Share

Bab 4 Kehidupan

Cody mengantarkanku sampai di depan gerbang rumah. Setelahnya dia pamit dan aku masuk ke dalam rumah. Gio yang sepertinya menungguku dengan segera membukakan pintu saat aku baru melangkah hendak membuka gerbang rumah. Dia melipat tangannya di dada dan aku bisa melihat wajahnya yang tegang. Aku melambai dengan senyum merekah tapi bukannya membalas Gio malah masuk ke dalam.

 Aku masuk ke dalam rumah dan duduk di sofa di ruang tamu di mana Gio juga sedang duduk di sana. “Kau menungguku?”

 “Ya, ke mana saja kau?” tanya Gio ketus. “Kau baru sampai kemari dan sudah berhasil membuatku takut. Kau bahkan tidak mengangkat telponku.”

 Aku merogoh sakuku dan mengeluarkan ponselku. Benar sekali, ada 5 panggilan tidak terjawab dari Gio. “Maafkan aku.”

 “Kau bahkan belum tahu di mana letak dan alamat lengkap rumah ini, bagaimana jika temanmu tidak mengantarkanmu pulang?” katanya. Aku tahu dia sangat mengkhawatirkanku. Sungguh aku senang sekali, aku menunggu ini selama ini, dipedulikan oleh keluargaku sendiri.

 Aku tersenyum tipis lalu pindah duduk di sampingnya. “Tidak perlu mengkhawatirkanku. Aku baik-baik saja. Pria itu teman perjalananku di pesawat. Aku cukup mengenalnya.”

 Gio mendesah lalu mengangguk. “Tidurlah! Besok kau bisa ikut belanja bersama Lucy dan Dom. Mereka semua sudah berada di kamar mereka masing-masing.”

 “Aku mengerti. Maafkan aku, Gio.” Aku beranjak dan masuk ke kamarku. Di dalam sana aku duduk di tepi ranjang setelah mengambil laptopku. Aku mengecek emailku dan segera membaca inbox yang baru masuk.

 From: justin@anderson.com

 Apa yang kau lakukan? Aku benar-benar tidak bisa tenang.

 Aku membalas pesannya segera.

 To: justin@anderson.com

 Aku hanya pergi bersama temanku. Kau tidak perlu bersikap seperti itu. Nikmati waktumu!

 Balasannya dengan cepat.

From: justin@anderson.com

 Kuharap kau berada di sampingku bukan di sana bersama orang-orang baru. Aku mencintaimu!

 Setelah membaca pesan dari Justin aku menutup emailku. Aku tidak bisa menjawab apapun karena nyatanya aku tidak memiliki perasaan yang lebih dari sekedar perasaan sayang sebagai teman. Bagiku Justin seperti Jacob, dia teman dekatku. Lagipula memang nyatanya tidak ada hubungan apa-apa di antara kami. Kami tidak berpacaran, hanya saja kami sering menghabiskan waktu bersama di apartemen Justin yang mewah.

***

 Keesokan harinya, para wanita di rumah ini sudah bersiap-siap untuk ke luar. Kami akan pergi berbelanja untuk persiapan berkencan kami masing-masing. Aku bahkan sudah mengatakan pada semuanya bahwa aku akan pergi dengan seseorang yang semalam baru saja berkenalan denganku. Pria itu Shawn. Dia bahkan mengirimiku pesan singkat pagi harinya.

 “Siapa yang akan menyetir?” Dom menunjukan kunci mobil fordnya kepadaku dan Lucy.

 “Mungkin Lucy,” jawabku, menolak halus dan menunjuk Lucy sebagai pengemudi kami menuju pusat perbelanjaan.

 Lucy mengambil kunci ford dan kami masuk ke dalam mobil. Aku duduk di jok belakang sedangkan Dom menemani Lucy di depan.

 “Jadi semalam kau pergi kemana?” pertanyaan Dom membuatku meringis. Semua orang sepertinya ingin tahu apa saja yang kulakukan semalam. “Kulihat kau diantar seorang lelaki.”

 “Dia temanku, kami datang bersama saat di pesawat. Dan kami ehm.. aku tidak bisa mengatakannya pada kalian.”

 “Kenapa?” Lucy bertanya pelan.

 “Gio akan marah jika tahu aku pergi ke tempat ini,” jawabku seadanya.

 Dom membalik badannya dan bertanya, “Memang kemana? Kami berjanji tidak akan memberitahukannya pada Gio.”

 “Benar, Sam. Kami akan menjaga rahasiamu dengan baik. Tidak ada gunanya kami berkata buruk tentangmu di depan Gio. Ini janji sesama wanita. Tak kan ada yang tahu selain kita bertiga dan Tuhan.” Lucy berbicara sambil sesekali berdecak karena ada beberapa pengendara motor ugal-ugalan yang mengganggu jalanan di depannya.

 “Semalam aku ke sirkuit balapan liar.”

 Ciitt!

 “Apa kau bilang? Ke tempat balapan liar?” Lucy menghentikan mobilnya dan berbicara dengan suara keras. Sepertinya dia sangat kaget.

 “Memang kalian kira aku pergi kemana?” Aku balik bertanya pada Lucy.

 “Bar atau berkeliling kota ini. Bagaimana bisa kau diajak ke sana? Pasti tempatnya menyeramkan. Aku tidak suka tempat seperti itu. Banyak orang buruk yang pastinya berkumpul di sana.”

 “Ya, jangan mau jika kau diajak ke sana lagi! Itu berbahaya, Sam!” Lucy mengingatkanku sambil melajukan mobilnya lagi, kali ini lebih pelan.

 “Cody akan menjagaku dengan baik.”

 “Cody?” Dom balas bertanya.

 “Temanku semalam.”

 Lucy dan Dom mengangguk. Lucy menghentikan mobilnya dan kami turun dari mobil. Kami sudah berada di pusat kota. “Kita lupakan apapun! Sekarang mari menghabiskan tabunganmu, ladies..” Dom berseru.

 “Mari....” Lucy menyahut.

 Aku hanya tersenyum dan berdiri di belakang mereka. Pertama kami masuk ke dalam toko pakaian. Karena besok kami akan berkencan di pasar malam jadi kami membeli baju yang cukup santai. Aku sendiri hanya membeli dress mini dengan warna soft pink dengan tali yang melingkar di bagian perut. Tanpa lengan dan panjangnya sepahaku. Tidak terlalu seksi juga tidak terlalu tertutup. Ini baju sopan kesukaanku.

 Berbeda dengan apa yang dibeli Lucy dan Dom. Lucy membeli kaus v-neck berwarna hitam dengan jaket berwarna putih. Bawahannya dia akan memakai celana pensil berwarna hitam. Sedangkan Dom, dia paling lamban memilih mungkin dia ingin memborong semua yang ada di dalam toko. Aku tidak tahu bahkan tidak ingin memperkirakan apa yang akan ia pakai nanti malam.

 Berlanjut ke toko sepatu, Lucy mengambil wedges dan Dom mulai dengan aksi memborongnya. Aku sendiri hanya mengambil sepatu converse dan segera membayarnya di kasir. Tidak ingin lama-lama karena aku tidak terlalu hobi shopping. Aku duduk di sebuah kursi lalu diam di sana sedangkan Lucy masih menemani Dom berbelanja sepatunya yang entah keberapa kalinya.

 “Mencari sesuatu, Sir?” tanya pelayan toko saat seorang pria masuk ke dalam toko. Aku memperhatikan karena iseng dan tidak melakukan apapun.

 “Aku ingin mencari sepatu hak.. tinggi, tapi jangan terlalu tinggi. Warnanya coklat dan kurang lebih seperti itu.” Aku menatap sepatuku karena pria itu menunjuk sepatuku. “Dan tolong cepat, ini masalah hidup dan mati.”

 Meskipun agaknya kebingungan tapi pelayan toko itu segera mencari sepatu yang berwarna coklat sepertiku. Pria itu menghampiriku lalu menyapaku sambil tersenyum tipis. “Maaf menunjukmu seperti tadi.”

 Aku mengangguk. “Aku baru tahu bahwa sepatu bisa jadi masalah hidup dan mati,” kataku sambil tersenyum tipis. Aku mengulurkan tanganku, “Sam!”

 “Kenny,” jawabnya pendek. “Kau tidak akan tahu apa jadinya jika aku tidak mendapatkan sepatu berwarna coklat yang seperti kau pakai sekarang. Istriku sedang menggila.”

 Aku tertawa antara bingung dan merasa lucu. “Aku tidak mengerti.”

 “Istriku sedang hamil dan dia meminta yang aneh-aneh. Dan, sepatu salah satunya. Aku tidak tahu apa yang akan dilakukannya jika aku tidak berhasil membawa sepatu keinginannya. Dia benar-benar membuatku gila.”

 “Kalian pasangan gila?” Aku tidak bisa untuk tidak tertawa. Tadi dia bilang istrinya sedang menggila, dan dia bilang akan membuatnya gila. Mereka pastilah pasangan gila.

 Kenny menatapku dingin dan aku menghentikan tawaku.

 “Aku hanya bercanda.”

 Kenny mendesah. “Aku sudah mengunjungi banyak toko sepatu dan membawa sepatu coklat sesuai yang dia inginkan tapi setiap itu juga dia menolak. Mengatakan bahwa aku salah memilih warna coklat bahkan menyangkaku buta warna. Kepalaku akan meledak sebentar lagi.”

 Pelayan toko yang tadi mendekati kami lalu menggeleng, “Maaf, Sir. Tidak ada sepatu yang cocok benar dengan warna yang dipakai oleh Nona itu.”

 “Toko apa ini tidak menyediakan sepatu berwarna coklat.”

 “Bukan itu maksud saya, Sir. Tapi warna yang mirip sekali dengan sepatu Nona ini tidak ada. Ada warna coklat namun berbeda. Aku bisa mengantarkanmu ke sana.” Pelayan toko itu menunjuk rak sepatu dan Kenny pun akhirnya mengikutinya. Dalam sementara aku kembali sendirian. Termenung dan memperhatikan sekitarku lagi.

 “Bagaimana?” Aku bertanya saat Kenny kembali tanpa membawa apapun. Wajahnya nampak lelah dan penat. Aku sepertinya tahu apa yang terjadi.

 “Tidak ada yang cocok. Aku bahkan masih ingat jika model dan warna sepatu-sepatu yang berada disini sudah kubeli dan ada di rumah. Dia tidak menginginkan apapun dari semua itu. Aku akan mencari toko sepatu yang lain.”

 Aku mengangguk. “Semoga beruntung, Kenny!”

 Kenny pun ke luar dari toko. Bersama dengan Lucy dan Dom yang sudah selesai berbelanja. Aku menatap belanjaan Dom dan sedikit menggeleng. Keinginannya terlalu besar dan tidak melihat bagaimana kebutuhannya. Dia akan kebingungan di rumah nanti bahkan untuk memilih sepatu mana yang akan cocok dengannya.

 “Kita makan siang?”

 Aku mengangguk, kami segera bergegas menuju restoran sedangkan barang-barang belanjaan kami sudah dimasukan ke dalam bagasi.

***

 Hampir semua orang sudah berdandan saat jam sudah menunjukan pukul 8 malam. Aku sendiri sudah siap dengan dress mini yang kubeli siang tadi. Rambut coklat gelapku kubiarkan tergerai dengan mengucir setengah bagian atasnya. Tidak ada asesoris lainnya karena aku merasa sudah cukup dengan apa yang kukenakan sekarang. Kalung salib tidak pernah lepas dari leherku dan menjuntai indah diantara dadaku. Aku memakai sepatuku lalu bergegas ke luar dari kamar.

 Sedikit terkejut saat aku melihat semua orang sudah siap dan beberapa saat kemudian kami berangkat, aku dan Gio satu mobil sedangkan Lucy bersama Henry, juga Dom bersama kekasihnya, Dave.

 “Kau yakin pria itu akan datang?” Gio bertanya saat kami sudah masuk ke dalam mobil. Dia memegang stirnya dan mulai melajukan mobilnya.

 Aku mengangguk. “Dia bahkan sudah mengingatkanku sampai tiga kali.”

 “Aku ingin tahu seperti apa dia? Kau yakin dengan kencan pertamamu ini?”

 Aku menggeleng, “Sebenarnya aku tidak berpikir bahwa aku akan pergi berkencan. Aku hanya menerima ajakan pria yang mengajakku berkenalan.”

 “Itu sama saja,” protes Gio. “Siapa nama pria itu? Aku lupa.”

 “Shawn.”

 “Iya, jika dia mempermainkanmu aku berjanji akan menghajar pria itu demi dirimu.” Gio berbicara dengan mantap. Aku sedikit meringis namun merasa senang mendengarnya. Itu tandanya Gio sangat mempedulikannya. Bahkan setelah lama tidak bertemu dan dia masih menganggapku sebagai adiknya. Padahal kami bukan saudara kandung tapi aku merasa bahwa kasih sayangnya melebihi saudara kandung. Dulu aku pernah merasakannya, dua orang sahabatku. Kami sangat dekat namun harus berpisah karena waktu dan pekerjaan kami yang sangat berbeda. Sudah dua tahun aku tak bertemu dengan mereka.

 “Kau tak perlu melakukan itu. Aku akan baik-baik saja, Gio. Tapi aku berterimakasih karena kau peduli padaku. Kuharap semua akan baik-baik saja.”

 “Ya, aku juga berharap seperti itu.” Gio memelankan suaranya, “Kau masih memakai kalung yang kuberikan dulu?”

 “Ini,” Aku menyentuh kalungku lalu mengangguk. “Aku menyukai pemberianmu ini. Ini sangat berharga.”

 Gio tersenyum tulus. “Padahal modelnya sudah ketinggalan zaman?”

 “Oh?” Aku tertawa kecil.

 “Aku akan memberikan yang baru untukmu. Sesuatu yang istimewa,” Gio melirikku dan aku merasa hangat seketika. Tatapan mata Gio masih sama seperti dulu. Begitu hangat, dia benar-benar menganggapku ke luarganya sendiri.

 “Bagaimana rupa Ellie?” Aku bertanya. Merubah topik pembicaraan kami. 

 “Dia wanita yang cantik, penyayang, dan tentu saja ramah. Aku yakin kau akan menyukainya.”

 Aku tersenyum. Dari suaranya aku yakin Gio sangat mencintai dan mengagumi Ellie. “Apa pekerjaannya?”

 “Dia dokter hewan. Dia sangat menyukai hewan,” jawabnya lagi. Nampak antusias.

 “Jika tidak salah usiamu di tahun ini sudah menginjak 29 tahun. Ada niatan untuk melamarnya?”

 Gio memerah. Aku melihat gerak-geriknya yang nampak gelisah. Lalu anggukan di kepalanya membuatku tersenyum tipis. “Aku ingin segera melamarnya sesegara mungkin. Sebenarnya ini bukan topik yang pantas dibahas sekarang tapi aku benar-benar bingung, andai kau bisa membantuku aku akan sangat berterimakasih, Sam.”

 “Ada apa, Gio? Aku akan membantumu.” Aku menyakinkannya.

 Gio tertawa untuk merilekskan ketegangannya. “Aku ingin melamarnya di depan publik. Aku tahu ini gila dan konyol tapi aku ingin dia mengingat apa yang kulakukan saat melamarnya. Dia sangat istimewa bagiku.”

 “Jadi?”

 “Aku ingin membuat kejutan untuknya. Aku tahu kau jago dance, aku ingin kau melakukannya tepat sebelum prosesi lamaranku dilakukan.”

 Aku bertepuk tangan. “Ini spektakuler, aku akan membantumu. Aku siap kapan pun kau mau. Aku akan meminta bantuan sahabatku. Seingatku dia juga jago dance. Aku akan melakukan apapun untukmu, Gio.”

 “Semoga ini bukan termasuk hal yang konyol.”

 “Tentu tidak,” tukasku cepat. “Kau akan melakukan hal yang sangat diinginkan oleh para wanita. Dilamar dengan cara yang berbeda. Ellie tidak akan melupakan apa yang kau lakukan untuk melamarnya. Memangnya kau ingin kapan? Dan sudah berpikir masalah rencana ini dengan matang?”

 “Aku sudah membicarakan ini dengan Henry, Dave, Lucy, dan Dom, mereka menyarankanku untuk melakukannya di restoran tempat kami minum sehabis menonton acara pacuan kuda. Mungkin masih dua bulan lagi.”

 “Kau sudah menyiapkan cincin untuknya?” tanyaku, tidak tahan dengan godaan pertanyaan ini di bibirku.

 “Aku sudah menyiapkannya sejak pertama kali bertemu dengannya. Aku memang sudah lama tergila-gila padanya.”

 “Ellie wanita yang sangat beruntung, Gio,” kataku tulus.

 “Aku yang sangat beruntung bisa mendapatkannya sebagai kekasihku. Dia sangat penyabar dan baik hati.”

 “Kalau begitu kalian cocok,” balasku lagi. “Kau sangat baik dan Ellie juga baik. Aku benar-benar tidak sabar ingin bertemu dengannya.

 Gio tersenyum tipis. “Bersabarlah sedikit lagi.”

***

 Omongan Gio benar. Ellie memanglah wanita yang sangat baik. Dia kini berdiri di hadapanku. Membantuku membetulkan rambutku yang sedikit berantakan dan kusut sambil memelukku.

 “Aku sudah banyak mendengar ceritamu dari Gio,” Ellie tersenyum dengan tulus dan aku segera membalasnya.

 “Kuharap itu cerita baik,” gurauku.

 Ellie melepaskan pelukanku dan mengangguk. “Tentu saja. Dia sangat menyayangimu. Bahkan aku sangat yakin dia lebih sayang padamu dibanding padaku.”

 Gio memutar bola matanya saat aku dan Ellie meliriknya. “Di mana yang lainnya?” Gio mulai mengalihkan topik pembicaraan kami.

 Ellie tersenyum pada Gio lalu menjawabnya dengan suara yang pelan. “Mereka sudah masuk.”

 “Jadi tunggu apa lagi sekarang? Ayo!” ajak Gio.

 Kami mulai berbalik dan ketika itulah suara yang tidak begitu kukenal memanggilku dengan keras. “SAAAMM!” teriaknya.

 Aku melihat Shawn menghampiriku lalu mengecup pipiku. “Apa aku terlambat?” tanyanya pelan.

 Aku menggeleng. “Kau tepat waktu.”

 “Ehm....” dehem Gio.

 Aku tertawa kecil. Lalu mulai memperkenalkan Shawn pada Gio dan pasangannya. Gio menjabat tangan Shawn dan entah perasaanku saja Gio menahan tangan Shawn terlalu lama. Seperti sedang memicing tajam dan mengirimkan saluran kebencian kepada pria dihadapannya. Saat aku berdehem, Gio dan Shawn saling melepaskan diri satu sama lain.

 Ellie bergantian menjabat tangan Shawn sebentar lalu merangkul bahu kekasihnya. “Mungkin lebih baik kita jalan sendiri. Kau akan baik-baik saja kan, Sam?”

 Aku mengangguk cepat. “Shawn pasti menjagaku.”

 Shawn tersipu di tempatnya. Dia menyentuh tanganku dan aku merasakan genggaman tangannya. Bersikap menjagaku.

 Ellie yang melihat apa yang dilakukan Shawn tersenyum tipis, berbeda dengan Gio yang merengut kesal. Dengan susah payah akhirnya Ellie berhasil menyeret kekasihnya dengan gelombang tawanya yang lebar. Aku harus berterimakasih padanya karena sudah mempercayakanku dengan Shawn.

 “Kau cantik sekali malam ini. Seperti biasanya maksudku,” ralat Shawn cepat.

 Aku tersipu di tempatku untuk beberapa saat. “Kau juga terlihat tampan Shawn,” balasku jujur.

 Shawn terkekeh, sambil berjalan dan menggenggam tanganku ia kembali berbicara. “Jadi pria tadi itu....”

 “Kakakku. Dia sangat menyayangiku,” kataku pelan.

 “Pantas saja,” Shawn mengangguk paham sendiri. “Jadi bagaimana harimu hari ini di kotaku tercinta?”

 “Cukup menyenangkan, tapi sejujurnya aku sangat bosan karena hanya berbelanja di pusat perbelanjaan. Aku sudah lama tidak melakukan kegiatan itu.”

 “Sulit dimengerti. Bagaimana mungkin seorang wanita jauh dari kata ‘belanja’?”

 “Mungkin aku terlalu berlebihan, tapi aku lebih suka diam di apartemenku saat tinggal di Boston. Aku akan menghabiskan waktuku bersama berandalan kota Boston yang memang tinggal bersamaku di sana.”

 “Kekasihmu?” tanya Shawn. Aku tahu dia merasa risih saat mendengarku membicarakan Jacob.

 “Bukan, teman satu flatku selama aku tinggal di Boston. Aku sering berpindah-pindah tempat tinggal selama ini,” kataku jujur.

 “Oh?”

 “Aku orang latin yang terlahir di benua Eropa.”

 “Kau pasti memiliki banyak pengalaman tentang beradaptasi di lingkungan baru.”

 “Ya, cukup banyak, sampai aku sendiri tidak yakin apa bisa hidup di satu kota saja sampai menunggu ajalku.”

 “Itu pilihan yang menyulitkan.”

 “Benar sekali. Bagaimana denganmu?”

 Shawn tertawa kecil. “Kukira tidak ada yang spesial dari diriku.”

 “Ayolah, Shawn!” Aku memaksanya dan Shawn akhirnya mengangguk untuk menceritakan tentang dirinya.

 “Aku juga sepertimu, tapi aku orang Kanada yang sudah tinggal 20 tahun di Liverpool. Urusan pekerjaan ayahku.”

 “Sejak kapan kau pindah?”

 “Sejak aku sekolah dasar. Seingatku, kelas 3. Aku tidak terlalu disukai disini di hari-hari pertamaku di sekolah, tapi untung saja tidak bertahan lama,” Shawn tersenyum menenangkanku. Aku mulai menghitung usianya sekarang. Pasti dia seumuran dengan Gio.

 “Kau belum menceritakan tentang pekerjaanmu?” Aku memancingnya untuk lebih mengetahui Shawn lebih dalam.

 “Aku hanya seorang arsitek.” Entah hanya perasaanku saja atau bukan, tapi aku merasa Shawn merendah dengan mengatakan bahwa dia arsitek. Itu pekerjaan yang cukup membanggakan sebenarnya.

 “Mungkin aku bisa melihat kantormu kapan-kapan?”

 “Tentu saja, itupun jika kau bersedia datang ke kantorku yang kumuh.”

 “Sepertinya tempat terkumuh yang pernah kulihat berada di daerah Detroit. Sarang penjahat jalanan yang menyesakan dan hidup bebas di sana.”

 Shawn tertawa pelan. “Kau pernah ke sana.”

 “Beberapa waktu. Aku sudah bilang padamu kan bahwa aku ini tidak bisa hidup di satu tempat saja?”

 “Ya,” Shawn menjawab pelan. “Jadi, apa kau ada keinginan untuk menetap di kota ini?”

 “Untuk beberapa waktu, mungkin ya.” Aku mengangguk. “Aku berada disini selama 5 bulan, dan setelah itu aku harus melanjutkan kuliahku di Boston.”

 Kami berhenti sebentar saat Shawn menawariku naik bianglala yang berada di sana. Cukup besar dan kukira aman. Saat aku mengangguk, kami pun segera masuk mengantri untuk bisa naik ke salah satu kursi yang berada di sana.

 Kami tersenyum bersama saat bianglala mulai berputar. Aku tidak menyangka bahwa masa seperti ini akan terjadi dalam hidupku. Aku dulu pernah merasakan ini hanya saja itu saat aku masih kecil, bersama orangtua kandungku sebelum mereka meninggal.

 Shawn menyentuh tanganku dan membuatku tersadar. “Kau terlihat muram? Apa kau takut ketinggian?” suara Shawn terdengar khawatir.

 Aku menggeleng. “Tidak sama sekali. Aku sering mendaki gunung dan semuanya baik-baik saja.”

 “Tapi kau….”

 “Aku baik-baik saja, Shawn. Terimakasih telah peduli. Kau baik sekali,” kataku pelan.

 “Lihat ke sana!” Aku menatap ke arah yang ditunjuk olehnya. “Itu Xander-Williams Arcitect.”

 “XE Arcitect?”

 Shawn mengangguk. “Kau pasti tidak asing dengan nama itu? Pria yang temanmu ajak balapan kemarin malam itulah bosnya. Kau pasti tidak percaya, tapi Mr. Williams sangat menyebalkan entah di kantor atau di ajang balapan. Aku sering ke sana dan sangat tidak suka gayanya yang menjengkelkan banyak orang.”

 “Sudah terlihat sekali kalau dia menyebalkan. Bagaimana bisa kau bertahan di perusahaan itu jika kau tidak menyukai bosmu?”

 “Mr. Williams bukan bosku. Dia memang pemilik XE Arcitect yang sebenarnya namun perusahaan itu dipimpin oleh Mr. Xandre. XE Arcitect hanya anak cabang dari perusahaan besar Williams Company Inc. atau biasa disebut Will C Inc. yang berpusat di tengah ibukota Inggris.”

 Aku jelas tahu. Bahkan aku sudah membaca dokumen apapun yang berkaitan tentang targetku itu. “Itu lebih baik,” jawabku singkat.

 “Bagaimana denganmu? Kau berarti berada di sini untuk….”

 “Bekerja. Aku akan magang di kantor pemasaran mulai senin depan.”

 “Sukses kalau begitu!” Shawn memberikanku semangat. “Dan kuharap setelah malam ini aku masih bisa bertemu denganmu lagi.”

 “Jika aku tak sibuk,” jawabku pendek. Aku sudah sering bilang kan bahwa aku sosok orang yang paling sulit membangun komitmen? Apalagi disaat bertugas seperti ini. Aku biasanya berkencan dengan satu orang pria pada sabtu malam dan menghiraukannya setelah pagi menjelang. Entah itu sudah menjadi kebiasaan burukku atau aku memang sengaja melakukan itu. Aku tidak bisa memilih satu pria dalam hidupku. Setidaknya untuk saat ini. Lagipula aku masih terlalu muda untuk membicarakan komitmen.

 Kami turun dari bianglala lalu melihat-lihat. Aku tidak sengaja melihat jam tanganku yang menunjukan pukul 10 malam setelah aku berputar-putar tidak jelas dengan Shawn. Meskipun Shawn pria yang mengasyikan tapi makin kelamaan aku merasa bosan. Beruntung sekali kilatan di langit terlihat. Firework. Indah sekali.

 Aku tersenyum sambil menegadahkan kepalaku. Tidak mempedulikan bahwa Shawn sejak tadi menatapku. Aku menoleh sebentar padanya dan sedikit terkejut saat melihatnya mendekatkan wajahnya. Hendak menciumku.

 Semenit, aku masih terus merasakan lembutnya bibir Shawn. Menikmatinya di tengah kerumunan. Aku menyudahinya dan napas Shawn terasa memburu. Aku yakin dia sudah bergairah. Tetapi sayangnya aku tidak ada waktu untuk berhubungan lebih lanjut dengannya. Tubuhku terlalu berharga untuk diajak ke tempat tidur bersama pria yang baru kukenal.

 Aku ingat bagaimana hubunganku dan Justin Anderson terjadi. Sejak aku pindah ke Boston dan kami bertemu di mini market. Saat itu ada pembobolan mini market dan aku sangat tidak menyangka bahwa Justin akan menolong pria tua pemilik mini market itu. Meskipun perangainya sangat menyebalkan, dingin, dan jarang bicara, tapi jika sudah dekat denganku dia akan berubah menjadi pria manis. Sangat usil dan suka merajuk. Hubungan yang tidak kuketahui namanya itu bahkan memberanikanku memberikan diriku untuk sekedar memuaskan hasratnya, maksudku hasrat kami di atas ranjangnya. Aku sudah beberapa kali tidur dengannya.

 Sebenarnya di usia beliaku ini aku hanya melakukan hubungan intim dengan 2 pria. Justin adalah pria kedua. Sedangkan pria pertama yang mengajariku tidak lain mentorku di Agen D. Dulunya dia bersama Ryan, bosku, menjadi mentorku, namun sudah sejak dua tahun lalu pria itu menghilang dan terdengar kabar bahwa dia mengundurkan diri dari Central Intelligent Agency. Pria itu menghilang tepat dua bulan memberikanku pelajaran mengenai hubungan intim. Dia bilang aku harus belajar darinya. Mungkin beginilah ceritanya.

***

 Pria itu bernama Keanu Black. Aku mengenalnya saat menjalani pelatihan Agen D. Agen D biasanya digunakan untuk anak-anak yang sejak berusia 9-12 tahun sudah masuk ke dunia kriminal sebagai tim penegak hukum di Amerika. Kami diajari banyak hal. Latihan bertempur layaknya militer. Kebanyakan yang direkrut dan masuk di Agen D adalah anak-anak dengan latar belakang yang buruk. Kebanyakan kami anak yatim piatu dan menjalani hidup baru kami bersama ke luarga angkat kami. Ada juga yang berasal dari ke luarga yang ayah ibunya telah bercerai. Namun ada juga diantara mereka yang berasal dari ke luarga utuh, meskipun mereka minoritas.

 “Kau sudah bangun?” Keanu menatapku dari atas kepala sampai ke bawah kakiku. Aku merasa ada yang aneh darinya. Ada kemungkinan dia mabuk sepertinya.

 “Kau mabuk?” Aku bertanya sambil mendekat padanya, dan benar saja dia mabuk karena bau minuman terasa memuakanku. “Kau ingat kan disini kita tidak boleh mabuk. Bagaimana kalau ada yang melihatmu mabuk, Keanu?”

 “Memang kenapa kalau aku mau mabuk. Suka-suka hatiku sajalah! Kenapa kau sudah bangun? Ini masih jam 5. Terlalu pagi.”

 “Jangan bercanda! Ini masih jam 2 dini hari. Kau benar-benar mabuk. Astaga! Aku tidak suka baumu yang memuakkan ini,” keluhku tapi terus membawanya masuk ke dalam kamarnya. Aku memang sudah menunggunya sejak tadi. Dia ke luar dari rumah musim panas kami yang lebih tepat dikatakan sebagai markas sejak jam 9 malam tadi, entahlah tapi dia habis bertengkar di telpon dengan seseorang yang tidak kukenal sama sekali.

 “Sudah sana masuk kamarmu! Dasar anak kecil!” Keanu mendorongku lalu menutup pintu kamarnya. Aku mendengus tapi akhirnya kembali ke kamarku. Aku sudah menganggap Keanu seperti apa ya ... jika pantas, aku ingin menganggapnya sebagai kakakku. Tapi mengingat perbedaan usia kami yang nyaris 25 tahun, aku seharusnya menganggapnya sebagai pamanku. Atau ayahku? Saat itu usiaku sudah 17 tahun.

 Baru saja hendak tidur, aku mendengar ketukan di pintu kamarku. Aku melirik jam sedikit bertanya-tanya apa ada orang lain lagi yang tidak bisa tidur jam segini? “Masuk saja!” teriakku.

 Aku melihat Keanu membuka pintu kamarku. Dia terlihat sudah segar, mungkin sudah membasuh wajah dan menggosok giginya. Padahal 10 menit yang lalu dia terlihat seperti pemabuk ulung. “Apa aku mengganggumu?” Keanu bertanya sambil menutup pintu kamarku. Suaranya sudah tenang dan aku kembali mengenalinya sebagai mentorku.

 Aku menggeleng. Mengelak kenyataan bahwa sebelum dia masuk ke dalam kamarku aku hampir saja menutup seluruh tubuhku dengan selimut tebal. “Ada apa?”

 “Tidak, aku hanya sedang memastikan bahwa kau sudah berada di kamarmu,” jawabnya sambil beringsut mendekat. Dia duduk di sampingku, di single bed-ku. “Kau baik-baik saja, kan?” Dia bertanya lagi. Kali ini sambil mengelus wajahku.

 Aku menegang di tempatku. Belum ada satu pria pun yang berani melakukan ini padaku hingga saat ini. Aku biasanya menjauh jika ada pria yang mencoba melakukan kontak fisik padaku. Meskipun aku pernah berciuman saat aku masih sekolah menegah, tapi aku tidak pernah melakukan hal selebih itu. Aku tidak punya waktu untuk melakukan itu dengan waktu senggangku yang nyaris hanya kenangan.

 “Aku baik, tentu saja.”

 Keanu semakin mendekati wajahku. Aku bisa merasakan deru napasnya yang memburu dan sebelum aku bisa menolak, bibirku sudah ia lumat dengan lembut. Bahkan sangat lembut. Rasanya tubuhku seperti agar-agar hanya dengan berciuman dengannya.

 Nyaris lima menit kami berpagutan sampai akhirnya Keanu mundur. Dia menatapku dalam lalu berbicara dengan suara yang nyaris berbisik. “Aku menyukaimu selama ini, Sam. Kau sangat menggodaku!”

 Aku tidak tahu apakah itu pujian atau pelecehan. Tapi mentorku selama ini ternyata menyukaiku. Aku ingin berteriak namun mengingat perjanjian di atas materai yang pernah kutandatangani; jika ada asmara sesama anggota tim yang diketahui secara langsung atau tidak langsung, mereka akan dipecat atau salah satu diantara mereka harus mengundurkan diri.

 “Tapi kau mentorku selama ini, Keanu. Kau guruku yang selama ini melatihku banyak hal.”

 “Ssttt ... kalau begitu aku akan mengajarimu lagi satu pelajaran.”

 Alisku bertaut, aku bingung. Mengapa dia membicarakan pelajaran di tengah pembicaraan kami sekarang?

 Keanu kembali menyentuh pipiku. Sangat halus sampai aku menutup mataku, merasakan dengan seksama bagaimana sentuhan dari tangan Keanu yang hangat. Aku tidak bisa membohongi perasaanku juga, aku juga selama ini menyukainya. Aku, mungkin lebih tepatnya aku mengidolakannya. “Aku akan mengajarimu caranya ... bercinta. Bagaimana caranya membuat pasanganmu bergairah dan memberikannya kenikmatan dan membuatnya begitu ingin terus memasukimu, sayang.”

 “Tapi aku....”

 “Kau sudah siap dengan pelajaran yang akan kau terima ini? Anggukan kepalamu, My Lovely Samantha.”

 Dan ketika itu aku sangat yakin kalau aku sudah gila. Mengangguk dengan patuh, menuruti ucapannya. Kami kemudian saling berpagutan lagi. Panas tubuhku saat itu terasa aneh dan membuatku makin menginginkan sesuatu. Sesuatu yang mendesak ke luar dari tubuhku. Dan, ketika satu persatu pakaian kami terlucuti aku sangat yakin bahwa Keanu serius akan mengajariku bercinta. Hal yang tentunya tidak perlu kupelajari darinya.

 Dari erangannya aku mendengarnya terus berbicara. Mengatakan apa yang diinginkannya dan apa yang harus kulakukan agar menjadi wanita yang terus diinginkan. “Anggap saja kau belajar ini agar saat kau ke luar dari Agen D dan masuk ke pasukanmu yang sebenarnya kau bisa membunuh dan memperalat lawan priamu dengan kenikmatan. Kau tahu? Pria itu otaknya sama dan dangkal. Hanya ada 3 hal terpenting dalam hidupnya; dan aku sebagai pria akan mengaku bahwa 3 hal terpenting dalam hidupku salah satunya adalah bercinta. Astaga! Kau sangat menggodaku, Sam.”

 Aku mendengarkan di tengah desahanku yang tertahan, beberapa saat kemudian lagi-lagi Keanu menutup mulutku dengan bibirnya. Membuat pagutan yang panjang dan lama, dan aku sampai tidak sadar saat dorongan dari dalam diriku melanda. Aku seperti runtuh dan hancur lebur dalam beberapa saat.

 Keanu yang belum mendapatkan puncaknya hanya memandangiku beberapa saat. Setelah energiku kembali, aku berhubungan lagi dengannya. Malam itu aku mendapatkan diriku sebagai seorang wanita, bukan lagi gadis polos yang tidak mengerti hubungan ranjang yang panas dan menggelora. Keanu mengajarkanku banyak hal, dan sejak malam itu aku tidak lagi mendapatkan mentorku. Aku mendapatkan dirinya sebagai pria yang kucintai, ditengahnya perbedaan usia kami yang sangat jauh jaraknya. Dan masalahnya dia sekarang sudah menghilang. Entah ke mana dan apa alasan dia mengundurkan diri tiada yang mengetahui jawabannya? Aku hanya bisa menahan perasaanku padanya. Keanu-ku yang hampir 2 tahun ini menghilang.[]

***

Bersambung>>>>

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status