Share

Bab 6 Shawn Blackmore

Aku memang tidak seharusnya mempercayai Cody. Ryan salah besar tentangnya! Bagaimana bisa sudah lewat 3 hari tapi pesananku tidak pernah sampai. Aku ingat betapa muaknya aku saat harus menghubunginya lewat telpon 2 hari yang lalu.

 “Bajingan!” sapaku tidak sabar saat mendengar suaranya menyapaku; Halo! Aku benar-benar tidak butuh basa-basinya.

 “Sweet, jangan marah-marah dulu! Aku tahu kau merindukanku tapi tidak perlu memakiku seperti itu juga.”

 “Demi neptunus, aku tidak pernah merindukanmu, Travis! Kau melupakan perintahku terakhir kali kita bicara. Kau dengar aku!” bentakku. “Jika kau tidak bisa membantu banyak mengapa tidak mundur saja dan biarkan orang yang lebih cekatan untuk membantuku!”

 “Aku cukup cekatan, Sweet. Masalah motor itu ya? Aku sedang melakukan sedikit modifikasi, Sweet. Jadi bisakah kau tenang dan membiarkanku tidur sebentar. Aku janji akan menyelesaikannya sabtu ini.”

 “Aku tidak percaya padamu, Travis!”

 “Sweet, jika kau tidak mempercayaiku maka kau harus percaya pada siapa lagi? Aku mencoba membantumu. Itu saja!”

 “Sabtu nanti aku harus melihat motor itu ada di depan rumahku. Aku tidak peduli apa yang harus kau lakukan, pokoknya motor itu harus ada di sana. Tepat waktu! Hari sabtu, Travis!”

 “Baiklah, sayangku. Sekarang bisakah aku tidur untuk sebentar saja!” Dan dia pun mematikan sambungan telponku duluan.

***

 Beberapa hari lalu aku merasa jauh lebih buruk. Tetapi semua itu sudah berlalu. Sudah lewat hari jumat, itu tandanya aku libur bekerja di kantor pemasaran itu. Aku senang karena sabtu ini akan ada dua hal yang pastinya menyenangkan. Bukan hari yang membosankan jika dibandingkan sepanjang minggu ini.

 Aku duduk di ruang tengah saat melihat dua pasangan yang sedang berdiri bersama. Mereka pasangan serasi. Henry dan Lucy, juga Dave dan Dom. Aku bertepuk tangan senang saat melihat mereka berdiri bersama. Berjejer seperti sedang berdiri di depan juri di perlombaan pasangan terbaik setiap malam prom di saat kelulusan.

 “Kalian tampak serasi. Semoga menyenang untuk malam ini!”

 Pasangan Dave dan Dom tersenyum tulus lalu mereka berjalan duluan. Lucy menggandeng tangan Henry yang menurutku agak berbeda. Ia menatapku sejak tadi dengan dalam namun ketika matanya melihat Lucy, dia seolah melihat sesuatu yang tidak dia inginkan. Meskipun begitu mereka tetap pergi bersama sambil saling menautkan tangan mereka satu sama lain.

 Kali ini aku harus berlapang dada karena hanya bisa melihat pasangan-pasangan yang normal menjalani hidup mereka. Menjalani akhir minggu dengan berkencan bersama pasangan mereka masing-masing. Kadang aku sering kali berpikir, jika saja aku tidak mengalami masa sulit, mungkin aku akan melakukan hal yang sama seperti mereka.

 Ya, andai saja kedua orangtuaku tidak meninggal dan meninggalkanku seorang diri di duna ini mungkin semua yang akan kujalani akan nampak lebih indah. Aku tidak perlu tinggal bersama orangtua angkatku selama dua tahun dan tidak perlu juga tinggal bersama James dan Lora, pasangan suami istri yang merupakan adik dari ayah angkatku yang tidak bisa memiliki anak. Ayah kandung Gio.

 “Hai,” Gio menyapaku saat ia baru saja ke luar dari kamarnya. Dia melakukan gerakan menutup pintu kamarnya dengan pelan sambil melihatku yang duduk di atas sofa.

 “Aku akan pergi jika ada yang mengajakku pergi.”

 “Bagaimana dengan Shawn?” Gio bertanya seolah menggodaku.

 “Seingatku kau tidak menyukainya minggu lalu. Mengapa kau menanyakannya?”

 Gio menggigit bibirnya lalu mengerutkan keningnya. “Sebenarnya dua hari yang lalu aku bertemu dengannya di kantor EX Arcitect karena urusan pekerjaan. Aku tidak menyangka bertemu dengannya dan akhirnya kami mengobrol dengannya di restoran. Kukira dia menyukaimu tapi kau ... apa kau menghindarinya?”

 Aku tertawa lebar lalu menatap langit-langit rumah. “Apa aku harus mengatakan hal seperti ini padamu?”

 “Sam, kau adikku. Kukira Shawn pria yang cukup baik. Dia memang sebaya denganku tapi kukira dia baik. Apa kau keberatan dengan perbedaan usia kalian?”

 “Sepertinya tidak. Aku menyukai pria yang lebih dewasa dariku. Lagipula sepertinya usiaku bisa menipu banyak orang. Aku bahkan tidak ingat kapan aku berpikiran sesuai dengan usiaku saat ini.”

 Gio mengangguk mengerti. “Kau memang dewasa dari usiamu, tapi percayalah padaku bahwa Shawn pria yang tepat. Katanya, dia mencoba menghubungimu sejak malam itu tapi kau tidak merespon semua panggilannya sama sekali.”

 “Aku membalas pesannya.” Aku jujur. “Lagipula saat ini aku sedang sibuk, kau tahu kan sekarang aku bekerja.”

 Gio akhirnya mendesah. “Setidaknya kau harus menghubunginya. Aku akan berangkat sekarang,” Gio mengecup keningku lalu berjalan menuju pintu depan.

 Aku mulai berpikir untuk menghubungi Shawn untuk menyenangkan hati Gio. Tapi aku tidak yakin dia akan mengangkat telponku setelah aku menghiraukannya selama seminggu ini. Namun apa salahnya mencoba. Dengan tenang aku mengambil ponselku yang sengaja kusembunyikan di bawah bantal yang berada di sampingku. Aku melihat layar ponselku dan sedikit terkejut saat melihat 11 panggilan tidak terjawab dan hanya ada satu nama di sana yang mewakili semua itu. Shawn.

 Aku mencoba menghubungi Shawn dan tidak menunggu lama saat aku mendengar suaranya sejak malam saat dia mengantarkanku pulang ke rumahku. “Hai!” Aku mencoba menyapanya terlebih dahulu karena dia tidak menyahut duluan.

 “Sam, kau menghubungiku?” Aku bisa merasakan nada getir pada suara Shawn di telpon.

 “Jika kau tidak suka aku akan menutup telponku.” Aku tidak mengerti dengan nada suaraku yang berpura-pura galak sekarang. “Maaf, seharusnya aku menghubungimu sejak kemarin-kemarin. Aku sedang sibuk, Shawn. Kau tahu, aku baru masuk bekerja dan menjadi pekerja di kantor bukanlah bakatku.”

 Ada jeda sebentar. Aku mendengar deruan napas berat lalu kudengar suara Shawn menggelitik telingaku. “Malam ini apa kita bertemu? Aku tahu ini bukan waktu yang pas untuk mengajakmu berkencan. Tapi bisakah, Sam?”

 “Kau akan menjemputku di rumah?” tanyaku pelan. Aku sadar dengan apa yang kukatakan. Lagipula masih lama untukku pergi ke area balap liar. Aku mungkin akan datang tengah malam nanti. Cody sendiri masih belum mengantarkan motornya.

 “Aku akan ke sana.”

 “Baiklah, aku akan siap dalam waktu 10 menit. Kau datang saja!”

 “Baiklah.” Shawn mematikan panggilanku dan aku hanya duduk sambil melihat langit-langit ruangan. Aku baru beranjak dua menit kemudian.

 Aku masuk ke dalam kamarku dan memilih baju yang pas untuk kupakai malam ini. Perlu diingat bahwa aku hanya mempunyai beberapa gaun malam dan lebih sering memakai celana jins panjangku dan kemeja lengan panjang jika ke luar rumah. Aku hanya tidak ingin menyenangkan hati lawan kencanku jika itu akan membuat hatiku tersiksa dengan terus menerus memakai baju wanita.

 Aku akhirnya memilih memakai kaus kebesaran berwarna putih dengan sablon hitam bertuliskan Rolling In The Deep. Sebagai bawahan aku memilih celana pendek berbahan jinsku. Aku jelas tidak tahu dia akan mengajakku kemana, tapi aku ingin menunjukkan pada Shawn bahwa aku bukan hanya wanita feminim seperti yang dia lihat minggu kemarin.

 Shawn ke luar dari mobilnya setelah dia mengirimiku pesan bahwa dia sudah sampai untuk menjemputku. Aku ke luar dari rumah dan memandang Shawn lekat-lekat. Sepertinya antara aku dan Shawn sama sekali tidak memiliki persamaan. Malam ini dia menjemputku dengan memakai stelan jas mahal dengan kemeja putih. Dia sudah seperti bos di perusahaan-perusahaan besar yang akan menghadiri meeting.

 “Hai!” Shawn nampak kikuk saat menyapaku. Jelas dia berusaha tenang namun hal itu menjadi bayangannya saja. “Kukira aku akan mengajakmu makan malam di Lavonte.” Seperti yang pernah kudengar dari Dom, ada sebuah restoran bintang 7 di kota ini yang sangat terkenal bernama Lavonte. Restoran untuk orang-orang kaya dengan gengsi mereka yang tinggi sekali. 

 “Jika kau tak malu membawa pasangan dengan pakaian murahan seperti ini,” tukasku.

 Shawn mengerti maksudku lalu terbatuk sendiri. “Aku membawa baju ganti yang lebih santai. Mungkin aku harus meminjam kamar mandimu?”

 Aku tersenyum lebih lebar. Dia yang mengalah. “Aku akan mengantarkanmu ke sana.”

 Shawn berbalik dan mengambil sesuatu dari dalam bagasinya. Aku melihatnya mengeluarkan tas ransel lalu mengeluarkan kaos berwarna hitamnya. Dan detik itu juga aku baru menyadari bahwa aku sudah bertemu dengan Shawn yang pasti dari penampilannya saja sudah bisa dikategorikan sebagai lelaki dewasa yang mapan.

 Setelah berganti baju di kamar mandi, kami kembali ke dalam buggati hitamnya. Dengan cekatan Shawn membukakan pintu untukku dan aku hanya bisa tersenyum manis menerima perlakuannya itu. Terkadang aku ingin mengutuk diriku sendiri jika begini. Mengapa rasanya datar-datar saja? Pasti karena bukan bersama pria yang tepat yang selama ini menghilang membawa pergi perasaannya.

 “Jadi?” tanyaku saat Shawn sudah duduk di balik kemudi, di sampingku.

 “Mungkin kau akan menyukai Errillac. Kita bisa makan malam di sana sambil mendengarkan lagu mozzart atau lagu modern lainnya. Mereka mempunyai seorang pianis yang handal.”

 “Aku suka piano,” jawabku pelan.

 Shawn tersenyum tulus lalu menggenggam tanganku sebelum menyalakan mesin mobilnya. Dia sepertinya akan bicara sesuatu jika saja aku tidak memulai duluan. “Aku tidak menyangka kau akan membawa mobil sekeren ini.”

 “Oh,” Shawn tersenyum tipis. Tangannya mulai memutar stir kemudi, setelah ke luar dari area rumah Shawn baru melanjutkan ucapannya. “Ini mobil lamaku. Aku tidak terlalu menyukainya. Tapi, kukira aku harusnya membawa ini di kencan kedua kita.”

 “Aku malah lebih suka kau mengenderai motor seperti minggu kemarin.”

 “Mungkin dikencan kita berikutnya aku akan membawa motor.” Shawn tersenyum tanpa menoleh ke arahku. Dan aku merasa memiliki tekanan batin sekarang. Dia ingin kencan lagi denganku. Padahal aku sudah tidak ingin apapun lagi darinya. Aku hanya ingin mengenalnya selintas lalu kami tidak perlu bertemu lagi. Seperti teman kencanku yang lain. Kebanyakan mereka seperti itu kuperlakukan, hanya mereka yang mau menjadikanku sahabatnyalah yang bisa bertahan. Juga satu pria baik namun dingin yang masih bertahan bersamaku, Justin Anderson.

 Meskipun Justin bukan siapa-siapaku aku tidak pernah menyangkal bahwa dia masuk kategori yang istimewa dalam hidupku. Sikapnya yang kadang pencemburu, kadang sangat manis, dan terkadang sangat tidak acuh itulah yang membuatku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Aku bahkan masih ingat saat liburan tahun baru yang kuhabiskan tiga hari bersamanya. Kita pergi ke Bali. Hanya berdua.

 Saat itu kami sedang menjalani perjalanan bersama menuju galeri lukisan yang sudah dua tahun terakhir ini menjadi langganan Justin. Tanpa bantuan guide, Justin bersikeras membawaku dengan mobil yang ia sewa. Setengah perjalanan aku sangat menyukai perjalanan itu, meskipun ada rasa takut tersesat karena ini bukan wilayah kami. Tapi hari itu aku mencoba mempercayakan semuanya pada Justin.

 Entahlah siapa yang sedang apes saat itu, setelah dua jam melakukan perjalanan dari hotel kami tidak juga sampai. “Kau yakin ini jalan yang benar?” tanyaku pelan. Tidak ingin menyinggung perasaan Justin yang mungkin saja saat ini sedang sensitif.

 Tapi jawabannya membuatku menghela napas panjang. “Aku sepertinya melewatkan satu tikungan lagi.”

 “Jadi maksudmu?” Aku mulai nampak panik saat melihat ke arah kanan dan kiriku. Hanya ada daerah pertanian dan semuanya hijau. Tidak ada seseorang yang lewat atau rumah di sekitar sini. “Kau tidak ingin menyakinkanku bahwa semuanya akan baik-baik saja?” suaraku sudah mulai ketus tapi Justin hanya memandangku dengan tajam.

 “Memang aku harus membohongimu? Kau sudah dewasa untuk tahu bahwa kita tersesat.” Dia benar-benar melakukannya. Sungguh rasanya aku ingin sekali menggantung leher di pohon kelapa yang miringnya hampir 900 yang tumbuh tidak jauh dari mobil kami.

 “Lalu untuk apa kita berhenti di sini? Astaga, Justin….”

 “Tidak perlu menggerutu seperti itu. Aku akan membawa kita kembali ke hotel.” Dan perjalanan itu hanya omong kosong belaka. Dua jam kami berkendara dan Justin makin seperti orang gila. Rambut pirangnya yang tadi disisir rapi ke belakang rambutnya perlahan kusut karena tangannya. Kita masih di jalan raya dan jalanan mulai gelap. Aku sangat yakin kita masih dalam keadaan tersesat.

 “Hentikan mobilnya. Aku akan bertanya pada seseorang!” Aku menunjuk seorang wanita yang mengenakan kebaya serta kain yang melingkar di pinggang hingga mata kakinya. 

 Justin tanpa banyak bicara menghentikan mobil di samping pejalan kaki yang kutunjuk. Dengan logat inggris, aku mencoba bertanya menggunakan Bahasa Indonesia yang kubisa. “Maaf, Ibu. Saya ingin bertanya jalan menuju Denpasar itu ke arah mana?”

 “Oh, Denpasar? Ke arah sana.” Tunjuk ibu itu ke arah yang sama di mana mobil sejak tadi berjalan lurus. “Kira-kira masih 5 km lagi.”

 “Terimakasih, Bu!” Aku tersenyum tipis lalu masuk kembali ke mobil. Ibu tadi pun kembali berjalan.

 “Kau tadi bicara bahasa mereka.”

 “Memangnya kenapa? Aku hanya membantumu agar kita tidak tersesat lagi.”

 “Kau benar. jadi apa yang ibu tadi katakan?”

 “Kita hanya perlu berjalan lurus ke arah sana, sekitar 5 km lagi.”

 “Kau lihat kan aku tidak salah, kita hanya kurang berjalan 5 km lagi untuk sampai ke hotel.”

 “Bukan hotel tapi kita baru akan masuk kota Denpasar.” Aku menahan napas dan membuang wajahku dari Justin. sepanjang perjalanan pada petang hari itu menjadi perjalanan panjang yang cukup melelahkan sekaligus menyebalkan untukku. Mungkin lain kali aku tidak mau jika dia ajak ke suatu tempat seorang diri. Untung saja aku bisa Bahasa Indonesia meskipun sedikit. bagaimana jika nanti aku ke Thailand bersamanya untuk melihat gajah putih lalu dia mengajakku pergi dan hal ini akan terulang kembali? Masalahnya aku tidak bisa Bahasa Thailand dan akan sangat konyol jika seorang turis tersesat saat liburan.

 Setelah insiden tidak tahu jalan atau bahasa kerennya ‘tersesat’, aku jadi wanti-wanti jika ingin pergi ke luar dari hotel saat bersama Justin. Aku hanya mau pergi jika ada guide dari hotel yang mau menemani perjalananku. Memang kelihatannya berlebihan. Tapi aku tidak mau terlihat overcontrol jika sedang bersamanya. Setidaknya jika aku sendirian aku tidak perlu menjaga gengsi.

 Aku masuk ke dalam kamarku dan berpisah dengan Justin sampai akhirnya kami bersiap-siap makan malam bersama di lobi hotel. Karena masih dalam rangka penyambutan tahun baru, pihak hotel membuat pesta setiap malamnya sampai tanggal 21 Januari.

 “Aku menunggumu sejak lima menit yang lalu,” gerutuan Justin aku abaikan dan lebih memilih mengunci pintu kamarku dengan cepat. Setelahnya aku mendongak dan mengecup bibirnya dengan singkat.

 “Jangan marah lagi, oke? Aku baru selesai berendam di bathtub. Hari ini terasa menyiksa,” aku balas menggerutu diakhir kalimat. Justin yang sadar akan sindiranku malah berjalan lebih dulu. Meninggalkanku dengan wajah merah karena menahan tawa. 

 Setelah jarak kami hampir 3 meter aku baru mengejarnya dan meminta maaf pada Justin. Dia hanya mengedikan bahu dan tidak meresponku. Tepat di depan lift yang masih tertutup kami menunggu. “Kau tidak memaafkan Samantha Karel, hmm?”

 “Sepertinya tidak.” Aku tahu dia menyeringai padaku meskipun aku tidak menatap wajahnya. Dia ini baru saja memarahiku tetapi dalam hitungan detik sudah mencoba mengerjaiku.

 “Kalau begitu aku akan mencari pria tampan yang bisa kuajak bicara baik-baik!”

 “Tidak boleh!” Justin menyentuh bahuku dan kami dalam sekejap saja sudah berpagutan dengan mesra. Dia memang rajanya pencemburu, jika aku membahas pria lain di hadapannya dia akan berubah menjadi sosok penjagaku. Maksudnya penjaga dari laki-laki hitung belang yang mencoba mendekatiku.

 “Sam, kita sudah sampai!”

 Aku tersadar dan melihat Shawn di sampingku. Dia sudah membukakan pintu mobil buggati-nya untukku dan aku hanya tersenyum konyol padanya. Aku bangkit sambil menggenggam tangan Shawn. “Maaf, aku tidak fokus! Mungkin efek lelah karena seminggu penuh bekerja.”

 “Kuharap begitu,” Shawn membalas dengan suara meragu.

 “Kita akan duduk di mana? Kukira tempat ini sudah penuh,” tanyaku sambil melihat ke kanan dan kiri ruang restoran yang nampak penuh oleh pengunjung. Kebanyakan mereka sepertinya sedang kencan. Tidak aneh mengingat malam ini adalah sabtu malam.

 “Sam! Shawn!”

 Aku menatap ke arah pasangan yang sedang duduk di bagian depan dekat panggung kecil dan piano diletakan di restoran ini. Mereka melambaikan tangannya dan aku memaksa Shawn untuk duduk dan bergabung dengan mereka.

 “Hai, Gio! Ellie! Senang bertemu kalian di sini.” Aku berbicara seperti orang yang baru saja bertemu lagi setelah lama tak berjumpa. “Aku dan Shawn sepertinya tidak kebagian tempat duduk.”

 Shawn mengangguk kecil. Menyutujui opiniku.

 “Duduklah, tempat ini masih kosong dan anggap saja kita sedang melakukan double date malam ini.”

 Aku menatap Shawn lalu menatap Ellie dan Gio bergantian. “Sepertinya tidak. Aku dan Shawn akan menganggu waktu kalian. Biarkan kami mencari restoran lain.”

 “Kau yakin?” Ellie bertanya dan aku mengangguk kecil. “Baiklah kalau begitu.”

 Aku dan Shawn akhirnya memutuskan ke luar dari Errillac. Kami tidak kembali ke buggati Shawn karena aku menariknya ke mini market pinggir jalan. Kami hanya menyebrang dan masuk ke dalam dengan bergandengan tangan. Tepatnya aku menarik tangan Shawn dan pria itu tidak menolak.

 “Kau mau membeli sesuatu?” Shawn akhirnya bertanya saat aku melepaskan tangannya.

 Aku menatap matanya lalu mengangguk kecil sambil mengambil keranjang belanja dan menyerahkannya pada Shawn. Meskipun awalnya enggan Shawn dengan patuh mengikutiku. Kami menyusuri rak-rak berisi makanan ringan.

 Aku mengambil berbagai snack kentang dan memasukannya ke dalam keranjang. “Kau tahu tempat yang liar?”

 “Liar?” Shawn terdengar serak.

 “Maksudku seperti semak-semak yang rimbun untuk sepasang kekasih. Jika kita berada di Boston aku akan mengajakmu ke atas tebing yang curam dan kita akan menikmati waktu kita di sana dengan pemandangan indah dari sang malam dan cahaya bulan dan bintang.”

 “Oh?” Shawn tersenyum menggoda. Dia sepertinya salah mengartikan maksudku lagi. “Aku bisa mengajakmu ke tempat gelap dan lumayan menyeramkan. Tidak ada bintang apalagi bulan. Kurasa kita harus membawa ini….” tepat saat itu kami melewati rak senter dan Shawn mengambilkannya dua.

 “Apa kita akan pergi ke rumah tua yang sudah seabad lebih tidak digunakan pemiliknya?”

 Shawn menahan tawanya dan aku bersyukur karena dia akhirnya menggeleng. “Aku hanya ingin mengajakmu ke rumah orangtuaku.”

 “Apa?”

 “Tidak seperti yang kau bayangkan. Aku tidak akan mengenalkanmu pada mereka. Hanya saja kita akan masuk ke area rumah orangtuaku dan duduk sambil mengobrol di halaman belakang rumah kami.”

 “Oh,” aku mendesah lega dan kembali mengambil sesuatu saat kami melewati rak minuman. Aku mengambil dua botol bir dan berharap aku tidak akan teler saat menyadari aku sudah minum sebotol bir nantinya. “Apa tempatnya sangat jauh? Aku harus berada di rumah tengah malam nanti.”

 “Dekat, kau tenang saja. Lagipula sekarang masih jam setengah 9 malam. Kita masih punya banyak waktu bersama 2 jam setengah lagi. Aku akan mengantarkanmu tepat waktu.”

 “Kalau begitu sebaiknya kita bergegas sekarang.”

 Saat aku sampai di depan halaman rumah Shawn sepertinya aku harus sadar benar dengan pria seperti apa yang sedang berkencan denganku. Shawn pasti anak orang kaya raya. Rumahnya itu sepertinya kastil pada jaman victoria dulu. Sangat menawan dan aku tidak bisa menahan bibirku untuk berhenti tersenyum. Aku merasa terpesona. Sungguh….

 “Kau terlihat senang?” Shawn terkekeh saat melihat wajahku.

 “Apa aku sudah seperti orang yang kurang waras?”

 Shawn menggeleng, “Tentu tidak. Kau makin cantik dengan terus tersenyum.”

 “Kau pasti cicit orang kaya atau bangsawan pada jaman dulu. Rumahmu menakjubkan, Shawn.”

 “Tidak seperti itu. Aku dan keluarga hanya orang biasa. Hanya saja kakekku dari ayahku mendapatkan warisan yang sangat berlimpah dari salah satu kakak ayahnya kakekku yang bangsawan dan tidak bisa memiliki anak, Sir Thomas Phillips, dan akhirnya warisannya menjadi milik ayahku.”

 “Sejarah yang panjang,” komentarku.

 “Tidak terlalu. Bahkan ada salah seorang bangsawan yang tinggal di rumah yang lebih besar dan megah dari ini. Aku sering bicara dengannya, hanya saja dia sangat angkuh. Astaga, apa kau tidak bosan dengan topik pembicaraan ini?”

 Aku menggeleng mantap. “Sama sekali tidak,” jawabku sambil berjalan mengikuti Shawn yang membawa satu kantong belanja dari kertas yang berisi makanan dan minuman kami. Meskipun berjalan memutari rumah Shawn yang sangat besar terasa melelahkan tapi aku suka saat sudah sampai. Ternyata maksud Shawn kita akan duduk di tepi danau di belakang rumahnya.

 “Aku akan mengambilkan kursi santai untuk kita berdua,” Shawn baru akan pergi saat aku menahan tangannya. 

 “Tidak perlu. Kita bisa duduk bersama di tanah. Tapi jika kau keberatan dan takut tanah disini mengotori celanamu mungkin akan lebih baik jika kita memakai kursi itu.”

 Shawn terkekeh lagi. Kami sudah memegang senter kami masing-masing dalam keadaan menyala. Shawn tidak bohong karena tempat ini memang tidak nampak bintang atau bulan sedikit pun. Mungkin karena kami berada di antara pohon pinus yang lebat daunnya tapi ini memang sedikit aneh, cahaya dua benda malam itu tidak ada sama sekali di langit. “Aku tidak akan memakai kursi itu jika kau keberatan.”

 “Sepertinya tidak.”

 “Sam, kau mau kuambilkan gelas untuk kita minum?” Shawn duduk mendahuluiku. Kami sudah seperti gelandangan di tebing danau dan memegang senter di tangan kanan kami dan botol bir di tangan kiri kami.

 “Tidak perlu. Dibeberapa waktu aku suka minum bir langsung dari botolnya.”

 “Baiklah. Mari cheerrss!”

 “Cheeeerss!” Kami bersulang menggigit botol bir kami dan membuang tutupnya ke samping. Kami minum dan aku bisa mendengar suara erangan dari mulut Shawn. “Hei, apa kau tidak biasa dengan ini?”

 “Sepertinya aku harus jujur. Ya, aku belum terbiasa. Jelas saja ini pengalaman pertamaku. Duduk di tanah langsung dan meminum bir langsung dari gelasnya.”

 “Apa aku memberikan pengaruh buruk untukmu?” tanyaku, terdengar khawatir tapi dalam hatiku merasa puas entah mengapa.

 “Tapi aku suka,” Shawn tersenyum dengan tulus di tengah gelapnya malam itu. Aku bahkan tidak sadar saat tubuh Shawn mendekatiku hingga jarak kami hanya bersisa setengah meter saja. Aku baru menyadari perbuatannya saat kami tangannya berada di atas tanganku. Ia menggenggamnya lalu meneguk lagi birnya. Kami sama-sama sudah melepaskan senter kami dan menggeletakannya dalam keadaan mati.

“Sam....” Aku tidak tahu apa lagi yang akan ia perbuat. Yang kurasakan saat ini hanya tubuhnya yang menguarkan parfum maskulin semakin mendekat padaku. “Aku tahu ini terlalu cepat, tapi apa aku bisa berharap lebih dari hubungan kita?”

 Aku terdiam. Antara bingung dan terkejut. “Kita baru bertemu dan saling mengenal, Shawn.”

 “Tapi aku sangat menyukaimu....” Shawn mengatakan ini dengan tegas dan jelas. Dan tanpa penerangan sama sekali aku berharap bisa menegak birku dengan tepat ke arah mulutku. “Bahkan sejak pertama kali aku melihatmu.”

 “Kalau begitu kau tidak akan menyukaiku sejak beberapa kali bertemu denganku. Aku tidak ingin hubungan selain pertemanan untuk sekarang ini.”

 Dari deruan napasnya yang beberapa detik menghilang, aku tahu bahwa Shawn menahan napasnya. Dia menghela napas panjang lalu kurasakan belaian yang sangat lembut di kepalaku. “Aku mengerti. Ini pasti terlalu cepat untukmu.”

 Aku mengulum bibirku dan rasanya beban berat jatuh di pundakku saat ini. Aku ingin pulang saja sekarang. Apalagi beberapa saat kami hanya saling terdiam dengan mulut kami yang saling melumat bibir botol bir kami masing-masing.

 Saat minumanku hampir habis aku akhirnya melepaskan botol birku. Mengambil sesuatu dari dalam kantong belanjaan dan memakan snack dengan suara yang membisingkan.

 “Sam,” Shawn kembali membuka suara.

 “Ya?”

 “Boleh aku bertanya padamu suatu hal? Tentang arena balapan liar, tempat di mana kita bertemu pertama kali.”

 Aku berhenti makan dan menjawab dengan pelan setelah menelan makananku yang sudah lunak di dalam mulut. “Ada suatu hal yang mengganjalmu?”

 “Aku sering ke sana untuk balapan,” katanya pelan. “Chris Williams mencari-carimu sejak malam itu. Apa kau mengenal pria itu atau barangkali kalian memiliki suatu hubungan yang tidak kuketahui?”

 Tawaku meledak. Tapi bukan tawa karena gurauan tapi tawa yang garing. “Aku bahkan tidak mengenalnya.”

 “Sepertinya Chris menyukaimu,” tembak Shawn langsung.

 “Lalu? Apa aku harus menghampirinya dan mengajaknya kencan duluan? Aku tidak mengenalnya jadi untuk apa aku memikirkannya. Terserah dia mau menyukaiku, atau menyukai sesama jenisnya.”

 “Tapi kalian sempat bicara, kan?” tuntut Shawn.

 “Apa kau mencemburui sesuatu yang tidak jelas?” tanyaku pelan. Mencoba menjaga perkataanku agar Shawn tidak salah paham. Karena jujur saja aku tidak suka dengan perkataannya. Lagipula untuk apa cemburu jika kami saja tidak memiliki hubungan serius apa-apa. Aku tidak menganggapnya lebih dari teman kencanku saja.

 “Aku hanya menyakinkan diriku bahwa kau tidak menyukai pria seperti Chris.”

 “Memang ada apa dengan pria itu?” tanyaku penasaran.

 “Dia lelaki terbejat dan terbrengsek di Inggris. Kau tidak pantas dekat dengan pria seperti itu. Dia suka mempermainkan wanita dan membuangnya dalam hitungan hari ketiga.”

 “Hari ketiga?” Aku tidak menemukan informasi itu di dokumen milik Chris.

 “Ya. Pria itu hyppersex dan sangat bajingan. Dia akan memuaskan dirinya selama tiga hari lalu mencampakan wanita itu seperti membuang sampah.”

 Aku mendengar nada bicara yang tidak biasa dari Shawn. Aku mendekat dan menyentuh dadanya pelan dan sedikit meraba karena kondisi yang gelap. Aku bisa merasakan itu. “Apa terjadi sesuatu?”

 Shawn terdiam sebentar lalu menggelengkan kepalanya. “Aku akan mengantarkanmu pulang setelah ini.”

 “Shawn?” Aku tidak bisa membohongi diriku sendiri bahwa aku sangat penasaran dan khawatir. Bagaimana jika Chris juga hanya menggodaku selama 3 hari dan setelah hari ke-4 dimulai, dia melemparku ke jalanan dan memberikanku pada lelaki hidung belang. Lalu rencana penggeledahan di apartemennya akan bagaimana jika rencana ini gagal?

 “Sahabatku menjadi korban pria itu 5 tahun yang lalu,” Shawn akhirnya bicara. “Usianya pada saat itu masih 25 tahun sedangkan Chris sudah 30 tahun. Kau tidak akan kuat mendengar ceritaku. Kumohon jangan paksa aku untuk menceritakan kisah Renata.”

 “Sahabatmu bernama Renata?”

 “Ya,” Shawn menjawab pelan. “Renata Morgans.”

 Aku menggenggam tangannya dan jatuh dipelukannya begitu saja. “Aku tidak akan memaksamu bicara lagi, Shawn.”

 “Berjanjilah untuk tidak berhubungan apapun dengannya, Sam!”

 Aku menegang di tempatku. Permintaanmu terlalu berat untukku. “Mungkin lebih baik kau mengantarkanku ke rumah.”[]

***

Bersambung>>>>

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status