Share

Bab 2 Keluarga Baru di Liverpool

Aku berjalan di samping Cody yang terus mengoceh. Dia sepertinya tidak berniat berhenti sedangkan aku tidak mempedulikannya. Bukankah kami sangat cocok?

 “Jadi di mana kakakmu? Siapa namanya, aku lupa saat kau memberitahukan namanya padaku di pesawat tadi?”

 “Gio,” jawabku dengan suara lemas. Dia bertanya sesuatu yang penting jadi aku patut menjawabnya. Kami terus berjalan dan aku melihat seorang lelaki yang tidak kukenali menulis nama “Cody Travis” di spanduk yang dibawanya. Aku menoleh ke belakangku dan Cody segera menyeretku mendekati orang tadi.

 “Matthew, apa kabar?” Cody benar-benar memeluk orang yang menjemputnya dengan erat. Mereka tertawa bersama lalu melepaskan pelukan mereka.

 “Aku baik, Cody. Bagaimana denganmu? Astaga, tubuhmu makin besar, kau pasti rajin berolahraga,” Matthew kembali tertawa sambil memegang bisep Cody yang makin membuatku muak. Kelakuan mereka sekarang sudah seperti pasangan gay.

 “Aku baik. Kenalkan ini Samantha, Sam ini Matt, teman kecilku saat aku tinggal di Manchaster.”

 Aku bersalaman sebentar dengan Matt lalu kami bertukar pandang.

 “Apa kalian sepasang kekasih?” Pertanyaan Matt sepertinya berhasil membuatku mual. Aku tidak membalas Matt dan mendengar Cody tertawa.

 “Tidak, dia adik kelasku saat High School, kami bertemu di pesawat dan dia akan pergi ke...”

 “Liverpool selatan,” jawabku singkat. Aku melihat ke depanku dan menemukan spanduk berisikan namaku. “Sepertinya aku harus pergi! Sampai jumpa lagi, Cody, Matt. Senang bertemu kalian.” Aku kemudian berjalan menghampiri pria dewasa berpakaian hitam dengan luaran jaket denim. Dia nampak tampan sekali dan aku bisa langsung mengenalinya meskipun aku hanya melihatnya di foto yang sering ia kirimkan padaku beberapa waktu lalu.

 “Gio..” Aku tak kuasa untuk tidak memeluk Gio dengan erat. Sudah lama kita tidak bertemu dan bertemu dengannya sesungguhnya menjadi kebahagianku tersendiri. “I miss you so much.”

 “Hahaha,” aku mendengar Gio tertawa dan kami melepaskan pelukan kami. “Aku juga merindukanmu, Honey. Kau sudah besar sekarang! Astaga dari mana kau mendapatkan rambut gelap dan panjang ini? Kau sangat menawan, Honey.”

 Aku balas tertawa dan menyentuh rambutku yang panjangnya hingga sepinggang. Aku memang terlahir berdarah latin, rambutku gelap dan mataku berwarna dark-brown, sangat berbanding terbalik dengan ayah dan ibu Gio yang berasal dari Eropa, mereka memiliki rambut pirang dan mata biru yang indah. Sama seperti mata Gio. Aku sangat menyukai warna matanya.

 “Ehm..” Aku dan Gio menoleh ke sumber suara dan jujur saja aku langsung tidak menyangka dengan siapa yang datang menjemputku di bandara. Ternyata Gio tidak sendiri. Dia bersama teman-temannya. “Maaf kalau aku mengganggu acara kalian. Aku Dominique, kau bisa memanggilku Dom, sahabat dan teman serumah kakakmu.”

 “Hai, apa kabar? Aku Samantha, panggil saja Sam.” Aku tersenyum lembut.

 “Aku baik,” dia menjawab dan aku bisa melihat bagaimana sahabat-sahabat kakakku. Kurang lebih ada 5 orang; perempuan berambut pirang dengan mata biru yang terlihat modis itu bernama Dom.

 “Dave,” kali ini aku bersalaman dengan pria berpakaian santai dengan senyumnya yang lebar. Dia nampak tampan sekali, aku tidak bohong.

 “Aku Lucy,” kali ini wanita berambut pendek sebahu yang mengajakku berkenalan. Dia wanita yang cantik dengan senyuman yang manis. Aku bisa melihat dari gerak-geriknya dia pastilah contoh orang yang ceroboh. Aku sama sekali sedang tidak mencelanya tapi aku menilai dan aku pastinya tidak mau bermusuhan dengan sahabat-sahabat Gio.

 “Henry,” ujar pria itu lembut. Aku tersenyum lalu menyapanya seperti aku menyapa yang lainnya. Pria bernama Henry ini berpenampilan menarik dan aku mungkin akan menyukainya jika saja dia tidak playboy atau sudah punya kekasih. Baiklah, aku sedang tidak ingin membahas mengenai kekasih atau teman kencan. Aku lelah dan yang kubutuhkan sekarang adalah tempat tidur. Aku ingin beristirahat sekarang.

 “Ayo kita pulang! Kau pasti sangat lelah harus duduk sekian jam.” Gio sangat mengerti aku. Aku mengangguk dan baru akan berbalik saat suara yang familiar mengumandangkan namaku lagi. Tidak ini bukan Cody! Aku kira….

 “Hai Sam!”

 Aku memaksakan senyuman manis tersungging di bibirku. Seorang agen harus bisa melalukan akting dengan baik. Aku tidak boleh bersikap buruk, setidaknya di depan kakak dan sahabat-sahabatnya. “Jarvis Adams?”

 Jarvis mengangguk antusias lalu memelukku dengan erat. “Lama tak bertemu dan kau makin menawan saja, Sam.”

 Aku tersenyum lagi. “Apa yang kau lakukan disini?”

 “Aku dipindah tugas ke Liverpool. Kau tidak bersama Cody, dia bilang kalian akan datang bersama-sama.”

 “Kami berpisah, dia bersama dengan sahabatnya dan aku dengan....” Aku melirik Gio dan mereka saling berjabat tangan sambil mengucapkan nama mereka masing-masing.

 “Pacar barumu?”

 Aku tertawa kecil lalu menggeleng pelan, “Tidak, kakakku lebih tepatnya.”

 “Kukira kau sudah putus dengan pria Anderson-mu itu. Aku tidak menyangka kau bisa bertahan….”

 “Sebenarnya kami tidak pernah berpacaran,” potongku cepat. Aku menatap Gio dan mulai salah tingkah. “Aku harus pergi sekarang. Sampai jumpa, Jarvis!”

 Akhirnya aku pun kembali berjalan bersama Gio yang juga membawakan koperku. Dari raut wajahnya aku tahu bahwa dia penasaran dengan Jarvis.

 “Siapamu?” tanya Dom, dia cukup berani saat memulai pembicaraan di antara kami.

 “Seorang temanku yang tinggal di Boston.”

 “Oh?” Dom mengangguk namun sepertinya kurang puas dengan jawabanku. “Kau sangat cantik. Sungguh….” Dom memujiku dan aku segera berterimakasih.

 “Pasti banyak yang menyukaimu?” Kali ini Lucy ikut berbicara.

 “Tidak ada yang mau menyukai anak kecil sepertiku.”

 Mereka kemudian tertawa kecuali Gio. “Usiaku masih 18 tahun.” Mungkin lebih tepatnya akan 19 tahun, 7 bulan lagi.

 “APA?” Dom menjerit kecil di sampingku. Aku terkekeh geli lalu mengusap bahunya.

 “Jangan berteriak! Akan ada banyak yang mengira bahwa kau akan diculik disini!” Aku tidak bisa menahan tawa kecilku. Bersikap supel adalah keahlianku di depan banyak orang kecuali di depan orang-orang yang kubenci.

 “Aku tidak menyangka kau masih 18 tahun. Kau terlihat sangat dewasa dan begitu manis.” Dom menatapku dan aku bisa melihat bahwa dia sepertinya begitu simpati kepadaku. Dia tidak seperti wanita kebanyakan yang biasanya iri dan melihatku sinis jika mereka melihat apa yang sudah Tuhan beri kepadaku. Tapi percayalah fisikku yang menawan tidaklah membuat hidupku sempurna. Selalu ada hal yang menjadi kekurangan dalam hidupku.

 “Kau terlalu memuji, Dom. Aku hanya gadis biasa.”

 “Kau juga tidak sombong,” puji Lucy dan aku hanya tertawa kecil menanggapi ucapannya. “Kita bisa berbicara hal-hal seputar wanita di rumah.”

 “Aku pasti menyukainya,” balasku tenang.

***

 Aku menginjakkan kakiku di sebuah rumah yang cukup luas. Rumah ini milik Henry yang ternyata adalah kekasih Lucy. Well, mereka memang cocok. Ada 7 kamar di rumah ini dan aku akan menjadi penghuni rumah yang keenam setelah Henry sang pemilik rumah, Gio yang merupakan kakakku, Dom si cewek modis yang ternyata pacar Dave, dan Dave-Lucy yang ternyata kakak beradik kandung. Ini akan menjadi tempat yang menyenangkan sebelum semuanya dimulai.

 “Nah kau bisa memakai kamar bawah karena kamar atas sudah penuh dipakai oleh Lucy, Dom, dan Dave. Kau tidak keberatan, kan?” Henry bertanya dengan suaranya yang lembut.

 “Tidak sama sekali. Aku justru sangat berterimakasih padamu, Henry!”

 “Biar kuantar ke kamarmu, Sweet.” Gio datang setelah mengambil minum untuk teman-temannya. “Kau pasti lelah. Ayo!”

 Aku berjalan mengikuti Gio dan kami masuk ke kamar baruku yang berada di koridor belakang. Aku tersenyum cerah saat melihat jendela yang luas di kamar. Aku bisa melihat dengan leluasa taman belakang rumah yang hijau dan banyak ditumbuhi bunga mawar. Ini sangat indah!

 Gio membantuku berkemas sambil sesekali bertanya padaku. “Kau mau makan malam apa? Sudah petang, kau bisa tidur sebentar lalu kita makan malam bersama.”

 mulutku,” jawabku sambil tersenyum tulus pada Gio yang saat itu sudah duduk setelah meletakan koperku yang kosong ke atas lemari pakaian.

 “Kau tidak berdiet?” Gio seperti mengejekku dan aku segera menggeleng. Aku memang tidak suka diet, dan aku juga sangat tidak peduli dengan berat badanku. Aku hanya selalu membiasakan makan buah, sayuran, air mineral, dan olahraga rutin. Bisa kupastikan berat badanku tidak akan melewati batas berat badan ideal. Aku serius akan hal ini. “Kau berbeda sekali dengan kebanyakan wanita.”

 “Aku tentu saja sama seperti mereka. Hanya saja aku tidak terlalu pusing memikirkan hal yang tidak perlu.”

 “Kau benar,” Gio tersenyum lalu mengacak rambutku sebelum akhirnya ia ke luar dari kamarku. Aku terkekeh sendiri lalu masuk ke kamar mandi, tentunya aku ingin mandi dan setelah itu aku akan tidur sampai ada yang bersedia membangunkan saat waktu makan malam nanti.

***

 Aku terbangun karena Dom membangunkanku. Dia sudah terlihat lebih santai dari tadi sore. Dengan kaus pendek berwarna hijau tua beserta celana jins pendek sepahanya dia terlihat cantik. Yah, memang setiap wanita terlahir cantik, tidak ada yang bisa memungkurinya. Termasuk aku.

 “Bagaimana tidurmu?” Dom bertanya sambil memberikanku air putih. Dia perhatian sekali. Mengetahui saja bahwa aku sekarang sedang kehausan.

 “Sangat nyenyak,” jawabku setelah minum. Aku meletakan kembali gelasnya lalu berjalan menuju kamar mandi. “Aku akan mencuci muka dan siap dalam waktu 5 menit.”

 Dom tertawa, “Memang ada seorang wanita yang bisa siap dalam waktu 5 menit.”

 Aku hanya menghiraukannya dan terus menggosok gigiku, baru setelahnya aku membasuh mukaku menggunakan scrub. Setelah siap aku menghampiri meja rias, menyisir rambutku sambil melihat jam. “Masih 3 menit lagi.”

 Aku mengingat rambutku ke belakang lalu memberi sedikit bedak pada wajahku. “Yap, aku siap!”

 “Fantastis, kau menyelesaikannya selama 3 menit!” Dom tertawa dan aku balas tertawa padanya. Menurutku Dom sangat mengasyikan.

 Kami ke meja makan dan semua orang nampaknya sudah siap. Aku mengecup pipi Gio lalu mengambil duduk di sampingnya. “Kelihatannya enak. Siapa yang memasak?” Aku menoleh ke semua orang dan mereka langsung menatap Lucy. “Wow, aku akan menjadi gendut dalam hitungan 3 hari.”

 Lucy tersenyum tipis. “Makanlah! Aku senang jika ada yang menyukai makanan buatanku.”

 Aku mengangguk dan balas tersenyum sambil melihat genggaman tangan Henry di jemari Lucy. Mereka sangat romantis. Saat acara makan dimulai aku mendesah saat mendengar ponsel yang berada di saku celana jins pendekku berbunyi. Aku menatap semua orang dan meminta maaf melalui tatapan mataku yang memelas. Tanpa beranjak aku mengangkatnya. “Halo, Justin!”

 “Baby, apa yang kau lakukan? Kau lupa menelponku? Aku menunggu telepon darimu.” Terdengar dengusan dari sebrang telpon. Justin sepertinya kesal.

 “Maafkan aku. Aku lupa dan ketiduran. Kau sedang apa sekarang? Sudah makan siang? Aku akan makan malam.”

 “Bagaimana caranya aku makan kalau kau terus menerus menghantuiku, Sweet?”

 “Berhenti merajuk, Justin! Aku akan menutup telponmu. Bye..” Tanpa menunggu Justin menjawab apapun lagi aku mematikan panggilannya. Aku mengetik sms pendek lalu mengirimnya lewat email.

 To: justin@anderson.com

 Aku akan menelponmu setelah makan malam. Kau juga harus makan sebelum aku menelponmu! Miss you….

 Selesai dengan ponselku, aku mengambil sup kentang buatan Lucy dan memakannya dengan lahap. Rasanya hangat. Aku yakin dia menambahkan jahe ke dalamnya.

 “Tadi itu siapa?” Dom bertanya setelah aku makan beberapa sendok sup kental ke dalam mulutku.

 “Bukan siapa-siapa. Hanya teman dekatku di Boston.”

 “Kau banyak punya kenalan lelaki tampan ya?” Dom sekarang seperti menggodaku. Aku hanya tersenyum tipis lalu menyendok lagi.

 “Kau punya kekasih di Boston?” Lucy ikut-ikutan bertanya.

 “Tidak ada. Hanya teman dekat,” jawabku manis. Tentu saja semuanya teman dekat, aku memang rajin menggantungkan suatu hubungan. Dasar tidak bisa berkomitmen! Sindirku pada diriku sendiri.

 “Teman dekatmu pasti sangat banyak,” cibir Dom dan aku tidak mengacuhkannya. “Jadi sampai kapan kau di Liverpool?”

 Aku bangkit lalu mengambil air dingin yang berada di dalam kulkas. Bergerak kembali ke kursiku lalu menegaknya beberapa kali. “Mungkin 5 bulan. Aku sudah mengirimi surat lamaranku di kantor Richard-Brown. Gio bilang kalian berdua bekerja di sana, kan?”

 Dom dan Lucy mengangguk. “Jadi kau yang akan magang di kantorku? Ini hebat! Lihat bagaimana pria di sana mengerumunimu!” kekehan Dom terdengar memekakan telinga Henry Lucy yang duduk di sampingnya.

 “Semoga tidak! Aku contoh orang yang suka menolak sesuatu yang tidak kusukai,” jawabku jujur.

 “Tapi kau tidak kelihatan seperti itu,” Dave ikut berbicara setelah beberapa waktu diam.

 “Aku setuju,” Henry ikut menyambut.

 Aku hanya tersenyum tipis dan tidak membalas. Namun celetukan Lucy membuatku menegakkan kembali posisi dudukku. “Bukannya usiamu masih 18 tahun? Lalu bagaimana caranya kau diterima di perusahaan kami?”

 “Sebenarnya aku lulusan hukum di Harvard, saat itu usiaku 16 tahun.”

 Dan aku bisa melihat semua orang terkejut, Gio satu-satunya yang tenang dan malah menertawakan. Dia tentu sudah tahu karena aku mengiriminya kabar lewat email.

 “Apa kau sangat genius?” Dave tidak bisa menyembunyikan keterkejutan sekaligus kekagumannya. Aku sekali lagi menghiarukan dan menyendok supku. Mereka sudah tahu jawabannya, jadi untuk apa kujawab. Retoris kan!

 “Kau ... sempurna,” desis Dom dan aku tidak bisa diam, aku tertawa lebar lalu beralih mengambil apel karena supku sudah habis. Aku memakannya perlahan lalu menatap Henry yang tidak banyak bicara. Meskipun dia menyimak tapi dia lebih sering memperhatikan Lucy.

 “Gio, bagaimana bisa kau memiliki adik sesempurna ini? Kau bahkan tak pernah bicara apa-apa,” ketus Lucy sambil menatap garang Gio. Aku kembali terganggu saat ponselku berbunyi. Tanpa berpindah dari tempatku, aku menjawab telponnya. Kali ini dari Jacob.

 “Halo, Jake!”

 “Kau sudah sampai di Liverpool? Bersama kakakmu, Gio?”

 “Ya, dia di sampingku, Jake. Aku sedang makan malam, aku akan menelponmu setelah selesai, oke?”

 “Oke.”

 Jake mematikan telponnya. Aku kembali memakan apelku dan mereka sepertinya sudah tidak tahan untuk tidak berbicara lagi.

 “Besok malam ada pasar malam di dekat kantor. Bagaimana jika kita ke sana? Sesekali kita harus kencan bersama. Aku dengan Dave, Lucy dan Henry, Gio dan Ellie, Erin dan Derren.”

 “Aku akan merana besok malam. Astaga!” celetukku.

 “Kau bisa ikut dengan salah satu rekan kerja Henry.” Lucy membantu Dom menjawab.

 “Sepertinya tidak perlu. Jika aku ingin aku akan pergi, jika tidak aku akan tetap di rumah.”

 “Aku bisa mengajakmu dan mengatakannya pada Ellie.” Gio mencoba mencari solusi.

 “Tidak perlu ... Astaga!” Aku harus bangkit karena ponselku lagi-lagi berbunyi. “Ya, Travis!” ketusku saat mengetahui Cody yang menelponku.

 “Halo, Sweety, sudah makan malam?”

 “Aku sudah sejak semenit yang lalu. Ada lagi yang ingin kau kacaukan?”

 “No! Aku sedang berada di depan rumah yang sedang kau tinggali. Buka tirai jendelamu dan kau akan melihatku!”

 Aku membuka tirai jendela sedikit dan mendengus melihat Cody sedang duduk di atas motor sportnya yang berwarna merah menyala. “Tukang pamer!” cibirku.

 “Ke luarlah! Kau sudah cukup siap untuk kubawa berjalan-jalan. Jangan lupa bawa jaketmu!”

 Sepertinya Cody tahu aku tidak akan menolak. Dia menutup telponnya dan aku kembali ke meja makan.

 “Teman dekatmu lagi?” Lucy bertanya sambil tersenyum tipis.

 Aku menggeleng. “Aku akan pergi, Gio. Bersama temanku, dia sudah menunggu di luar.”

 “Dari mana temanmu tahu kau tinggal disini?”

 “Mungkin GPS,” jawabku seadanya. Jelas bukan GPS, tapi alat pelacak yang bersarang di telingaku. Antingku sebelah kiri sedangkan anting sebelah kanan hanya sekedar hiasan. Berwarna hitam. Setelah mengecup pipi Gio, aku beranjak menuju kamarku mengambil jaket kulitku lalu berlarian ke luar rumah.

 Aku ke luar dari rumah dan menemukan Cody dengan tampang memuakannya. “Kau merencakan sesuatu?” Aku bertanya tanpa berbasa-basi terlebih dahulu. Aku naik ke motor, ke belakang tubunya. Dengan pelan kulepaskan tali rambutku lalu meraih helm yang disodorkan oleh Cody.

 “Hari ini akan ada balapan. Targetmu ikut. Kau bisa melihat dan menerka sendiri sesukamu.” Kekehan tidak putus dari suara Cody. Saat helmnya juga sudah terpasang dia mulai melajukan motornya. Melewati jalanan beraspal lalu terus ke arah selatan. Aku hanya memperhatikan punggung Cody lalu memejamkan mataku. Mengistirahatkan mataku.

 Sesampainya di tempat balapan yang bisa kupastikan sejauh 8 km dari rumah, aku melihat ke sekelilingku. Melihat dari balik kaca helmku yang berwarna hitam.

 “Bajingan mana lagi yang akan melawanku?” teriakan pria sombong yang berhasil membuatku menoleh ke arahnya. Aku membuka perlahan kaca motorku lalu memicing.

 “Dia orangnya, yang sedang duduk di motornya yang berwarna putih.” Cody mengingatkanku.[]


***


Bersambung>>>

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status