Share

Bab 7 Chris Williams


Aku harus berterimakasih pada Cody karena malam ini ia membuatku sangat senang setelah obrolanku dengan Shawn. Pria itu jelas-jelas berlebihan menanggapi hubungan kami. Kami hanya berciuman sekali dan dia sudah menganggapku lebih dari teman kencan. Aku akan menjadikan ini pelajaran bahwa tidak ada kencan kedua jika aku tidak menghendakinya sama sekali. Tidak peduli bagaimana orang-orang semacam Gio akan menceramahiku untuk tidak menjauhinya.

 Aku mengendarai Ninja putihku dengan cepat ke arena balap liar. Cody tidak ikut denganku dan katanya dia mau tidur saja karena gara-gara proyek motorku yang harus ia utak-atik beberapa hari ini membuatnya seperti vampire. Wajahnya pucat karena kelelahan dan kurang tidur.

 Area yang berupa jalanan beraspal nampak makin ramai saja. Aku sudah memakai stelanku malam ini. Hanya jaket kulit hitam yang berbeda dari yang kupakai minggu kemarin. Bahkan saking niatnya, aku memakai kaus hingga 4 lapis dari di dalam jaketku. Sekarang aku cukup terlihat memiliki postur tubuh ala lelaki pendek mengingat tinggiku yang tidak sampai 170 cm.

 Aku melihat kakiku dan tersenyum puas saat melihat sepatu olahragaku yang cukup butut di sana. Bawahanku juga hanya celana hitam biasa. Lagi-lagi aku melihat cermin spion dan sadar bahwa dengan menggunakan helm putih ini aku pastinya tidak dikenali.

 Perlahan aku masuk ke garis start. Berdiri bersama Ninja putihku dan menatap datar orang-orang di sampingku. Chris ada di sana di sampingku dan dengan melirik saja aku tahu bahwa dia menatapku terus.

 “Siapa kau? Tidak ada yang bisa ikut balapan sebelum memperlihatkan identitasnya padaku.”

 Aku membuang wajahku dan melepaskan tanganku sebentar dari stirku. Aku mengeluarkan dompet kulit yang kuambil diam-diam dari celana Cody dan ada kemungkinan dia belum sadar dompetnya hilang sampai besok pagi ketika harus membayar aspirin di mini market. Dengan kasar aku membayar seorang pemandu dengan jumlah yang cukup banyak saat ia lewat lalu melirik Chris acuh.

 Kami beradu rissing motor yang sangat memekakan telinga lalu saat model jalanan itu menjatuh benderanya aku melaju dengan cepat. Rasanya sangat mendebarkan. Adrenalinku serasa berpaju cepat dan aku fokus pada jalanan. Aku masih berada di posisi ketiga diantara 4 pembalap yang lain.

 Aku menurunkan gigiku saat kulihat di depanku berguling satu pembalap. Mataku tidak buta dan aku tahu Chris yang berada diposisi pertama menendang bagian samping motor pembalap yang sudah terjatuh itu. Curang sekali. Dia benar-benar sialan!

 Bagaimana bisa pria yang memimpin 9 perusahaan besar di sepanjang Uni Eropa ini tidak lebih dari pengecut dan menghalalkan segala cara untuk bisa menang pertandingan balapan seperti ini. Di mataku, Chris sangat rendah.

 Aku mencoba mencapai kecepatan penuh saat sebentar lagi menyusul Chris. Dari geriknya saja dia pasti sudah memataiku lewat spionnya. Aku tidak akan kalah, aku yakin itu. Dan dengan keberanian yang memuncak akhirnya aku menggas Ninjaku lebih cepat lagi. Sebentar lagi garis finish dan aku benar-benar sangat yakin bisa memenangkan ini.

 Yes!

 Aku melepaskan pegangan tanganku pada stir motorku yang makin memelan. Chris berada diposisi kedua dan dia menghampiriku dengan wajah ditekuk. Dia nampak marah saat matanya menatapku. Saat bibirnya terbuka untuk bicara disaat itu pula aku mendapatkan uang kemenanganku.

 Chris makin terlihat kesal. Wajahnya memewah dan dia menarik lenganku. “Buka helm-mu!” perintahnya. Nadanya kasar dan membentak.

 Aku menggeleng lalu memelotot ke arahnya. Bukannya takut, Chris malam makin mencengkram lenganku dengan keras. Aku ingin menjerit kesakitan tapi khawatir kedokku akan terbongkar. Akhirnya aku hanya melengguh lalu menendang motornya dengan kekuatan penuh sambil melepaskan tanganku.

 Berhasil! Aku melihat Chris terjatuh ke samping bersama motornya. Kesempatan emas itu tidak kusia-siakan untuk kabur. Aku bergegas dan mengejeknya dengan meliluk-lilukan Ninjaku seperti wanita yang sedang menari salsa.

 Geraman kesal terdengar malam itu menyambut kepergianku, aku sadar untuk segera menjauhi dari kerumunan itu. Malam ini sudah cukup untukku bersenang-senang mempermainkan Chris.

***

 Dugaanku benar semalam. Cody datang ke rumah saat aku dan yang lainnya sedang sarapan. Dia menggedor-gedor pintu depan seperti orang bar-bar. Aku tidak menyangka hanya karena dompet ia lupa pada kenyataan bahwa bel rumah ada di samping pintu depan.

 Henry dengan pelan beranjak dan hendak membukakan pintu. Aku hanya terdiam dan membiarkan Cody disemprot habis-habisan oleh Henry karena sudah menganggu kediamannya di pagi hari yang seharusnya menyenangkan.

 Beberapa menit kemudian aku melihat Cody dan Henry berdiri bersama. Mereka melangkah bersama dan duduk di meja makan. “Halo, pencuri manis-ku!” Cody memang punya mulut sapi.

 Aku tertawa dan semua orang makin menatapku bingung.

 “Kembalikan dompetku atau aku akan mengajakmu bercinta di meja makan ini!” ketusnya lagi. Dia memegang kepalanya dan aku semakin menahan tawaku. Membuat wajahku memerah dan dia sepertinya akan menghardikku lagi jika saja Gio tidak berteriak duluan.

 “Apa maksudmu? Pertama kau menuduh adikku pencuri dan kedua, kau akan memaksanya bercinta di meja makan ini jika adikku tidak mengembalikan dompetmu! Lancang sekali kau masuk ke rumah orang dan bicara kurang ajar seperti itu,” hardik Gio. Matanya tajam melihat ke arah Cody yang masih santai saja di kursinya. 

 “Baiklah, aku minta maaf! Apakah salah satu dari kalian tidak bisa memberikanku aspirin? Kepalaku sakit sekali! Sungguh!”

 Sebelum ada yang beranjak aku melemparkan dompet kulit milik Cody yang sudah kuisi 4 kali lipat. “Pergilah!”

 “Lihatkan, kakak tersayang Gio! Ini barang bukti kalau....” Cody melotot sedikit saat melihat isinya. “Kau berjudi dengan uangku semalam?” 

 “Dan sekarang aku tidak tahan untuk menghajarmu, bajingan!” Gio bergerak dan memutari meja untuk menghampiri Cody. Untung pria itu tanggap dan berlari ke luar dari rumah.

 “Terima kasih, Sweet!” teriaknya dan untuk sekian kalinya aku merasa puas. Namun sayangnya ini tidak akan bertahan lama saat Gio menghampiriku dan memintaku mengikutinya ke kamarku.

***

 Gio mendesah lalu menatapku super tajam. “Semalam kau kemana? Dan aku sudah tidak tahan untuk tidak menanyakan masalah motor di garasi.”

 Aku menggelembungkan mulutku lalu mengempiskannya lagi. “Aku tidak kemana-mana. Kau tahu aku bukan gadis baik-baik seperti itu. Dan masalah motor itu, aku tidak ingin bohong karena itu motorku. Cody yang memberikannya padaku sebagai hadiah,” kataku bohong. Jelas saja Cody membelikan motorku dengan uang yang diberikan oleh kesatuan kami. Dia akan bangkrut jika memberikan motor itu dengan percuma padaku.

 “Hadiah?”

 “Sebentar lagi kan aku ulang tahun,” jawabku, meskipun terdengar tidak masuk akal. Aku melipat tanganku di depan dada dan menatap Gio, meyakinkannya sebisanya.

 Gio terdiam. Aku mulai berpikir dan khawatir Gio tidak percaya pada ucapanku. Namun dari kerutan di keningnya dia terlihat bingung sejadinya. “Apa aku harus memberikanmu mobil untuk hadiah ulangtahunmu nanti?”

 Dan aku tidak bisa menahan tawaku karena ucapan Gio. Dia ternyata percaya pada alasanku yang tidak masuk akal itu. “Aku lebih suka suatu hal yang kecil dan bisa kukenang selalu jika aku melihatnya.” Aku tidak bisa menahan pandanganku. Menatap ke bawah, ke arah leherku yang terpasang kalung pemberian Gio.

 Gio mengusap rambutku lalu beranjak. Aku mengikutinya dan kami kembali ke meja makan. “Aku akan memikirkan sesuatu itu.”

 Aku hanya tersenyum dan kami sudah duduk kembali di meja makan. Duduk di kursi kami masing-masing.

***

 Sepanjang siang itu kami menghabiskan waktu libur kami di rumah. Lucy dan Dom memasak camilan untuk kami siang ini. Karena memang tidak jago memasak, aku lebih memilih duduk di antara para lelaki dan ikut bermain monopoli bersama mereka. Percaya atau tidak? Tapi kami melakukannya. Dave yang mengusulkan kami bermain dan karena sedang tidak melakukan apapun lagi kami pun melakukannya.

 “Giliran siapa sekarang?” tanyaku sambil meletakan dua dadu ke dalam ember kecil seukuran ujung jempol Gio. Jempolku terlalu kecil untuk ukuran ember itu.

 “Aku,” Henry mengambilnya lalu melemparnya setelah mengocoknya beberapa kali. “8. Angka favoritku.” Henry berjalan dan dia hanya berjalan bebas saat sampai di kompleks rumah miliknya.

 “Kudengar kau sedang ada masalah dengan Lucy?” Dave bertanya saat Gio sedang bermain. Aku mendengarkan dan firasatku sepertinya benar.

 Henry menatapku tidak enak hati dan aku jadi tidak enak berada diantara mereka. Aku duduk bersila lalu melepaskan uang-uang monopoliku. “Aku akan renang saja di kolam.”

 Gio menatapku lalu melihat dua sahabat lelakinya. “Aku akan ikut dengan Sam,” ujarnya sambil ikut bangkit.

 “Apa Lucy dan Henry sedang ada masalah?” tanyaku pada Gio. Kami sudah sampai di kolam renang. Aku melihat Gio melepaskan celana panjangnya dan membiarkan boksernya bertengger di pinggangnya. Dia juga melepaskan bajunya dan hanya bertelanjang dada di sampingku. Aku sendiri tidak berminat melepas baju dan akan berenang dengan tank-top hitam dan hotpants putihku.

 “Mereka memang sedang sering-seringnya bertengkar beberapa bulan terakhir ini.” Gio menjawab sambil melihat ujung kolam. “Mari berlomba! Siapa yang berhasil duluan dua kali bolak-balik harus memijit kaki yang menang?”

 Aku menatap Gio lalu menimbang. Dari senyuman setannya saja aku tahu Gio ingin mengerjaiku. Yang ada dalam bayangannya adalah aku akan kalah. Melihat postur tubuh kami saja kemungkin pemenangnya hanya satu: Gio. Aku menggeleng dan Gio tertawa lebar.

 “Kau pasti takut kalah dariku,” ejeknya dan aku menggeleng.

 “Bagaimana kalau kita bertarung saja? Aku sudah lama tidak latihan taekwondo di dojo.”

 Gio menatapku khawatir, dia pasti segan untuk memukulku walaupun menerima ajakanku. “Kau yakin?”

 “Aku akan senang jika kau memperlihatkan kemampuan bertarungmu sebagai seorang pria dewasa.” Aku tidak bercanda. “Aku juga akan senang jika bisa memukulmu sampai babak belur. Tanganku sudah lama gatal ingin melakukan ini.”

 Gio tertawa beberapa detik setelah aku menyelesaikan perkataanku. Bisa dipastikan bahwa dia tidak mempercayai ucapanku. Tapi aku memang sudah cukup lihai untuk membuat pria babak belur. Hanya saja aku jarang melakukannya.

 Setahun yang lalu sepulang tugasku dari Amerika Selatan dan harus melewati Detroit, aku bahkan harus memukul seorang pria kurang ajar saat berada di bar murahan. Dia pria tua dengan janggut panjang yang sangat tidak sopan. Dia memukul bokongku saat kami berpapasan. Saat aku masuk bar murahan itu aku membiarkannya memukul bokongku, tapi saat pulang aku tidak membiarkannya begitu saja saat dia memukul bokongku lagi sambil tertawa melecehkanku. Dan Hades pun tahu bahwa aku akan mengirimkan penghuninya lagi menuju tempatnya.

 Aku memukul Gio dan membuatnya tersadar dari tawanya. Dia menatapku tajam dan aku semakin menggodanya. Kami bertarung dan Gio sepertinya sudah tidak main-main dengan gerakan menyerangnya yang lima menit pertama hanya difokuskan pada titik pertahanan.

 Aku mundur dan mulai naik ke kursi santai di pinggir kolam renang. Lalu mendorong kakiku ke arah dada Gio. Dia belum sempat menghindar dan tumbang dengan wajah geram. Aku tidak bisa menahan tawaku saat melihatnya bangkit dan menyerangku dengan kepalannya. Aku menghindar dan kakiku segera bergerak ke perutnya. Menendangnya dengan tendangan sabit lalu mengambil tangannya untuk segera kubanting dengan keras.

 “Ayolah, Gio! Jangan bermain-main denganku! Mana pria dewasa yang hebat itu!” ejekku dan Gio terlihat makin geram. Aku pernah menuliskan melalui email yang kukirimkan padanya bahwa aku salah satu anggoto taekwondo dan beberapa kali bertarung melawan teman lelaki di sesi latihan dan aku cukup mahir melakukan itu.

 Gio mendekat lalu dengan membabi buta meninju ke arahku. Dia melakukannya dengan cepat seolah aku adalah targetnya. Samsaknya yang siap untuk dia pukuli. Tapi aku menghindar dan Gio harus puas diri karena hanya mampu meninju udara di sekitarnya. Saat aku hendak menghindar lagi dari serangannya, Gio berhasil memukul kakiku dan aku terjatuh dibuatnya. Tidak lama karena aku segera bangun dan balas menendang perutnya.

 “Aaaaahh, tolong berhenti!”

 Aku mendengar teriakan Dom tapi tidak mempedulikannya. Aku justru mendorong Gio yang saat itu sedang tidak fokus dan menatap ke arah Dom dan membuatnya terjebur ke dalam air. Bertepatan disaat semua penghuni di rumah ini datang dan melihat aksi akrobat yang sudah kulakukan untuk menumbangkan Gio dan membuatnya basah.

 “Kalian bertengkar?” Henry maju dan mengulurkan tangannya pada Gio yang masih betah di air.

 “Dia mengajakku bertarung. Tubuhnya kecil tapi lincah sekali,” Gio membalas dan mereka nampak lega mendengar jawaban Gio. Mereka pasti mereka yang tidak-tidak. Gio maju dua langkah dari air lalu meraih tangan Henry dan pria itu menariknya masuk ke dalam air.

 Aku tertawa dan Gio menatapku jengkel. “Cepat turun, my little sugar!”

 Aku dengan cepat bergabung dengan mereka. Gio terkekeh sedangkah Henry mengusap wajahnya yang terciprat air karena aku meloncat dengan keras. Membuat air beriak. “Ayo berlomba lagi!” Kali ini aku bukan hanya mengajak Gio, tetapi juga mengajak Henry.

 Gio mengangguk dengan cepat sedangkan Henry mengikuti kami. Saat kami mulai dengan aba-aba dariku, aku mencoba berenang dengan cepat. Meskipun tetap akan terasa bodoh dan percuma karena tubuh dan gerakan dua pria di sampingku yang cepat. Aku menendang air dan harus berpuas diri saat berada di posisi terakhir. Gio dan Henry menatapku dengan senyum lebarnya. “Oke, aku tahu, aku kalah.”

 Mereka tertawa lalu perlahan naik ke permukaan. Dave duduk di kursi santai dan aku tidak melihat Lucy dan Dom. Aku yakin mereka kembali menyelesaikan acara memasak mereka.

 “Dave, turunlah dan berhentilah bersikap malas!” Gio berseru membuat Dave menatapnya kesal.

 “Aku tidak berminat hidup di air dengan sekumpulan ikan teri.”

 “Ikan teri?” Aku bertanya sendiri dalam benakku. Aku mendekati Dave dan segera duduk di sampingnya. Membuat dirinya basah dengan tubuh basahku. Dave sedikit bergeser tapi aku malah menariknya mendekati kolam. Memaksa Dave mendekati kolam dan segera menceburkannya ke air.

 Usahaku hampir sia-sia jika saja Henry tidak membantuku menarik Dave dan membuatnya mendekati kolam renang. Setelah cukup dekat, aku dan Henry tertawa saat melihat Dave jatuh ke dalam air. Seluruh tubuhnya basah dan dia memukul air, kesal. “Sialan kalian!”

 Kami tidak peduli. Aku memilih duduk lagi di samping Gio dan Henry masih berdiri dengan tingginya yang semampai bak model pria ternama. “Dave, ayo bertanding!” katanya dengan suara yang cukup keras.

 Aku dan Gio bersorak dan Dave perlahan naik ke atas permukaan air. Dia melepaskan baju dan celananya. Begitu pula dengan Henry. Mereka sama-sama hanya bertelanjang dada dan masing-masing menunjukkan tubuh atletisnya. Aku tersenyum tipis melihat pemandangan itu.

 Pagi yang indah saat dengan beruntungnya mendapatkan pemandangan indah dari dua pria bertubuh kekar. Tinggi mereka sekitar 180 cm atau lebih dengan perut kotak-kotaknya. Aku menelan ludahku saat melihat bisep di lengan mereka. Mencuat dengan indah dan membuat mata-mata nakal wanita tidak bisa berhenti menatapi keindahan tubuh mereka.

 Mereka sudah mulai berancang-ancang dan saat Gio menghitung mundur, mereka pun turun dan masuk ke dalam air. Gerakan mereka saat berenang hampir sama, tapi Henry berbalik lebih cepat dan aku bersorak saat melihat sampai di ujung kolam lebih dulu. “Pertunjukan yang hebat!” pujiku saat Henry duduk di antara kami dengan tubuhnya yang basah kuyup.

 “Aku sedang beruntung,” Henry menjawab. “Biasanya Dave yang selalu menang jika kami berlomba di kolam renang.”

 “Dia sedang malas,” ujar Gio.

 Dave tidak membalas, dia membiarkan dirinya berada di dalam kolam renang dan mendengarkan pembicaraan kami. Aku tidak tahu apa pandanganku salah atau tidak, tapi aku merasa Dave melihatku sejak tadi. Aku menoleh ke arahnya dan dia segera menatap Henry yang sedang membicarakan pekerjaannya karena Gio baru saja menanyakan keadaan pekerjaannya.

 “Aku sepertinya akan memikirkan lagi mengenai hubunganku dengan Dom,” Dave membuka suaranya setelah Henry berhenti bicara.

 “Mengapa? Kalian bukannya sudah mulai mempersiapkan masalah pernikahan itu?” Gio bertanya. Dia terlihat terkejut. “Kau tahu, kau dan Dom sangat serasi. Jangan lupakan juga bahwa Dom adalah sahabat dekat Lucy!”

 “Aku juga sedang bermasalah dengan Lucy!” Henry tanpa ditanya membicarakan hal yang sama.

 “Ada apa dengan kalian?” tanyaku tidak mengerti. “Ayolah! Kalian pasangan yang serasi.”

 Dave menatapku dalam lalu melihat ke arah jari tangannya yang tersemat sebuah cincin. Mungkin itu cincin pertunangan mereka atau sebagainya. “Aku tidak tahu sejak kapan kami tidak begitu serasi. Tiga tahun hebat bisa mengenalnya tapi entah mengapa aku menjadi ragu akhir-akhir ini.”

 “Aku juga pernah mengalaminya. Terkadang mencintai seseorang itu menyebalkan dan aku benci mengakuinya, jika aku hanya stuck pada satu laki-laki saja.” Aku berbicara seolah menjadi pria dan mengakui kehebatan satu orang yang kucintai seumur hidupku. “Tapi mungkin juga aku hanya terlalu menghayati perasaanku. Hahahaa....”

 Gio menatapku dengan tampang bingung. “Gadis muda sepertimu tidak seharusnya mengatakan hal sesakral itu. Kau tahu, hati seseorang mudah berubah.”

 “Dan sejak mengenalnya aku sama sekali tidak mempercayai komitmen. So, Gio, bisakah kau berhenti menghubungi Shawn dan mengatakan bahwa aku akan kembali padanya untuk melakukan kencan lagi?”

 Gio mendesis. “Shawn pria yang baik. Kau tahu dia bahkan dari ke luarga yang cukup terhormat di Inggris.”

 “Aku percaya hal itu, tapi aku masih terlalu muda untuk berhubungan serius dengan pria manapun.”

 “Apa ada hubungannya dengan pria yang sudah membuatmu stuck itu?” Henry bertanya dengan cepat.

 Aku mendesah. Membuang muka lalu mengutuk diriku sendiri karena membuka aibku sendiri. Aku melakukan ini karena takut jika diantara dua pria yang merupakan sahabat Gio menyukaiku. Perilaku mereka sepertinya menunjukkan tanda-tanda itu. “Lupakan kata-kataku itu! Aku tidak pernah mau membahas pria berengsek yang sudah meninggalkanku setelah tidur denganku.”

 “Kau hanya kurang beruntung saat itu,” Dave menatapku dalam dan aku tertawa.

 “Dia terlalu menawan dan aku mengutuknya karena dia tiba-tiba menghilang begitu saja. Hal sial kedua darinya adalah aku tidak bisa membenci bajingan itu. Yang pasti aku tidak siap berhubungan dengan pria terlampau jauh, jadi aku hanya ingin memberitahukan kakakku tersayang untuk tidak menceramahiku tentang kebaikan pria yang akan kukencani nantinya.”

 “Kau tega sekali,” Gio memukul lenganku lalu menjatuhkan kepalaku di dadanya. “Kau akan menemukan pria baik, tidak semua pria akan meninggalkanmu setelah menidurimu.”

 Aku berdecak. “Mereka berdua akan melakukannya,” cibirku sambil menunjuk Henry dan Dave. Mereka terlihat salah tingkah dan aku mengulum bibirku. Kuharap mereka mengerti maksud kata-kataku.[]

***


Bersambung>>>>

Komen (1)
goodnovel comment avatar
mentari senja
Lanjut thor
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status