seperti pengunjung gelap yang tak diundang. Ketika Ainsley membuka mata, sinar matahari menyusup malu-malu lewat sela jendela loteng yang berembun. Dingin masih menempel di udara, dan suara dari bawah nyaris tak terdengar. Ia turun perlahan, menyusuri tangga yang kini mulai akrab di langkahnya. Di bawah, Valenha sudah berdiri di belakang meja kasir, mengamati tumpukan buku baru yang belum disortir. Wajahnya masih muram seperti malam sebelumnya, tapi ada ketenangan aneh dalam cara ia menyusun buku demi buku, seperti seorang pendeta mengatur kitab suci. “Pagi,” sapa Ainsley pelan. Valenha hanya mengangguk. Ainsley mengambil buku dari rak terdekat dan duduk di dekat jendela. Ia membaca dalam diam, tapi pikirannya tak sepenuhnya tenggelam. Sejak kejadian semalam—amplop cokelat yang jatuh dari rak, dan kata-kata Valenha yang mengambang seperti ancaman dan janji—ia tahu, tempat ini bukan sekadar toko buku tua. Ada

  • Under The Moonlight - Love the Law    BAB-03

    Ainsley duduk di loteng itu selama beberapa lama, memandangi langit melalui jendela kecil yang buram. Bulan belum muncul malam ini, tapi cahaya dari kota jauh masih menembus masuk seperti bisikan samar yang tak ingin dilupakan. Langit-langit kamar miring, dindingnya dari kayu yang mulai rapuh. Tapi entah kenapa, tempat itu terasa aman. Seperti ruang kecil dalam dunia yang penuh retakan—satu-satunya celah di mana ia bisa bernapas tanpa takut dikejar. Ia memejamkan mata. Nafasnya kini lebih tenang, tapi bayang-bayang tetap menari di balik kelopak. Sorot lampu polisi. Teriakan. Bunyi tembakan. Tangannya mengepal pelan. Ia ingin tidur. Tapi tidur artinya kembali ke mimpi yang tak pernah damai. Langkah pelan terdengar dari bawah. Bukan derap. Bukan tergesa. Valenha. Ainsley turun perlahan, melewati tangga kayu yang dingin. Ia mendapati pria itu berdiri di depan meja kayu besar yang kini dipenuhi kertas, gunting kecil, dan lem usang. Sejumlah buku tua terbuka di hadapannya, halama

  • Under The Moonlight - Love the Law    BAB-02

    Pagi datang dengan malu-malu. Cahaya keemasan menyelinap lewat jendela tinggi yang berdebu, menyapu rak-rak tua seperti jari-jari hangat dari langit. Ainsley terbangun perlahan. Nafasnya lebih ringan kini, dada tak lagi sekeras semalam. Tapi hatinya tetap penuh tanya. Ia duduk di sofa, selimut wol masih membalut tubuhnya. Ruangan itu terasa seperti dunia lain—toko buku tua dengan lantai kayu yang berderit pelan setiap kali ia menggerakkan kaki, dan udara yang menyimpan aroma kertas tua bercampur sesuatu yang asing tapi menenangkan. Valenha tidak terlihat. Hanya ada secarik kertas kecil di meja. Kau bisa tetap di sini. Tapi jangan sentuh kamar belakang. Jangan tanyakan alasan. Jangan keluar sebelum aku kembali. —V. Tulisan tangan itu rapi, sedikit condong ke kanan. Tegas. Terlatih. Ainsley mendesah pelan. Ia berdiri, berjalan perlahan menelusuri barisan rak. Matanya menangkap judul-judul yang sudah lama tak ia lihat—To Kill a Mockingbird, Les Misérables, The Prophet. Beberapa

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status