Share

BAB-02

Author: Kanunu
last update Huling Na-update: 2025-04-20 19:32:11

Pagi datang dengan malu-malu. Cahaya keemasan menyelinap lewat jendela tinggi yang berdebu, menyapu rak-rak tua seperti jari-jari hangat dari langit. Hening, perlahan, tanpa terburu-buru. Debu-debu di udara beterbangan seperti kelopak-kelopak kecil dari musim yang tak punya nama.

Ainsley terbangun. Nafasnya lebih ringan kini, dada tak lagi sekeras semalam. Tapi hatinya masih penuh tanya—seperti buku yang baru dibuka di halaman pertama, belum tahu akan dibawa ke mana cerita ini. Ia duduk di sofa dengan selimut wol masih membalut tubuhnya. Suasana ruangan tak banyak berubah—lantai kayu yang berderit pelan, udara yang mengandung aroma kertas tua, dan ketenangan yang tidak bisa didefinisikan sebagai nyaman atau mencekam.

Valenha tidak terlihat. Hanya ada secarik kertas kecil di meja. Tulisannya jelas, tinta hitam pekat, rapi dan sedikit condong ke kanan.

(Kau bisa tetap di sini. Tapi jangan sentuh kamar belakang. Jangan tanyakan alasan. Jangan keluar sebelum aku kembali.) —V

Ainsley menatap kertas itu lama. Tak ada salam. Tak ada kata manis. Hanya instruksi dan garis tak kasat mata yang terasa lebih tebal dari pagar besi. Ia mendesah pelan, menyelipkan kertas itu ke dalam salah satu buku kosong di rak samping.

Matanya menjelajah rak-rak tinggi di hadapannya. Beberapa judul begitu akrab, bagai sahabat lama yang pernah ia tinggalkan di tengah jalan: To Kill a Mockingbird, Les Misérables, The Prophet. Ia tersenyum samar, lalu berdiri, melangkah perlahan menelusuri lorong buku. Sentuhan jarinya menyusuri punggung-punggung yang berdebu, seakan mencoba membangunkan cerita-cerita lama yang tertidur di antara lembaran waktu.

Tangannya berhenti pada sebuah buku tipis bersampul kulit kusam. Rasa ingin tahu mengalahkan peringatan. Ia menariknya perlahan dari rak dan membuka halaman demi halaman dengan hati-hati. Di halaman ketiga puluh dua, sebuah bunga kering terselip di sela lembarannya. Mawar mini. Warnanya telah pudar menjadi ungu kelabu, rapuh dan indah dalam cara yang melukai.

Ainsley terdiam. Ada sesuatu yang menyeruak dari dadanya, tak bisa dijelaskan. Kenangan datang diam-diam, seperti udara dingin yang merambat di kulit—malam-malam bersama ibunya, suara dongeng yang dibisikkan pelan, tawa kecil sebelum dunia berubah menjadi asing.

Suara pelan tapi tegas memecah keheningan.

“Sudah kukatakan, jangan sentuh apa pun.”

Ainsley hampir menjatuhkan buku itu. Ia menoleh cepat. Valenha berdiri di ujung tangga kayu, membawa kantung kertas berisi roti dan dua botol susu kacang. Tatapannya tajam namun tidak marah. Lebih seperti... mengamati.

“Aku hanya—” Ainsley mencoba menjelaskan.

“Aku tahu.” Valenha meletakkan belanjaan di meja dan berjalan mendekat. “Tapi toko ini bukan sekadar tempatku hidup. Ia menyimpan terlalu banyak hal yang mungkin sekarang kau tak harus tahu.”

“Seperti mawar kering di halaman ketiga puluh dua?” Ainsley menatapnya.

Valenha menahan napas, lalu tersenyum tipis. Senyum itu aneh—bukan ramah, bukan dingin, tapi seperti seseorang yang sedang melihat luka lama dan tahu luka itu takkan pernah sembuh.

“Itu bunga terakhir dari makam ibuku.”

Ainsley terdiam. Dunia seakan berhenti sejenak.

“Maaf,” gumamnya sambil menutup buku itu perlahan dan mengembalikannya ke rak.

Valenha menggeleng. “Kau penasaran. Itu wajar. Tapi di tempat ini, rasa ingin tahu bisa membawamu pada hal-hal yang tak siap kau pahami.”

Kalimatnya tak bernada ancaman. Tapi cukup untuk membuat jantung Ainsley mengencang. Ia menunduk, kembali duduk di sofa, sementara Valenha sibuk menata sarapan. Hening mengisi ruang seperti kabut tipis yang enggan pergi.

Beberapa menit berlalu sebelum Ainsley membuka suara.

“Kau tidak bertanya... siapa aku sebenarnya?”

Valenha tidak langsung menjawab. Ia menuang susu kacang ke dalam dua cangkir tanah liat, lalu menoleh dengan sorot mata yang sulit ditebak.

“Aku tidak perlu tahu semuanya,” sahutnya datar. “Orang yang datang ke tempat sepi seperti ini biasanya sedang melarikan diri dari sesuatu. Dan aku bukan tipe yang mengejar bayangan.”

Ainsley menggigit bibir bawahnya.

Ia tahu. Kalimat itu mengandung dua sisi—perlindungan, dan peringatan. Valenha tidak bertanya bukan karena tidak peduli, tapi karena ia paham... beberapa kebenaran hanya akan menjadi racun jika dipaksa keluar sebelum waktunya.

Dan meski tubuh Ainsley tertampung dalam hangatnya toko itu, jiwanya masih berdiri di ambang pintu. Bingung. Haruskah bertahan, atau pergi.

****

Valenha berdiri di balik rak, memperhatikan gadis itu dari kejauhan.

Ainsley. Nama itu mengendap di benaknya seperti debu di halaman tua. Ia memerhatikan cara gadis itu mengamati buku, menyentuh setiap judul seolah mereka bisa bicara, seolah setiap lembar menyimpan makna yang lebih dari sekadar kata-kata.

Ia tahu Ainsley menyentuh mawar itu. Tapi Valenha tidak marah. Ia hanya waspada.

Bukan pada Ainsley. Tapi pada cara dunia bekerja.

Manusia yang datang dengan luka sering kali membawa luka lain yang belum sempat mereka kenali. Dan luka, seperti kutukan, bisa menular.

Ia melangkah pelan ke dapur, menyalakan pemanas air. Di atas wastafel tua, cermin kusam memantulkan bayangannya. Mata itu... masih sama seperti dulu—gelap, penuh bayangan, dan kehilangan cahaya.

Valenha menyentuh bekas luka di bawah kerah bajunya. Bekas yang tak bisa hilang meski waktu terus bergerak.

Dendam. Itulah bahan bakar hidupnya. Sejak malam itu—malam saat dunia merampas ibu dan ayahnya, malam saat ia tahu bahwa hukum tak selalu adil, dan bahwa kebenaran bisa dikubur dengan cukup uang dan kekuasaan.

Dan kini, di tengah rencananya yang hampir rampung, Ainsley datang—seperti titik koma di kalimat yang hampir selesai. Mengganggu. Tapi tak bisa dihapus begitu saja.

“Aku tidak butuh gangguan,” gumamnya pelan.

Tapi saat ia kembali ke ruang utama dan melihat Ainsley duduk di sofa, tangan menggenggam cangkir seperti memegang sesuatu yang terlalu rapuh untuk dijaga, ia tahu—ia tidak akan bisa mengusir gadis itu. Bukan sekarang.

Bukan karena iba.

Tapi karena insting.

Ada sesuatu dalam tatapan Ainsley. Sesuatu yang membuatnya ingin tahu. Sesuatu yang mengingatkan Valenha pada dirinya sendiri, di masa lalu yang kelam dan sunyi.

“Aku akan menyiapkan kamar di lantai dua,” ucapnya akhirnya.

Ainsley menoleh. “Kenapa membiarkanku tinggal?”

Valenha terdiam sejenak. Lalu menghela napas panjang.

“Karena aku tahu bagaimana rasanya dikejar, dan tidak punya tempat untuk pulang.”

Ia berbalik sebelum Ainsley bisa bertanya lebih jauh. Langkahnya naik menyusuri tangga kayu yang mengerang pelan. Setiap pijakan seolah membawanya mundur—ke malam penuh darah, ke tubuh orang tuanya yang dingin di lantai rumah yang dulu hangat, ke tatapan kosong yang tak sempat berpamitan.

Ia memejamkan mata. Dunia terus bergerak. Tapi luka tetap tinggal.

Malam ini, ia diberi satu jeda. Satu nama.

Ainsley.

Dan meski Valenha belum tahu peran gadis itu dalam kisah panjangnya, ia sadar satu hal—bulan di luar jendela tak pernah hanya menjadi penonton. Ia menyinari siapa pun yang berdiri di bawahnya.

Termasuk dua jiwa yang saling diam, tapi perlahan mulai melihat satu sama lain.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • LOVE THE LAW   BAB 39

    Ainsley duduk di lantai toko buku, tubuhnya bersandar pada rak bagian pojok. Matanya sembab. Tangan kanannya masih menggenggam cangkir yang kini dingin sepenuhnya, dan tangan kirinya menutup perut—seolah mencoba melindungi sesuatu yang baru tumbuh, sesuatu yang kini terasa begitu rapuh. Tak ada suara lain kecuali detik jam dinding dan sesekali bunyi kayu tua yang mengerang terkena angin lembap. Dunia di sekitarnya membeku. Sampai pintu belakang toko dibuka dengan paksa. Elric masuk, setengah basah oleh hujan, jaket kulitnya meneteskan air ke lantai. Ia berhenti sejenak saat melihat Ainsley duduk di lantai, wajahnya tanpa warna, seperti lilin yang hampir padam. “Aku minta maaf,” katanya pelan. Ainsley tidak menjawab. Elric meletakkan dokumen di atas meja kasir. “Aku tidak bisa memberitahumu sebelumnya. Ini bukan karena kami tidak percaya padamu.” Ainsley mengangkat wajah perlahan. Matanya kosong. “Tapi kalian mencabut hakku untuk memilih.” Elric mendesah, lalu duduk di bangku d

  • LOVE THE LAW   BAB 38

    Langit berwarna putih pudar, seperti lembaran kosong yang menunggu untuk ditulisi. Kota masih sunyi ketika mobil hitam tua milik Elric meluncur perlahan keluar dari gang belakang toko buku. Di dalamnya, Ainsley duduk dengan tangan yang tak henti meremas-remas tas kecil di pangkuannya, sementara Valenha duduk di samping, menyapukan pandangan ke jendela. Beberapa hari yang lalu, Elric dengan wajah setengah cemas menyerahkan secarik kertas berisi alamat rahasia kepada Valenha. "Dokter ini tak banyak tanya dan tak punya hubungan apa pun dengan lembaga medis resmi. Dia milik keluarga lamaku. Aman." Valenha mengangguk. “Kalau ada yang bisa jaga rahasia, itu yang kita butuhkan.” Hari ini, alamat itu menjadi tujuan mereka. Seorang dokter pribadi, tersembunyi di pinggiran kota, tak terlihat dari jalan utama, dan terdaftar di bawah nama palsu. Sebuah klinik kecil berdinding kayu dengan cat biru pudar dan tirai putih di jendela. Ketika mereka tiba, seorang wanita paruh baya menyambut mer

  • LOVE THE LAW   BAB 37

    Ainsley tengah merapikan buku-buku pada rak depan, jemarinya sibuk menyusun ulang koleksi novel sejarah yang baru mereka susun ulang setelah perombakan beberapa hari lalu. Valenha berdiri di belakang meja kasir, matanya terus memandangi layar laptop yang menampilkan hasil pemindaian kamera keamanan toko. "Kau memandangi layar itu sejak dua jam lalu," komentar Ainsley tanpa menoleh. "Aku terus menatapnya sampai yakin semua terkendali," sahut Valenha pelan. Sorot matanya tak meninggalkan layar, mencermati setiap gerakan bayangan yang muncul di sudut-sudut bingkai video. Ainsley berbalik, menyandarkan tubuh ke rak buku. "Kau tahu itu bukan cara sehat untuk hidup." "Aku tahu." Valenha menghela napas. "Tapi ini juga bukan hidup biasa." Suara bel pintu berbunyi pelan. Elric masuk dengan mantel panjang berwarna gelap, membawa dua kantong kertas besar. Ia meletakkannya di atas meja kasir sambil mendesah. "Kau bisa menyambutku dengan senyuman, Valenha. Aku sudah setengah basah kuyup demi

  • LOVE THE LAW   BAB 36

    Toko buku tua yang dulunya terkesan mati kini suasananya menjadi lebih hidup. Pelanggan datang silih berganti meski hanya sekadar melihat-lihat. Rak-rak yang dulu tertutup debu kini tampak tertata, dengan label baru dan catatan tangan kecil dari Ainsley tentang rekomendasi bacaannya. Bahkan, aroma kopi hangat dari sudut dapur kini menjadi bagian dari pengalaman berkunjung ke toko tersebut. Siang yang agak mendung, ketika suara radio pelan memutar musik klasik dan Ainsley sedang menyusun kembali buku-buku memoar, bel toko berbunyi. “Selamat siang,” sapa suara tenang dari seorang perempuan yang melangkah masuk. Rambutnya rapi disanggul, jas panjang berwarna abu-abu muda melapisi blus biru langit, dan tatapan matanya tajam namun dibuat seramah mungkin. Ainsley menoleh dan tersenyum kala melihat siapa yang datang. “Dokter Agrina? Sudah lama kita tidak bertemu.” Dokter Agrina tersenyum hangat. Ia berujar, “Aku hanya ingin melihat perkembangan seseorang yang dulu sempat dalam penang

  • LOVE THE LAW   BAB 35

    Pagi datang tanpa sempat mengusir sisa gelap di langit. Udara dingin membekukan jendela rumah perlindungan itu, membuat embun seperti kristal menempel di kaca. Ainsley terbangun lebih awal dari biasanya. Kepalanya terasa ringan, tapi firasatnya berat. Sesuatu mengganjal—bukan mimpi, bukan kecemasan samar, tapi lebih kepada kenyataan yang tertinggal di malam sebelumnya. Begitu turun ke ruang tengah, pandangannya langsung membeku. Di meja makan, Valenha duduk dengan kepala tertunduk, baju bagian kiri robek, memperlihatkan luka lebam di sepanjang sisi tubuhnya. Elric berdiri di dekat wastafel dapur, wajahnya bengkak dan ada bercak darah kering di rahangnya. “Apa yang terjadi?” Suara Ainsley terdengar kaget, nyaris putus di akhir kalimat. Matanya menyapu tubuh keduanya. Napasnya tertahan. Valenha mengangkat kepala pelan, seperti tak ingin membuatnya semakin panik. “Bukan sesuatu yang harus kau khawatirkan.” “Benar-benar bukan?” Ainsley mendekat, memegang bahu Valenha dan dengan cep

  • LOVE THE LAW   BAB 34

    Di lantai atas, Ainsley menyapu lantai dapur kecil dengan langkah lambat. Perutnya mulai menunjukkan tanda. Tubuhnya cepat lelah, tapi ini terasa tenang. Ia belum tahu apa yang sedang terjadi di bawah sana. Belum tahu bahwa Valenha sedang mempersiapkan pengorbanan terakhir demi menjaganya tetap hidup. Ketika suara langkah kaki menaiki tangga, ia menoleh. Valenha muncul di ambang pintu, ekspresinya seperti biasa—dingin, tapi tidak mengancam. Ia membawa semangkuk sup kaldu hangat dan sepotong roti. "Kau lupa makan lagi," katanya. Ainsley tersenyum tipis. "Kau terlalu sering memperhatikanku." "Karena kau terlalu sering lupa memperhatikan dirimu sendiri," jawab Valenha sambil meletakkan mangkuk di meja. Ia duduk di kursi seberang, menyandarkan diri dengan letih. "Kau terlihat lebih tua dari seminggu lalu." "Mungkin karena aku mimpi dikejar bayi raksasa berwajah Elric." Ainsley terkekeh pelan, untuk sesaat dunia terasa hangat. Valenha mengusap wajahnya, lalu menatap Ainsley d

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status